Technology

Pages

Rabu, Agustus 20, 2014

Best Friend itu NGGAK ADA!!!

Apa yang membuat saya tak lagi mempercayai adanya 'best friend'? Ini semua karena aku berkaca pada pengalamanku sendiri. Beberapa waktu lalu--tepatnya beberapa tahun yang lalu--aku begitu memuja persahabatan. Aku (masih) percaya ada best friend. Tapi, saat ini semua itu terasa hal yang absurb; klise dan nonsens. Jika teman-teman merasa aku salah maka berikanlah saya bukti bahwa masih ada yang namanya 'best friend'.


Sekali lagi saya katakan bahwa beberapa tahun lalu saya benar-benar percaya akan adanya sahabat terbaik. Kepercayaan yang sebenarnya tiap waktu menipis. Kepercayaan bersanding bersama keraguan apakah aku bakal punya sahabat terbaik.

Akan saya ceritakan alasannya.


Sewaktu kecil dulu aku punya seorang kawan yang bahkan ayahnya kupanggil 'bapak'. Berbagi ayah dengannya karena sewaktu lahir sampai saya berumur kurang lebih 10 tahun saya tidak mengenal seorang ayah. Ayah harus merantau jauh supaya dapur ibuku tetap mengempulkan asap. Aku dengan sahabatku tersebut hampir selalu bersama; bermain gundu, main hujan-hujanan, pergi-pulang sekolah, duduk sebangku, tidur bareng, dan banyak hal-hal lain yang kami lakukan bersamaan. Tapi, itu dulu. Ya, dulu sekali. Semua berubah ketika ternyata makhluk yang bernama 'dewasa' merasuki kami. Kebersamaan kami mulai berkurang sedetik demi sedetik. Kami menjadi TEMAN BIASA. Yang hanya bertegur sapa ketika sewaktu-waktu bertemu. Yang hanya menanyakan kabar sekadar basa-basi belaka. Yang tak pernah lagi bermain bersama, menginap di salah satu rumah dari kami, atau bahkan sekadar berkunjung. Semua menjadi hilang dan lenyap. Ironisnya, saat inipun aku tak tahu nomor teleponnya. Maaf, bukan aku tak mau mencari atau tak mau memilikinya. Tapi itulah. Aku sudah beberapa kali menyimpan nomor kontaknya di hapeku dan beberapa kali pula ia berganti-ganti nomor. Ya, aku tahu bukan karena dia menghindariku dengan bergonta-ganti nomor. Tapi yang pasti, kedekatan kami di masa kecil dulu telah hilang. Tersisa sedikit. Hanya sedikit.


Tiba saat masa SMP. Lagi-lagi aku merasa telah menemukan seorang teman terbaikku. Ya, teman terbaik yang kata orang mendengarkan saat kita mengeluh. Memberikan semangat saat kita terpuruk. Tak menyalahkan kita ketika kita berjalan keluar jalur. Dan bla bla bla lainnya yang menggambarkan tentang sahabat terbaik.


Awalnya. Ya, awalnya memang seperti itu. Kami bersama. Bersenang-senang. Bercanda. Bersenda gurau. Melakukan banyak hal yang sekarang akupun tak lagi ingat satu-satu karena saking banyaknya. Lagi-lagi itu dulu. Saat kami dekat. Saat kami sedang menempuh pendidikan di sekolah yang sama. Saat tiap hari kami pasti bersua. Hingga akhirnya ketika ia lulus dan aku baru naik kelas tiga es-em-pe, persahabatan itu menemui ujungnya. Sama seperti "SAHABAT'ku saat di Sekolah Dasar, saat inipun aku tak mempunyai nomor telepon atau tahu kabarnya. Sama sekali tak tahu. Lagi dan lagi bukan karena aku tak mencari tahu. Tapi, karena kesibukan kami dan banyak hal, termasuk masalah jarak, kebersamaan itu lenyap. Tersisa hanya secuil berupa kenangan dalam memoriku. Sekarang salahkah jika aku tak lagi mempercayai sahabat terbaik? Aku rasa tidak karena ternyata semua itu berlanjut ke masa selanjutnya.

Di sekolah menengah saat aku duduk di tahun pertama, aku bahkan mempunyai tidak hanya satu teman yang kuanggap teman terbaikku. Tiga. Ya, T-I-G-A orang sekaligus. Dua orang kuanggap teman terbaik karena mereka selalu membantuku, menopangku saat aku lemah, menjadi tempat bercerita, dan menjadi teman yang membantuku saat aku tak bisa pulang ke rumah saat aku kesorean dan tak mungkin pulang mengingat rumahku yang jaraknya sangat JAUH dari sekolahku. Sedang seorang lagi kuanggap teman karena ternyata dia menganggapku ada. Ya, tak bisa kupungkiri bahwa manusia pasti butuh eksistensi dan dialah orang yang tak meragukan kemampuanku. Mereka bertiga adalah teman terbaikku (menurutku) saat aku berada di kelas X (sepuluh). Lalu, saat kami harus berpisah kelas. Dua orang menjadi sekelas lagi jurusan yang sama denganku, Ilmu Alam, dan seorang justru masuk ke jurusan Ilmu Sosial. Hah, 'best friend'ku kembali menikmati dunia mereka sendiri. Hubungan itu terpisah karena kami tak lagi dekat (tak lagi bisa berjumpa setiap hari karena beda kelas).


Saat di tahun kedua aku tak bisa menganggap satupun dari teman sekelas sebagai teman terbaikku. Kebersamaan selama setahun tak bisa membuatku mengalungkan predikat best friend kepada salah satu dari mereka. Baru di tahun ketigalah aku berani menganggap beberapa dari mereka best friend-ku. Namun, semua tak berjalan lama. Parahnya, kelas yang katanya kompak pun akhirnya kehilangan 'jin' kekompakan yang (dulu) bersama kami. Itu semua tentu saja karena jarak. Ya, jarak yang memisahkan dan kesibukan yang kami lakoni sekarang masing-masing membuat 'jin' itu 'ter-ruqyah' dengan sendirinya. Pergi.


Hah, begitulah. Aku tak lagi mempunyai 'medali' teman terbaik. Semua yang telah terjadi itulah alasannya. Kalau saya dianggap memilih-milih teman, saya katakan bahwa saya TIDAK pernah memilih-milih orang untuk menjadi teman. Kalau saya dianggap kurang perhatian maka saya BERANI mengatakan kurang care apalagi saya? Saya dengan sahabatku di masa kecil, saya dengan sahabatku di masa SMP, saya dengan ketiga temanku di tahun pertamaku di SMA, saya dan beberapa teman sekelasku di tahun ketigaku di SMA memang tak berperang atau punya masalah atau putus hubungannya. Namun, kami (terlebih saya) merasa kedekatan yang dulu kami bangun langsung luluh-lantak dihancurkan 'gelombang' jarak. Ya, kami tetap berteman tapi berteman BIASA. Tak ada yang istimewa. TAK ADA LAGI BEST FRIEND. Kami adalah cuma TEMAN DEKAT (Teman terbaik saat raga kita memang dekat) bukan dari kedekatan hati. makhluk bernama 'jarak' yang menelanjangi semua itu. Ya, hingga akhirnya aku percaya. Best Friend itu NGGAK ADA. Yang ada hanya teman (ketika jarak--raga) dekat. Itu saja. Maaf.



Rawamangun - Warnet Radja, 23 Februari 2011