Technology

Pages

Sabtu, Mei 02, 2015

Kotak Amal

Dimuat di Majalah Sabiliku Edisi April

Oleh: Iqbal Haris


            MALAM YANG GELAP MULAI BERANJAK PERGI. Pagi menyongsong dengan sang fajar yang mulai bersinar di ufuk timur. Suara kokok ayam dan lolongan anjing terdengar bersahutan menemani jalannya pagi.
            “Ashalatu khairum minan naum….” suara bas Pak Yakup  membangunkanku dari mimpi indahku. Padahal, aku masih ingin tidur. Masih ngantuk. Kucoba menjemput mimpi yang sebenarnya aku sendiri tahu bahwa aku tidak akan bisa kembali tidur karena sebentar lagi jamaah shalat subuh mulai berdatangan. Sehingga aku harus menahan rasa kantukku dan membiarkan Pak Yakup memanggil jamaah dan tentunya berharap jamaah segera pulang dari masjid ini baru aku bisa tidur kembali.

            Sepuluh menit berlalu. Iqamah pun dikumandangkan setelah semua orang berpikir bahwa tidak akan ada lagi orang yang akan datang menunaikan shalat subuh. Shalat yang hanya dua rakaat itu  beberapa menit kemudian akhirnya selesai. Hah, akhirnya aku bisa tidur kembali setelah orang-orang sudah pergi. Semoga aku mimpi indah (o iya, memang aku bisa bermimpi ya ???)

***

Matahari mulai menampakkan wajahnya. Sinarnya yang hangat menerobos masuk melewati ventilasi jendela. Aku masih tidur di salah satu pojok masjid kemudian terbangun oleh suara kegaduhan yang kudengar berasal dari ruang depan masjid.

Masjid ini terbagi dari dua ruangan. Ruang depan dan ruang belakang. Untuk ruang belakang—yang sebenarnya letaknya di depan—digunakan untuk anak-anak mengaji tiap malam dan digunakan untuk TPA setiap sore. Sedangkan ruang depan ya, buat orang-orang shalat. Sebenarnya masjid ini tidak telalu besar. Tapi, setidaknya cukup untuk menampung orang-orang desa ini. Namun, yang aku heran orang-orang yang shalat di sini sedikit sekali.
            Sejenak kudengar kegaduhan dari ruang belakang masjid. Suara barang-barang yang diseret terdengar jelas di telingaku (ups! Kok aku jadi sering lupa kodrat). Kemudian kulihat Hasim menyeret tikar dan mendekatiku. Ternyata, Hasim sedang bersih-bersih bersama Pak Yakup. Dia kemudian mengangkatku dan meletakkanku di atas mimbar. Ingin aku berteriak supaya aku tetap berada di sini. Di pojok ruangan masjid untuk ya… kembali melanjutkan tidurku. (heran kan?!? Aku juga heran setiap hari kok bisanya cuma tidur).
            Sebenarnya, tidak perlu heran. Apa sih yang bisa dilakukan sebuah kotak persegi panjang yang dibuat hanya untuk menjadi tempat mengumpulkan uang sumbangan alias uang amal yang diberikan jamaah masjid. Ya, akulah yang disebut orang-orang sebagai KOTAK AMAL.
            Daripada terus penasaran, aku perkenalkan diri dulu. Namaku ya…tadi,  K-O-T-A-K A-M-A-L. Jangan lupa! antara huruf K dan A harus ada spasi. Aku baru dilahirkan—maksudnya dibuat ding—setahun yang lalu setelah kotak amal yang sebelumnya pensiun. Aku memulai karierku pas idul fitri tahun lalu. Awal karier, aku sangat sukses dan tercatat sebagai kotak amal pertama yang mendapatkan uang amal paling banyak, begitu yang aku dengar dari obrolan Pak Yakup dan bendahara masjid pas menghitung uang amal idul fitri kemarin. Maklumlah, namanya juga lebaran, jadi, penghasilan pertamaku itu sangat menakjubkan. Satu bulan, dua bulan, enam bulan, dan setahun setelahnya mungkin seperti pendahuluku, pendapatanku merosot. Setiap minggu yang bisa kudapatkan dari hasil berkeliling pada waktu shalat jum’at tak lebih dari tiga atau malah dua puluh ribu. Bahkan, pernah aku cuma mendapatkan uang sepuluh ribu rupiah. Itupun sebenarnya cuma dapat delapan ribu sebab dua lembar uang yang terhitung itu sudah tidak bisa dipakai.
            Oya, selama meniti karier sebagai kotak amal banyak lho kejadian aneh yang aku alami. Sebentar ya… aku mau memeras otakku dulu (tuh kan mulai lagi lupa kodrat) mengingat kejadian yang menurutku sangat aneh itu. Harap maklum lho… namanya juga sebuah kotak jadi, ingatanku agak oneng. Tunggu bentar ya…

***

Aku masih tergeletak di pojok depan masjid. Menunggu waktu orang-orang yang mau shalat jumat datang. Tentu saja aku harus kerja hari ini. Kutanya jam yang tergantung di dinding depan. Aku nggak bisa melihat tangannya—maksudnya jarum jam—menunjuk angka berapa sehingga aku harus berteriak memanggil sang penunjuk waktu itu.
            “Hei, Jam, sekarang angka yang ditunjuk tanganmu berapa?” tanyaku yang tahu kalau sebenarnya dia harus berkonsentrasi menjaga tempo gerak tangannya. “Sekarang jam sebelas lebih tiga puluh menit” jawabnya ketus.
            Hah, sebentar lagi tugasku akan dimulai. Sedikit berharap setidaknya aku bisa tidur barang sebentar karena dari tadi pagi aku tidak bisa tidur terganggu oleh suara ribut orang-orang yang aku tidak tahu mereka itu melakukan apa (Ya Allah…tidur lagi…tidur lagi).
            Tiga puluh menit kemudian masjid ini telah penuh. Nggak penuh sih. Seperti biasa, cuma separo. Ketika adzan selesai dikumandangkan kemudian pak khotib memulai khotbahnya aku pun mulai berjalan di depan jamaah shalat jumat. Membuka mulutku lebar-lebar supaya jamaah mudah memasukkan uangnya ke tubuhku.
            “Orang-orang yang beriman adalah mereka yang menjadikan ridha Allah sebagai tujuan tertinggi dalam kehidupan mereka dan mereka berusaha keras untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam Al-qur’an, Allah menyebut orang-orang yang berjuang dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah adalah orang-orang yang beruntung. Mereka telah mengabdikan hidup mereka untuk Allah dan bersedia mengorbankan segala sesuatu yang mereka miliki untuk mencari ridha Allah dan mendapatkan surga-Nya.
            Orang-orang beriman pun punya sifat-sifat penting yang memungkinkan mereka untuk menyibukkan diri, dan dalam keadaan yang sangat berat sekalipun, mereka mengucapkan, Hasbunallah—cukuplah bagiku Allah—dan  mereka akan selalu mendambakan keridhaan Allah.” suara khotbah Pak Solihin mengirigi tugasku hari ini. Tanpa beban aku terus melangkah di depan para jamaah sambil melihat-lihat orang-orang yang ada di depanku. Ada yang mendengarkan khotbah itu dengan serius namun, tetap saja banyak dari mereka yang tertidur. Aku terus berjalan hingga aku berada di depan seorang laki-laki tinggi dan gemuk. Kuperhatikan wajah orang itu. Sedetik kemudian aku langsung mengenalinya. Pak Slamet. Kemudian kulafalkan doa yang seing aku dengar dari anak-anak TPA “Allohumma baarik lana fiima...” ups! İtu kan doa mau makan.
            Aduh, gimana nih. Ya Allah semoga orang ini tidak memasukkan uangnya, doaku kemudian. Namun, kulihat tangan Pak Slamet merogoh saku bajunya kemudian mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Dan setelah uang itu masuk kurasakan tubuhku seketika panas. Seperti terbakar. Kucoba berteriak untuk mengeluarkan uang yang baru saja dimasukkan ke dalam tubuhku. Sia-sia.
            “Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah semua ini. Aku memang sudah begitu nista sehingga sebenarnya aku nggak pantas untuk memasukkan uang itu ke tubuhmu.” Tangan orang itu mencoba menjelaskan semua padaku. “Aku sering digunakan untuk mengambil barang  yang bukan hakku. Dan aku tidak  bisa berbuat apa-apa buat mencegah itu.” aku menggeliat (bayangkan sendiri kalau sebuah kotak menggeliat) merasakan tubuhku ini semakin lama bertambah panas dan aku masih harus berjalan tanpa ada yang tahu bahwa aku sangat tersiksa. Aku terus mencoba berteriak, berdoa ada seseorang yang mendengar teriakanku dan mengeluarkan uang itu. Akhirnya aku mencoba bertahan sampai shalat jumat selesai.
            “Hasyim, udah selesai belum?”  suara Pak Yakup akhirnya membuyarkan lamunanku. Kulihat jam yang tergantung di dinding depan. Aku bisa melihatnya karena aku berada di pojok belakang masjid. 10.23. Masih ada waktu buat tidur (hehehe) sebelum aku bekerja.

***


          Tiap hari jumat, ku berjalan di depan shaf...
 membuka mulutku, uang pun masuk tubuhku...
 berjalan dan terus berjalan itu tugasku...
 senang kurasa saat kau masukkan uangmu...

            Aku bernyanyi menirukan nada “Naik Delman” yang biasanya kudengar dari anak-anak yang belajar mengaji tiap malam dengan syair yang kubuat sendiri sambil terus melangkah di depan shaf jamaah shalat jumat hari ini.
            Matahari bersinar sangat terik. Suasana dalam masjid pun terasa sangat panas. Apalagi hari ini jamaah yang datang lumayan banyak. Dan aku tetap harus menjalankan tugasku sebagai kotak amal. Aku terus bernyanyi sambil sesekali memperhatikan satu persatu jamaah. Yang kulihat sama saja. Lebih dari setengah orang-orang yang shalat jumat mendengarkan khotbah sambil tertidur.
            Aku terus berjalan sambil menyisipi nyanyianku dengan bersiul. Capek, kalau harus menyanyi terus. Kemudian kulihat seorang pemuda berkulit putih. Wajahnya bersih. Tak ada jerawat. Kumis di atas bibirnya tersembul malu-malu karena rajin dicukur. Sedangkan, jenggotnya panjang menjuntai sekitar tiga senti. Pemuda itu sedikit terkejut ketika orang di sebelahnya mendorong tubuhku ke depannya. Aku tahu pemuda itu tidak tertidur, karena kulihat mulutnya komat-kamit sedari tadi.
            Kuperhatikan wajah pemuda itu dengan seksama. Aku sama sekali tidak mengenali pemuda itu. Wajahnya baru pertama kali kulihat. Kemudian, pemuda itu mengambil uang yang ia sisipkan di dalam peci hitamnya. Lima ratus rupiah. Hah, kok cuma lima ratus sih. Penampilan saja yang keren, bersih, tapi, peliiiiittt. Kemudian dijejalkannya uang itu ke dalam tubuhku. Dan... Nyesss..!!!  Tubuhku tiba-tiba terasa hangat. Adem, anyes, cold, pokoknya tubuhku terasa enak. Aku berjalan dengan langkah yang terasa sangat ringan. Kulihat kembali pemuda tadi, matanya terpejam dan mulutnya masih komat-kamit. Sampai tiba di barisan belakang pun tubuhku masih terasa hangat. İni adalah hari yang menyenangkan.

***

Shalat jumat telah selesai. Aku masih tergeletak di pojok belakang masjid dengan tubuh yang masih terasa hangat. Terlihat satu-dua orang yang duduk tenang asyik bersua dengan Sang Maha Kasih. Mataku menyapu ruangan, mencari pemuda
            Sebuah tangan tiba-tiba menarikku dengan cepat. Aku tidak tahu siapa yang melakukan ini. Aku tidak bisa melihat siapa yang membawaku.
            Dibawanya tubuhku keluar masjid dan aku berpikir bahwa aku akan dibawa ke rumah Pak Hasyim. Tapi, ketika kulihat orang itu melewati rumah Pak Hasyim dan justru menutupku dengan sarung yang dipakainya aku merasa curiga. Aku masih tak tahu siapa yang membawaku hingga orang itu sampai di sebuah rumah yang agak besar tapi, ruang tamunya begitu lowong. Tak ada televisi, atau barang-barang elektronik lainnya. Orang asing itu meletakkanku di atas sebuah meja hingga aku bisa melihat dengan jelas siapa orang itu.
            “Pak, apa yang bapak lakukan?” seorang perempuan keluar dari ruang dalam. Perempuan itu mendekati orang asing itu. Tunggu, aku paham siapa orang itu.Pak Slamet.
            “Ibu diam saja. Anggap saja bapak mengambil uang simpanan bapak.” Sambil berbicara orang itu berusaha membuka gembok yang dipasang di tubuhku. “Pak, ini tindakan pencurian. Kalau ada yang tahu bapak akan diusir dari kampung ini.”
            “Diam! Tidak akan ada yang tahu kalau ibu nggak ngomong sama siapa-siapa. Bapak selalu memasukkan uang kalau bapak shalat jumat. Nggak sedikit lagi, bu. Makanya, anggap saja bapak membuka celengan bapak. Mau makan apa kita setelah usaha bapak bangkrut.”
            “Usaha apa, Pak. Bapak hanya menghambur-hamburkan uang yang bapak miliki sampai bapak sekarang nggak punya apa-apa.”
            “Diam!” orang itu kembali membentak istrinya. “Tolong ambilkan bapak golok!”
            “Bapak mau apa?” perempuan itu kemudian berlari menjauhi orang itu. “Dasar perempuan tak tahu diuntung.” rutuknya.
            Lelaki itu kemudian mengambil sebuah golok. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Setelah berada dihadapanku aku ngeri melihat sorot matanya yang sangat tajam. Tiba-tiba aku tahu apa yang dilakukannya dengan golok yang saat ini ada di genggamannya.
            Aku mencoba berteriak. Tapi, beberapa detik kemudian aku tersadar bahwa tidak akan ada yang bisa mendengar teriakanku. Hingga akhirnya aku hanya bisa pasrah dan berdoa.
            Ya Allah, tolong selamatkan aku. Aku belum ingin mati. Ya Allah... belum selesai aku mengucapkan doa, orang itu telah menghantamkan golok yang dipegangnya tepat di kepalaku. Aku merasakan sakit yang luar biasa sangat. Dengan sekali hantam saja kepalaku sudah terbelah menjadi dua. Aku sudah tidak bisa berpikir lagi ketika tangan kasar orang itu mengambil seluruh isi tubuhku.
            Kemudian mataku tertutup dan aku tidak bisa merasakan apa-apa. Namun, masih sempat kulihat orang asing itu melarikan diri ketika istri orang asing itu datang bersama-sama Hasyim dan Pak Yakup.