Technology

Pages

Kamis, Februari 17, 2011

Kisah Pembuat Antivirus dari Bojongsoang





KOMPAS.com — Dari lima anak berbakat di bidang IT yang memaparkan karyanya di Aula Timur ITB, Jumat (11/2/2011) siang, duo bersaudara pembuat Program Antivirus Artav, Arrival Dwi Sentosa (13) dan Taufik Aditya Utama (18), mendapat sambutan paling meriah. Mereka digadang-gadang menjadi penampil pertama. Dan saat Artav (Arrival Taufik Antivirus) berhasil menemukan virus lokal bernama Yuyun yang bercokol di flash disk milik seorang panelis, para hadirin spontan berdiri dan menyambutnya dengan tepuk tangan meriah (standing ovation) untuk mereka berdua.

Kesuksesan Taufik dan Rival tidak hanya dibuktikan lewat tes di hadapan lebih dari seratus penonton, tetapi bisa dilihat dari jumlah pengunduh Artav yang hingga Senin (14/2/2011) sore mencapai 300.000 orang dari 60 negara. Bahkan, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar pun berjanji akan membantu proses pengurusan hak paten Artav atas nama keduanya.

Dari segi fitur, aplikasi yang bisa diunduh gratis oleh setiap pengguna internet ini memiliki beberapa keunggulan. Seperti fitur Anti Hacker yang bisa melindungi komputer dari upaya penyusupan, Mail Servis untuk mengidentifikasi dan membersihkan virus yang bersarang di kotak surat, dan Internet Security yang masih dalam tahap pengembangan. Juga ada fitur Scan USB untuk memastikan setiap flash disk yang dicolok ke komputer bebas dari virus.

Bagi Arrival dan Taufik, keberhasilan Artav mendeteksi virus tersebut merupakan buah kerja keras keduanya dalam mengembangkan aplikasi dan membangun database virus selama setahun terakhir. Meksipun berasal dari keluarga sederhana, mereka tidak pernah berhenti mengembangkan program antivirus yang semula diberi nama Eagel Protection.

Virus Bandel
Program antivirus Artav sebenarnya dimulai dari kekesalan dua remaja asal Bojongsoang ini yang setiap hari menemukan virus di komputer milik ayahnya. Mereka tidak habis pikir, mengapa virus-virus itu tidak kunjung teratasi setelah semua program antivirus dicoba. "Sampai akhirnya motherboard rusak. Saya kan kesel," Rival mengenang awal dimulainya proyek Artav.

Agar komputer tersebut bisa digunakan kembali, siswa kelas II SMP 48 Bandung ini berjibaku mengumpulkan uang bersama kakaknya, Taufik, untuk untuk membeli motherboard baru. Selain uang jajan, mereka juga menyimpan uang jatah Lebaran yang biasanya digunakan untuk membeli baju baru. "Lebaran tahun 2009 kemarin kami terpaksa tidak beli baju baru. Uangnya dipakai buat beli motherboard," cerita Rival yang diamini Taufik.

Motherboard seharga Rp 450.000 itu akhirnya bisa mereka beli dan komputer sang ayah pun bisa berfungsi kembali.

Akhir Maret 2010, mereka mulai membuat rancangan aplikasi antivirus berbasis Visual Basic dengan fasilitas seadanya. Mereka hanya mengandalkan komputer milik ayahnya yang sehari-hari digunakan untuk memperbaiki ponsel pelanggan.

Pengumpul Virus
Dalam membangun Artav, Arrival dan Taufik melakukannya bersama-sama, termasuk dalam mengumpulkan database virus. Tapi secara umum, otak program ada di kepala Rival yang lebih banyak mengerjakan coding dan programming. Sedangkan Taufik yang saat ini duduk di kelas II SMA 25 Bandung berkonsentrasi di sisi interface dan desain tampilan.

"Pengembangan program sudah sering dilakukan. Mulai dari banyak error sampai penambahan fitur-fitur. Tapi kalau dari segi tampilan, kami melakukan tiga kali perubahan sampai akhirnya menemukan nama Artav," kata Taufik yang mengerjakan hampir semua detail tampilan Artav.

Sementara Rival bertugas membangun program dari nol dengan menggunakan program Visual Basic yang dikuasainya secara otodidak. Selama setahun terakhir, Taufik dan Rival juga mengumpulkan database virus dari satu warnet ke warnet lain. "Virus itu kan biasanya beredar di warnet lewat internet dan flash disk," kata Rival mengemukakan alasan pencarian virus lewat warnet.

Terlebih, lanjutnya, virus yang sulit dikenali dan dibasmi biasanya berasal dari virus lokal yang database-nya belum dimiliki program antivirus luar negeri. Jadi perburuan langsung ke lapangan merupakan cara paling efektif dalam membangun database virus, khususnya virus buatan programmer Indonesia.

Setiap pulang kerja, Rival menyempatkan mendatangi warnet-warnet di sekitar sekolah. Dia menghabiskan waktu dua jam di warnet, lalu melanjutkan penelitiannya di rumah hingga malam hari. Karena sering bolak-balik untuk mengumpulkan virus, beberapa penjaga dan pemilik warnet mengenalinya dan dengan senang hati membantunya.

"Kalau warnet yang sudah dikenal, saya biasanya nitip flash disk (untuk menampung file bervirus). Pulang sekolah flashdisk bervirus itu saya bawa pulang," cerita Rival.

Dalam sehari, anggota forum gim online Nyit Nyit ini mampu mengumpulkan hingga 20 virus. Setelah terkumpul, virus itu dibawa ke rumah untuk diteliti dan diambil algoritma virusnya. Pekerjaan mengumpulkan dan mengecek virus juga dibantu oleh teman-teman kelasnya. Teman-temannya di komunitas Kaskus juga ikut membantu melakukan tes periodik virus-virus yang telah dikumpulkan.

Saat ini, antivirus Artav mampu mengidentifikasi dan mengatasi 1.031 jenis virus dan ratusan ribu varian lainnya. "Enam puluh persen database virus yang ada di Artav merupakan virus lokal," kata Rival kepada Kompas.com, akhir minggu lalu.

Keluarga Sederhana
Melihat keberhasilan putra pertama dan kedua pasangan Herman Suherman dan Yeni Soffia ini dalam mengembangkan program antivirus Artav, sulit menduga keduanya berasal dari keluarga biasa yang tinggal di jalan Bojongsoang 72, Bandung, Jawa Barat. Untuk memenuhi kebutuhan harian, ayah mereka hanya mengandalkan penghasilan dari reparasi HP yang dibuka sejak tahun 2003. Sedangkan ibunya sehari-hari bekerja sebagai Kepala Sekolah TK.

"Sekarang buat makan saja tidak cukup. Apalagi untuk membiayai sekolah mereka," kata Herman.
Meskipun berasal dari keluarga biasa, bakat mengolah komputer mereka dapat dari sang ayah yang lulusan STM Elektronika 2 Bandung (sekarang SMK 4). Sebelum kena PHK berjemaah, Herman pernah bekerja sebagai supervisor dan programmer panaset Panasonic di PT Inti. Maka tak mengherankan kalau kedua putranya sudah akrab dengan komputer sejak kecil.

"Taufik kenal komputer sejak kelas III SD. Kalau Arrival kelas I SD," cerita Herman tentang bakat kedua putranya.

Dari keduanya, antusias Rival dalam mendalami program komputer terlihat lebih besar. Saat duduk di kelas III SD, dia sudah fasih mengoperasikan Windows. “Kelas V, Rival sudah mengotak-atik komputer. Dia juga sudah bisa merakit dan men-setup Windows sendiri,” tutur sang ayah.

Rival mengaku mendalami ilmu komputernya secara mandiri, dibantu bimbingan ayah dan dukungan ibunya. Selain mencari referensi di internet, Rival selalu mencatat judul-judul buku yang dibutuhkan untuk diserahkan ke ibunya. Setiap kali mendapat 'daftar belanjaan', sang ibu yang juga gemar membaca buku membelikan buku komputer dan antivirus untuk putranya di toko buku terdekat. "Kalau ada buku yang saya butuhkan, saya titip ke ibu dan minta dibelikan di toko buku," ujar Rival.

Lewat upaya menuntut ilmu sendiri ini, Rival bisa membuat program sederhana seperti program pemutar musik MP3 dan Pelacak Virus (virus scanner) meskipun belum tamat SD. Saat duduk di bangku SMP, penggemar gim online ini terus mendalami kemampuannya menggunakan Visual Basic untuk membuat program-program dan kode gim.

Artav Premium
Saat ditanya hambatan yang sering dihadapi dalam membuat Artav, Taufik dan Rival dengan santai menyebut faktor mati lampu yang kerap membuatnya harus mengulang pekerjaan yang sudah disusun berjam-jam sebelumnya. Pencarian database virus juga merupakan tantangan tersendiri yang sampai saat ini masih terus disempurnakan.

"Saya juga belum begitu mengerti soal jaringan. Makanya mau banyak belajar soal internet security dengan Pak Onoo (Onno W Purbo)," tutur Rival menyebutkan kesulitan yang dihadapi.
Dengan kelebihan yang telah dibenamkan ke dalam Artav, baik Taufik maupun Rival optimistis program aplikasi ini akan menjadi nomor satu. Saat ini saja, Rival yang bercita-cita memiliki perusahaan sekaliber Microsoft sudah mendapat beasiswa sekolah dan hadiah laptop dari operator seluler XL sebagai salah satu bentuk dukungan. Pihak ITB sudah menyatakan kesediaannya membantu pengembangan program.
Ke depan, mereka berharap dapat merilis versi premium dengan keunggulan lebih dibandingkan aplikasi gratis yang saat ini sudah sampai versi 2.5.

Selasa, Februari 01, 2011

Sebut saja Mawar (Seri Keempat)

Setelah sekretariat BEM terbuka seseorang mengeluarkan sebuah papan pengumuman berisi penjelasan tentang MPA yang ribetnya minta ampun; nametag dengan aturan ukuran yang segini dan segitu (ada dua lagi, jurusan dan fakultas), bikin essay, pake benda-benda yang aku nggak tahu maksudnya dan bla... bla... lainnya. Aku jadi berpikir seperti ini. Segala sesuatu di Indonesia banyak yang sebenarnya mudah tapi akhirnya dibuat ribet, terutama birokrasi dan pasti inilah salah satu alasannya mengapa. Baru mau jadi mahasiswa saja sudah dibuat ribet kayak gini.

Baik, saat ini aku belum bisa berbuat banyak. Aku yang seorang mahasiswa baru harus nurut terlebih dahulu.
***

21 Agustus 2010, pembukaan MPA

Ditemani langit pagi yang masih gelap aku berjalan agak keteteran dengan beberapa atribut yang super rebit. Ardy berjalan agak cepat di sampingku. Sedikit membuatku harus menambah kecepatan alhasil beberapa jam berikutnya terjadi sesuatu yang nggak mengenakkan karena pagi ini belum sarapan. Berjalan dengan sepatu pantopel pun salah satu yang membuat aku tak bisa berjalan cepat. Sepatu yang kupakai ukurannya sedikit lebih sempit dari ukuran kakiku. Aku yakin, pulang pembukaan MPA ini pasti kakiku lecet.

Masih berjalan sembari berusaha untuk tak ketinggalan Ardy sebuah sms masuk ke handphone-ku,

Hari ini, 21 Agustus 2010
adalah saksi bahwa kau telah memasuki
dunia baru
selamat datang kau, saudaraku
di kampus u-en-je...


Semangat!!!

Sender:
M. Agphin Ramadhan

Hem, sms itu kuacuhkan. Artinya di saat seperti ini aku tak benar-benar membaca dan akhirnya tak membalasnya untuk sekedar mengucapkan terima kasih.

Tiba di kampus B, kami semua dikumpulkan di sebuah tempat. Kayaknya tempat ini menjadi tempat parkir kalau hari-hari biasa. Sebelum bertemu dengan kelompokku, aku berpikir bahwa kami adalah pasukan merah jambu. Kami dari Fakultas Bahasa dan Seni memang diharuskan memakai atribut berupa slayer berwarna merah jambu. Ah, males deh kalau harus ngomongin atribut. Pasti nanti isinya cuma keluhan.

Setelah dirasa kami siap untuk melawan pasukan-pasukan dari fakultas lain kami digiring untuk masuk ke stadion. Tahukah kalian bahwa dalam pembukaan MPA ini kami dari semua fakultas harus punya yel-yel. Yel-yel yang nantinya diadu pas ada rektor u-n-je. Wah, demi seseorang yang sebenarnya (mungkin) nggak peduli dengan apapun yang kami ucapkan kami harus berteriak-teriak menghabiskan suara kami. Yang kusyukuri ternyata langit pun waktu itu ikut bersedih dengan keadaan itu. Mendung memayungi kami semua para peserta pembukaan MPA.

Akhirnya, beberapa jam kurasakan perutku mengalami sebuah kontraksi. Ya, inilah penyakitku kalau belum diisi nasi. Ini adalah salah satu akibat pagi-pagi harus berangkat belum sarapan dan harus berangkat bareng orang yang jalannya cepat takut terlambat acara MPA. Kurasakan perutku semakin tak bisa diajak kompromi. Aku memegang perutku merasakan perutku semakin sakit. Aduh, nggak boleh pingsan nih, malu-maluin.

Ah, disaat seperti ini aja masih malu. Emang mau dapat apa kalau kau mempertahankan diri dan merasakan kesakitan itu sendiri.

Ya, malu-maluin. Laki-laki masak pingsan? Mana cuacanya mendung gini. Kalau panas mah mash wajar?

Dua sisi hatiku bertarung. Kupegangi perutku erat dan...

Kenapa ya denganku akhirnya. Apa yang terjadi denganku setelahnya. Tunggu kelanjutan ceritanya di seri selanjutnya.