Technology

Pages

Jumat, Oktober 31, 2014

Kayla

My First English Short Story

KAYLA
Oleh: Iqbal El Kharis

I sat on the bus stop, waiting for my close friend, Ardy, and rereading my grammar notes. It was a hot day and and I felt really tired after joining a very confusing lesson, grammar class. Hm, I have to force myself if I want to be a good in grammar. I knew I was so stupid in grammar.

My phone rang. One message received from Ardy.
Sorry, I’m not sure
I can finish my job soon
Just leave me, Raka..
Sorry…

I sighed after I had read Ardy’s message. I looked at my phone to know what time it was. 03.50 pm. Oh, shit! I had been waiting him for twenty minutes and he cancelled our plan to go to Gramedia to look for a book. Yeah, I knew he was a leader of Student Executive Board of English Department. It meant we hadn’t much time to go and do everything together again.

I replied Ardy’s message to say “thank you for making me wait”. Suddenly,
“Raka,” I heard someone called me. I was staring at everyone around me to find someone who had called my name. I was surprised even I was almost shocked. I found her face with a very beautiful smile. I found someone I love, Kayla. But, please don’t think that Kayla is my girlfriend. She was only one of my friends in my campus even though we were in the different class. I was only her secret admirer. I loved her very much beyond that I was afraid of telling her the truth. I was afraid of showing her my feeling. I was nervous when we were talking to each other. So, she didn’t know that I really loved her. I adored her, too.

“Hei, are you daydreaming? I am still talking to you,” she surprised me and made my daydream ended. I glanced at her. She kept on her smile although I didn’t listen what she said.

“Sorry.”

“It’s OK. No problem. That’s not important but don’t replay it.” She threatened and received my apology.

“Ehm… Oh yeah, where have you been? Usually, you back home earlier everyday. Moreover, this is Wednesday. You just have two subjects today, right?”

“I have a secret business,” she whispered.

“Secret business?” I frowned, confused.

“Ha…ha… Just kidding,” she mended the reason, “I must finish my speaking assignment with Rara. Ms. Nina asked us to present it in front of my class tomorrow.”

“Oh, I think…”

“What?” She cut my words.

“Ehm… No, no, no. Forget it!” I answered and pretended taking something in my bag.

“Okey. But, wait a minutes. You make me curious. You know my schedule. You know that I always go home earlier and also you know that today I only have two lessons. What does it mean, hah?”

Oh my God. I had made a mistake. How could I say that? Now, how can I answer Kayla’s question? It’s impossible if I say, “Of course I know it at all. Of course I know your schedule. I have known you so well because I love you. I have known those because I’m your secret admirer.” No, I couldn’t say that.

“Raka. Are you with me, hah? Don’t say that you’re daydreaming again and didn’t hear my question,” I looked a little forced smile on her face. I felt guilty.

“Oh, ehm, it was…”

“It was what?”

“I know your schedule because Ardy is in the same class with you, right? Ardy is my close friend so that I know his schedule like I know yours.”

“Not. That’s not the answer, Raka. Your eyes say that you were lying.” She cried then and I just silenced. I wanted to wipe off her tears but I didn’t do that. I couldn’t do that exactly.

“You’re a liar, Raka. I know your feeling and I know you love me from the first time we met. You love me like I love you at our first sight, Ka. I love you, too.” She said then she ran. She Left me alone here, watching her leaving without doing nothing.

“I’m sorry. I love you, Kayla. I love you so much but I can’t say it. I’m sorry. Maybe, toworrow I will do it. If I can.”

Terjajah Bahasa; Mimpi, Potensi dan Realita Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional

Pernah mendengar kata gergasi? Pasti akan banyak dari kita yang mengatakan tidak dan menggelengkan kepala. Bagaimana kalau kata monster? Semua orang akan dengan segera mengatakan pernah karena mengakrabi kata ini di ruang dengar dan lisannya. Padahal, kata gergasi dan monster memiliki arti yang sama, yaitu makhluk raksasa. Terus apa yang membedakan keduanya? Yang pertama adalah bahasa asli negeri bernama Indonesia sedangkan yang kedua adalah bahasa serapan dari bahasa Inggris.
Sekarang jika kita ditanya, mana yang lebih sering kita gunakan antara binatu dan laundry? Mangkus dan sangkil atau efektif dan efisien? Gelar wicara atau talkshow? Sebagian besar dari kita akan memilih kata kedua di masing-masing pilihan. Ini merupakan pengalaman “buruk” akibat kelambanan kita dalam memasyarakatkan penggunaan padanan kata terhadap istilah-istilah asing. Para penutur, termasuk kita yang seorang akademisi, justru terasa lebih akrab dengan istilah asing itu sendiri ketimbang padanannya.
Ada banyak contoh lain dimana kita justru melupakan bahasa kita sendiri. Kita lebih mengenal kata relatif, konsisten, relevan, ketimbang nisbi, panggah, atau penad. Begitulah, meski katanya Negara ini sudah merdeka tapi kenyataannya kita masih terjajah bahasa. Fenomena itu bahkan sempat menjadi pokok berita saat seorang bernama Vicky menggunakan bahasa ‘isasi-nya’ yang kemudian secara sadar kita menertawakan lalu latah mengikuti bahasa yang kita tertawakan tersebut.
Indonesia, yang berada di posisi keempat sebagai Negara dengan jumlah penduduk terbanyak setelah RRC, India, dan Amerika Serikat, memiliki modal kuat menjadi negara besar yang diperhitungkan dalam kancah global, termasuk menjadikan Bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa internasional. Penduduk Indonesia yang tinggal dan tersebar di pelbagai Negara bisa menjadi penutur untuk meperkenalkan Bahasa Indonesia dalam diskusi kebudayaan negeri ini di luar negeri. Jika ini dimaksimalkan maka bukan tidak mungkin, seperti banyak kalangan menilai, bahwa sudah saatnya bahasa Indonesia benar-benar didorong dan diberikan ruang seluas-luasnya untuk menjadi bahasa internasional.
Wacana untuk mewujudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional semakin menguat setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam pasal 44 disebutkan bahwa: (1) pemerintah meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan; (2) peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan; (3) ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.1
Jika kita belajar sejarah, posisi BI makin menguat setelah Indonesia diproklamirkan Soekarno-Hatta sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945, BI diakui keberadaannya sebagai bahasa resmi (bahasa negara). Ini artinya, BI tak hanya sebatas digunakan sebagai bahasa pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga difungsikan sebagai bahasa resmi kenegaraan (lisan maupun tulisan) dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan. 
Yang jadi pertanyaan sekarang, bisakah dikatakan BI menjadi lambang kebanggaan nasional kalau kenyataan yang terjadi justru makin banyak kalangan di negeri ini yang lebih bangga menggunakan setumpuk istilah asing dalam tuturannya, baik dalam ragam lisan maupun tulis? Bisakah BI menjadi bahasa internasional jika pemilik bahasanya sendiri malu untuk menggunakannya? Atau bisa jugakah dikatakan BI menjadi lambang identitas nasional kalau makin banyak kalangan yang abai untuk menggunakan BI secara baik dan benar sebagai bagian dari jati diri bangsa?
Pada tataran dunia kampus misalnya, lembaga-lembaga pemerintahan mahasiswa (baca: BEM) sebagai titik sentral yang menjadi acuan mahasiswa pun tidak lepas dari “virus” ini. Di berbagai publikasi yang dibuat lembaga-lembaga ini, para pemangkunya lebih memilih menggunakan kata “BEMJ/F Proudly Present” ketimbang “BEMF/J Dengan Bangga Mempersembahkan”. Parahnya, “kesombongan” menggunakan frase “Proudly Present” tidak diimbangi dengan pengetahuan kapan harusnya menggunakan frase “Proudly Present” atau “Proudly Presents”. Ternyata, masih jauh panggang dari api, jika kita punya mimpi BI menjadi bahasa internasional. Karena kita masih belum merdeka dalam berbahasa, terjajah oleh bahasa asing. #BanggaBerbahasaIndonesia.

Gegara Teh Obeng dan Teh O

Dimuat di Majalah Nuraniku
Iqbal El Kharis

Satu – persatu pelanggan mulai berdatangan. Tapi, tumben. Hari ini tidak seramai biasanya. Hanya beberapa orang saja terlihat di sudut – sudut tempat makan ini. Ibu berjilbab panjang yang selalu datang bersama Annisa tidak terlihat. Padahal, biasanya dia adalah pelanggan paling pertama yang datang dan membeli dua paket nasi uduk untuk Annisa, gadis kecil berumur empat setengah tahun yang selalu jadi hiburan kalau ia datang.

“Om Andli, Nisa pesen nasi uduknya ya. Pake ayam aja. Nisa takut ama lele,” begitu celotehnya yang selalu salah mengucap namaku. Celotehan yang berujung sebuah cubitan manja di pipi tembemnya.

“Ih, Om Andli kok genit ama Nisa.”

“Emang nggak boleh ya?”

“Nggak boleh. Kan Nisa masih kecil. Om Andli ama tante Lina aja tuh.” Kulirik dengan ekor mataku. Orang yang dibicarakan Nisa tidak bergeming. Seperti tidak mendengar.

“Hush, kok Nisa ngomongnya gitu? Umi nggak pernah ngajarin kan?”

“O iya. Maaf deh, Om. Jangan malah ya. Tapi, om pasti seneng kan?” Selalu begitu. Nisa selalu saja “menjodohkanku” dengan Lina, teman kerjaku sendiri. Tapi, kenapa justru Nisa yang tahu perasaanku ya?

“Hoy, Ndri. Jangan ngelamun. Hari pertama puasa udah mikirin mudik aja.”

Ah, iya. Hari ini kan puasa. Kok bisa lupa gini ya? Untung nggak kelepasan makan siang. Ah, gara-gara Lina nih pikiranku jadi nggak fokus. Aduh salah, maksudnya gara-gara si Nisa. Pantesan. Hari ini si Annisa nggak dateng. Kan puasa. Ah, masak anak seumuran dia udah puasa?

“Ndri, ngelamun lagi. Udah. Bantuin gua aja. Nih lapnya. Meja 11 baru ada pelanggan dan joroknya minta ampun. Nanti bos dateng dan ngeliat bisa berabe kita,” Hasan melemparkan kain lap kering dan acuh meninggalkanku yang melotot ke arahnya. “Sialan lu. Ganggu aja nih.”

Dengan gontai, aku mendekati meja yang ditunjuk Hasan. Panasnya matahari siang hari ini membuatku malas bekerja. Selain karena Nisa yang tak datang cuaca hari ini memang membuat banyak orang memilih untuk tinggal di rumah saja. Apalagi hari ini puasa. Tidur adalah ibadah akan banyak terlontar dari mulut orang-orang yang malas dan mengingkari bahwa panasnya matahari adalah salah satu nikmatNya.

Rumah makan tempatku bekerja memang tidak seperti rumah makan yang umumnya ada di Batam. Rumah makan ini adalah sebuah usaha franchise dari Jakarta. Majikanku, berumur kurang lebih dua limaan, seorang keturunan Tiongkok yang amat detail dengan usaha yang dimilikinya. Dia merancang bangunan semi beranda sebagai ruang utamanya. Berharap rumah makannya ini tidak harus mengeluarkan biaya listrik untuk pendingin ruangan. Namun, harapan tinggal harapan. Rumah makan ini justru mengalirkan udara panas di siang hari karena sebelah kanan rumah makan ini letaknya dekat dengan jalan raya.

“Eh, Ndri, ngelamun mulu sih. Tuh liat. Ada bos David. Dipecat mampus kau.” Togar mencolek pinggangku sambil membawa pesanan ke meja di samping Andri.

“Waduh, bisa berabe tuh. Hasan yang ngelayanin lagi.” Jawabku membalas ucapan Togar. Aku mengelap meja di depanku cepat. Tak peduli beberapa sudut masih terlihat kotor. Kejadiannya akan jadi runyam kalau majikanku datang dan yang melayani pesanan si Hasan.

Hasan adalah rekan kerjaku yang misterius. Tidak ada yang tahu banyak tentang kehidupannya. Bahkan menikah saja aku tidak tahu. Meski aku termasuk orang yang paling dekat dengannya karena aku sudah lama mengenalnya. Aku hanya tahu bahwa ayahnya orang asli Vietnam. Salah satu dari ribuan Manusia Perahu yang merupakan pengungsi dari Vietnam dan terdampar di Pulau Galang.

Di masa perang saudara di Vietnam tahun 1979, ratusan ribu penduduk Vietnam Selatan mengungsi dari negaranya demi alasan kemanan. Mereka mengungsi dengan menggunakan perahu-perahu kayu sederhana yang kondisinya memprihatinkan karena dalam satu perahu bisa ditempati 40-100 orang. Berbulan-bulan para ‘Manusia Perahu’ ini terombang-ambing mengarungi perairan Laut Cina Selatan sejauh ribuan kilometer tanpa tujuan yang jelas dengan harapan mendapat perlindungan dari negara lain. Sebagian dari mereka ada yang meninggal di tengah lautan dan sebagian lagi berhasil mencapai daratan, termasuk wilayah Indonesia.
Hingga tahun 1995, akhirnya mereka mendapat suaka di negara-negara maju yang mau menerima mereka ataupun dipulangkan ke Vietnam. Termasuk ayah Hasan yang sampai saat ini tidak dia ketahui keberadaanya. Ibu Hasan dulu menolak ikut karena kakek Hasan menolak untuk pindah ke Vietnam.

Begitulah. Hanya secuil kehidupan Hasan yang bisa jadi konsumsi teman-temannya. Dan secuil ini yang bisa membuat Hasan meledak jika disinggung.

Aku mendekati meja dimana Pak David duduk. Baru berjalan beberapa langkah Hasan memberi kode untuk menjauh. Aku ragu. Namun, akhirnya manut kode dari Hasan.

Seperti biasa, Pak David datang bersama enam orang seumurannya yang juga masih kerabat dekat. Pegawai rumah makan ini tidak ada yang suka saat Pak David datang. Terutama Hasan. Selalu saja ada komentar pedas dari mulutnya. Beberapa orang tidak suka caranya memberi masukan. Tidak punya sikap. Padahal, banyak dari kami yang lebih tua darinya. Dan Hasan lagi – lagi menjadi air dan minyak dalam urusan ini. Mudah-mudahan kali ini mereka berdua tidak ribut.

Aku memilih untuk pergi ke bagian bartender. Ada Uni Kesih. Sudah jadi tabiatnya, Uni Kesih tidak pernah lepas dari kotak make up kecil berwarna biru di tangannya. Beberapa menit berlalu, Hasan mendekati kami.

“Uni, teh obengnya tiga, juz mangga 1, es jeruk satu, teh O-nya satu.” Hasan menyerahkan kertas berwarna kuning ke tangan Uni Kesih.

“Andri, tolong bantu bawain makanannya. Minumannya biar saya yang bawain,” Hasan duduk dan mengelap keringat dengan punggung tangannya. Aku mendekati togar yang sedang menggoreng ayam pesenan rombongan Pak David.

Kulirik jam yang tergantung di dinding. 11.30. Baru berjalan setengah hari. Berat rasanya harus berpuasa sambil bekerja di rumah makan. Tapi, apa boleh buat. Rejeki yang harus kejemput untuk sementara memang harus di sini.

“Heh, lu gimana sih. Gua kan pesen teh obeng. Kok ini dikasih teh O.” terdengar suara Pak David dari arah beranda. Aku medongakkan kepala karena tertutup etalase makanan. Pak David yang duduk di meja dekat Lina berdiri sambil menunjuk-nunjuk Hasan.

Kulihat Hasan hanya tersenyum. Beberapa rekan kerjaku diam di tempat. Mereka takkan mau berurusan jika menyangkut Pak David.

“Pak, maaf. Tadi bapak kan bilang bapak pesen teh O aja. Katanya bapak lagi meriang kan?” Hasan menanggapi kemarahan Pak David dengan tenang. Aku hendak mendekat namun Hasan dengan ekor matanya memberi tanda untuk mundur.

Aku kembali mendekati si Togar.

“What? Me? Sakit? Lu nggak liat gua sesehat apa? Mau ngerasain gua bisa mukul lu, hah?” Pak David menepuk pipi Hasan beberapa kali. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku akan tahu akhir dari pertengkaran ini.

“Bapak yang tadi bilang sendiri kan?” Hasan menjawab masih dengan suara dibuat sesabar mungkin. Dari jauh Lina memintaku berbuat sesuatu. Tapi aku masih terpaku di tempatku. “Hasan tidak mau aku ikut campur,” kataku.

“Heh, Cik Hasan. Kenapa sih lu selalu cari gara-gara ama gua? Punya dendam apa lu?”

“Pak, maaf. Saya nggak pernah cari gara-gara sama bapak. Tapi…”

“Tapi, apa?” Pak David menatap Hasan tajam. “Tapi, apa? Jawab!”

“Pak, teh O-nya biar saya ganti saja. Tunggu.”

“Heh, lu kabur gitu aja. Bukan masalah tehnya. Tapi masalah sikap lu jadi pegawai nggak ada sopan-sopannya.” Hasan mengangkat kepalanya. Tatapan mereka berdua sama-sama tajam. Aku akhirnya tak peduli dengan permintaan Hasan. Aku mendekat ke arah mereka.

“Lu jangan ikut campur. Kalian juga!” bentak Pak David padaku dan beberapa temannya.

“Heh, denger ya. Gua di sini bosnya. Harusnya lu nggak usah macem-macem.

“Saya minta maaf, PAK. Belum cukupkah?” Hasan geram.

“Enak aja minta maaf doang. Pantes bapak lu pergi gitu aja.”

“CUKUP, PAK!” Hasan semakin nggak bisa mengontrol emosinya. Dia mendorong tubuh Pak David hingga terjungkal. Aku akhirnya mendekat dan mendekap tubuh Hasan. Teman-teman Pak David terlihat kesal dengan kejadian barusan.

“Bapak bisa menghina saya. Tapi, jangan pernah bawa-bawa ayah saya.”

“Emang gua salah ngomong?” Pak David berdiri dan menyeringai ke arah Hasan. Tubuhnya ditahan oleh teman-temannya agar tidak membalas Hasan.

“Pak, cukup. Bapak minta teh obeng atau teh O sekarang?”

“Lupakan teh obeng dan teh O. Lu lupa. Gua yang bayar lu. Lu udah permaluin gua di depan semua. Jangan harap gaji lu bisa keluar.”

“Oke, Pak. Saya keluar mulai detik ini.”

“Nggak semudah itu. Kalo lu keluar sekarang lu harus bayar ganti rugi ke gua.”

“Apa-apaan nih. Enak aja. Bapak yang punya dendam kan sama saya? Bapak yang mau terus-terusan menghina saya. Orang kaya sombong kayak bapak akan dapat balasannya, Pak. Tuhan nggak pernah tidur,”

“Kurang ajar. Sekarang ngajarin gua tentang agama lagi. Siapa lu, hah.” Semua orang tak bisa berbuat apa-apa. Semua terpaku seperti menyaksikan adegan sinetron di televisi. Pak David masih berusaha melepaskan tubuhnya. Berusaha mendekati Hasan. Aku berusaha menenangkan Hasan. Sia – sia. Emosinya sudah memuncak.

“Dasar anak pelarian.” Aku lengah. Peganganku melemah. Hasan bisa melepaskan diri. Ah, bukan. Kalimat terakhir Pak David-lah yang menambah tenaganya.

“BUGGG!” Pak David kembali terjungkal. Semua berjalan cepat. Pak David berdiri. Tangan kanannya cekatan mengambil pisau di atas meja dan di depan mataku sendiri Hasan tersungkur. Beberapa tusukan tepat masuk ke perutnya. Semua orang malah terdiam. Tidak menyangka akhirnya akan begini.

“Abiiiiiiii…” tiba-tiba, aku mendengar teriakan gadis kecil yang kutunggu sejak pagi. Scene yang terjadi berikutnya membuat semua yang ada di beranda menyesal. Annisa, gadis pintar itu harus melihat ayahnya mati di depan matanya.

Dan semua orang masih terdiam.


Senin, Oktober 20, 2014

Tak Ada yang Kebetulan

Peraih Penghargaan Inspiring Student Bidik Misi Award 2014

5 Mei 2010, 19.30. Bandara Soekarno Hatta


Semburat langit senja Jakarta menyapaku. Dan seakan ada bongkahan emas di hadapanku, kaki ini berjalan mantap menantang bumi. Aku yang tak tahu bagaimana masa depanku kelak memilih tetap bersemangat. Toh, mendramatisasi keadaan memang sebenarnya tidak perlu. Hanya karena kita tak tahu apa yang akan terjadi—bahkan sedetik dari waktu sekarang—saja hingga terkadang kita terlalu berlebihan menilai sesuatu kejadian.

Kini. Aku telah pulang. Dari proses panjang yang melelahkan namun menguatkan.

Pada suatu masa
Aku melihat kembali deretan nama-nama di kertas yang tertempel di mading sekolah favorit ini. Sudah beberapa kali mata ini mengeja satu-persatu nama-nama itu tapi nama Muhammad Iqbal memang tidak tertera di sana. Sedih? Pasti. Aku sebagai siswa dengan nilai ujian tertinggi di es-em-pe-nya dulu tidak diterima di sekolah favorit di kotanya. Butuh waktu lama untuk menyadari bahwa sekolah SMAku saat itu belum jelas di mana. Hingga akhirnya seminggu kemudian keputusan untuk masa depan itu diketuk palu, “Mending kamu kursus Bahasa Inggris saja dulu daripada sekolah di SMA swasta,” kata Mas Mufid sambil menyebut sebuah nama sekolah yang tak mungkin kusebut di sini. Orang tuaku mengangguk yakin. Lebih tepatnya memaksa untuk yakin dengan keputusan itu.
“Oke,” kataku waktu itu menghibur diri. Dan tahukah kamu mengapa akhirnya kuiyakan juga saran Mas Mufid itu. Alasan pastinya sebenarnya satu. Orang tua akan sangat keberatan dengan menyekolahkan dua orang anaknya bersamaan. Kakak yang waktu itu juga belum ketahuan sekolah dimana harus didahulukan.
Setahun mengambil kursus Bahasa Inggris membuat waktu berjalan sangat cepat. Waktu penerimaan siswa baru sudah kembali digelar. Nama SMA Negeri 1 Pringsewu tetap menjadi pilihan pertama disusul nama SMA Negeri 3 dan MAN 1 Bandar Lampung yang—kembali—atas usulan Mas Mufid, sekolah yang kusebut terakhir akhirnya masuk daftar sekolah yang ingin kumasuki. Waktu ternyata berkata lain, pengumuman di MAN 1 lebih dahulu diterbitkan. Hingga akhirnya tanpa pikir panjang, keluarga sepakat memilih MAN 1 sebagai tempatku menimba ilmu karena takut anak yang sudah keburu dibanggakan tidak diterima di SMA 1 atau bahkan SMA 3 Pringsewu.
Satu bulan aku merasa tidak betah sekolah di MAN. Kupikir itu karena akhirnya aku tahu bahwa aku diterima di SMA 1. Tiga bulan kebosanan menghantui hari-hariku. Hingga genap dihitungan angka enam, aku memutuskan untuk pindah. Awalnya. Namun, usaha yang dilakukan Mas Mufid untuk memasukkanku di SMA Negeri 1 Pringsewu gagal. Dan lagi. Enam bulan sisanya aku tidak sekolah. Namun, di kesempatan ketigaku, akhirnya dengan serius kujalani semua proses yang memang harus kujalani. Aku kembali mendaftar di SMA 1 dan SMA 3 sampai waktu pengumuman tes tiba akhirnya sejarah mencatat bahwa SMA Negeri 1 Pringsewu adalah tempat dimana aku menghabiskan tiga tahun masa SMAku.
Hidup memang terlalu sederhana diceritakan jika ia berjalan melewati jalan yang tanpa hambatan. Dan sekarang baru kusadar bahwa Allah begitu menyayangiku dengan pembelajaran kegagalan yang kembali terulang saat aku ingin meraih gelar sebagai mahasiswa.
Setelah lulus SMA, aku ikut bergabung dengan ribuan orang yang berebut satu kursi di universitas lewat jalur SNMPTN. Di tahun itu, aku mendaftar cukup di Unila, Universitas Lampung. Orang tuaku tak mau kalau anaknya terlantar jika aku mendaftar di universitas (provinsi) lain. Hasilnya. Aku gagal. Sebagai gantinya aku belajar Bahasa Inggris di Kampung Inggris, Pare, selama sembilan bulan. Waktu yang tidak sebentar di Pare itu kujalani dengan sedikit terlunta – lunta. Awalnya, informasi dari teman kakakku mengatakan bahwa uang 300 ribu rupiah sudah bisa menghidupiku di sana. Tapi, kenyataan berkata lain. Aku harus kerja menjaga sebuah konter pulsa untuk menambah uang hidup dan uang tinggal.
Tahun berikutnya, aku punya keinginan besar. Aku mau kuliah di luar Lampung karena ingin suatu saat bisa kembali ke Kampung Inggris biar nggak kejauhan kalau kuliahku di pulau Jawa. Orang tua tidak setuju. Dan Unila, lagi-lagi, jadi pilihan mentahku.
Dan aku kembali gagal. Namun, kegagalan itu membuat titik tolak masa depanku. Kalau gara-gara alasan takut anaknya terlantar mereka melarangku kuliah di luar Lampung, berarti aku harus nyari duit buat kuliahku tahun depan. Dan setelah sedikit berdebat dengan ibu, akhirnya Allah menakdirkanku terbang ke Batam. Salah satu tempat yang kusyukuri bahwa aku pernah menginjakkan kakiku di sana.
Bekerja di sebuah warung makan yang merupakan sebuah usaha franchise dari Jakarta membuatku sedikit banyak belajar. Di sana aku bertemu dengan orang yang sangat luar biasa. Namanya Untung. Aku memanggilnya Mas Untung. Di usianya yang menginjak kepala tiga dan tercatat masih membujang, kegalauan mengisi hari-harinya. Dan tak tahu mengapa Mas Untung memilihku untuk tempat curhat. Hingga akhirnya, aku mengusulkan untuk ikut Mentoring (liqo). Dan dia mengiyakan.
Merasa kurang dengan kuantitas pertemuan Liqo’, Mas Untung memintaku untuk mengajarinya baca al-quran setelah pulang kerja. Padahal, jadwal kita membuka warung makan itu sampai jam sebelas malam.
Saat itu, akhirnya saya tersadar bahwa segala sesuatu yang sudah terjadi dan menimpa saya memang bukanlah suatu kebetulan. Kegagalan-kegagalan yang akhirnya mengantarkan saya di kota Batam ternyata menjadi sebab Mas Untung yang ingin belajar agama. Atau pembelajaran yang sudah tak terhitung lagi buat saya. Meski sebenarnya saya-lah yang belajar banyak hikmah dari beliau. Sampai-sampai ketika saat ini beliau sudah bekerja di Korea, pernyataan-pernyataan beliau lewat media sosial masih tentang hal yang sama, “Ora eneng sing ngajari aku mening lah”. (Nggak ada lagi yang ngajarin saya lagi nih). Lalu, saya menanyakan kepada diri saya sendiri, “Kenapa saya nggak bias se-semangat Mas Untung?”
Begitulah, Allah sudah dengan gamblang menjelaskan dalam ayatNya: “Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bias jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216) Lalu, masihkah kita ragu?
Di tanggal 5 Mei aku terbang meninggalkan Batam menuju Jakarta karena masa penerimaan mahasiswa baru sebentar lagi dibuka.

8 Juni 2010, 18.00 di Kosan Pak Dharma
Aku deg-degan menuliskan nomor ujianku pada kolom yang tersedia. Aku menyuruh Wira yang menuliskan nomor itu akhirnya dan tiba-tiba dia menjerit ketika namaku dinyatakan diterima di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Aku yang belum melihatnya tak percaya dan ternyata aku memang benar-benar diterima di universitas tersebut. Allahuakbar! Rencana Allah memang indah. Inilah kesuksesan yang tertunda itu. Lagi-lagi.

16-17 Juni 2010, SMA Perguruan Cikini
Awalnya, karena sudah mendapatkan kursi di UIN Syarif Hidayatullah aku tak mau untuk ikut SNMPTN. Tapi, karena di UIN ada jadwal test TOEFL dan TOAFL (bahasa arab) yang berdekatan dengan jadwal SNMPTN akhirnya aku ikut tes SNMPTN.

16 Juli 2010, 17.00
Aku memasukkan angka ujianku ke dalam sebuah kotak. Klik. Dan tertulis di sana bahwa nama Muhammad Iqbal diterima di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UNJ. Aku sujud syukur. Ibu yang sedang mengajari anak – anak tetangga sebelah mengaji terheran. Kemudian kukatakan pada beliau, “Ibu, Iqbal diterima di UNJ juga.”
“Alhamdulillah. Tapi, Bal, kan uang gajimu udah abis buat daftar ulang di UIN. Ibu nggak bisa bantu kalau harus ngeluarin uang jutaan untuk daftar ulang di UNJ.” kata Ibu. Aku tersadar. Benar juga apa yang disampaikan Ibu. Uang simpanan kerja di Batam kan sudah dibayarkan untuk daftar ulang di UIN. Mau bayar pakai duit darimana? Ah, sudahlah. UIN akan jadi kampusku. Aku nggak mau membebani orang tuaku. Meski aku pasrah, aku tetap membagi berita bahagia itu ke Wira. Teman SMA yang kuliah di UNJ, yang kosannya kutumpangi selama proses penerimaan mahasiswa baru.“Sekarang kamu lebih sreg mana? UNJ apa UIN?” Tanya Wira di tengah – tengah pembicaraan. “Sebenarnya UNJ. Banyak temennya kan? Ada ente, Okky, Yusuf, ama Cahyo.”
“Yowes, besok kamu langsung berangkat ke sini aja. Masalah uang nggak usah dipikirin.”
“Gimana nggak dipikirin. Udah nggak pegang duit lagi nih. Tabungan udah habis. Paling tinggal beberapa juta buat uang hidup di UIN, kalo jadi kuliah di sana.”
“Udah. Ke sini dulu aja. Nanti dibantuin buat minjem uang dari kampus.”

19 Juli 2010
Meski ragu – ragu aku tetap menuruti saran Wira. Sesampainya di Jakarta, hari berikutnya aku diantar Agphin, kawan dari Lampung. Mengurusi berkas – berkas dan segala macamnya. Setelah selesai aku diantar ke sebuah stand pengaduan. Di stand tersebut aku ditanya oleh seorang lelaki berkaca mata yang kemudian kukenal namanya adalah Tony. Ternyata dia adalah seniorku di Bahasa Inggris. Setelah ditanya macam – macam aku dimintanya untuk mengusahakan terlebih dahulu uang buat bayaran.
Seminggu berlalu namun aku dan keluarga tetap belum mendapatkan uang sebesar Rp 3.530.000. Aku kewalahan. Aku kembali disuruh datang ke secretariat BEM FBS. Masih ditanya-tanya ulang. Disuruh balik hari berikutnya. Hingga akhirnya di akhir masa bayaran akan usai aku harus mengumpulkan ijazah SMA ku sebagai jaminan.
Saat itu aku benar – benar merasa berterima kasih kepada Tony. Karena pada akhirnya aku mendapatkan dana Nadi. Nominalnya pun nggak kecil. Uang sebesar Rp 3.000.000 menjadi pinjaman untuk membayar uang masukku di UNJ. Lagi – lagi aku sujud syukur dan tak mempedulikan orang – orang yang menatapku. Ya Allah, terima kasih atas segala ujian yang Kau berikan kepadaku dan menguatkanku.
Setahun Kemudian
Setahun hidup di ibukota bukan hal yang mudah bagiku. Pernah jadi guru privat, translator, pernah juga kerja serabutan. Hingga suatu hari sebuah sms masuk. Dari Indah FIP. “Iqbal bisa temui saya di FIP. Ada perlu.
Aku bertanya. Ada perlu apa sehingga sepertinya sms dari Indah formal sekali. Langsung kusambangi Indah di FIP. Ngobrol basa – basi sejenak hingga keluar kalimat dari Indah. “Sabar kan ya? Kita akan ketemu dengan Kasubag kemahasiswaan FIP. Indah udah ngobrol dan mengusulkan nama Iqbal sebagai mahasiswa pengganti penerima Bidik Misi.”
Dengan wajah yang tidak dibuat – buat terkejut aku berkata gemetar. “Beneran, Ndah?”
“Iya. Insya Allah. Berdoa saja dimudahkan. Prosesnya agak ribet karena lintas fakultas. Dengan penjelasan bahwa Iqbal kuliah dengan bantuan dana Nadi dan sudah tidak mendapat uang dari ibu akhirnya pihak Kasubag mawa FIP yang sudah berkoordinasi dengan Kasubag mawa setuju. Nanti Iqbal akan ketemu dengan Kasubagmawa FIP. Tanpa Indah ya. Semoga dimudahkan.”
Ya Allah. Terima kasih atas segala cobaan dan ujian yang menguatkanku. Aku yang kemudian harus dua tahun berhenti setelah lulus SMP dan dua tahun setelah SMA bukan tanpa maksud. Meski selalu jadi orang paling “sepuh” di sekolah dan kampus. Akhirnya, kau tunjukkan anugerahmu. Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Yang ada hanya pembelajaran.