Pernah mendengar kata gergasi? Pasti akan banyak dari kita yang mengatakan tidak dan menggelengkan kepala. Bagaimana kalau kata monster? Semua orang akan dengan segera
mengatakan pernah karena mengakrabi kata ini di ruang dengar dan lisannya.
Padahal, kata gergasi dan monster memiliki arti yang sama, yaitu makhluk
raksasa. Terus apa yang membedakan keduanya? Yang pertama adalah bahasa asli
negeri bernama Indonesia sedangkan yang kedua adalah bahasa serapan dari bahasa
Inggris.
Sekarang jika kita ditanya, mana yang lebih sering
kita gunakan antara binatu dan laundry? Mangkus
dan sangkil atau efektif dan efisien? Gelar
wicara atau talkshow? Sebagian besar dari kita akan memilih kata kedua di
masing-masing pilihan. Ini merupakan pengalaman “buruk” akibat kelambanan kita dalam
memasyarakatkan penggunaan padanan kata terhadap istilah-istilah asing. Para
penutur, termasuk kita yang seorang akademisi, justru terasa lebih akrab dengan
istilah asing itu sendiri ketimbang padanannya.
Ada banyak contoh lain dimana kita justru melupakan
bahasa kita sendiri. Kita lebih mengenal kata relatif, konsisten, relevan,
ketimbang nisbi, panggah, atau penad. Begitulah, meski katanya
Negara ini sudah merdeka tapi kenyataannya kita masih terjajah bahasa. Fenomena
itu bahkan sempat menjadi pokok berita saat seorang bernama Vicky menggunakan
bahasa ‘isasi-nya’ yang kemudian
secara sadar kita menertawakan lalu latah mengikuti bahasa yang kita tertawakan
tersebut.
Indonesia, yang berada di posisi keempat sebagai
Negara dengan jumlah penduduk terbanyak setelah RRC, India, dan Amerika Serikat,
memiliki modal kuat menjadi negara besar yang diperhitungkan dalam kancah
global, termasuk menjadikan Bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa internasional.
Penduduk Indonesia yang tinggal dan tersebar di pelbagai Negara bisa menjadi
penutur untuk meperkenalkan Bahasa Indonesia dalam diskusi kebudayaan negeri
ini di luar negeri. Jika ini dimaksimalkan maka bukan tidak mungkin, seperti
banyak kalangan menilai, bahwa sudah saatnya bahasa
Indonesia benar-benar didorong dan diberikan ruang seluas-luasnya untuk
menjadi bahasa internasional.
Wacana
untuk mewujudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional
semakin menguat setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam
pasal 44 disebutkan bahwa: (1) pemerintah meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia
menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan;
(2) peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan; (3)
ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan fungsi bahasa
Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.1
(1.Dikutip dari: http://sawali.info/2012/10/19/daya-pikat-bahasa-indonesia-sebagai-bahasa-internasional/)
Jika kita belajar sejarah, posisi BI makin menguat
setelah Indonesia diproklamirkan Soekarno-Hatta sebagai negara
yang merdeka dan berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945, BI diakui
keberadaannya sebagai bahasa resmi (bahasa negara). Ini artinya, BI
tak hanya sebatas digunakan sebagai bahasa pergaulan dalam kehidupan sehari-hari,
tetapi juga difungsikan sebagai bahasa resmi kenegaraan (lisan maupun
tulisan) dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan.
Yang jadi pertanyaan sekarang, bisakah dikatakan BI
menjadi lambang kebanggaan nasional kalau kenyataan yang terjadi justru makin
banyak kalangan di negeri ini yang lebih bangga menggunakan setumpuk istilah
asing dalam tuturannya, baik dalam ragam lisan maupun tulis? Bisakah BI menjadi
bahasa internasional jika pemilik bahasanya sendiri malu untuk menggunakannya?
Atau bisa jugakah dikatakan BI menjadi lambang identitas nasional kalau makin
banyak kalangan yang abai untuk menggunakan BI secara baik dan benar sebagai
bagian dari jati diri bangsa?
Pada tataran dunia kampus misalnya, lembaga-lembaga
pemerintahan mahasiswa (baca: BEM) sebagai titik sentral yang menjadi acuan
mahasiswa pun tidak lepas dari “virus” ini. Di berbagai publikasi yang dibuat
lembaga-lembaga ini, para pemangkunya lebih memilih menggunakan kata “BEMJ/F
Proudly Present” ketimbang “BEMF/J Dengan Bangga Mempersembahkan”. Parahnya,
“kesombongan” menggunakan frase “Proudly Present” tidak diimbangi
dengan pengetahuan kapan harusnya menggunakan frase “Proudly Present” atau “Proudly
Presents”. Ternyata, masih jauh panggang dari api, jika kita punya
mimpi BI menjadi bahasa internasional. Karena kita masih belum merdeka dalam
berbahasa, terjajah oleh bahasa asing. #BanggaBerbahasaIndonesia.
0 komentar:
Posting Komentar