Technology

Pages

Rabu, September 29, 2010

Pengumuman Lomba Cerpen Krakatau Award 2010

Nah, setelah beberapa waktu terlambat dari jadwal sebenarnya akhirnya pengumuman Lomba Cerpen Ajang Krakatau Award 2010 dirilis juga. Nih, dia para pemenangnya (sedih juga belum beruntung):

  1. "Taman Pohon Ibu” karya Benny Arnas (Lubuk Linggau).
  2. “Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina” (Hanna Fransisca, Jakarta),
  3. “Perjumpaan Misterius di Lereng Pesagi” (M. Harya Ramdhoni J, Lampung) dan 
  4. “Cerita Lelaki di balik Pigura” (Alexander GB, Lampung).

6 cerpen nominasi non-ranking, yaitu:
  • “Sisa Abu Hari Ini” (M. Yudistira Kusuma, Jakarta),
  • “Kelapa Kupung” (M. Amin, Lampung), 
  • “Menunggu Musim Kupu-kupu” (Nur Hadi, Jateng),
  • “Puan Taman” (Alexander GB, Lampung) 
  • “Pewaris Tanah tak Bertuan” (Ni Luh Pik Parwati, Bali) dan
  • “Perawan Bukit Kulut” (M. Harya Ramdhoni, Lampung)
Selamat kepada para pemenang! Semoga tahun depan nama Saya ada menggantikan tempat salah satunya.

Senin, September 27, 2010

Tentang Pengumuman Krakatau Award 2010

Sudah lebih dari dua bulan Saya menunggu pengumuman Krakatau Award 2010 yang digelar tahun ini. Tapi, ternyata ketika minggu ketiga bulan September, yang dijanjikan panitia mengumumkan hasil lomba, harus menunggu lagi dan lagi.

Rasa tak sabar untuk mengetahui siapa yang masuk sepuluh besar Cerpen Terbaik benar-benar menderaku. Apakah Saya salah satunya (sungguh berharap seperti itu) atau bukan?

Namun, sampai hari ini (27/9) pengumuman itu belum juga keluar yang membuat Saya semakin tak sabar dan deg-degan. Kalau saja sudah diumumkan tepat seperti yang dijanjikan mungkin takkan membuang emosiku untuk memikirkannya terus-terusan. Ya, mau menang atau tidak kalau sudah jelas hasilnya tentu lebih baik daripada harus menunggu tanpa kepastian seperti ini.

Krakatau Award yang sudah 7 tahun digelar untuk keterlambatan seperti ini seharusnya tidak terjadi.

Tapi, sebagai peserta lomba Saya memang dituntut untuk lebih sabar.

Minggu, September 26, 2010

Kronologis Penyerbuan Densus 88 Biadab Habisi Jamaah Sedang Shalat

(Ar-rahmah.com)
Nama saya Kartini Panggabean, kelahiran 20 Februari 1980. Panggilan saya Cici, anak-anak memanggil saya Ummi. Saya adalah isteri dari Ustadz Ghozali, anak-anak memanggilnya Buya, saya memanggilnya Bang Jali. Saya tinggal bersama suami saya di di Jalan Bunga Tanjung Gang Sehat, saya bersama Bang Jali tinggal bersama empat anak kami. (Umar Shiddiq, Raudah Atika Husna dan Ahmad Yasin dan Fathurrahman).

Bang Jali lahir tahun 1963, tamat SD 1971. Kemudian bang Jali Masuk SMP Muhammadiyah di Sei. Sikambing Medan. Bang Jali tidak tamat SMP, berhenti karena protes terhadap sekolah SMP di Indonesia memakai celana pendek (tidak menutup aurat) Secara otodidak Bang Jali belajar menulis. Dia menjadi kolumnis tetap di beberapa surat kabar yang terbit di Medan. Kemudian Bang Jali ke Malaysia selama 10 tahun. Aktif menjadi wartawan di majalah Islam. Tahun 1996-2000 bang Jali pulang ke Indonesia menetap di Medan membuka kursus komputer, kemudian ke Malaysia lagi pada tahun 2000-2004 bekerja sebagai penulis buku di beberapa penerbitan. Sejak 2004-2010 menetap di Tanjungbalai sebagai penulis buku-buku agama yang produktif dan semua diterbitkan di Malaysia, lebih kurang 50 judul buku. Ada satu judul buku yang diterbitkan di di Indonesia Selain menulis, Bang Jali juga berprofesi sebagai pengobat tradisional (bekam). Bang Jali juga mengisi pengajian.

Sejak satu bulan terakhir (bulan Agustus 2010), Bang Jali tidak pergi ke mana-mana, atas permintaan saya selaku Ummi anak-anak, alasan saya karena saya sedang hamil tua, hari-hari menjelang persalinan sudah kian dekat. Saya meminta Bang Jali untuk menemani saya melahirkan. Begitu pun, seingat saya Bang Jali sekali ada pergi ke Medan awal Agustus ke Medan, itu pun karena menjenguk ibunya di salah satu rumah sakit di Medan. Saya melahirkan anak putera saya yang keempat pada tanggal 28 Agustus 2010 (usianya 3 minggu).

Sejak saya melahirkan bayi yang kami beri nama Fathurrrahman Ramadhan itu, Bang Jali juga tidak ada pergi ke mana-mana karena saya tidak ada teman di rumah.

Di saat waktu Maghrib, hari Minggu sekitar jam 18.45 WIB menjelang Senin malam, tanggal 19 September 2010. Saya, bayi saya, dua perempuan dewasa (istri Abu dan teman Deni), Buya, Dani, Deni, Alek, Abdullah dan 2 orang lagi anak tamu.(salah satu dari dua perempuan dewasa). Jadi, ada di dalam rumah tersebut 10 orang, terdiri dari 5 laki-laki dewasa, 3 perempuan dewasa, 3 anak-anak. Saat adzan Maghrib terdengar, Bang Jali bersiap-siap melaksanakan sholat Maghrib berjamaah. Bang Jali, Deni, Deden, Alek, Abu mengambil wudhu. Saya bilang kepada Bang Jali, Buya bajunya diganti saja, basah kena air wudhu. Saya berada di ruang tamu, menyusukan anak saya Fathur.

Bersama saya dua perempuan dewasa. di dekat pintu depan rumah, pintu rumah kami hanya di depan, rumah kami tidak ada pintu belakang. Saya memanggil ketiga anak untuk pulang ke rumah, karena sudah masuk waktu Maghrib. Bang Jali dan empat temannya mulai melaksanakan sholat Maghrib berjamaah dengan Bang Jali sebagai imamnya. Mereka sholat di ruang belakang dekat dapur.

Dani, usianya sekitar dua puluh lima tahun tahun adalah murid mengaji Bang Jali. Kerjanya sehari-hari menjahit gorden, dia tinggal di Tanjung Balai. Dani membawa dua orang temannya, Alek (30 tahun) dan Deni (20 tahun) ke rumah. Bang Jali sebelumnya tidak mengenal kedua orang itu. Sejak saat itu, Deni dan Alek menginap di rumah. Tapi Dani tidak menginap di rumah. sedangkan alek dan deni saya tidak mengenalnya. Mengenai Abu, atau Abdullah (35 tahun), saya tidak jelas orang mana berasalnya. Jadi Deni dan Alek sudah menginap 2 minggu di rumah kami, kedatangan mereka ke Tanjungbalai karena rencana mau cari kerja, saat itu mau hari hari raya. Bang Jali bilang ini sudah dekat hari raya, tidak mungkin ada kerjaan. Tunggulah habis hari raya. Jadi mereka di rumah kerjanya hanya makan tidur. Seingat saya selama ini tidak ada kegiatan yang mencurigakan.

Tiba-tiba sebuah mobil datang, terdengar suara dari luar ada orang berteriak, "keluar!" Saat itu ketiga anak saya masih bermain di rumah tetangga. Saya mau memanggil anak-anak untuk pulang, saya pun berjalan menuju pintu depan rumah. Saya menyuruh mereka masuk, tapi mereka tidak mau masuk, saya sempat melihat wajah mereka seperti ketakutan. Saya terkejut karena pas saya di depan pintu saya lihat sudah turun dari mobil 30 orang bersenjata. Anak-anak saya diam tak bersuara. Densus 88 langsung saja menerobos masuk ke dalam rumah dengan bersenjata. Mereka semuanya ada sekitar 30 orang membawa senjata. Mereka dari samping sebagian, masuk ke dalam rumah sebagian, sambil melepaskan tembakan.

Saya sambil menggendong bayi saya, dua perempuan dewasa serta anak-anaknya ditodongkan senjata sama Densus 88. Sepasang daun pintu rumah kami ditunjang (ditendang) sama Densus 88. Tidak ada baku tembak, tidak ada perlawanan dari dalam rumah, karena Bang Jali sedang sholat, sedang membaca surah al-Qur'an sehabis membaca surah al-Fatihah. Tiba-tiba tiga makmum (Alek, Deni dan Dani) keluar dari shaff (membatalkan sholat mereka) karena mendengar suara ribut tembakan dan segera mengetahui datangnya orang-orang bersenjata. Alek, Dani dan Deni lari menuju kamar mandi. Alek keluar dengan membobol seng (atap) kamar mandi. Orang-orang yang sudah masuk rumah menembaki mereka Deni dan Dani ditembaki secara membabi buta sewaktu mereka di depan kamar mandi.

Saya, dua perempuan dewasa yang bersama saya, bayi saya yang berumur 20 hari, dan anak tetangga yang balita itu menyaksikan kejadian itu. Jadi dua orang ditembak di kamar mandi, satu orang lagi lari. Bang Jali dan seorang makmumnya, Abu masih tetap melanjutkan sholat, walaupun orang-orang bersenjata itu sudah masuk ke dalam rumah, di ruang belakang dekat dapur. Bang Jali tetap melanjutkan membaca surah al-Qur'an. Tapi orang-orang bersenjata itu langsung menarik paksa Bang Jali, sholat Bang Jali dihentikan secara paksa. Buya ditunjangi (ditendang) saat sholat kemudian dipijak-pijak (diinjak-injak) hingga babak belur. Saya kasihan melihat Bang Jali karena saat itu dia sedang sakit batuk. Bang Jali diseret sama Densus, bang Jali tak henti-hentinya meneriakkan takbir, Allahu Akbar, Allahu akbar.

Saya masih dalam todongan senjata bersama dua perempuan dan tiga anak-anak. Kami langsung disuruh ke rumah tetangga sambil ditodong. Saya digiring ke rumah tetangga sambil ditodong senjata, di rumah tetangga. Anak-anak saya dari tadi memang berada di situ. Saya dan anak-anak saya bisa mengintip (melihat dari sela-sela atau lobang) kejadian yang terjadi di rumah kami dari rumah tetangga. Anak-anak saya berteriak-teriak tidak tak henti-hentinya. "Ummi, Ummi itu Buya, itu Buya." Anak-anak memberitahu saya mereka melihat Buya mereka dipijak-pijak (diinjak-injak). Mereka menembaki rumah kami dengan membabi buta, walaupun saya sangat yakin Bang Jali tidak ada senjata. Bang Jali hanya terus bertakbir, Allahu akbar, hanya itu yang bisa Bang Jali lakukan. Mereka menembaki saja walau tidak ada perlawanan. Dari luar mereka menembaki, di dalam juga menembaki, mereka dalam waktu satu jam itu menembak terus dengan membabi buta.

Tiba-tiba ada yang menggiring saya keluar, saya dibawa ke mobil Densus 88. Saya terus menengok (melihat) ke arah Bang Jali tapi sudah tidak terlihat. Saya tengok (lihat) suami kawan saya (Abu) dibawa ke mobil tak berapa lama. Densus membentak saya menanya saya di mana tas Bang Jali. Saya jawab (katakan), "Tengok saja sendiri." Mereka semua penakut, saya yang disuruh mengambil tas Bang Jali, mereka takut granat, padahal tidak apa-apa di tas Bang Jali.

Satu jam kemudian polisi (dari Polresta Tanjung Balai) datang ke sana, polisi pun rupanya tahu apa-apa mengenai kejadian itu. Densus pergi begitu saja. Saya tidak tahu informasi ke mana Bang Jali dibawa, apakah Bang Jali dibawa ke Medan atau ke mana. Dari pihak Polres malah menanyakan sama saya ke mana Bang Jali dibawa Densus. Saya dinaikkan ke mobil Patroli Polresta Tanjungbalai dibawa ke kantor Polresta Tanjungbalai. Saya tidak dikasih pulang ke rumah.

Esok hari, tanggal 20 September, saya masih tidak dikasih pulang. Sebagian besar anggota Polres Tanjung Balai memperlakukan saya dengan baik, mereka kasihan melihat saya karena menengok anak saya kecil (bayi), tapi ada juga polisi di sini yang jahat dan memperlakukan saya sewenang-wenang. Saya ingin tahu kabar suami saya. Saya lihat ada koran, saya ambil untuk saya baca. Polisi berpakaian preman itu merampas koran itu dari tangan saya. Hati saya sangat sakit, tapi saya diam saja. Kapolresta baik sama saya. Dia menanyakan saya, apakah mau pulang ke rumah mengambil baju? Saya sudah bilang sama penyidik cemana ini, Pak, kalau saya masuk tahanan jelas status saya, tapi di sini saya tidak jelas sebagai apa, saya tidak tahu apa-apa. Kata penyidik tunggu kabar dari Medan saja, baru saya kasi informasi di sini.

Saya sedih karena Bang Jali tak bisa dijumpai, karena dia sudah babak belur dipijak-pijak dua puluhan orang. Mereka main serbu saja, mereka itu begitu datang tak ada basa-basi lagi. Dinding rumah kami rusak. Polisi pun tidak boleh lewat-lewat di situ selama satu jam itu. Padahal kan semua pakai peraturan. Polresta Tanjungbalai membantu saya mempertemukan saya dengan keluarga saya agar anak-anak saya yang empat orang tidak tinggal di tahanan. Saya dipinjamkan telepon sama Polisi untuk menelepon adiknya agar saya bisa menitipkan anak-anak saya kepada keluarga kecuali yang bayi tetap bersama saya, karena dia masih saya susukan umurnya kan baru 3 Minggu.

Pada 20 September 2010 sekitar jam 9.00 WIB pagi saya pertama kali menghubungi keluarga. Saya mengasih tahu, saya sekarang di Polresta Tanjung Balai, tidak boleh keluar dari sini karena saya kata polisi dijadikan saksi. Adik saya ke ke Tanjung Balai hari Senin, 20 September itu juga, adik saya menjenguk saya. Kondisi saya sudah beberapa hari tetap tak jelas, tidak dikasih pulang, padahal saya sudah di BAP hari Minggu sampai sekarang tidak keluar-keluar. Tidak jelas, tidak boleh pulang, soalnya tidak ada yang mau datang menjenguk saya, adik saya pun hanya datang untuk mengambil si Umar, dibawa ke sana, kasihan bang Jali. Di sini saya bayi saya tidur dan hidup di sebuah ruangan yang menyerupai gudang kertas-kertas, hanya beralas tikar plastik, kasihan Fathur (bayi saya), baru 3 minggu usianya.

Narasumber: Kartini Panggabean (semoga Allah melindunginya), istri ustads Khairul Ghozali yang dituduh teroris oleh Densus 88.

Sumber: Tim Kuasa Hukum ustads Khairul Ghozali, keluarga, yakni adik ustads Khairul Ghozali (ustadz DR. Aidil AKhyar, SH, MH, LLm dan Ahmad Sofian, SH, MA, serta abang Ustadz Kharul Ghozali, DR. Ikhwan)

Gawat! Densus 88 Habisi Jamaah Sedang Shalat, Dua Tewas

Gawat! Densus 88 Habisi Jamaah Sedang Shalat, Dua Tewas

JPNN - Padang Today


Ilustrasi

Tindakan yang dilakukan Densus 88 terhadap Khairul Ghozali bersama 4 orang jemaahnya saat shalat maghrib di Jalan Besar Medan-Tanjung Balai Asahan, dinilai sebagai tindakan yang biadab tidak berperikemanusiaan.


Pernyataan tersebut ditegaskan Adil Akhyar Al Medani, didampingi putri kandung ustadz Ghozali, Rabbaniyah (17) kepada Sumut Pos (grup Padang-Today.Com) Jumat (24/9) di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan Jalan Hindu Medan.



"Biadab. Saat orang shalat dihabisi, seolah-olah negera ini bukan Negara hukum. Dalam penyerangan biadab itu, dua orang jemaah itu tewas di tempat akibat ditembaki Densus 88, sedangkan seorang lagi dapat melarikan diri. Sementara itu abang saya, ustadz Ghozali itu terus dianiaya diinjak-injak densus, namun abang saya itu tetap terus shalatnya," tegas pemilik Pondok Pesantren Dkwah Daarul Syifaa.



Atas penyerangan yang tidak berprikemanusiaan itu, sambung Akhyar, diharapkan agar presiden segera meninjau dan membubarkan Densus 88 karena telah melanggar dan bertindak diluar hukum.



"Saya minta agar presiden SBY agar memperhatikan konfrensi pers ini.Jangan presiden hanya mendengarkan laporan sepihak dari Kapolri BHD.Kami juga meminta pada komisi III DPR-RI, untuk segera mngusut tuntsa kasus ini, dan segera meninjau kembali densus 88, karena sudah tidak berprikemanusiaan," tegas Akhyar.



Akhyar sendiri sudah mengetahui keberadaan abang kandungnya tersebut, ustadz Ghozali yang saat ini info yang dia terima berada di Mebes Polri.Sementara itu langkah hukum yang akan ditempuh keluarga besar Ghozali yakni sudah melamporkan kasus ini ke Amnesty Internasional.



"Saat ini kami sudah memberikan keterangan pada Amnesty Internasional, laporan tersebut sudah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, nah untuk keponakan saya yang masih berumur beberapa bulan yang ditahan Polres Tanjung Balai, bersama ibunya Kartini Panggabean, kami juga sudah melaporkan ke Komisi Perli Anak Indonesia," beber pria berjubah putih ini.



Akhyar juga menceritakan selamatnya Kartini Panggabean istri dari ustadz Ghozali, karena Cici (Kartini Panggabean red) berada di ruangan lain. "Namun usai penyerangan tersebut tidak berapa lama datang Polres Tanjung Balai, ke kediaman abang saya seolah-olah tidak mengetahui penyerangan tersebut.Saat itulah Kartini Panggabean bersama anaknya yang masih berumur beberapa bulan diboyong ke Polres, dengan alasan polisi untuk diminta keterangannya," terangnya.



Sementara itu salah seorang putrid ustadz Ghozali, yakni Rabbaniyah, pelajar Kelas 2 SMA Kelas Muhammdiyah 18 Kampung Lalang yang turut mendampingi pamannya Adil Akhyar Al Medani, di LBH Medan Jalan Hindu Medan, berharap orangnya tuanya tersebut segera pulang kerumah untuk berkumpul bersama keluarganya.



"Saya berhaharap buya (ayah) pulang secepatnya untuk berkumpul bersama keluarga lagi.Saya yakin buya tidak bersalah untuk itu saya hanya hanya bisa menyerahkan dan berdoa pada Allah SWT," beber gadis manis berkerudung hijau ini. Walaupun, ayahnya dicap teroris oleh Densus 88, namun Rabbaniyah tetap percaya pada orang tuanya dan tetap bersemangat untuk bersekolah.



"Saya berharap kasus penganiayaan buya saya dilakukan Densus 88, saat menjalankan ibadah shalat maghrib, dapat menjadi perhatian serius dari bapak Presiden SBY, agar polisi-polisi itu segera ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku," tegas Rabbaniyah.(rud) 

Jumat, September 24, 2010

Biarkan Sayap Kecilku Mengepak (Episode 2)

Mengapa aku harus banyak-banyak menceritakan alasan mengapa aku membenci Bang Ikram? Hem, tak apalah kalau itu sedikit bisa meredam emosiku padanya. Meski semakin aku menceritakannya semakin dalam kebencian itu merasukiku. Ini dia alasan-alasan lainnya.

Setelah lulus SMP, kemiskinan ternyata membangun dinding yang menghalangiku melanjutkan sekolah ke SMA. Bang Ikram masih duduk di bangku kelas tiga sehingga tak mungkin menyekolahkan kami berdua di jenjang SMA bersamaan. Mulai saat itulah karir penyutradaraan Bang Ikram terhadap hidupku dimulai.

“Ngapunten yo. Awakmu dadi ora iso sekolah taun iki.” Diam-diam aku menolak maafnya. Mengeluh mengapa aku yang jadi korban. Akulah yang anak terakhir dan akulah yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih. Akulah yang harusnya hak sekolahnya didahulukan.
“Bagaimana kalau kamu kursus bahasa Inggris aja. Abang bisa bantu ngomong sama Mbak Arum. Kalau sekedar kursus pasti Mbak masih sanggup.” Dia mencoba mengelus kepalaku tapi aku melakukan gerakan yang membuatnya cuma mengelus udara. Berpura-pura mengambil sesuatu dari tanah agar ia tak berpikir aku menghindari belaian sok sayangnya. Aku memang sengaja.

Okey, bahasa Inggris. Usulannya untuk kursus bahasa Inggris aku terima dan tak terpikir olehku waktu itu kalau penyutradaraan itu bakal berlanjut setelahnya dan setelah setelahnya.

Kursus bahasa Inggris-pun aku jalani selama empat bulan waktu itu. Kurasa kursus yang kuambil tak begitu berhasil untuk kemudian aku memutuskan keluar dan berpikir mengapa uangnya tak disimpan saja untuk sekolahku tahun depan. Ya, itu juga alasanku berhenti ikut kursus. Berhenti kursus aku jadi pengangguran ilmu. Selama itu Bang Ikram justru seperti meng-iming-imingiku kehidupan SMA. Setiap hari ia bercerita tentang sekolahnya yang membuatku gigit jari.
“Can, Abang nembe ulangan iki. Doain nilai Abang bagus biar Abang bisa mempertahankan singgasana peringkat satu.”

“Sesuk lek awakmu sekolah, nang SMA Nusantara wae. Awakmu pasti seneng karo seng jenenge Pak Fairuzi Afik. Guru Bahasa Inggris yang paling bagus kupikir.”

“Abang besok sabtu mau ikut perkemahan. Sebenarnya anak kelas tiga sudah nggak diperbolehkan…”

“Beberapa bulan lagi Abang ujian. Di sekolah disuruh ikut bimbel. Untung nggak bayar.”

Setiap kali dia bercerita tentang kehidupan SMA ingin sekali aku menyumpal mulutnya. Lagi-lagi sisi hormat sebagai adik menahannya. Namun, menyesal ketika besoknya dia bercerita lagi. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya dia lulus dari SMA.

Tapi, sebelum pengumuman lulus ia lagi dan lagi kembali jadi director hidupku. Dan ini dia dialog penyutradaannya selanjutnya:
“Can, Abang baru dapat info dari teman Abang. Katanya di Bandar Lampung ada sekolah SMA yang udah kayak pondok. Ada pelajaran umum dan pelajaran agama. Diasramakan dan katanya dapat uang bulanan. Banyak beasiswa bagi kita keluarga pas-pasan. Awakmu sekolah nang kono wae.”

“Wah, tenanan kuwi, Ikram? Yowes, Can, kamu sekolah disitu saja.” Bapak tiba-tiba masuk ke ruang tamu dan menyahut omongan Bang Ikram. Seperti ada persekongkolan antara Bapak dan Bang Ikram. Kemudian tanpa menanyakan apakah aku mau atau tidak Bapak langsung memutuskan bahwa aku harus sekolah di tempat itu, Sekolah Islam di Bandar Lampung. Dua jam perjalanan dari kampungku.

Aku sudah bisa menebak mengapa aku dilempar ke sekolah yang kayak pondok itu. Pertimbangan utama Bapak pasti adalah pendidikan agama dan… Uang. Mungkin ia berpikir bahwa aku bisa berubah di tempat seperti itu. Menjadi lebih alim bahkan jadi ustadz. “Lihat saja nantinya bagaimana jadinya!” pikirku kala itu.

Saat tahun ajaran baru tahun berikutnya jadilah aku sekolah di tempat yang sama sekali asing bagiku. Lingkungannya sangat-sangat tak kuakrabi. Setiap hari olahraga pagiku Bahasa Arab, sarapan pagi, pelajaran di sekolah, makan siang, istirahat, sore hari, malam hari, bahkan tidurpun kepala ini dipenuhi huruf-huruf yang tak kuketahui sama sekali. Bukan karena aku tak bisa membaca Al-qur’an tapi di sekolah ini semuanya gundul, tak berharakat. Mau pintar darimana kalau aku tak paham maksud tulisan itu. Ushul fiqh, Bahasa Arab, Hadits, dan pelajaran-pelajaran lain yang semuanya bikin pusing. Aku memang tidak ada bakat untuk jadi ustadz dan mengapa aku bisa tersesat di tempat seperti ini. Gara-gara Bang Ikram. Aku geram dengan semua yang terjadi. Ulah Bang Ikram.

Mendekati ujian Mid-Semester--aku masih bisa merasakannya sampai sekarang, seperti baru terjadi kemarin--bagaimana pusingnya kepalaku harus menghafal berlembar-lembar catatan yang hampir semuanya tak kutahu maknanya, tak kutahu bacaannya dan tak kutahu bagaimana bisa dulu aku mengiyakan peran sebagai calon ustadz di film Bang Ikram ini. At last, otak ini hanya bertahan selama enam bulan belajar di sekolah yang membuatku gemblung. Aku putuskan kemudian untuk keluar dari sekolah itu dan mencari-cari alasan yang benar-benar bisa membuat Bapakku percaya bahwa aku murid yang bandel dan dikeluarkan dari tempat itu.

Oke, satu scene selesai berganti dengan scene yang lain. Lampu hijau dari Bapak membuat Bang Ikram lebih agresif mendikte dialog dan adegan selanjutnya. Aku layaknya satu aktor yang tak bisa complain dengan scenario yang dibuatnya.

Setelah keluar dari ‘sekolah favorit’ itu aku menjadi pengangguran lagi. Menjadi petani lagi dan kembali matahari semakin buas menjamahku. Hah, tubuh ini ternyata harus kupaksa ber-adaptasi kembali dengan terik matahari dan pekerjaan sawah. Enam bulan saja aku tak mengerjakan pekerjaan berat sebagai seorang anak petani aku tak sekuat sebelumnya. Beberapa jam saja berada di sawah benar-benar menyiksaku. Untungnya, beberapa bulan kemudian aku kembali masuk sekolah. Meneruskan jejak Bang Ikram, SMA Nusantara. Sedang Bang Ikram sudah semester tiga di sebuah Universitas Swasta di kotaku. Lagi-lagi ia yang jadi anak emas. Mengapa ia tak berhenti dulu, mencari penghasilan, dan membantu keuangan keluarga. Dan satu hal yang tak pernah kuharapkan ia membantuku dan membiayai sekolahku. Jangan sampai. Jangan sampai ia lebih menguasai hidupku.

Duduk di bangku SMA yang berada sedikit jauh dari rumah membuatku seperti burung yang lepas dari kandangnya. Kuputuskan untuk jadi anak kos.

Aku sungguh mengenal dunia yang baru. Pergaulanku meluas. Tidak saja dengan anak-anak yang punya nasib sama denganku tapi aku mengenal orang-orang yang lebih beruntung dariku. Orang-orang kaya.

Ya, di SMA Nusantara aku berani mengatakan bahwa sebagian besar penghuninya adalah orang-orang dengan penghasilan cukup. Ya, cukup untuk tiap saat dihabiskan, cukup kalau mau kemana saja, atau cukup kalau mau beli apa saja. Aku yang dulu hanya mengenal kehidupan sawah akhirnya menjelma menjadi pendendam. Aku ingin merasakan apa saja hal yang menurutku baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Merokok, punya tempat tongkrongan bareng teman sekelasku, punya band, dan hal-hal baru lainnya yang membuat aku merasa aku hidup. Aku telah lepas dari rantai yang mengikatku dulu namun ternyata itu Cuma terjadi beberapa bulan saja. Ternyata film baru aktor bernama Mufti Hasan dengan sutradara Ikram Rahardian kembali dimulai. Dengan judul baru.

Tempat kuliah Bang Ikram dengan kosku tak berjarak begitu jauh. Mengetahui tingkah lakuku yang tambah bandel—entah ia tahu darimana—Bang Ikram memilih untuk kos bersamaku. Tentu saja Bapaklah yang seolah-olah punya keputusan. Aku tahu bahwa sebenarnya Bang Ikramlah dalangnya.

Pada hari Sabtu terakhir di bulan Desember, ketika itu mendekati Ujian Semester di sekolahku, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Dan ini penyambutan yang kudapatkan:

Aku sedang menikmati makanku di ruang tengah dan Bapak seketika duduk di sampingku. Di ruangan yang terlihat sangat luas karena tak banyak furniture yang di pasang, aku justru merasa semua menghimpitku. Planning sebelum pulang bahwa sebisa mungkin tak ada dialog dengan Bapak buyar. Kulayangkan pandanganku menyapu ruangan dimana aku berada dengan orang yang sebenarnya kuhindari. Televisi ‘tabok’ (setiap baru mulai dihidupkan harus dipukul dulu agar gambar dan warnanya sedikit lebih jelas) di depanku sedang menayangkan sebuah iklan rokok, sebuah foto keluarga saat aku masih umur dibawah lima tahun; gambarku, Bang Ikram, Mbak Nining, Mas Rinto, Bapak, dan almarhumah Ibu. Kupandangi wajah Ibu. Lama. Kerinduan akan kasih sayangnya sangat terasa. Aku mau Ia ada di sampingku sekarang karena aku tak yakin bisa menahan emosiku.
“Can, mulai sesuk senen Bang Ikram kos bareng kowe yo. Biar bisa jaga dirimu. Tinggal dengan saudara sendiri kan lebih enak kalau ada apa-apa.”

“Tapi, Pak. Ehm, anu… kamar Can sempit lho. Kalau berdua sesak banget rasanya.”

“Kata Ikram kamarnya nggak sempit-sempit amat. Kalau nggak cari kosan yang bisa ditinggali berdua yang lebih luas.”

“Pak…”

“Udah, biar Bapak juga nggak terlalu khawatir denganmu.”

Shit! Waktu itu aku ingin membanting piring yang ada di depanku. Tapi, sampai saat inipun aku masih heran. Mengapa aku selalu saja tak bisa berkutik di depan mereka. Emosiku kalah. Aku hanya bisa melampiaskan kemarahanku kalau sendiri. Ya, racun mereka telah benar-benar masuk ke dalam diriku. Mereka membuat hidupku jadi kacau. I hate it. Really.

Kamis, September 23, 2010

Saat Kau Pergi

(Juara II Lomba Cipta Cerpen Islami, Universitas Lampung, 2008)

HARI berjalan dengan angkuhnya. Matahari bersinar terik. Panasnya kurasakan seperti jarum yang menusuk seluruh persendianku. Kupercepat langkahku. Aku ingin segera sampai di tempat kosku. Yah, meskipun bukan tempat kos yang mewah, setidaknya panas matahari yang membuat tenggorokanku kering tak lagi kurasakan.

Selewat beberapa menit akhirnya aku sampai di tempat yang kuinginkan. Aku mengambil anak kunci di dalam tasku dan membuka pintu. Begitu pintu terbuka, kujejak lantai kos-kosan. Namun, belum sempat kututup pintu di belakangku tiba-tiba sebuah tangan menarik kerah bajuku dan mendorong tubuhku ke dinding. Dani, teman satu kosku, mencekik leherku dengan kuat dan memandangku tajam. Kupandangi Dani. Aku tahu, saat ini dia sedang berusaha keras menahan rasa sakitnya. Wajahnya berkeringat, tangan yang saat ini masih mencengkeram leherku terasa panas, sesekali dia kejang-kejang kecil dan menggigil.

“Dimana lu sembunyiin koncian*1 gue?” Cengkeraman Dani semakin kuat. Aku berusaha menarik tangannya. Sia-sia. Tenaga Dani lebih kuat. Di saat seperti ini dia akan melakukan apapun asal barang yang diinginkannya bisa didapat.

“Heh, lu budek ya!” Kali ini Dani menyarangkan tinjuannya tepat di rahangku. Sudut bawah bibirku pecah. “Ayo ngomong! Atau lu pengen gigi lu gue rontokkin!” Sekali lagi Dani meninjuku. Kutatap matanya lekat-lekat. Berharap dia bisa membaca keinginanku agar dia segera menghentikan semua ini.

“Dan, aku nggak tahu bedak*2 yang kamu cari. Kalaupun aku tahu, sumpah, aku nggak akan memberikannya padamu.”

“Lu udah bikin temen lu sengsara, kampret! Cepet ngomong dimana lu sembunyiin koncian gue!” Aku tetap diam. Aku tak mau 1 gaw*3 putauw yang kusembunyikan jatuh ke tangannya. “Heh, lu bisa diajak ngomong baik-baik nggak sih?” Lagi-lagi Dani meninjuku. Entah untuk yang keberapa kalinya. Darah kembali menetes dari sudut bibirku.

“Lu bilang lu temen yang baik. Temen apa? Sialan!” Bertubi-tubi kudapat serangan dari Dani. Kutahan semampuku. Ingin rasanya kukatakan dimana putauw yang kusembunyikan tapi, tak urung hatiku melarangnya. Sia-sia saja apa yang telah kulakukan.

“Anjrit! Diberi kesempatan kok malah ngelunjak.” Akhirnya perut yang dari pagi belum kuisi kali ini menjadi sasaran. “Dan, kalau kamu nggak percaya, silakan kamu geledah kamarku!” kataku sambil menahan perutku yang terasa mulas.

“Kalau lu nggak mau ngomong. Kurasa kali ini lu bakal… hueks!” Tanpa bisa kucegah Dani muntah dan mengenai sebagian seragamku. Bau bacin langsung tercium. Cengkeraman tangannya mengendur dan akhirnya lepas. Tubuh Dani ambruk. Tanganku masih memegangi perutku yang terasa sakit hingga aku tak kuasa untuk membantunya, memapah tubuhnya untuk berdiri. Sedetik kemudian Dani berlari keluar. Kupandangi tubuhnya dari balik kaca. Aku berdoa semoga ia bisa menghadapi masa sakaw-nya kali ini.

Tubuhku kemudian melorot. Kusandarkan kepalaku ke dinding. Darah kembali menetes dari sudut bibirku. Tiba-tiba kenangan pertama kali aku bertemu dengan Dani tampak seumpama kaset yang terputar di dalam memoriku.

Waktu itu, setelah lebih dari tiga jam kesana kemari mencari tempat kos tanpa hasil, kuputuskan untuk mencari sebuah warung sekedar menyegarkan tenggorokanku. Tak begitu sulit untuk mencari warung di sekitar sekolahku. Kupilih sebuah warung yang kelihatan bersih.

“Mbak, es-nya satu,” kataku pada sebuah perempuan muda penjaga warung. Kuperhatikan wajah perempuan itu. Dia terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Kutaksir umurnya tak lebih dari dua lima tahun, namun terlihat seperti sudah berkepala tiga.

Kulemparkan pantatku di salah satu kursi sambil menunggu es yang aku pesan. Kuedarkan pandanganku. Di sudut kanan, dekat dengan rak minuman kaleng, terdapat seorang pria dengan wanita yang duduk berdua. Mesra. Tangan si lelaki memegang tangan si perempuan yang tanpa malu-malu kemudian mendekati si lelaki dan menyandarkan kepalanya di pundaknya. Tak pernahkah terlintas di benak mereka bahwa semua yang ada di dalam warung ini, termasuk aku, akan memberikan kesaksian kelak. Sebuah kesaksian untuk apa masa remaja mereka gunakan. Masa muda yang harus mereka pertanggungjawabkan di hadapan Dzat Yang Maha Kasih. Cinta mereka pun akan mereka pertanggungjawabkan karena cinta kepada makhluk-Nya tak boleh melebihi cinta kepada Dzat Yang Menciptakan Cinta.

Untunglah, sejak dulu, tak pernah terpikir olehku untuk berpacaran. Buat apa pacaran, aku menuntut ilmu adalah amanah. Amanah dari ibu dan bapakku yang tiap hari bekerja keras, memeras keringat mereka, demi mewujudkan cita-citaku. Amanah yang tak mudah untuk dijalankan.

Kembali kuedarkan pandanganku, masih ada beberapa pasang muda-mudi yang terlihat tak jauh beda dengan pasangan di sudut kanan itu .

“Ini es-nya.” Perempuan penjaga warung itu meletakkan segelas es jeruk di depanku. “Baksonya enggak?” tanyanya sambil tersenyum. Aku menggeleng. Meskipun perutku lapar, kupikir aku masih bisa menahannya sampai nanti sore.

Aku menyeruput es di depanku. Rasa dingin langsung mengaliri tenggorokanku. Alhamdulillah, ucapku dalam hati.

“Lu sekolah di SMA Satu juga ya? Kelas satu juga kan?” Seorang laki-laki seumuranku yang sedari tadi duduk sendiri tak jauh dariku menghentikanku minum es. Aku mengangguk. “Lu lagi cari tempat kos ya?” tanyanya lagi. Aku kembali mengangguk. Kupikir dia tahu aku sedang mencari tempat kos karena tas besar yang kubawa.

“Cari yang seperti apa?” Kalau untuk yang ini aku harus bicara. Aku berharap bisa dapat kosan yang bisa kutinggali dengan nyaman. Ya nyaman tempatnya, nyaman kondisinya, juga tentu saja nyaman di pikiran, karena biayanya tak tak terlalu mahal. “Yang nyaman tapi murah,” kataku. Laki-laki tersenyum.

“Oh, ya udah, ikut gue aja.” Laki-laki itu mengulurkan tangannya. “Dani.”
Aku menjabat tangannya. “Aidhil Ishak.”

Akhirnya, Dani menjadi teman terdekatku. Selain karena dia satu kos denganku ternyata aku juga satu kelas dengannya. Namun, beberapa bulan sebelum kenaikan kelas Dani berubah. Ya, sejak kedua orang tuanya bercerai, dia sering pulang malam, merokok, bolos sekolah, sampai pernah beberapa kali kupergoki dia sedang minum alkohol di kamar kosnya. Aku tak tahu sudah kali keberapa kuperingatkan dia, tapi omonganku selalu dianggapnya angin lalu. Kemudian sebulan sejak kenaikan kelas itu, tepatnya ketika kami telah duduk di kelas dua, aku mengetahui kalau dia telah menjadi seorang pecandu. Saat itu yang kutahu bukan hanya karena orang tuanya bercerai dia berubah dan akhirnya berteman dengan narkoba. Usaha bapaknya yang bangkrut, ibu kebanggaannya yang ketahuan selingkuh dengan teman kantornya dan tidak ada yang peduli dengan nasibnya saat itu hingga ia juga tak lagi peduli dengan hidupnya sendiri.

Dia menjadi sosok yang suka marah-marah bahkan untuk hal yang sepele. Pikirannya sering ngelantur. Kadang dia ketawa sendiri di dalam kamarnya. Hah, aku merasa tidak betah untuk tinggal satu kos dengannya waktu itu. Namun, sebagai seorang teman, aku harus membantunya keluar dari masalahnya sekarang. Aku harus bisa mengembalikan semangat hidupnya. Aku harus berusaha menyembuhkannya.

Adzan ashar yang terdengar dari masjid di depan gang mengembalikan ingatanku. Aku masih terduduk dengan mata sedikit basah. Darah masih menetes dari sudut bibirku. Dengan perlahan aku bangkit, beranjak ke arah kamar mandi mengambil air wudlu. Kemudian kudirikan empat rakaat shalat ashar seraya memanjatkan doa agar aku diberi kemudahan.

Ya Allah, bantulah hamba-Mu ini, doaku.

El-Kharis

“Dibawa ke RSKO*4 atau Pusat Rehabilitasi saja, Akhi. Itu jalan terbaik. Ane takut kalau tidak segera, antum terus-terusan yang jadi korban.” Lelaki di depanku berkata dengan pandangan iba ketika kuceritakan kejadian kemarin sore. Saesar, adalah satu-satunya orang yang bisa kumintai saran. Lagipula dia pernah ikut seminar tentang narkoba yang diadakan BNN*5 selama tiga hari di Bandar Lampung. Mungkin saja dia bisa memberitahuku bagaimana cara penyembuhan terhadap Dani.

“Akh, aku udah berusaha bicara dengan Dani ketika pikirannya sedang jernih. Akhir-akhir ini dia memang mengatakan ingin sembuh. Dia juga berharap aku bisa membantunya, tapi dia tidak mau kalau harus masuk Pusat Rehabilitasi. Dia tidak mau semua orang tahu dia seorang pecandu.”

“Dia udah ngomong kalau dia pengen sembuh? Akhi, ini kemajuan. Tapi, saranku cuma itu. Kita tidak bisa melakukan apa-apa selain membawanya ke pusat rehabilitasi.” Saesar menatapku teduh. Aku yang masih merasakan sakit akibat kejadian kemarin merasa mendapatkan sedikit penawar. Saesar kemudian tersenyum. “Apa memang tidak ada cara lain? Aku mengenal betul siapa Dani. Kalau dia udah ngomong tidak, aku tidak bisa membuatnya ngomong ya.”

“Apa untuk masalah ini dia juga tidak bisa dibujuk. Ini untuk kebaikannya, Akhi. Tolong antum bicara lagi dengannya kecuali…” omongan Saesar menggantung. Dia terdiam beberapa saat. Pandangannya beralih ke arah lapangan basket di depan kami. Aku penasaran dengan ucapannya yang tiba-tiba berhenti.

“Akhi, mungkin ini bisa jadi cara terakhir kita.” Saesar kembali berhenti tanpa mengalihkan pandangannya.

“Maksudnya?”

“Ada satu cara yang bisa kita lakukan untuk penyembuhan Dani.”

“Apa, Akh?” aku bertanya tak sabar.

“Tapi, ane juga nggak yakin.” Saesar kembali memandangku. “Kalau memang cara ini bisa kita usahakan dan kita lakukan kenapa tidak?”

“Ok. Detoksifikasi kayaknya bisa kita lakukan tanpa membawanya ke rumah sakit atau Pusat Rehabilitasi,” ucap Saesar ragu.

“Detoksifikasi?” tanyaku.

“Ya. Salah satu upaya penyembuhan fisik terhadap pengguna narkoba. Langkah ini ditempuh untuk mengeluarkan racun-racun yang berada di dalam tubuh, yang didapatkan akibat mengkonsumsi narkoba.” Saesar menarik napas. Kemudian dia melanjutkan.

“Detoksifikasi ini ada beberapa jenis. Yang pertama kita bisa menggunakan obat-obatan major tranquilizer yang ditujukan terhadap gangguan sistem susunan saraf pusat atau otak. Selain itu, diberikan juga analgetika non opiat, yaitu jenis obat nyeri dan juga obat anti depresi yang tidak menimbulkan ketergantungan dan ketagihan.” Saesar kembali menarik napas. Sedikit harapan muncul mendengar ada cara lain untuk menyembuhkan Dani. Namun, mendengar penjelasan Saesar tak bisa dipungkiri bahwa ada sedikit keraguan yang timbul. Kulihat Saesar akan melanjutkan bicaranya.

“Yang kedua adalah metode detoksifikasi sistem blok total atau abstinentia totalis, dimana pengguna narkoba tidak boleh lagi menggunakan obat apapun yang merupakan turunan narkoba dan juga tidak menggunakan obat-obatan pengganti. Cara yang kedua lebih mungkin kita lakukan daripada cara pertama.

Namun, yang perlu menjadi catatan kita adalah seorang penyalahguna tidak hanya perlu disembuhkan fisiknya, namun yang juga penting adalah penyembuhan mental. Penyembuhan fisik dengan cara detoksifikasi ini memerlukan waktu yang lebih singkat dibandingkan penyembuhan psikis dan mental pengguna narkoba.

Ini yang menjadi kelemahan kita karena kalau kita membawa Dani ke RSKO atau Pusat Rehabilitasi, di sana akan ada namanya psikoterapi atau terapi psikologis, salah satu aktifitas yang dilakukan untuk menangani masalah penyalahgunaan narkoba. Ada beberapa metode yang secara umum diaplikasikan antara lain adalah dengan cara pendekatan agama sesuai kepercayaan atau cara psikologi humanistic yang melibatkan keadaan emosional dan sensitifitas seorang pasien. Pada dasarnya psikoterapi melibatkan eksplorasi yang intens dari konflik yang dimiliki pasien dan sangat mengandalkan emosi pasien sebagai salah satu kekuatan untuk pemulihan diri pasien itu sendiri .”*6 Saesar mengakhiri penjelasan panjangnya. Aku tersenyum dan memeluknya.

“Setidaknya ini adalah ikhtiar yang mungkin memang bisa kita lakukan. Terima kasih, Akhi.” Tak terasa mataku basah. Setetes airmataku jatuh membasahi baju Saesar.

“Semoga Allah memudahkan dan membantu kita.”

“Amin,” kataku terisak. “Seperti yang kita tahu, Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum mereka merubah diri mereka sendiri. Jadi, kalau kita mau Dani berubah, kita juga harus berusaha merubahnya.” bisik Saesar yang membuat mataku semakin basah.

El-KhariS

Langkah kakiku terasa ringan. Sebuah jalan untuk menyembuhkan Dani telah Allah tunjukkan kepadaku. Aku tersenyum. Kubayangkan seorang Dani juga tersenyum ketika dia sudah terlepas dari barang haram yang telah merubah hidupnya. Mataku semakin basah. Membayangkan Dani bisa tersenyum dan bersih dari narkoba membuatku haru.

Aku terus berjalan dengan langkah semakin ringan. Beberapa meter lagi aku sampai di tempat kosku.

Selewat beberapa menit aku telah tiba di depan pintu kos. Aku menarik zipper tas punggungku. Mencari kunci yang biasanya kutaruh di dalamnya. Kuobrak-abrik isi tasku, namun barang yang kucari tiada. Aku berpikir sejenak. Apa tadi pagi aku tidak membawanya? Rasanya tidak mungkin sebab aku masih ingat bahwa tadi pagi kunci tersebut kumasukkan ke dalam tas. Apa ketinggalan? Tapi, dimana? Aduh, kalau kuncinya tidak ada bagaimana aku masuk. Perutku sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Dari tadi pagi aku hanya makan sepotong roti.

Tiba-tiba terdengar sebuah suara seperti benda jatuh dari dalam kos. Kupertajam pendengaranku. Jangan-jangan ada maling? Ah, tidak mungkin siang-siang begini ada maling.

Akhirnya kuputuskan untuk melihat keadaan di dalam kos dengan menerawang lewat kaca jendela. Kusapu ruangan. Kulihat beberapa pecahan gelas berserakan di lantai dekat meja di sudut kiri ruangan. Kemudian kulihat sosok orang yang kukenal sedang menghirup sesuatu sambil duduk di kursi dekat meja itu. Kali ini kupertajam penglihatanku. Dani sedang asyik menghirup putauw dengan cara sniffing*7. Aku terus memperhatikannya. Ingin aku mendobrak pintu kemudian kuhentikan Dani yang sedang mengkonsumsi narkoba. Namun, aku takut terjadi SSD*8 seperti yang pernah dikatakan Saesar. Katanya, orang yang sedang mengkonsumsi narkoba terutama yang berbentuk serbuk seperti putauw, yang mengkonsumsinya dengan cara sniffing bisa terjadi SSD atau kematian akibat perasaan terkejut. Hal ini terjadi akibat kepergok seseorang ketika proses menghisap sedang dilakukan. Perasaan ketakutan atau halusinasi juga bisa menjadi pemicu terjadinya SSD.

Akhirnya aku hanya mondar-mandir di depan pintu kos tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Aku menunggu sampai waktu yang tepat. Aku duduk kemudian berdiri lagi dan mondar-mandir lagi. Begitu terus hingga kudengar lagi sebuah suara benda jatuh dari dalam. Aku kembali menerawang lewat kaca jendela. Kulihat meja di sudut kiri ruangan telah roboh kemudian kucari sosok Dani.

Aku menjerit ketika kulihat tubuh Dani terkapar di sebelah meja sambil kejang-kejang. Aku berlari ke depan pintu kemudian kudobrak dengan tubuhku. Aku tidak kuat mendobraknya. Tenagaku sudah terkuras habis sejak tadi pagi karena di sekolah aku harus mencari dana untuk kegiatan bulan bahasa.

Aku tak berhenti. Kali ini kudobrak pintu itu dengan kakiku. Butuh beberapa kali dan akhirnya pintu itu terbuka.

Aku berlari mendekati tubuh Dani yang masih kejang-kejang. Kuangkat kepalanya. Kubisikkan sesuatu di telinganya. Aku masih tidak tahu apa yang harus kulakukan. Mataku kembali basah. Aku belum mau kehilangan sahabatku.

Ya Allah, tolong jangan ambil dia sekarang, doaku penuh harap.

Dengan sisa tenagaku kubopong dia ke luar rumah. Airmataku terus menetes melihat Dani masih kejang, tubuhnya dingin dan frekuensi pernapasannya di bawah dua belas kali per menit. Aku terus berlari menyusuri gang dengan rasa sesal yang begitu menyesakkan dadaku. Mengapa tidak kuhentikan saja dia ketika kutahu apa yang dilakukannya di dalam kamar kosnya. Untuk alasan SSD, bisa saja kucari cara yang tidak membuatnya terkejut. Hah, mengapa penyesalan selalu hadir di belakang. Tanpa terasa airmataku terus menetes. Aku benar-benar belum mau kehilangan sahabatku.

Aku terus berlari membawa tubuh Dani. Orang-orang yang melihatku menatapku penuh tanya. Mataku semakin basah. Aku harus segera membawanya ke rumah sakit. Itu yang kutahu. Penanganan sederhana untuk menolong penderita overdosis adalah dengan segera membawanya ke rumah sakit.

Aku terus berlari namun, akhirnya semua yang kulakukan sia-sia. aku benar-benar menyesal. Semuanya terlambat.

Pringsewu, 15 Maret 2008

Ucapan terima kasih tak terhingga
untuk Saesar A. Trawanda
yang telah meminjamkan buku Kamus Narkoba buat referensi

Catatan:
*1: Barang simpenan
*2: Sebutan lain dari putauw. Disebut bedak karena bentuk dasar yang berupa serbuk berwarna putih yang mirip bedak. Sebutan lain adalah PT, Etep, Heroin atau Hero.
*3: Satuan ukuran 1 gram. Populer digunakan di dalam transaksi jual beli narkoba.
*4: Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Rumah sakit yang khusus untuk menangani pasien-pasien pecandu obat/ narkoba.
*5: Badan Narkotika Nusantara
*6: Dikutip dari Kamus Narkoba terbitan BNN
*7: Salah satu cara mengkonsumsi narkoba berbentuk serbuk, yaitu dengan menghirupnya melalui lubang hidung.
*8: Sudden Sniffing Death, yaitu kematian yang terjadi secara mendadak akibat penghirupan narkoba.

Rabu, September 22, 2010

Ambiguitas Makna terhadap Interpretasi Lagu, Puisi, dan Prosa, atau karya lain.

Hari ini (21/9) dalam mata kuliah Basic Listening, Dosen Saya memberi tugas untuk menginterpretasi makna lagu dalam bahasa Inggris yg kami dengar.

Ada hal yg menarik. Sebuah kalimat dan sebuah paragraf ternyata punya makna yg b'beda bagi individu b'beda (bukan hanya dalam lagu bahasa Inggris).

Apa pasal?

Itulah yang Saya sebut Ambiguitas Makna. Perlu penjelasan men-detail dari orang (baca: pencipta) tentang maksud dari bahasa yg makna'ya ambigu tersebut.

Dalam berkomunikasi (komunikasi langsung khusus'ya) perlu dimainkan agar tetap seperti playing badminton. Maksudnya, pembicaraan (komunikasi) itu harus ada respon agar menarik dan tetap berlanjut. Not looking for the winner.

Komunikasi sendiri macam'ya ada 2, yaitu: One Way Communication (Understanding, Responding), dan Two Way Communication. Dan dari kedua jenis ini terkadang respon'ya menimbulkan sesuatu yg ambigu jua. Namun, kelebihan dari komunikasi secara langsung kita bisa menanyakan (juga) langsung makna yg pas untuk sebuah kata atau kalimat. Nah, kalau sebuah lagu, puisi atau karya lain? Mau tanya siapa?

Seperti yg dikatakan guru Bahasa Indonesia Saya di SMA dulu karya sastra puisi sebaiknya jangan dimasukkan dalam kurikulum tugas akhir; Ulangan harian, Ujian Semester, atau UN. Karena apa? Biasanya tugas semacam itu pasti berupa multiple choice sehngga hanya satu jawabn yg pasti dipilih. Padahal, setiap org pnya pemaknaan sndiri2 terhadap metafor2 atau konotasi yg dibuat pengarang.

Akhirnya, penutup dari tulisan inipun masih ambigu; kesimpulan tentang ambiguitas makna ini belum ketemu jawabnya, bagaimana jalan keluar terhadap sesuatu yg ambigu.


[kharisious.blogspot.com]

Minggu, September 19, 2010

Demokrasi Masih Belajar

Sungguh membanggakan prestasi yang telah didapat Sutradara Muda asal Indonesia, Adhyiatmika karena berhasil menjadi salah satu pemenang dalam "Democracy Video Challenge" yang diselenggarakan oleh Deplu Amerika dan diikuti lebih 700 video dari 89 negara.

Adhyiatmika beserta lima orang pemenang lainnya dari Spanyol, Iran, Kolombia, Nepal, dan Ethiopia akan mempresentasikan di Washington DC, New York, dan Los Angeles. Para pemenang itupun akan mengunjungi lokasi pembuatan film/TV, dan akan bertemu dengan sutradara, teknisi film, agen pencari bakat profesional, dan ahli media baru dalam kunjungannya di New York dan Hollywood.

Video para pemenang juga berkesempatan untuk ditayangkan di Motion Picture Association of America (MPAA), Assosiasi Amerika yang bertujuan untuk memajukan kepentingan sturdio film dan juga menetapan sistem penilaian film, kata Zwartjes.

Adhyatmika pada konferensi pers di Kedubes AS pada Jumat mengatakan dia terinspirasi untuk membuat film tersebut karena demokrasi bukanlah objek, namun suatu proses dan proses itu baru dirasakan beberapa tahun

belakangan ini walaupun usia negara kita sudah lebih dari setengah abad.

Menurut dia, demokrasi di Indonesia belumlah sempurna dan masih perlu banyak belajar.

“Saya ingin menunjukkan citra positif Indonesia disamping stigma negatif dari dunia barat tentang negara kita. Saya Ingin menunjukkan kalau Indonesia juga mempunyai karya seni yang diakui di dunia internasional,” kata dia.

Film buah karya Adhyatmika dengan durasi dua menit sepuluh detik tersebut menceritakan suatu lingkungan kelasa yang dihuni orang dari latar belakang yang berbeda. Tapi Dalam ruangan kelas tersebut dihuni orang dari berbagai profesi. Anggota Dewan, petani, penegak hukum, activis, media, insinyur, dokter, pengusaha, artis, dan siswa SD.

Permulaan film menceritakan seorang guru yang menanyakan apa arti demokrasi, setelah itu ditunjukan lah sikap semua orang yang berada di kelas tersebut yang menunjukan sikap dari tiap-tiap profesi menanggapi pertanyaan gurunya.

Saat seorang petani akan menjawab maka penegak hukum sudah membungkamnya. Kemudian saat anggota dewan akan menjawab, mereka sudah duluan ditutup mulutnya dengan uang oleh pengusaha. Celebrity hanya cuek-cuek saja menyikapi pertanyaan gurunya. Insinyur sibuk mencari pekerjaan, dan dokter hanya diam, serta aktivis hanya sibuk berfikir sendirian.

Setelah melihat sikap dari masing-masing orang dengan latar belakang profesi yang berbeda menanggapi arti demokrasi. Kemudian majulah siswa bertubuh tinggi besar dengan mengenakan seragam Sekolah Dasar (SD) untuk menjawab pertanyaan gurunya di papan tulis. Siswa SD tersebut ternyata kebingungan mengisi arti demokrasi tersebut dan tidak menjawabnya. Jawaban arti demokrasi menurut film tersebut “Demokrasi adalah masih belajar”.

Sabtu, September 18, 2010

Burning Koran Benar-benar terjadi

Semoga saja tulisan yang saya petik dari Catatan Prof. Dr Abdul Hadi WM dapat memberikan pencerahan, sekaligus dapat untuk sharing kita semua. Salam





DUA BERITA MENARIK, UNTUK YANG BERMINAT DAN INGIN TAHU SAJA

oleh Abdul Hadi Wm pada 18 September 2010 jam 0:06

PEMBAKARAN AL-QUR’AN JADI JUGA DILAKUKAN

Liputan 6 - Jumat, 17 September



Liputan6.com, Springfiled: Pembakaran Alquran yang sebelumnya akan dilakukan oleh pendeta dari Florida Terry Jones, pada peringatan tragedi 11 September, urung dilaksanakan karena mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Namun ternyata oleh pendeta Bob Old dan Danny Allen. Mereka membakar Alquran di halaman belakang sebuah rumah di Springfileld, Amerika Serikat, Sabtu (11/9) silam. Bob Old dan rekannya Danny Allen berdiri bersama di halaman belakang rumah tua. Mereka menyebut tindakan itu sebagai panggilan dari Tuhan. Mereka membakar dua salinan Quran dan satu teks Islam lainnya di depan segelintir orang, yang sebagian besar dari media. Seperti dilansir Detroit News, ternyata pembakaran Alquran juga terjadi di Michigan. Sebuah Alquran dibakar di depan pusat ajaran Islam di kota tersebut. Ryanne Nason, seorang cendekiawan Amerika Serikat, seperti dilansir sebuah koran lokal Mainecampus, Kamis (15/9), menyebut bahwa pembakaran yang dilakukan oleh sejumlah orang sangat menyedihkan dan memalukan. Di AS, negara yang dibentuk pada keyakinan kebebasan beragama, setiap orang diberikan hak untuk mempraktikkan agama yang mereka yakini, seperti Yudaisme, Islam, Kristen, atau tidak menganut agama sama sekali. Dengan membakar Alquran atau kitab suci agama lain, bayangan seluruh bangsa lain membuat AS adalah negara tanpa kelas dan tidak etis. Sungguh ironis bahwa Terry Jones atau Bob Old merasa memiliki perlindungan berdasarkan amandemen pertama untuk membakar kitab suci agama lain yang ia tidak percaya. Padahal semua muslim di AS dilindungi oleh undang-undang konstitusional yang sama. Hal ini akan memeberikan cela pada reputasi Amerika. Menurut Ryanne, orang beragama menggunakan moral yang kuat dan nilai-nilai, namun sekarang orang mendiskreditkan keyakinan mereka karena bersifat menghakimi dan intoleransi. Salah satu dari banyak alasan mengapa kita memiliki pasukan di Irak dan Afghanistan adalah untuk melawan penindasan dan penganiayaan agama terhadap penduduk negara di negara tersebut. Namun, saat ini ternyata warga negara Amerika sendiri yang melecehkan agama lain. Di Chicago, Mohammed Kaiseruddin, Dewan Direksi Pusat Ajaran Islam memberikan gambaran terhadap pembakaran Alquran yang sangat berbeda dengan nilai-nilai yang dianutnya. Ia mengatakan kepada Huffington Post hari ini, "Kami merasa seperti kita sudah menjadi korban. Ketika kami memegang Alquran, kami memperlakukannya dengan sangat hormat. Kami tidak pernah menaruh salinan Alquran di lantai. Sejak kecil, kami selalu mengingatkan anak-anak untuk menghormati kitab suci ini. Kami juga mengajarkan kepada mereka ketika selesai membaca Alquran, mereka menutup dan menciumnya, lalu menyimpannya". (Huffington Post/Mainecampus/Detroitnews/DES/IAN)









VERSI LAIN PERISTIWA BEKASI

YANG TAK PERNAH KITA BACA DI MEDIA





Sumber: KOMPASIANA http://hukum.kompasiana.com/2010/09/17/klarifikasi-fpi-bekasi-raya-atas-insiden-hkbp/



Klarifikasi FPI Bekasi Raya Atas Insiden HKBP 17 September 2010 | 08:51. Dua puluh tahun, umat Islam Bekasi telah menunjukkan KETINGGIAN SIKAP TOLERANSI dan KEBESARAN JIWA terhadap Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan membiarkan jemaatnya melakukan kebaktian setiap Ahad di rumah tinggal seorang warga perumahan Mustika Jaya - Ciketing - Bekasi.Dua puluh tahun, umat Islam Bekasi tidak pernah keberatan, apalagi usil dan mengganggu ibadah Jemaat HKBP di tempat tersebut. Dua puluh tahun, umat Islam Bekasi tetap tidak protes dengan adanya Jemaat HKBP yang datang dari luar perumahan, bahkan luar Bekasi, ke tempat tersebut. Namun, setelah dua puluh tahun, seiring dengan makin banyaknya Jemaat HKBP yang datang ke tempat tersebut dari berbagai daerah, maka Jemaat HKBP mulai tidak terkendali. Bahkan Jemaat HKBP mulai arogan, tidak ramah lingkungan, tidak menghargai warga sekitar yang mayoritas muslim, seenaknya menutup jalan perumahan untuk setiap kegiatan mereka, bertingkah bak penguasa, merusak tatanan kehidupan bertetangga, menciptakan berbagai problem sosial dan hukum. Puncaknya, HKBP ingin menjadikan rumah tinggal tersebut sebagai GEREJA LIAR. Setelah dua puluh tahun, umat Islam Bekasi, khususnya warga perumahan Mustika Jaya - Ciketing, mulai gerah dan merasa terganggu dengan pola tingkah Jemaat HKBP yang semakin hari semakin arogan, bahkan nekat memanipulasi perizinan warga sekitar untuk GEREJA LIAR mereka. Sekali pun kesal, kecewa dan marah, umat Islam Bekasi tetap patuh hukum dan taat undang-undang. GEREJA LIAR HKBP di Ciketing diprotes dan digugat melalui koridor hukum yang sah, sehingga akhirnya GEREJA LIAR tersebut disegel oleh Pemkot Bekasi. Tapi HKBP tetap ngotot dengan GEREJA LIAR nya, bahkan solusi yang diberikan Pemkot Bekasi untuk dipindahkan ke tempat lain secara sah dan legal pun ditolak. HKBP menebar FITNAH bahwa umat Islam Bekasi melarang mereka beribadah dan mengganggu rumah ibadah mereka. Lalu secara demonstratif jemaat HKBP setiap Ahad keliling melakukan KONVOI RITUAL LIAR dengan berjalan kaki, dari GEREJA LIAR yang telah disegel ke lapangan terbuka dalam perumahan di depan batang hidung warga muslim Ciketing, dengan menyanyikan lagu-lagu gereja, tanpa mempedulikan perasaan dan kehormatan warga muslim disana. Akhirnya, terjadi insiden bentrokan antara HKBP dengan warga muslim Ciketing pada Ahad 8 Agustus 2010, tiga hari sebelum Ramadhan 1431 H. Dalam insiden tersebut, dua pendeta HKBP sempat mengeluarkan PISTOL dan menembakkannya. Selanjutnya, tatkala umat Islam Bekasi masih dalam suasana Idul Fithri, pada Ahad 3 Syawwal 1431 H / 12 September 2010 M, Pendeta dan Jemaat HKBP kembali melakukan provokasi dengan menggelar KONVOI RITUAL LIAR sebagaimana yang dulu sering mereka lakukan. Kali ini terjadi insiden bentrokan antara 200 orang HKBP dengan 9 IKHWAN WARGA BEKASI yang berpapasan saat konvoi. Peristiwa tersebut DIDRAMATISIR oleh HKBP sebagai penghadangan dan penusukan pendeta. Media pun memelintir berita peristiwa tersebut, sehingga terjadi PENYESATAN OPINI. Akhirnya, banyak anggota masyarakat menjadi KORBAN MEDIA, termasuk Presiden sekali pun. Peristiwa Bekasi Ahad 3 Syawwal 1431 H / 12 Sept 2010 M, BUKAN perencanaan tapi insiden, BUKAN penghadangan tapi perkelahian, BUKAN penusukan tapi tertusuk, karena 9 warga Bekasi yang dituduh sebagai pelaku adalah IKHWAN yang sedang lewat berpapasan dengan KONVOI RITUAL LIAR yang dilakukan 200 HKBP bersama beberapa pendetanya di lingkungan perkampungan warga muslim Ciketing. Lalu terjadi perkelahian, saling pukul, saling serang, saling tusuk dan saling terluka. Pendeta dan jemaat HKBP yang dirawat di Rumah Sakit dibesuk pejabat tinggi, mendapat perhatian khusus Presiden dan Menteri, namun siapa peduli dengan warga Bekasi yang juga terluka dan dirawat di Rumah Sakit ? Bahkan salah seorang dari 9 warga Bekasi tersebut, justru ditangkap saat sedang dirawat di sebuah Rumah Sakit akibat luka sabetan senjata tajam HKBP. Mari gunakan LOGIKA SEHAT : Jika peristiwa tersebut PERENCANAAN, mana mungkin 9 ikhwan melakukannya secara terang-terangan dengan busana muslim dan identitas terbuka ! Jika peristiwa tersebut PENGHADANGAN, mana mungkin 9 orang menghadang 200 orang, apa tidak sebaliknya ?! Jika peristiwa tersebut PENUSUKAN, mana mungkin 9 ikhwan lebam-lebam, luka, patah tangan, bahkan ada yang tertusuk juga ! Soal PENON-AKTIFAN Ketua FPI Bekasi Raya oleh DPP-FPI bukan karena salah, tapi untuk melancarkan roda organisasi FPI Bekasi Raya yang teramat BERAT tantangannya, sekaligus meringankan beban tugas sang Ketua yang sedang menghadapi UJIAN BERAT dalam menghadapi tuduhan dan proses hukum. Jadi, putusan tersebut sudah tepat, dan merupakan langkah brillian dari DPP mau pun DPW FPI Bekasi. Langkah tersebut bukan saja cerdas, tapi menjadi bukti TRADISI FPI yang berani, tegas dan bertanggung-jawab. Ketua FPI Bekasi Raya, baru disebut-sebut namanya saja oleh pihak kepolisian, sudah dengan gagah langsung serahkan diiri ke Polda Metro Jaya secara sukarela didampingi DPP-FPI untuk diperiksa. Dan siap menjalani proses hukum bila dinilai bertanggung-jawab dalam insiden Bekasi, walau pun beliau tidak ada di lokasi kejadian. Kenapa Para Pendeta HKBP yang jadi PROVOKATOR dan PENGACAU tidak diperiksa? Kenapa kegiatan HKBP setiap Ahad di Ciketing yang menggelar KONVOI RITUAL LIAR keliling perumahan warga muslim dengan lagu2 Gereja secara demonstratif dibiarkan ?Kenapa dua pendeta yang bawa PISTOL & menembakannya ke warga pada insiden 8 Agustus 2010 tidak ditangkap ?Kenapa dua jemaat HKBP, Purba & Sinaga, yang bawa PISAU saat insiden 12 September 2010 sudah ditangkap lalu dilepas kembali ?Kenapa jemaat HKBP yang memukul dan menusuk 9 ikhwan warga Bekasi tidak ditangkap ?Kenapa Presiden dan Para Menteri serta pejabat dan sederetan Tokoh Nasional memberikan simpatik kepada PENGACAU sambil menyalahkan warga muslim Bekasi ?Kenapa banyak pihak senang mengambil kesimpulan dan keputusan hanya berdasarkan OPINI dan ISSUE media ? Keadilan harus ditegakkan ! Hukum tidak pilih kasih ! Jika 9 Ikhwan warga Bekasi sudah ditahan karena dituduh terlibat langsung dalam perkelahian tersebut, dan Ketua FPI Bekasi Raya pun sudah ditahan karena dituduh terlibat secara tidak langsung, maka mereka yang terlibat langsung mau pun tidak langsung dari kelompok HKBP harus ditahan juga ! (Kiriman dari Suara Hati SUARA Yahoo! Groups Links)

Di Copy dari akun Facebook Isbedy Stiawan Zs

Kamis, September 16, 2010

Ayah Dalam Catatan Empat Hati

# Hati Pertama

“Yono, ada sms tuh,” suara bas Untung, rekan sekerjaku, mengalihkan konsentrasiku yang sedang asyik bersenandung sambil menggoreng ayam pesanan pelanggan. Kulanjutkan pekerjaanku dan berharap sms itu dari seseorang yang selama ini memang selalu kutunggu smsnya. Semenit kemudian perasaan kecewa justru yang kudapat. Sebuah sms dari ayahku di kampung yang memintaku untuk segera pulang. Lagi-lagi ayahku menyuruhku untuk mengawini Sarah, anak pamanku yang tinggal dengan kedua orang tuaku. Kedua orang tua Sarah memang sudah lama meninggal dan kamilah satu-satunya keluarga yang dimilikinya.

Aku tidak mengatakan bahwa Sarah bukanlah wanita yang tak baik buatku. Dia baik, jujur, tidak banyak bicara dan yang aku bangga darinya adalah dia wanita yang tegar. Tapi, aku sudah punya Rahma yang tanpa sepengetahuan ayah dan ibuku, aku telah melamarnya.

Aku menarik napas, menghembuskannya pelan kemudian menariknya sekali lagi. Bayangan ayahku yang selalu mencampuri kehidupanku berkelebat. Permintaan ini bukanlah kali pertama ia lontarkan. Sudah tak terhitung. Belum lagi urusan-urusan lain yang selalu saja ada larangannya. Tak boleh ini, harus begini, jangan seperti ini dan bla-bla bla lainnya yang semuanya sebenarnya aku bisa melakukan dan berpikir sendiri. Semua ia campuri, semua ia yang memutuskan dan semua harus kutanggung sendiri kalau keputusan darinya salah.

Aku masih sangat ingat dengan keputusannya bahwa aku tak bisa melanjutkan kuliah setelah lulus SMA. Bukan karena tak ada biaya, tapi menurutnya kuliah justru tak ada manfaatnya. Melihat tetangga-tetangga kami yang sudah lulus kuliah dan hanya beberapa yang punya pekerjaan tetap.

Tak kubalas sms dari ayahku. Hapeku sengaja kumasukkan ke dalam laci etalase bartender dan aku silent. Aku beranjak ke dalam dapur dan berjalan dengan pikiran yang tak keruan. Aku sudah berumur dua puluh enam tahun dan aku tahu mana yang terbaik buatku dan hidupku. Cukup sudah ia menjadi sutradara bagiku. Ia memang ayahku tapi semua yang terjadi selama ini tak bisa kubiarkan terjadi lagi.

“Enek opo, Yon? Tadi waktu aku bilang ada sms, mukamu langsung cerah. Eh, begitu smsnya kamu baca roman mukamu langsung berubah.” Untung membuyarkan pikiranku. Ia berbicara tanpa memandangku. Ia sedang sibuk membuat nasi goreng.

“Nggak ada apa-apa kok. Cuma orang iseng. Yah, pamer pulsa kali. Atau lagi dapet bonusan.” Aku kembali berjalan ke ruang depan. Siapa tahu ada tamu yang datang. Aku harus menyibukkan diri supaya bayangan ayahku tak lagi datang. Aku tak mau di paksa untuk mengawini Sarah. Pokoknya aku tak mau kehidupanku kacau gara-gara ayahku.
Persetan dengan larangan dan petuahnya kali ini.

Tiba-tiba seorang gadis berseragam SMA masuk ke rumah makan tempat aku bekerja. Kulihat semua orang sedang sibuk. Tak ada yang melayaninya. Kudekati dirinya yang sedang memegang daftar menu makanan kemudian duduk di meja 12. Kupaksakan senyumku mengembang dan kutanya mau pesan apa.

“Nasi uduknya satu sama ayam goreng ya. Minumnya jus mangga aja.” Gadis itu tersenyum, meletakkan daftar menu dan mengambil hape di dalam sakunya tanpa memandangku lagi. Kuartikan bahwa cuma itu pesanannya.

Ketika aku sedang menggoreng ayam, seorang pria paruh baya duduk menjajari gadis itu yang sedikit terkejut dengan kedatangannya. “Maaf ayah telat. Tadi ada pekerjaan yang tanggung kalau harus ditinggal. Udah pesan?” Pria itu mengambil tissue dan mengelap keringatnya. Kulihat gadis itu tersenyum kemudian kembali asyik memainkan jemarinya memencet keypad hape.

Lagi dan lagi bayangan ayahku bermain di pikiranku. Kalau saja ayahku seperti ayah gadis itu. Ya, kulihat hubungan ayah dan anak itu begitu akur. Seperti tak pernah tejadi pertengkaran ataupun pemaksaan kehendak dari sang ayah kepada putrinya. Aku iri.

# Hati Kedua

Aku mematut diri di depan kaca. Kuperhatikan wajahku dan satu jerawat akhirnya menjadi sasaran untuk kupencet. Kubersihkan dengan handuk kecil ditanganku bekas pencetan jerawat itu. Semenit kemudian aku sudah berada di dapur dan kurasakan perutku yang mulai tak bisa kuajak kompromi. “Bikin nasi goreng ah,” kataku pada diri sendiri. Kuambil hape di dalam kantongku kemudian kuletakkan di atas rak bumbu. Kali ini sengaja tak kupilih profil silent di hapeku karena aku sedang menunggu sms atau telpon dari ayahku. Ayah yang selalu kurindukan suaranya, ayah yang begitu ingin aku memeluknya, walau sesekali sekarang ini, dan ayah yang selalu kuharap bisa mencurahkan kasihnya padaku. Tapi, tidak. Ayahku bukan ayah yang seperti itu sekarang. Ia tidak pernah ada waktu buatku. Ia selalu sibuk dengan bisnisnya yang aku sendiri tak tahu dan akhirnya aku tak peduli.

Benar-benar sial. Aku merasa lebih baik tak punya ayah kalau ia selalu tak peduli denganku. Tak pernah peduli dengan sekolahku, tak pernah peduli dengan pekerjaanku, kehidupanku dan lebih sibuk dengan rekan-rekan bisnis dan koleganya.

Sebuah suara kemudian menghentikan aktifitasku yang baru mulai menyiapkan bumbu untuk nasi goreng. Aku mencari sumber suara dan mendapati handphone Hi-tech milik Yono yang berbunyi. “Yono, ada sms tuh.” Aku sedikit berteriak karena si empunya hape sedang berada di ruang depan menggoreng ayam pesanan pelanggan. Kulirik dia yang belum beranjak mengambil hapenya yang ia gantungkan di dekat lemari es. Aku mengambil beberapa siung bawang merah kemudian kuiris dan kembali berhenti ketika lagu ayah milik Saykoji menjerit dari hapeku. One message received.

Kupencet tombol buka kunci kemudian lihat.

Maaf ayah belum bisa tlpn..
Pengirim: Ayah
+6281377740xxx


Aku mendengus kesal. Lagi-lagi ia tak ada waktu buat menelponku. Ya, ia terlalu sibuk dan tak bisa diganggu bahkan oleh anaknya sendiri. Ku genggam erat hape di tanganku. Kalau saja aku tak ingat hape ini hasil jerih payahku sendiri pasti aku sudah membantingnya. Aku lebih memilih jadi koki dan mulai semuanya dari nol daripada aku harus menerima semua fasilitas dan uang dari ayahku. Mungkin inilah yang membuat ayah tak peduli denganku.

Dulu ia memanjaku dan selalu ada waktu buatku. Namun, semua itu berubah ketika masa SMP aku mulai mengenal pelajaran memasak dan aku menyukainya. Ayah yang berharap diriku bisa menggantikannya mengurusi bisnis yang sudah dirintisnya sejak ia muda berubah. Tapi, sekali lagi aku tak tahu bisnis apa. Karena sejak dirinya berubah dan tak lagi mencintaiku, aku pun tak lagi peduli dengannya.

Sial. Aku benar-benar tak mau seorang Darmawan Sucipta menjadi ayahku. Kalau boleh memilih aku ingin orang lain yang menjadi ayahku.

Yono berjalan gontai ke arah dapur. Mimik mukanya berubah tak secerah ketika kuberi tahu ada sms untuknya. ““Nggak ada apa-apa kok. Cuma orang iseng. Yah, pamer pulsa kali. Atau lagi dapet bonusan,” jawabnya ketika kutanya alasan perubahan mimik mukanya. Yah, aku tahu bukan itu jawabannya. Ia pernah cerita masalah permintaan ayahnya yang menyuruhnya untuk menikahi anak pamannya. Tapi, aku tak mau memaksanya untuk cerita. Aku hanya bisa menduga-duga.

Pikiran ini kembali berpikir tentang ayah. Kalau saja ayahku seperti ayah Yono. Ya, aku memang tak tahu sepenuhnya tentang ayahnya tapi, bagiku lebih baik mengetahui kepeduliannya terhadap anaknya daripada punya ayah yang tak pernah peduli padaku. Lebih baik bagiku ayah yang mencarikan aku pasangan hidup daripada yang lebih sibuk dengan bisnisnya.

Aku memerintahkan kakiku berjalan ke ruang depan, segera setelah menghabiskan nasi goreng yang baru kubuat. Kulihat seorang gadis SMA dan seorang bapak paruh baya duduk di meja 12 dan mengobrol. Kulihat hubungan mereka yang akur. Tapi, tiba-tiba gadis itu beranjak dengan muka cemberut meninggalkan uang dua puluh ribuan di atas meja kemudian keluar. Bapak paruh baya yang duduk di sebelah mengejarnya.


# Hati Ketiga


“Cinta, aku duluan ya. Sori nggak bisa nemenin. Aku ada janji nih.” Mitha, sahabat karibku, pamit. Dia yang biasanya menemaniku menunggu jemputan ayah kali ini ada janji dengan ibunya. Yah, aku tak bisa memaksa.

Kulirik jam yang tergantung di tanganku. Dua puluh lima menit aku menunggunya. Tapi, dia belum datang juga. Kuambil hape di dalam tas namun sejenak kukembalikan lagi ke tempat semula. Aku ragu untuk mengirim sms kepada ayahku.
Ayah. Hah, mengapa aku punya ayah seperti ayahku. Mengapa seorang Zulkifli Silalahi yang menjadi waliku. Ia memang selalu memanjaku. Tapi bagiku ia terlalu berlebihan. Benar-benar berlebihan. Terlalu over malah. Semua ia batasi, semua ia yang mengurus, semua ia penuhi, dan sama sekali tak memberiku ruang. Aku dianggapnya seperti bayi yang perlu digendong dan ditimang. Aku tak pernah punya waktu menghabiskan masa remaja seperti mauku. Ia memaksa aku untuk ikut les ini dan itu, ia selalu menjemputku pulang sekolah agar aku tak kemana-mana. Memberiku supir pribadi yang selalu menjadi tukang adu.

Kulangkahkan kakiku meninggalkan sekolahku. Biar saja ia mencariku. Aku tak peduli. Kembali kuambil hape di dalam tasku kemudian kuputuskan untuk membuka akun facebook-ku. Online.

Kira-kira berjalan lima ratus meter dari sekolahku perut ini kelaparan. Dari pagi aku hanya makan semangkuk bakso yang kubeli di kantin sekolah. Kulihat sebuah rumah makan di sebuah pojok gang. Aku masuk ke dalam kemudian mengambil daftar menu yang terselip di bawah tempat sendok. Kusapu pandanganku dan seorang laki-laki muda menghampiriku sambil tersenyum. “Nasi uduknya satu sama ayam goreng ya. Minumnya jus mangga aja,” kataku. Ia beranjak dan tak bertanya apa-apa lagi karena aku pun langsung mengambil hape di dalam sakuku.

Sedang asyik-asyiknya membaca status teman-teman di facebook, ayah datang dan duduk menjajariku. “Nggak papa,” jawabku ketika ia menjelaskan keterlambatannya. Aku memaksakan senyumku. Di sini aku tak bisa memasang tampang jutekku seperti biasa. Hah, benar-benar sial. Apa aku harus seperti ini terus? Berpura-pura tak ada apa-apa dengan hubungan kami ketika di luar rumah. Aku ingin ayahku seperti ayah-ayah yang lain. Memberiku kasih sayang sewajarnya. Tak berlebihan. Itu saja.

Kembali kusapu rumah makan ini. Beberapa orang sedang asyik mengobrol di salah satu meja di sudut, sepasang kekasih—mungkin—duduk berdua tak jauh dariku, seorang koki yang sedang menggoreng pesananku dan beberapa yang lain sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Hah, apa mereka merasakan apa yang kurasakan? Apa mereka punya ayah seperti ayahku yang membuatku tertekan? Apa mereka ingin bertukar tempat denganku? Sial. Benar-benar sial punya ayah bernama Zulkifli Silalahi.

Ayahku terus berbicara dan ku respon hanya dengan senyuman. Sesekali aku memandangnya dan kembali asyik membaca komen dan status teman-temanku di facebook. Kuminum jus mangga yang sejak tadi tak kusentuh. Makanan pesananku pun cuma kumakan tak ada separuhnya. Nafsu makanku hilang. Ayah masih berbicara dan menanyaiku macam-macam tentang sekolahku.

“Oya, Cinta, bagaimana kalau bulan depan ayah cari seorang guru les fisika yang baru buatmu. Kayaknya, guru les yang sekarang kurang kompeten. Ayah punya kenalan yang ayah yakin lebih baik dari Pak Diran.” Aku mengangguk. Kuiyakan saja permintaannya. Kembali kupaksakan senyumku mengembang. Dia menarik napas kemudian bertanya sesuatu yang benar-benar tak kuduga. “Siapa laki-laki yang minggu kemaren mengantarmu pulang. Waktu Mas Narto nggak bisa menjemputmu.” Kupandang wajah ayahku sekilas. Mencari tahu kemana arah pertanyaannya selanjutnya. Aku takut kalau ayah tahu siapa Andra sebenarnya. Aku diam dan memasukkan hapeku ke dalam tas. Jangan-jangan ia merebut hapeku dan mengecek semua nomor kontak di hapeku. Aku tak mau ia tahu dan membaca My Lovely Andra dari list phonebook-ku.

“Kok diam? Ayah mau tahu siapa dia,” lanjutnya. Aku tetap diam dan pura-pura meminum jus mangga di depanku. Hah, lagi-lagi ayahku mencampuri semuanya. Aku sudah berumur hamper tujuh belas tahun dan apakah dia juga mau melarangku pacaran. Kayaknya kali ini tak bisa kubiarkan ia melarangku. Cukup sudah aku jadi anak emasnya. “Kenapa? Apa ayah tak boleh…”

“Cukup, Yah. Apa yang ayah ingin? Melarangku pacaran dengan Andra? Ya, dia Andra. Pacarku.” Aku mengambil dompetku dan meletakkan dua puluh ribuan di atas meja.


# Hati Keempat


“Oh, semua sudah siap. Tinggal nunggu kepastian dari Pak Darmawan Sucipta saja. Pokoknya minggu depan proyek kita sudah bisa dijalankan.” Aku menutup telponku dan langsung kuambil kunci mobil di dalam laci meja kerjaku. Seseorang kemudian mengetuk pintu. “Tolong gantikan saya sebentar. Saya harus menjemput, Cinta, anak saya,” kataku pada wanita yang baru saja masuk.

Semenit kemudian aku sudah dalam perjalanan menuju sekolah Cinta. Kulirik jam di pergelangan tanganku. “Wah, telat nih,” kataku pada diri sendiri. Kutambah kecepatan laju mobilku. Aku tak mau Cinta marah gara-gara keterlambatanku.

Kupandangi foto Putriku satu-satunya yang kuletakkan di dasbor mobilku. Hah, aku membuang napas. Apa yang salah denganku ya? Hubungan kami tak pernah akur. Aku yang selalu berusaha menjadi ayah yang baik sepertinya justru selalu salah di matanya.

Ayah. Seperti apa seorang ayah itu? Aku tak pernah mengenal seorang ayah. Tak ada seorangpun yang pernah kupanggil ayah. Ayah adalah makhluk misterius bagiku. Aku tak pernah tahu siapa ayahku sebenarnya. Ia pergi meninggalkan ibuku tanpa kabar. Hah, kembali kubuang napas. Membuang kepenatan memikirkan tenatng seorang ayah. Dimanapun ia berada aku tahu ada alasan ia berbuat ini padaku dan ibuku. Dan tak pernah terpikir olehku untuk membenci. Aku ada karena ada dia. Darahnya mengalir dalam darahku.

Tapi, perasaan rindu akan belaian seorang ayah tetap selalu ada. Dan perasaan itu tak boleh terjadi terhadap Cinta. Aku harus menjadi ayah yang benar-benar tulus mencintainya, aku ingin jadi ayah yang selalu ada buatnya. Namun, lagi-lagi aku tak tahu apa yang salah dengan yang kulakukan selama ini. Cinta sepertinya merasa terkekang dan merasa tak bahagia dengan yang kulakukan. Tapi, bagaimana seharusnya seorang ayah itu? Semua menjadi buntu karena aku tak pernah tahu bagaimana cara seorang ayah mecurahkan kasih sayangnya dan tak terkesan mengekangnya.
Ditengah perjalanan kularikan mobilku ke sebuah rumah makan ketika kulihat Cinta yang berjalan dan masuk ke rumah makan tersebut. Kuparkirkan mobilku kemudian turun dan langsung masuk. “Udah. Barusan aja pesan.” Cinta menjawab pertanyaanku setelah sebelumnya meminta maaf atas keterlambatanku. Aku mengelap keringatku kemudian bertanya tentang sekolahnya. Raut mukanya tidak seperti biasa. Aku tahu dia menahan mimik muka yang selalu berikan padaku ketika di rumah.

Kuedarkan pandanganku menyapu rumah makan tempat aku dan putriku saat ini. Seorang koki yang terlihat sedang menggoreng sesuatu, beberapa pelanggan seperti kami, dan sebuah kesibukan yang terdengar lirih dari arah dapur. Kemudian kembali kupandang Cinta. Ia terlihat sibuk dengan hape di tangannya. “Oya, Nak, hari ini kamu ada les privat fisika kan? Gimana menurutmu cara mengajar Pak Diran?” aku bertanya padanya sambil terus berpikir tentang cara menjadi ayah yang baik baginya. Dia memandangku sejenak. “Lumayan kok. Enak,” jawabnya. Memandangku lagi kemudian tersenyum setengah hati. Aku jadi serba salah. Aku masih tak tahu dengan apa yang salah dari pertanyaanku. Sampai ketika kutanya bagaimana kalau aku mengganti guru les privat fisikanya dengan guru yang baru ia cuma menjawab seperlunya bahkan cuma mengangguk.. “Cinta, tolong ajari ayah bagaimana seharusnya seorang ayah itu,” kataku dalam hati. Aku tak berani mengatakannya langsung.

Ia masih terlihat asyik dengan hapenya. Orang-orang yang melihat kami pasti tak menyangka bahwa ada begitu jauh jarak diantara kami. Ada jurang yang aku sendiri tak tahu bagaimana membuat jembatan untuk menyeberanginya.
“Oya, Nak, kemaren yang nganterin kamu waktu Mas Narto nggak bisa jemput siapa?” tanyaku kemudian. Aku cukup tahu berapa umur putriku dan kalaupun laki-laki itu pacarnya aku tak bisa melarangnya. Ia memandangku sejenak dan aku mencoba mengartikan pandangannya. Kutebak ia pasti takut akan pertanyaan itu. “Kok diam?” tanyaku lebih pelan agar ia tak ketakutannya berkurang. Kulihat seseorang pemuda keluar dari arah dapur dan Cinta tetap diam dan ia tiba-tiba memasukkan hapenya ke dalam tasnya. “Ayah Cuma mau tahu siapa dia?” lanjutku. “Kenapa? Ayah tak boleh tahu…” omonganku dipotongnya.

“Cukup, Yah. Apa yang ayah ingin? Melarangku pacaran dengan Andra? Ya, Dia Andra. Pacarku.” Dia pergi setelah meletakkan uang dua puluh ribuan di atas meja. Aku yang benar-benar terkejut dengan responnya kemudian mengejar. Ia berlari keluar dan berusaha kususul. Larinya begitu cepat hingga aku tertinggal agak jauh. Kutambah kecepatan lariku dan dari arah sebelah kananku sebuah mobil melaju dengan kencang dan menabrakku. Aku jatuh terpelanting. Kurasakan ngilu di seluruh tubuhku dan darah keluar dari mulutku. Pandanganku kabur dan aku tak ingat apa-apa setelah itu

Minggu, September 05, 2010

Sapa Edisi Perdana

Alhamdulillah, ditengah kesibukan sebagai mahasiswa baru dan mempersiapkan lomba-lomba cerpen, Edisi Perdana KHARISious Media-Online bisa terbit juga. Sensasi yang luar biasa ketika saya terus dikejar deadline bahwa Edisi perdana ini harus terbit sesuai yang saya janjikan.

Rencana awal KHARISious edisi perdana ini akan saya posting sekaligus beberapa tulisan yang telah saya siapkan untuk tiap edisi. Namun, kemudian saya berpikir ulang bahwa tulisan-tulisan saya termasuk tulisan yang agak panjang sehingga perlu waktu lebih untuk membaca semuanya. Oleh sebab itu satu edisi akan saya bagi menjadi dua waktu posting, yaitu setiap tanggal lima dan Insya Allah setiap tanggal 20. Dengan harapan bahwa sekali buka Blog ini, teman-teman semua bisa menghabiskan tulisan saya sekali posting.

Okey, di Edisi Perdana ini ada dua cerpen yang saya telah posting ditambah dengan satu buah Cerbung. Kemudian ada tulisan singkat mengenai untuk para pembaca yang tertarik dengan dunis tulis-menulis tapi, bingung mau belajar darimana. Untuk tulisan non-fiksi lainnya akan saya siapkan untuk saya posting tanggal dua puluh.


Selamat menikmati sajian di edisi perdana ini. Dan mohon dengan sangat komen dari pembaca untuk kemajuan bersama.


Terima kasih

Iqbal Kharisyie

Setelah Ramadhan masih ada Puasa Syawal Kan?

Garis finish puasa ramadhan semakin dekat. Euforia menyambut datangnya Syawal-pun begitu semarak. Namun, sebuah perenungan perlu kita lakukan. Apakah ramadhan ini sudah kita jalani semaksimal mungkin?

Sebuah awal pasti ada akhir dan bersambut dengan awal yang baru. Seolah tongkat estafet yang tak boleh berhenti sebelum perlombaan selesai. Ramadhan sebentar lagi berakhir dan apapun yang sudah kita jalani semasa Ramadhan tahun ini tak boleh disesali. Apakah ibadah kita sudah sesuai target ataupun belum. Namun, hal yang penting hari-hari terakhir yang masih tersisa selayaknya kita manfaatkan dengan baik untuk mengejar target yang tertinggal itu.

Ramadhan berakhir namun masih ada Syawal yang menanti.

Ù…َÙ†ْ صَامَ رَÙ…َضَانَ Ø«ُÙ…َّ Ø£َتْبَعَÙ‡ُ سِتًّا Ù…ِÙ†ْ Ø´َÙˆَّالٍ Ùƒَانَ ÙƒَصِÙŠَامِ الدَّÙ‡ْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)

Subhanallah, ternyata Allah masih menebar obral pahalanya meski ramadhan telah berakhir. Salah satunya adalah dengan puasa enam hari di Bulan Syawal. Pahalanya tak tanggung-tanggung. Siapa saja yang sudah berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan enam hari di Bulan Syawal terhitung seperti puasa satu tahun. Tak tergodakah kita satu tahun mendatang setiap harinya kita seperti berpuasa.

Mumpung Ramadhan belum benar-benar berakhir ayo siapkan diri kita untuk mendapatkan yang setahun itu.

Aku Ingin Membunuh Cungkring

AKU membuka penuh nafsu majalah mingguan langganan ibu. Saking nafsunya beberapa halaman akhirnya kubuat robek di bagian bawahnya. Kembali kubuka halaman daftar isi. Mencoba memastikan kembali ada di halaman berapa artikel yang ingin kubaca. Kutekuni lagi halaman demi halaman. Kali ini aku lebih santai dan lebih hati-hati supaya tak terlewat halaman yang kumau.
“Nah, ini dia.” kataku pada diri sendiri ketika kutemukan artikel yang kucari. Aku melakukan sedikit stretching kemudian mengubah posisi dudukku seperti biasa. Posisi duduk yang menurutku paling enak kalau sedang membaca. Mengambil sebuah bantal yang kusandarkan di kepala ranjang dan kurebahkan tubuhku di atas bantal itu.
“Tips menggemukkan badan,” kubaca judul artikel itu sedikit bersuara. Aku tersenyum dan merasa menemukan solusi dari masalah yang begitu mengganggu pikiranku beberapa minggu terakhir. Belum apa-apa aku sudah merasa sangat senang dan berpikir setelah melakukan tips-tips di majalah ini pasti takkan ada sebutan “Cungkring” lagi untukku.
Akhir-akhir ini aku merasa sangat tersinggung ketika teman-teman dan kerabatku memanggil Cungkring. Padahal sebelumnya tak ada masalah bagiku. Sekarang semua itu terasa seperti menelanjangiku. Aku sendiri bingung dengan perubahan sikapku ini. Apakah ini memang ketaksukaan yang sudah terakumulasi? Mungkin dari dulu aku memang tidak suka dengan panggilan itu dan saat ini perasaan itu siap meledak karena sudah terlalu lama mengendap. Ah, entahlah. Aku tak peduli alasannya. Sekarang aku harus fokus melakukan apa yang baru saja kubaca. Supaya tubuhku tak lagi seperti sapu lidi dan yang paling penting, “Pergilah kau, Cungkring!”
Selewat beberapa menit kuambil laptop di dalam tas, kutulis ulang artikel itu dan kuprint untuk kemudian kutempel diatas Styrofoam berjejer dengan jadwal kuliahku. “Selesai,” ucapku lega.
***
“Um, apalagi ya?” tanyaku pada diri sendiri. Kuambil kertas kecil di saku celanaku dan ku-cek ulang apa yang harus kulakukan hari ini. “Beli susu full cream sudah, daftar jadi member gym beres, ehm… apalagi nih? Ah, kayaknya ini dulu aja. Lainnya kan bisa nyusul nanti.” Kumasukkan lagi kertas kecil tadi ke tempat semula Beberapa menit kemudian aku sudah dalam perjalanan mengendarai Vega R-ku menuju rumah.
***
“Ndra, nanti sore kayaknya aku nggak bisa ikut latihan. Ada perlu nih.” Akhirnya kata-kata yang tadi sempat tak ingin kuutarakan keluar juga. Tak apalah sekali-kali bolos latihan band, pikirku tadi pagi. Tapi, karena sudah kepalang tanggung kukatakan, maka sekarang aku harus cari alasan yang meyakinkan. Nanti sore aku ada jadwal fitness dan aku tak mau seorangpun dari teman-temanku tahu. Malu. Pasti mereka bakal meledekku habis-habisan.
“Tumben. Emang urusan apaan? Biasanya lu yang paling getol ngomongin anak-anak buat nggak ninggalin latihan. Gue curiga nih. Jangan-jangan Cungkring yang satu ini lagi nyembunyiin sesuatu.” Indra memandangku dengan pandangan menyelidik. Membuatku merasa kikuk dan grogi. Akhirnya kusembunyikan perasaan itu dengan berpura-pura mencari sesuatu di dalam tasku. “Suer. Aku ada urusan penting nih. Cuma sekarang aku belum bisa ngomong urusan apa.” Aku berkilah. Menampakkan raut memohon supaya Indra sang ketua band mengabulkan pemohonanku.
“Please. Kali ini aja.” Aku menangkupkan tangan di depan dadaku. Kali ini wajahku kubuat begitu memelas. Persis seperti pengemis yang sering kutemui di lampu merah depan kampus. “Gue nanya ma anak-anak dulu ya. Kalo mereka ngebolehin ya… what’s to be done.”
“Ayolah, kamu kan ketuanya. Kalo kamu bilang iya, pasti mereka juga iya.” Indra terlihat berpikir sambil memainkan hape di tangannya. “Tapi…”
“Iya, aku janji kali ini aja.” kupotong omongannya cepat-cepat. Kuacak-acak rambutnya kemudian kuambil langkah seribu. “Tunggu! Maksud gue lu harus kasih sogokan ke gue.” teriaknya. “Beres.” kataku sambil berlari meninggalkannya sendirian di kantin. Wah, akhirnya aku bisa fitness dengan tenang nih. Tak terlalu susah juga minta ijin sama sang leader bandku.
***
Kuhempaskan tubuhku di atas ranjang tanpa melepas tas di punggungku. Kupandangi langit-langit kamar membayangkan tubuhku yang tak lagi kurus kering, sudah berisi, kekar, dan six-pack. Hm, jadi tak sabar. Kupalingkan wajahku dan kubaca lagi tips yang tertempel di atas Styrofoam.

From Skinny to be Fat
(Goodbye, Cungkring!!!)
1. Olahraga teratur (Nge-gym minimal harus seminggu tiga kali plus WAJIB olahraga di rumah setiap hari)
2. Minum susu full cream (Hem, yang ini asyik tuh. I like milk)
3. Makan teratur (Haha, masalah makan mah nggak usah ditanya. Tapi, jangan lupa! Sekarang kalau makan harus dikunyah baik-baik karena kata majalah kesukaan ibu—sedikit nggak percaya—menguyah makanan sampai halus dilakukan untuk mempermudah kerja lambung. Wah, jadi lama nih kalau makan)
4. Tidur yang cukup (Waduh, kalau harus nonton bola sampe malem gimana?)
5. Kurangi kebiasaan merokok (Cuih, seumur-umur aku belum pernah ngerasain rokok—bohong tingkat tinggi. Hehe—lho, udah boong pake senyum lagi. Wakwkakak—eh, malah ngakak)
6. Udah ah. Jangan banyak-banyak. Nanti malah kegemukan. (Alasan aja)

Aku mengangkat tubuhku seraya tersenyum membaca tips yang kutulis ulang itu. Sengaja kutambahkan kata-kata yang tak kutemui di artikel kemarin. Kuletakkan tasku di atas ranjang dan kulihat angka di layar ponselku menunjukkan angka 14.30. Berangkat ah.
***
“Jenis olahraga yang satu ini memang gampang-gampang susah.” Bang Rico, instruktur fitnesku, mencoba menjelaskan tentang push-up. Aku memasang telingaku baik-baik. Jangan sampai ada penjelasan darinya yang terlewat. “Sepertinya sepele sekali, cukup naik dan turunkan badan dibantu oleh otot tangan. Padahal kalau tidak dilakukan secara benar, manfaat push up tidak akan terlalu banyak berpengaruh lho.
Jadi, push-up yang benar seperti ini. Posisi tangan agak lebar di lantai, dan kaki bertumpu pada ujung jari, sehingga tubuh bisa ditopang dengan sempurna selurus mungkin. Kemudian buang napas sambil menekukkan sikut dan turunkan posisi bahu sampai tekukan sikut membentuk sudut 90 derajat. Dorong bahu ke atas sambil menarik napas hingga tangan lurus, tapi pastikan posisi sikut tidak terlalu kaku agar mudah ditekuk kembali,” aku memperhatikan Bang Rico mencontohkan gerakan push-up yang benar. Selama ini aku kalau push-up asal-asalan saja. “Usahakan untuk melakukan 2 set dengan repetisi 10-12 kali tiap set-nya. Ingat, jangan luruskan sikut terlalu kaku. Usahakan posisi kepala sejajar dengan punggung, jangan mendongakkan kepala ke depan agar posisi tulang belakang tetap netral. Push Up sendiri berguna untuk melatih otot dada, trisep dan otot pundak.”
Kemudian aku mempraktekkan apa yang baru saja dijelaskan oleh Bang Rico. Mencoba beberapa kali gerakan push-up yang baik dengan bantuannya. Ditambah gerakan-gerakan sederhana lain yang dibuat fun olehnya. Pertemuan selama satu setengah jam itu memang cukup mengesankan. Selain karena Bang Rico orangnya menyenangkan. Juga karena gerakan-gerakan di awal-awal pertemuan tak perlu menguras begitu banyak tenaga. Aku belum terbiasa olahraga.
Satu setengah jam akhirnya habis. Terasa begitu cepat kalau fitness sama Bang Rico. Tahu-tahu sudah selesai.
“Sip. Jangan lupa dilakukan rutin di rumah ya, Nino. Abang yakin proses penggemukan yang kamu mau bisa berjalan sesuai rencana kalau kamu konsisten olahraga dan tips-tips kamu yang kamu ceritakan. Mungkin bekal buat di rumah. Abang ada home-gym sederhana tanpa perlu insrtuktur. Yang pertama stretching alias pelemasan otot, sebelum melakukan aktifitas biasakan untuk melakukannya. Gerakannya cukup gerakan-gerakan yang kamu ketahui saja. Kemudian walking atau jogging dan sprinting. Yap, Pertemuan kali ini cukup. Ketemu lagi besok.”
***
“Lu mau ngomong apaan? Cepet. Gue mau ketemu sama pacar gue nih. Udah janji mau jalan.” Indra terlihat gusar ketika kupaksa dia bicara serius berdua. Pasti pikirannya ada pada Nayla, pacarnya. Aku menarik napas beberapa detik. Keberanian untuk bicara pasti muncul kalau berhadapan dengan Indra.
“Gini, Ndra. Aku cuma mau usul nih. Gimana kalau jadwal latihan kita diubah. Jadwal hari Selasa sama Kamis diganti hari Rabu-Minggu aja ya.” Aku langsung to the point. Indra tak punya waktu lama saat ini jadi harus langsung ke pokok pembicaraan. “Diganti? Nggak. Gue nggak bisa mutusin itu semua, Cungkring. Anak-anak gimana? Lu tahu sendiri dulu Fendi bela-belain jadwal ngajar bimbelnya diganti supaya bisa latihan hari Kamis. Dan hari Selasa kan lu juga tau kalo gue sama Bages nggak bakalan bisa. Cahyo sih fine-fine aja jadwalnya mau kapan. Dia kan available terus. Emang kenapa sih? Urusan rahasia yang kemaren?” aku mengangguk pelan. Sedikit kecewa karena Indra tak memberi lampu hijau atas usulku tadi. Dia melirik jam di tangannya.
“Gue yakin usul lu nggak bakal bisa diterima. Termasuk oleh gue. Jadwal latihan band kita udah paten. Susah kalo harus diubah.”
“Please, Ndra. Tolongin aku.” Lagi-lagi aku mengandalkan jurus memelasku. Tapi, kali ini tak berguna. Indra menggeleng dengan cepat. “Lu aja yang urusannya dipindah di hari yang nggak ada jadwal latihan band.” Indra kembali melirik jam di tangannya. “Nggak bisa juga. Instrukturku nggak bisa kalo hari Rabu. Apalagi hari Minggu. Jatahnya dia libur.”
“Instruktur?” Indra memandangku tajam. Keningnya berkerut mendengar aku menyebut kata instruktur. Aduh, keceplosan. “Em… Anu… Maksudku, itu… Orang yang punya urusan denganku.” Aku tergagap karena kecerobohanku sendiri.
“Okey. Kita bicarain ini nanti. Gue udah telat banget nih jemput Nayla. Yang jelas gue jadi semakin penasaran sama apa yang lu sembunyiin. Tapi, udahlah. Gue pergi dulu. Sorry ya.” Indra langsung angkat kaki dari hadapanku. Beberapa detik kemudian tubuhnya sudah tak terlihat. Hah, gagal.
***
Aku melepas sepatuku, menekan tombol on kipas angin di samping ranjang, dan kulepas kaos yang kupakai. Badanku terasa lengket karena keringat sehabis fitness tadi sore dan belum sempat mandi karena aku baru tiba di rumah. Sambil menunggu sistem ekskresi tubuhku tuntas mengeluarkan keringat, kuhidupkan ponsel yang sedari tadi kunonaktifkan. Langsung saja nada nocturnal sebagai message tone berbunyi berkali-kali. Ku klik tombol show kemudian kubaca salah satu sms dari Indra yang dikirimnya tadi sore.
CungkRinG, lu dMna?
qTa dah NungGu bWt lthaN..

Berikutnya masih ada beberapa sms dari Indra dan teman-teman bandku tertanda waktu yang sama seperti milik Indra yang barusan kubaca. Semua langsung sukses ku-delete tanpa kubaca. Pasti isinya pertanyaan mengapa aku bolos dan bla-bla lainnya. Hari ini lagi-lagi aku bolos latihan. Selama lebih dari dua minggu aku hanya ikut latihan beberapa kali. Jadwal fitnes yang selalu berbarengan dengan jadwal latihan band memaksaku lebih memilih untuk fitness. Pokoknya, untuk saat ini tak ada yang bisa menghalangi proses penggemukan badanku.
Nada nocturnal kembali berbunyi dari ponselku. Kulirik sejenak ponsel yang kuletakkan di atas meja belajar. Aku tak akan membalas sms itu kalau salah satu teman bandku yang sms. Tapi, setelah membaca sms itu aku hampir membantingnya saking kesalnya dan kubalas juga. Dari Fendi.
bgus ya.. skrng km lbh sibuk
sma urusan ga jlasmu itu…
skali lgi km ga latian km K.E.L.U.A.R..!!!
dri band kita.

Busyet! Emng kmu siapa, hah? Leader bukan.
Produser band kita? Bukan jga.
Km gag ada hak bwt n.g.e.l.u.a.r.i.n
AKU…. You know..!!!

You’re absolutely right. Tpi, ini udah kptusan qta tdi siang.
Tnya ja ma Indra atw yg lain.
Thanks…

Membaca sms terakhir Fendi akhirnya kuputuskan untuk menelepon Indra. Mengklarifikasi tentang berita yang membuatku ingin menelan hidup-hidup mereka. Seenaknya saja mendepak orang dari band.

“Halo, Cungkring. Ada apa? Kemana aja lu akhir-akhir ini jarang latihan.” Dari seberang Indra langsung meng-interogasiku. “Anu… itu…”
“Secret activity lu itu? Begini, Cungkring. Maaf nih. Tadi siang kita orang udah ngomong serius tentang kelakuan lu yang sok misterius itu. Keputusannya kalo sekali lagi lu nggak datang latihan lu keluar dari band kita. Sorry, aku nggak bisa bantu. Anak-anak semua setuju.” tanpa kutanya Indra membenarkan sms Fendi.
“Sekali lagi…” Kumatikan teleponku, memotong omongan Indra yang tak tahu mau bicara apa. Kuletakkan ponselku, kuangkat pantat, dan berdiri di depan cermin, memperhatikan tubuhku dengan seksama. Gara-gara tubuh kurus ini semua jadi berantakan.
Kuteliti setiap inchi tubuhku. Tak ada perubahan. Tubuhku masih saja ceking, kurus, sama sekali tak berisi, dan perutku semakin kecil. Tak ada tanda-tanda six-pack. Tubuh sapu lidiku masih tetap seperti sapu lidi. “Tenang, baru tiga minggu,” pikiran positifku membela diri. “Baru tiga minggu? Justru karena sudah tiga minggu kenapa belum ada yang berubah.”
“Nggak mungkin secepat itulah,” dua sisi pikiranku beradu argumen. “Bullshit! Udah, mending nggak usah aneh-aneh. Syukuri saja tubuh sapu lidi ini.”
“Usaha ini namanya. Masak baru gini aja udah mau nyerah.” Tak tahan dengan debat pikiranku sendiri, kuguyur badanku di kamar mandi berharap semua itu berhenti. Dan berhasil. Pikiranku jadi lebih tenang.
***
Kurasakan seseorang menarik kerah belakang bajuku. Tanganku berusaha melepasnya tapi gagal. Cengkeramannya begitu kuat atau tenagaku yang terlalu lemah. Hah, payah. Untuk melindungi diri saja aku tak bisa. Pasti akibat tubuh kurusku ini aku jadi tak punya tenaga sekuat yang kubutuhkan saat ini.
Orang kurang ajar di belakangku membawaku masuk ke sebuah ruangan di gedung Fakultas Bahasa dan Seni. Di tempat itu, sudah berkumpul teman-teman band-ku. Aku didudukkan di sebuah bangku dan aku baru tahu ternyata orang yang membawaku adalah Bages. Pantas saja, tubuh kurusku tak mungkin menang melawan tenaga sang gajah.

“Maaf kalo akhirnya kami ngelakuin ini. Kalo nggak seperti ini pasti lu langsung ngilang setelah kelas selesai.” Aku menatap mereka satu-persatu. Mata Indra yang menjadi tempat aku meminta bantuan. Tak kutemukan pandangan menyalahkan seperti yang lain di matanya.
“Ancaman kami untuk mengeluarkan kamu dari band ternyata nggak berhasil. Malah, kamu semakin sering bolos.” Cahyo meneruskan omongan Indra. “Maaf, kalo kami memutuskan untuk memata-matai kamu beberapa hari ini dan sekarang kami minta penjelasan, kenapa kamu lebih mementingkan ikut fitness daripada latihan band,” ucapan Cahyo membuatku tertegun. Memata-matai? Sialan. Aku merasa kecolongan.
Aku masih diam menatap mata Indra. Berharap bantuan darinya segera dia lakukan. Dia malah melepas pandangannya dariku.
Hah, mereka sudah tahu semuanya dan mungkin memang sekarang saatnya aku mengatakan tujuanku ikut fitness dan tentang panggilan Cungkring. “Aku cuma pengen membentuk dan menggemukkan badanku doang. Itu saja. Ada yang salah?”
“Tak mungkin kalo cuma itu alasannya. Kita tahu siapa kamu, Cungkring. Alasan sepele seperti itu tak mungkin mengalahkan komitmen band yang sudah kita buat. Pasti ada…”
“Fine, aku cuma pengen gemuk. Aku pengen tak sekurus ini. Aku pengen tubuhku lebih berisi. Aku pengen tubuhku lebih proporsional, tak keliatan seperti sapu lidi kayak gini. Dan paling penting aku pengen menghilangkan panggilan Cungkring karena nama asliku lebih keren. NINO.” Aku berkata dengan satu tarikan napas, menarik napas sekali lagi dan siap untuk mengeluarkan uneg-unegku. Kupandangi mereka sekali lagi dan semua diam mendengar omonganku. “Ada lagi yang masih mau ditanyakan? Hari ini aku ada jadwal nge-gym nih.”
“Oalah, jadi itu alasannya toh. Ngomong kek dari dulu kalo ente nggak suka dipanggil Cungkring.” Fendi berkata sambil tersenyum. Mencoba mencairkan suasana tapi justru membuat kami semakin terdiam. Aku pura-pura melihat jam di layar ponselku. Kejadian ini membuatku tak ingin berangkat fitness hari ini. Malas.
“Benar kata Fendi. Kenapa lu nggak ngomong dari dulu, Cungkring. Maaf, maksudku Nino. Kita memanggilmu Cungkring bener-bener tak ada maksud menghina fisik lu. Dan bukankah semua orang juga memanggilmu Cungkring? Lalu kenapa band kita yang jadi korban. Perlu lu tahu kita terima lu apa adanya. Justru kita lebih seneng seorang Nino yang punya tinggi 180-an dengan berat badan tak pernah melebihi angka 45 tapi punya komitmen tegas buat kemajuan band. Nino yang dulunya paling rajin mengingatkan tujuan kita membentuk band ini, Nino yang supel, nggak neko-neko, dan semua berubah gara-gara lu nggak suka panggilan Cungkring, tapi lu cuma diam nggak mau ngomong terus terang.” Indra angkat bicara. Bages mengangguk diikuti Cahyo kemudian Fendi.
“Kita tak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, kawan. Sudah sepatutnya kita bersyukur atas apa yang kita punya. Terkadang setelah kita mendapatkan apa yang kita inginkan, kita baru tahu bahwa kita tak lebih bahagia dengan keinginan yang sudah kita dapatkan itu.” Seperti biasa, kalau Indra sudah bicara pasti luluh semua. Tak terkecuali aku.
Akupun seperti tersadar kalau pikiranku akhir-akhir mungkin salah. Mengapa aku tak mengatakan terlebih dulu kalau aku tak suka dipanggil Cungkring sebelum melakukan tindakan bodoh seperti kemarin. Untung aku belum resmi dikeluarkan dari band. Atau jangan-jangan sudah? Wah, tambah ribet urusannya. Terus, panggilan Cungkring sendiri bagaimana? Apa memang aku benar-benar tak suka dengan panggilan itu? Payah. Mengapa jadi plin-plan begini. Tak enak rasanya mendengar Indra memanggilku Nino, nama asliku.
“Maaf, kalau sebagai teman kami kurang peka.” Indra masih terus bicara namun aku lebih sibuk dengan pikiranku sendiri.
Ada yang salah nih. Sebelum nasi jadi bubur aku harus berpikir cepat, Cungkring atau Nino sebenarnya yang kumau? Apa benar aku tak suka dengan panggilan Cungkring? Apa benar aku tak suka dengan panggilan Cungkring? Pertanyaan ini terus mendengung di telingaku. Kayaknya semua ini hanya emosi sesaat. Benar-benar terasa gatal telingaku mendengar panggilan Nino.
Aku mencoba mengundinya dengan jari tanganku. Diam-diam tentu saja. Nino. Waduh, masih kurang sreg. Kucoba sekali lagi mengundinya dengan kancing bajuku. Nino lagi. Hah, aku menyerah. Harus dibiasakan mendengar sebutan Nino tersemat padaku mulai saat ini.
Tapi, tunggu dulu. Aku minta kesempatan sekali lagi pada diriku sendiri. Kalau memang Nino lagi hasilnya kali terakhir ini maka selamat tinggal Cungkring. Aku harus mengundinya untuk yang sekali lagi. Ehm, pakai jumlah orang yang ada di ruangan ini saja.
Nino. Cungkring. Nino. Cungkring. Nino. Yah, ternyata benar-benar selamat tinggal nama Cungkring. Namun, tiba-tiba terdengar suara ketukan dan seseorang masuk. Nayla, berjalan sambil memamerkan senyum manisnya. Aku menghela napas lega sekaligus bahagia. Nayla menyelamatkan si Cungkring. Kuulangi sekali lagi, memastikan. Nino, Cungkring, Nino, Cungkring, Nino, dan Cungkring.
Aku tersenyum sedikit cekikikan. Membuat teman-temanku sekarang mungkin berpikir aku gila. Ternyata, ini yang kumau. Namaku Nino dan tetap panggil aku si Cungkring.


Rawamangun, 12 Agustus 2010

Bait-bait Cinta, Aku dan Bapak

(Pernah dimuat di Harian Radar Lampung, Oktober 2008)

♪ Teringat masa kecilku…Kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu… buatku melambung
Di sisimu terngiang…Hangat napas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala…mimpi-mimpi serta harapanmu*1

☺☺☺

HARI berjalan seperti biasa. Panas matahari menemaniku menyusuri gang-gang kecil di daerah Pringsewu. Peluh tak henti-hentinya mengalir membasahi tubuhku. Hari memang tidak terlalu panas namun, rasa capek yang kurasa membuat otakku memerintahkan sistem ekskresi tubuh ini mengeluarkan keringat tak henti-henti.

Aku selalu berharap bahwa aku akan pindah dari daerah ini. Rumah yang saling berdempetan adalah pemandangan yang biasa kulihat, yang merupakan salah satu alasan kenapa aku ingin meninggalkan daerah ini. Rumah-rumah ini tidak tertata rapi dan kotor. Bau yang begitu menyengat tercium sepanjang gang, karena di sisi gang terdapat selokan yang tertutup sampah-sampah yang telah busuk

Aku terus menyusuri gang-gang kecil ini hingga sampai di sebuah perempatan. Lalu aku mengambil arah ke kanan dan sekitar empat ratus meter dari perempatan gang terlihat sebuah rumah berukuran 5 x 7 meter yang sama sekali tidak mempunyai halaman. Rumah itu adalah tempat dimana pertama kali aku melihat dunia. Ya, rumah itu adalah rumahku.

Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah. Namun, begitu enggan. Ingin rasanya aku pergi sejauh aku bisa berlari. Kalau pun mungkin aku ingin membenamkan tubuhku ke dalam bumi karena hari ini adalah hari yang tak ingin aku jumpai.

Seharusnya hari ini aku bahagia. “Murid teladan SMA Nusantara sekaligus peraih nilai tertinggi ujian tahun ini adalah…Ahmad Kurniawan.” terngiang kembali ucapan Pak Supriyanto mengumumkan bahwa akulah juara umum.

Aku sebenarnya bahagia, apalagi bapak dan emak, mereka pasti bangga. Namun, kebahagiaan yang kurasakan dalam sekejap hilang justru ketika kemudian terbayang wajah bapak dan emak. Pandanganku akhirnya menerobos jauh ke masa tiga tahun silam.

☺☺☺

“Le, bapak mau ngomong sebentar sama kamu.” tiba-tiba bapak masuk kamarku dan memecah konsentrasiku ketika aku sedang asyik mengerjakan PR matematika. “Wonten nopo, Pak? Nek ajeng sanjang nggeh sanjang mawon.”*2 aku kemudian duduk di samping bapak, kuamati wajah bapak, mencoba menerjemah apa yang hendak bapak katakan lewat pandangannya. Sia-sia. Begitu sulit menebak isi hatinya.

“Bapak cuma mau ngomong hal yang mungkin bersebelahan dengan niatmu.” bapak berhenti sejenak. Menarik napas. Dalam. Hingga waktu serasa ikut berhenti menunggu kata-kata bapak.

“Bapak harap kamu mau mengerti, Le.”

Jeda kembali beberapa saat. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Bapak mau ngomong kalau kamu ndak usah berharap bahwa kamu akan sekolah tinggi. Bapak mau kamu membantu bapakmu ini menggarap sawah. Jadi, setelah lulus SMA kamu ndak akan sekolah.” aku termangu mendengar ucapan bapak. Berhenti sekolah?!? Baru saja aku dinyatakan lulus dari SMP dan bercita-cita untuk jadi sarjana, bapak sudah membangun sebuah tembok penghalang yang sangat tinggi dan aku tahu bahwa aku tak akan bisa melewatinya apalagi menembusnya.

“Bapak tahu bahwa ini bukanlah saat yang tepat. Bapak tahu bahwa kamu pasti sudah berpikir kemana kamu akan sekolah setelah kamu lulus SMP ini dan kamu pun pasti telah memikirkan kemana kamu akan melanjutkan sekolahmu setelah lulus SMA nanti.” bapak kembali berhenti.

Kupandangi wajah bapak sekali lagi. Wajah itu terlihat begitu tua dan terlihat begitu lelah. Aku pun tersadar dan seperti terbangun dari mimpi memikirkan apakah aku masih bisa melihat kecerahan kembali wajah bapak? Apakah masih ada waktu buatku untuk membalas semua yang telah beliau berikan padaku? Tapi, bagaimana aku bisa membuat bapak bahagia kalau aku sudah dihalangi ketika aku sedang meniti jalan untuk membuatnya bahagia.

Bapak memandangku sejenak. Aku pun mencoba mengatakan sesuatu.

“Pak, lalu bagaimana dengan cita-cita Ahmad. Bapak sendiri pernah bilang kalau anak laki-laki punya tanggung jawab yang besar sama keluarganya. Terus apa yang akan Ahmad berikan buat keluarga Ahmad, buat anak-anak Ahmad, dan buat bapak sama emak.”

“Bapak tahu itu, Le, tapi... bapak ndak akan sanggup membiayai sekolah kamu. Kamu kan tahu sendiri berapa kali bapakmu ini dipanggil oleh sekolahmu dengan satu alasan, SPP kamu belum dibayar. Le, ilmu itu ndak hanya bisa didapat di sekolah. Ilmu itu bisa kamu dapat di manapun.” aku terdiam. Aku tak mampu membantahnya kali ini.

“Satu hal yang perlu kamu ketahui, bapakmu ini telah gagal menjadi seorang ayah.” air mata bapak tiba-tiba mengalir. Tak kuasa aku menghapusnya karena aku tahu bahwa bapak sedang merasa bersalah karena tidak bisa menyekolahkanku sampai perguruan tinggi.

“Bapak tidak gagal. Aku akan melakukan apa yang bapak perintahkan.” akhirnya satu keputusan telah kuambil dan hari ini aku menyesali keputusanku waktu itu. Aku percaya kalau ada kemauan pasti ada jalan. Dan hari ini aku akan mencoba berbicara sama bapak, siapa tahu setelah tiga tahun keputusan bapak telah berubah.

“Le, sedang apa berdiri di depan pintu. Bukannya ganti dan ngebantuin emak, kamu malah ngelamun. Udah, cepet sana ganti terus bantuin emak ngambil kayu di belakang!” emakku tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Aku masih mendekap hasil ujianku dengan tekad nanti malam aku akan berusaha bicara sama bapak. Ya Tuhan, mudahkanlah ini semua.

☺☺☺

♪ Kau ingin ku menjadi… yang terbaik bagimu…
Patuhi perintahmu… jauhkan godaan…
Yang mungkin kulakukan
Dalam waktuku beranjak dewasa...

“Ya…tidak…ya…tidak…ya…” aku mengundi keberanianku dengan kancing bajuku. Aku masih ragu-ragu dengan niatku. “Aku harus tetap ngomong dan harus berani mengambil resiko.” kataku pada diriku meyakinkan bahwa memang ini harus aku lakukan. Kulihat bapak sedang duduk di ruang tamu. Aku kembali ragu dengan niatku. Kucoba memejamkan mata sambil berdoa bahwa Tuhan akan memudahkan niatku. Aku berjalan ke arah bapak dan duduk di sampingnya. Sedikit terkejut bapak melihatku tiba-tiba duduk di sampingnya. Namun, bapak kemudian kembali tenang dan pandangannya tetap lurus ke depan.

“Kamu ndak akan bisa melanjutkan sekolah, Le” seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan bapak langsung berkata dan memupuskan semua harapanku. “Jika itu yang ingin kamu omongin sama bapak saat ini, bapak akan mengatakan sekali lagi. Kamu ndak akan bisa melanjutkan sekolah, Le”

Ya Tuhan…apa ini memang sudah nasibku. Aku harus membantu bapak mengerjakan sawah peninggalan mbah kakung yang hanya beberapa petak dan mengubur semua cita-citaku.

“Pak, terus bagaimana dengan cita-cita Ahmad?” aku terus berusaha meruntuhkan tembok penghalang yang bapak bangun. “Le, jangan ulangi kata-kata itu lagi. Bapak mohon tolong kamu ngerti bapakmu ini. Bapak ndak akan sanggup ngebiayain sekolah kamu lagi.”

“Pak, Ahmad percaya menawi enten kekarepan pasti wonten jalan,*3 asal kita mau berusaha.”

“Terus, apa usaha yang akan kamu lakukan, Le? Ngemis-ngemis sama sekolah kamu seperti dulu supaya uang sekolah kamu diperingan.”

“Kita tidak mengemis, Pak. Itu usaha kita dan itu hak kita karena memang sekolah menyediakan dana buat orang-orang yang tidak mampu.” aku masih terus berusaha menjebol tembok itu. “Le, sekali lagi bapak tegaskan ke kamu. KAMU NDAK AKAN MELANJUTKAN SEKOLAH. Titik.”

“Tapi, Pak…”

“Cukup!” bapak memotong omonganku. Aku terduduk lemas bersandar pada bangku kayu yang aku duduki. Sudah tidak ada yang bisa aku lakukan. Kulirik bapak yang duduk di sampingku. Kami masih terdiam dengan pikiran masing-masing hingga bapak akhirnya memecah kesunyian itu.

“Bapak, minta maaf sama kamu, Le. Bapak ndak bisa memenuhi keinginanmu.” bapak berdiri dan keluar rumah. Sedetik kemudian tubuhnya hilang ditelan kegelapan.

Sekarang aku sudah pasrah terhadap nasibku. Aku meyakinkan diriku bahwa ini adalah yang terbaik buatku. Namun, aku masih belum bisa menerima semua ini. Ya Tuhan, mengapa aku masih belum ikhlas menerima nasibku ini?

Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan menyentuh pundakku. Emak. Ya, pasti emak. Dan aku tahu emak pasti akan menjadi juru damai antara aku dan bapak. Emak menjajari tempat dudukku dan aku menunduk ketika jemari tangan emak lembut mengelus rambutku. Hah, untung masih ada emak.

Emak. Wanita yang menemani bapak mengarungi suka duka kehidupan. Menemani bapak membesarkan aku sang anak tunggal yang sampai saat ini masih belum bisa membalas jasa-jasa mereka. Namun, masih menuntut sesuatu yang aku tidak yakin bahwa mereka akan mengabulkannya. Emak. Orang yang selalu menitipkan kasih sayangnya padaku tanpa pernah berpikir untuk mengambilnya kembali. Emak. Yang di bawah telapak kakinyalah surga untukku terbentang. Emak, emak, emak, dan bapak tentu saja yang selalu ada dalam doaku setiap kubersujud di depan Tuhan Sang Penguasa Jagat sampai aku meneteskan air mataku berharap bahwa aku akan bisa membahagiakan hari tua mereka.

“Le, apa kamu tahu apa yang sedang bapak sama emakmu pikirkan saat ini?” emak masih membelai rambutku dan mengambil tempat di sampingku. Aku memandangnya untuk kemudian menggeleng. “Le, percayalah bahwa emak dan bapak ndak ingin kamu berhenti sekolah. Bapak dan emak tahu bahwa kamu juga ndak akan mengecewakan kami dan kami telah berusaha supaya kamu ndak berhenti. Tapi, kami sudah ndak sanggup, Le. Kami selalu mengharapkan yang terbaik buatmu.”

☺☺☺

23.44. Kulihat jam yang tergantung di dinding kamarku. Malam telah beranjak larut. Suara jangkrik yang mengerik terdengar jelas memecah kesunyian malam. Udara malam bulan Juli sepoi-sepoi masuk melalui celah-celah jendela.

Bapak belum pulang.

Tiba-tiba terdengar pintu depan diketuk. “Mungkin itu bapak” pikirku.

“Mak, biar Ahmad saja yang ngebuka pintunya.” aku melangkahkan kakiku ke ruang depan. Semoga itu bapak, doaku dalam hati.

Kubuka pintu, dan bukan sosok bapak yang kudapati, sosok lelaki tua berjenggot yang baru kali ini kulihat yang berdiri di depan pintu dengan wajah gelisah. Sama sekali asing. Mau apa malam-malam begini bertamu, Pikirku. Sekali lagi kuperhatikan sosok yang ada di depanku. Jangan-jangan orang ini mau berbuat jahat? Tapi, nggak mungkin, orang asing ini tidak terlihat seperti itu, orang ini dandanannya rapi seperti orang kantoran.

“De, maaf, apa ini rumahnya Pak Slamet?” aku masih terus memperhatikan tanpa mendengar omongan orang asing ini. Perlu beberapa saat menjawab pertanyaannya.

“Benar. tapi, kalau boleh tahu bapak ini siapa? Dan ada urusan apa malam-malam begini?” aku akhirnya bisa berkata.

“Le, siapa?” emak tiba-tiba telah berdiri di belakangku. Melihat emak orang itu langsung menerobos masuk.

“Ibu Slamet?” orang itu sudah berdiri di depan emak. Aku berlari ke arah emak. Takut kalau yang aku pikirkan menjadi kenyataan. “Sebenarnya anda siapa, datang malam-malam begini? Seberapa pentingnya sih, sampai-sampai anda mengganggu tid…”

“Pak Slamet kecelakaan.” Orang itu memotong omonganku.

Jeda beberapa saat. Aku masih belum begitu bisa mencerna omongannya. Tapi, kudengar emak terisak. “Ya, Pak Slamet Kecelakaan. Sekarang di Rumah Sakit Wisma Rini.”

Deg! Bapak kecelakaan? Di rumah sakit? Tidak, ini hanya mimpi. Ya, ini mimpi. Nggak mungkin. Bapak nggak mungkin kecelakaan. Kupejamkan mataku. Kemudian kubuka kembali berharap bahwa ini mimpi. Tidak. Ini bukan mimpi. Ini kenyataan.

☺☺☺

Aku masih memandang tubuh bapak lewat kaca jendela. Tubuhnya terbaring dengan selang terpasang di beberapa bagian tubuhnya. Mukanya pucat, yang membuat aku tidak mengenalinya sebagai sosok bapak. Emak sudah ada di dalam. Rasa bersalah ini menyergap hingga aku tak kuasa untuk masuk.

Satu…dua tetes air mataku mulai jatuh. Aku tak sanggup menahan rasa sesak yang menyentak di dada ini. Sesaat kemudian emak keluar dan membimbingku masuk. Untunglah, ruang VIP sehingga hanya bapak seorang yang ada di ruang ini. Pak Hendra—orang asing itu—yang membayar semua biaya perawatan bapak. Dia juga yang telah menabrak bapak. Aku tidak tahu persis kejadiannya. Kata Pak Hendra, beliau sedang mengemudikan mobilnya dari arah Pagelaran, dengan kecepatan tinggi namun, tiba-tiba bapak menyeberang tanpa melihat keadaan jalan. Akhirnya, peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang membuat bapak kini terbaring tak sadarkan diri.

Tubuh kekar bapak kini tak ubahnya jasad tanpa nyawa. Wajahnya pucat. Beberapa luka terlihat menghiasi wajahnya dan bagian tubuhnya yang lain. Lukanya begitu parah. Dua gigi bagian atas tanggal. Tangan yang biasanya kuat untuk mengangkat beban yang berat kini patah.

Aku masih terpaku memandang tubuh yang biasanya kekar kini tergolek tak berdaya. Aku mendekati tubuh bapak. Mencoba mengajaknya bicara.

“Pak, bangun, pak! Ahmad mau menuruti apa yang bapak katakan. Ahmad akan ngebantuin bapak seperti yang bapak minta.” Air mata ini semakin deras mengalir. “Pak, masih ingatkah bapak kalau dulu Ahmad pernah bilang kalau Ahmad ingin nikah muda. Ahmad ingin bapak dan emak bisa menimang cucu dari Ahmad. Tapi, waktu itu bapak bilang bahwa masa depan ahmad masih panjang. Pak, Ahmad sudah nggak peduli dengan masa depan Ahmad. Ahmad mau ngebantu bapak. Ahmad mau menuruti keinginan bapak.” aku terus mengajak bapak bicara. Kata orang meskipun orang itu tak sadarkan diri, namun, orang itu masih bisa mendengar apa yang kita bicarakan. “Pak, bangun, pak!” aku merengkuh jemari tangan bapak

Tiba-tiba tangan bapak membalas genggaman erat jemariku. Bapak sadar. Ya Tuhan, bapak sadar. Ini bukan mimpi. Kuperhatikan mata bapak mulai terbuka. “Le…” begitu lirihnya suara bapak memanggil namaku. “Le…” aku mengusap pipi bapak. “Pak, sampun sanjang nopo-nopo*6. Nanti saja kalau bapak sudah baikan.”

“Ma…ma…maafin bapak.” terbata-bata omongan bapak.

“Pak, sudahlah. Jangan banyak bicara dulu.” Aku terus berusaha supaya bapak tidak terlalu banyak bicara. “Le, wak…tu ba…pak sudah nggak lama la..gi. Bapak mau ka…mu ma…afin bapak.” air mata ini terus mengalir. Bak sebuah bendungan jebol di terjang gelombang besar. “Pak…”

“Le, biar…kan bapak bi…cara.” jemari bapak semakin erat menggenggam jemariku. Napasnya mulai tersengal-sengal. “Pak, jangan bicara apa-apa dulu.” aku mengusap satu tetes air mataku yang jatuh.

“Ba…pak ingin te…nang di sana, le. Wak..tu bapak su…dah nggak banyak. Bapak minta ka…mu mau maafin bapakmu.” suaranya bergetar. Menahan sakit yang dirasakannya. “Bapak, jangan ngomong seperti itu. Ahmad yang harusnya minta maaf.”

“Le…ba…pak…” kalimatnya tiba-tiba terhenti. Tubuhnya kejang. Napasnya tidak teratur. Matanya tajam memandang langit-langit kamar. Jemari tangannya semakin erat menggenggam tanganku. Mulutnya berucap. Suaranya lirih, seperti mengucap tasbih. “Pak…bapak kenapa?” aku mendekap erat tubuh bapak. Ya tuhan, tolong jangan Kau ambil bapak sekarang. “Ba…pak min…ta m…a…a…f.”

Akhirnya jemari tanganku lepas dari genggaman tangan bapak. Matanya terpejam. Dengan senyum menghias wajahnya. “Bapaaaak..!” aku menjerit. Bapak telah pergi. Aku mendekap lebih erat tubuhnya. air mataku terus mengalir. Sekarang semua telah berakhir.

♪ Andaikan detik itu… kan bergulir kembali…
Kurindukan suasana… basuh jiwaku…
Membahagiakan aku… yang haus akan kaish dan sayangmu…
Tuk wujudkan segala… sesuatu yang pernah terlewati…

Teruntuk: ibu dan bapak tersayang.

Footnotes:
1: “Terbaik Bagimu” by Ada Band Feat Gita Gutawa
2: Ada apa, pak? Kalau mau ngomong, ngomong aja
3: Kalau ada kemauan, pasti ada jalan
4: Apa emak nggak bisa ngebujuk bapak
5: Semoga nggak terjadi apa-apa sama bapak
6: Jangan bicara apa-apa dulu