Technology

Pages

Jumat, Oktober 31, 2014

Gegara Teh Obeng dan Teh O

Dimuat di Majalah Nuraniku
Iqbal El Kharis

Satu – persatu pelanggan mulai berdatangan. Tapi, tumben. Hari ini tidak seramai biasanya. Hanya beberapa orang saja terlihat di sudut – sudut tempat makan ini. Ibu berjilbab panjang yang selalu datang bersama Annisa tidak terlihat. Padahal, biasanya dia adalah pelanggan paling pertama yang datang dan membeli dua paket nasi uduk untuk Annisa, gadis kecil berumur empat setengah tahun yang selalu jadi hiburan kalau ia datang.

“Om Andli, Nisa pesen nasi uduknya ya. Pake ayam aja. Nisa takut ama lele,” begitu celotehnya yang selalu salah mengucap namaku. Celotehan yang berujung sebuah cubitan manja di pipi tembemnya.

“Ih, Om Andli kok genit ama Nisa.”

“Emang nggak boleh ya?”

“Nggak boleh. Kan Nisa masih kecil. Om Andli ama tante Lina aja tuh.” Kulirik dengan ekor mataku. Orang yang dibicarakan Nisa tidak bergeming. Seperti tidak mendengar.

“Hush, kok Nisa ngomongnya gitu? Umi nggak pernah ngajarin kan?”

“O iya. Maaf deh, Om. Jangan malah ya. Tapi, om pasti seneng kan?” Selalu begitu. Nisa selalu saja “menjodohkanku” dengan Lina, teman kerjaku sendiri. Tapi, kenapa justru Nisa yang tahu perasaanku ya?

“Hoy, Ndri. Jangan ngelamun. Hari pertama puasa udah mikirin mudik aja.”

Ah, iya. Hari ini kan puasa. Kok bisa lupa gini ya? Untung nggak kelepasan makan siang. Ah, gara-gara Lina nih pikiranku jadi nggak fokus. Aduh salah, maksudnya gara-gara si Nisa. Pantesan. Hari ini si Annisa nggak dateng. Kan puasa. Ah, masak anak seumuran dia udah puasa?

“Ndri, ngelamun lagi. Udah. Bantuin gua aja. Nih lapnya. Meja 11 baru ada pelanggan dan joroknya minta ampun. Nanti bos dateng dan ngeliat bisa berabe kita,” Hasan melemparkan kain lap kering dan acuh meninggalkanku yang melotot ke arahnya. “Sialan lu. Ganggu aja nih.”

Dengan gontai, aku mendekati meja yang ditunjuk Hasan. Panasnya matahari siang hari ini membuatku malas bekerja. Selain karena Nisa yang tak datang cuaca hari ini memang membuat banyak orang memilih untuk tinggal di rumah saja. Apalagi hari ini puasa. Tidur adalah ibadah akan banyak terlontar dari mulut orang-orang yang malas dan mengingkari bahwa panasnya matahari adalah salah satu nikmatNya.

Rumah makan tempatku bekerja memang tidak seperti rumah makan yang umumnya ada di Batam. Rumah makan ini adalah sebuah usaha franchise dari Jakarta. Majikanku, berumur kurang lebih dua limaan, seorang keturunan Tiongkok yang amat detail dengan usaha yang dimilikinya. Dia merancang bangunan semi beranda sebagai ruang utamanya. Berharap rumah makannya ini tidak harus mengeluarkan biaya listrik untuk pendingin ruangan. Namun, harapan tinggal harapan. Rumah makan ini justru mengalirkan udara panas di siang hari karena sebelah kanan rumah makan ini letaknya dekat dengan jalan raya.

“Eh, Ndri, ngelamun mulu sih. Tuh liat. Ada bos David. Dipecat mampus kau.” Togar mencolek pinggangku sambil membawa pesanan ke meja di samping Andri.

“Waduh, bisa berabe tuh. Hasan yang ngelayanin lagi.” Jawabku membalas ucapan Togar. Aku mengelap meja di depanku cepat. Tak peduli beberapa sudut masih terlihat kotor. Kejadiannya akan jadi runyam kalau majikanku datang dan yang melayani pesanan si Hasan.

Hasan adalah rekan kerjaku yang misterius. Tidak ada yang tahu banyak tentang kehidupannya. Bahkan menikah saja aku tidak tahu. Meski aku termasuk orang yang paling dekat dengannya karena aku sudah lama mengenalnya. Aku hanya tahu bahwa ayahnya orang asli Vietnam. Salah satu dari ribuan Manusia Perahu yang merupakan pengungsi dari Vietnam dan terdampar di Pulau Galang.

Di masa perang saudara di Vietnam tahun 1979, ratusan ribu penduduk Vietnam Selatan mengungsi dari negaranya demi alasan kemanan. Mereka mengungsi dengan menggunakan perahu-perahu kayu sederhana yang kondisinya memprihatinkan karena dalam satu perahu bisa ditempati 40-100 orang. Berbulan-bulan para ‘Manusia Perahu’ ini terombang-ambing mengarungi perairan Laut Cina Selatan sejauh ribuan kilometer tanpa tujuan yang jelas dengan harapan mendapat perlindungan dari negara lain. Sebagian dari mereka ada yang meninggal di tengah lautan dan sebagian lagi berhasil mencapai daratan, termasuk wilayah Indonesia.
Hingga tahun 1995, akhirnya mereka mendapat suaka di negara-negara maju yang mau menerima mereka ataupun dipulangkan ke Vietnam. Termasuk ayah Hasan yang sampai saat ini tidak dia ketahui keberadaanya. Ibu Hasan dulu menolak ikut karena kakek Hasan menolak untuk pindah ke Vietnam.

Begitulah. Hanya secuil kehidupan Hasan yang bisa jadi konsumsi teman-temannya. Dan secuil ini yang bisa membuat Hasan meledak jika disinggung.

Aku mendekati meja dimana Pak David duduk. Baru berjalan beberapa langkah Hasan memberi kode untuk menjauh. Aku ragu. Namun, akhirnya manut kode dari Hasan.

Seperti biasa, Pak David datang bersama enam orang seumurannya yang juga masih kerabat dekat. Pegawai rumah makan ini tidak ada yang suka saat Pak David datang. Terutama Hasan. Selalu saja ada komentar pedas dari mulutnya. Beberapa orang tidak suka caranya memberi masukan. Tidak punya sikap. Padahal, banyak dari kami yang lebih tua darinya. Dan Hasan lagi – lagi menjadi air dan minyak dalam urusan ini. Mudah-mudahan kali ini mereka berdua tidak ribut.

Aku memilih untuk pergi ke bagian bartender. Ada Uni Kesih. Sudah jadi tabiatnya, Uni Kesih tidak pernah lepas dari kotak make up kecil berwarna biru di tangannya. Beberapa menit berlalu, Hasan mendekati kami.

“Uni, teh obengnya tiga, juz mangga 1, es jeruk satu, teh O-nya satu.” Hasan menyerahkan kertas berwarna kuning ke tangan Uni Kesih.

“Andri, tolong bantu bawain makanannya. Minumannya biar saya yang bawain,” Hasan duduk dan mengelap keringat dengan punggung tangannya. Aku mendekati togar yang sedang menggoreng ayam pesenan rombongan Pak David.

Kulirik jam yang tergantung di dinding. 11.30. Baru berjalan setengah hari. Berat rasanya harus berpuasa sambil bekerja di rumah makan. Tapi, apa boleh buat. Rejeki yang harus kejemput untuk sementara memang harus di sini.

“Heh, lu gimana sih. Gua kan pesen teh obeng. Kok ini dikasih teh O.” terdengar suara Pak David dari arah beranda. Aku medongakkan kepala karena tertutup etalase makanan. Pak David yang duduk di meja dekat Lina berdiri sambil menunjuk-nunjuk Hasan.

Kulihat Hasan hanya tersenyum. Beberapa rekan kerjaku diam di tempat. Mereka takkan mau berurusan jika menyangkut Pak David.

“Pak, maaf. Tadi bapak kan bilang bapak pesen teh O aja. Katanya bapak lagi meriang kan?” Hasan menanggapi kemarahan Pak David dengan tenang. Aku hendak mendekat namun Hasan dengan ekor matanya memberi tanda untuk mundur.

Aku kembali mendekati si Togar.

“What? Me? Sakit? Lu nggak liat gua sesehat apa? Mau ngerasain gua bisa mukul lu, hah?” Pak David menepuk pipi Hasan beberapa kali. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku akan tahu akhir dari pertengkaran ini.

“Bapak yang tadi bilang sendiri kan?” Hasan menjawab masih dengan suara dibuat sesabar mungkin. Dari jauh Lina memintaku berbuat sesuatu. Tapi aku masih terpaku di tempatku. “Hasan tidak mau aku ikut campur,” kataku.

“Heh, Cik Hasan. Kenapa sih lu selalu cari gara-gara ama gua? Punya dendam apa lu?”

“Pak, maaf. Saya nggak pernah cari gara-gara sama bapak. Tapi…”

“Tapi, apa?” Pak David menatap Hasan tajam. “Tapi, apa? Jawab!”

“Pak, teh O-nya biar saya ganti saja. Tunggu.”

“Heh, lu kabur gitu aja. Bukan masalah tehnya. Tapi masalah sikap lu jadi pegawai nggak ada sopan-sopannya.” Hasan mengangkat kepalanya. Tatapan mereka berdua sama-sama tajam. Aku akhirnya tak peduli dengan permintaan Hasan. Aku mendekat ke arah mereka.

“Lu jangan ikut campur. Kalian juga!” bentak Pak David padaku dan beberapa temannya.

“Heh, denger ya. Gua di sini bosnya. Harusnya lu nggak usah macem-macem.

“Saya minta maaf, PAK. Belum cukupkah?” Hasan geram.

“Enak aja minta maaf doang. Pantes bapak lu pergi gitu aja.”

“CUKUP, PAK!” Hasan semakin nggak bisa mengontrol emosinya. Dia mendorong tubuh Pak David hingga terjungkal. Aku akhirnya mendekat dan mendekap tubuh Hasan. Teman-teman Pak David terlihat kesal dengan kejadian barusan.

“Bapak bisa menghina saya. Tapi, jangan pernah bawa-bawa ayah saya.”

“Emang gua salah ngomong?” Pak David berdiri dan menyeringai ke arah Hasan. Tubuhnya ditahan oleh teman-temannya agar tidak membalas Hasan.

“Pak, cukup. Bapak minta teh obeng atau teh O sekarang?”

“Lupakan teh obeng dan teh O. Lu lupa. Gua yang bayar lu. Lu udah permaluin gua di depan semua. Jangan harap gaji lu bisa keluar.”

“Oke, Pak. Saya keluar mulai detik ini.”

“Nggak semudah itu. Kalo lu keluar sekarang lu harus bayar ganti rugi ke gua.”

“Apa-apaan nih. Enak aja. Bapak yang punya dendam kan sama saya? Bapak yang mau terus-terusan menghina saya. Orang kaya sombong kayak bapak akan dapat balasannya, Pak. Tuhan nggak pernah tidur,”

“Kurang ajar. Sekarang ngajarin gua tentang agama lagi. Siapa lu, hah.” Semua orang tak bisa berbuat apa-apa. Semua terpaku seperti menyaksikan adegan sinetron di televisi. Pak David masih berusaha melepaskan tubuhnya. Berusaha mendekati Hasan. Aku berusaha menenangkan Hasan. Sia – sia. Emosinya sudah memuncak.

“Dasar anak pelarian.” Aku lengah. Peganganku melemah. Hasan bisa melepaskan diri. Ah, bukan. Kalimat terakhir Pak David-lah yang menambah tenaganya.

“BUGGG!” Pak David kembali terjungkal. Semua berjalan cepat. Pak David berdiri. Tangan kanannya cekatan mengambil pisau di atas meja dan di depan mataku sendiri Hasan tersungkur. Beberapa tusukan tepat masuk ke perutnya. Semua orang malah terdiam. Tidak menyangka akhirnya akan begini.

“Abiiiiiiii…” tiba-tiba, aku mendengar teriakan gadis kecil yang kutunggu sejak pagi. Scene yang terjadi berikutnya membuat semua yang ada di beranda menyesal. Annisa, gadis pintar itu harus melihat ayahnya mati di depan matanya.

Dan semua orang masih terdiam.


0 komentar: