Technology

Pages

Jumat, Oktober 31, 2014

Terjajah Bahasa; Mimpi, Potensi dan Realita Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional

Pernah mendengar kata gergasi? Pasti akan banyak dari kita yang mengatakan tidak dan menggelengkan kepala. Bagaimana kalau kata monster? Semua orang akan dengan segera mengatakan pernah karena mengakrabi kata ini di ruang dengar dan lisannya. Padahal, kata gergasi dan monster memiliki arti yang sama, yaitu makhluk raksasa. Terus apa yang membedakan keduanya? Yang pertama adalah bahasa asli negeri bernama Indonesia sedangkan yang kedua adalah bahasa serapan dari bahasa Inggris.
Sekarang jika kita ditanya, mana yang lebih sering kita gunakan antara binatu dan laundry? Mangkus dan sangkil atau efektif dan efisien? Gelar wicara atau talkshow? Sebagian besar dari kita akan memilih kata kedua di masing-masing pilihan. Ini merupakan pengalaman “buruk” akibat kelambanan kita dalam memasyarakatkan penggunaan padanan kata terhadap istilah-istilah asing. Para penutur, termasuk kita yang seorang akademisi, justru terasa lebih akrab dengan istilah asing itu sendiri ketimbang padanannya.
Ada banyak contoh lain dimana kita justru melupakan bahasa kita sendiri. Kita lebih mengenal kata relatif, konsisten, relevan, ketimbang nisbi, panggah, atau penad. Begitulah, meski katanya Negara ini sudah merdeka tapi kenyataannya kita masih terjajah bahasa. Fenomena itu bahkan sempat menjadi pokok berita saat seorang bernama Vicky menggunakan bahasa ‘isasi-nya’ yang kemudian secara sadar kita menertawakan lalu latah mengikuti bahasa yang kita tertawakan tersebut.
Indonesia, yang berada di posisi keempat sebagai Negara dengan jumlah penduduk terbanyak setelah RRC, India, dan Amerika Serikat, memiliki modal kuat menjadi negara besar yang diperhitungkan dalam kancah global, termasuk menjadikan Bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa internasional. Penduduk Indonesia yang tinggal dan tersebar di pelbagai Negara bisa menjadi penutur untuk meperkenalkan Bahasa Indonesia dalam diskusi kebudayaan negeri ini di luar negeri. Jika ini dimaksimalkan maka bukan tidak mungkin, seperti banyak kalangan menilai, bahwa sudah saatnya bahasa Indonesia benar-benar didorong dan diberikan ruang seluas-luasnya untuk menjadi bahasa internasional.
Wacana untuk mewujudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional semakin menguat setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam pasal 44 disebutkan bahwa: (1) pemerintah meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan; (2) peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan; (3) ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.1
Jika kita belajar sejarah, posisi BI makin menguat setelah Indonesia diproklamirkan Soekarno-Hatta sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945, BI diakui keberadaannya sebagai bahasa resmi (bahasa negara). Ini artinya, BI tak hanya sebatas digunakan sebagai bahasa pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga difungsikan sebagai bahasa resmi kenegaraan (lisan maupun tulisan) dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan. 
Yang jadi pertanyaan sekarang, bisakah dikatakan BI menjadi lambang kebanggaan nasional kalau kenyataan yang terjadi justru makin banyak kalangan di negeri ini yang lebih bangga menggunakan setumpuk istilah asing dalam tuturannya, baik dalam ragam lisan maupun tulis? Bisakah BI menjadi bahasa internasional jika pemilik bahasanya sendiri malu untuk menggunakannya? Atau bisa jugakah dikatakan BI menjadi lambang identitas nasional kalau makin banyak kalangan yang abai untuk menggunakan BI secara baik dan benar sebagai bagian dari jati diri bangsa?
Pada tataran dunia kampus misalnya, lembaga-lembaga pemerintahan mahasiswa (baca: BEM) sebagai titik sentral yang menjadi acuan mahasiswa pun tidak lepas dari “virus” ini. Di berbagai publikasi yang dibuat lembaga-lembaga ini, para pemangkunya lebih memilih menggunakan kata “BEMJ/F Proudly Present” ketimbang “BEMF/J Dengan Bangga Mempersembahkan”. Parahnya, “kesombongan” menggunakan frase “Proudly Present” tidak diimbangi dengan pengetahuan kapan harusnya menggunakan frase “Proudly Present” atau “Proudly Presents”. Ternyata, masih jauh panggang dari api, jika kita punya mimpi BI menjadi bahasa internasional. Karena kita masih belum merdeka dalam berbahasa, terjajah oleh bahasa asing. #BanggaBerbahasaIndonesia.

0 komentar: