Technology

Pages

Sabtu, Mei 19, 2012

Jalan Pulang

Baginya hidup itu sangat sederhana. Tak perlu ribet memikirkan hal-hal yang nggak penting. Tentu saja tak penting baginya. Ia hanya memikirkan bagaimana ia bisa makan, ibunya bisa dibawa ke rumah sakit untuk berobat, dan adiknya bisa sekolah. Ia tidak peduli lagi dengan nasibnya. Orang-orang toh juga tak peduli dengannya lagi. Sejak hari itu. Sejak ia dituduh menjadi seorang pecundang dan hendak diusir dari kampungnya sendiri. Beruntung, ada Pak Komar yang mempercayainya meski tetangga dan orang-orang di kampungnya mengajukan syarat, ia tak boleh bergaul dengan anak-anak mereka, takut meracuni dan mengikuti jejaknya.

Bagi Rahmat, hidup itu sangat sederhana. Terlalu sederhana malah. Meski ia tak lagi dianggap ada oleh orang-orang di kampungnya. Yang terpenting ia bisa makan, ibunya bisa berobat, dan adiknya bisa sekolah.

***
"Bagaimana kita bisa makan, Le? Kamu mau kerja dimana? Lah wong tetangga-tetangga udah nganggep kamu sampah," ibu berkata datar, tanpa ekspresi. Ibu sudah terbiasa dengan caci maki yang dilontarkan orang-orang tentang anaknya. Ibunya hanya menyesalkan karena hitam yang setitik warna putih anaknya langsung terhapus.

"Rahmat memang nggak akan bertahan di kampung ini, Bu. Rahmat mau ke Batam saja. Ada Kang Marno kan?" jawabnya tak kalah datar. Rahmat sendiri tak yakin dengan Kang Marno. Ia pasti juga nggak bakal menerima "buangan sampah" dari kampung. "Apa dia mau meneri.."

"Nggak tau, Bu. Usaha saja," potong Rahmat atas kalimat keraguan ibu. "Duit buat ke sana?" tanya ibu lagi. Rahmat memandang ibunya yang sedang mengaduk nasi di atas tungku. Wajahnya masih datar. Rahmat tahu bahwa ibunya memendam semuanya. Menutupi kesedihan yang dirasakannya. "Bu, boleh Rahmat pinjem kalung ibu?"

Wanita berumur lima puluhan itu mengalihkan pandangannya. Rahmat mengartikan pandangan itu dengan kalimat, "nggak mungkin. Itu peninggalan bapak satu-satunya." Sejenak ibunya kembali fokus pada pekerjaannya. "Kalung itu punya banyak cerita, Le. Kalung itu adalah kekuatan ibu. Ibu kuat karena merasa ibu nggak sendiri tapi kita nggak punya pilihan lain. Ibu risih dengan gunjingan orang-orang. Ibu nggak mau mendengarkan mereka ngomongin kamu terus. Ibu mau kamu pergi jauh dari kampung ini. Ibu sudah nggak kuat." Rahmat tertegun dengan kalimat ibu, meluncurkan tanpa bisa dicegah. Kesedihan yang sudah terlalu lama mengendap dan ditahannya. Rahmat bisa merasakan kesedihan itu. Tapi, justru ada rasa sakit yang lebih dalam dari semua itu. Ibunya juga membuangnya. Meski dengan alasan namun justru itu lebih menyakitkan bagi Rahmat. Ia telah hidup sendiri sekarang.

***
Perlu waktu cukup lama untuk menerima tawaran Sukri. Berkali-kali Sukri memaksanya. "Buat ngidupin keluarga, Mat. Nggak dosa. Tujuan kita baik kok. Kalopun dosa nggak gede-gede amat. Ayo!" Begitu bujukan Sukri tiap waktu. Semakin sering Sukri membujuk Rahmat, semakin ia ragu melakukannya. Bagi Sukri mungkin itu bukan dosa besar tapi baginya itu kejahatan luar biasa besar dosanya. Ia tak mau menjadi penjual narkoba. Ia nggak mau merusak orang lain.

"Sekali dua kali nggak papa," bisik hatinya membenarkan omongan Sukri. "Jangan! Pikirkan buruknya. Jangan pikirkan duitnya," bantah hatinya yang lain.

"Duit, Mat. Kita bisa dapet duit banyak sekali jual. Bisa buat berobat ibumu. Adikmu juga bisa sekolah. Nggak kayak kita yang hidup terlantar gara-gara nggak sekolah."

"Tapi..."

"Nggak usah tapi-tapi lagi. Mau atau nggak?"

"Saya perlu waktu lagi."

"Bodoh, mau selama apalagi? Udah dua bulan kamu mikir. Semakin hari malah kamu semakin menghindar. Kalo mau bilang mau. Kalo nggak ngomong nggak. Kalo kamu bingung itu artinya kamu butuh, Mat."

Rahmat diam. Memandang langit di atas kepalanya dan membayangkan banyak hal. Sukri jengah. Namun, sore itu akhirnya menjadi awal kehidupan Rahmat yang lebih buruk. Menjadi sampah di kampungnya.

*Bersambung

0 komentar: