Technology

Pages

Jumat, Desember 28, 2012

Surat Cinta Dariku Untuk Kalian


 To: Badan Pengurus Harian (BPH) dan semua Pengurus BEM Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris

Assalaamu'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh
Salam sejahtera

Menjumpai kalian dengan penuh cinta,
Sungguh, ada rasa haru saat jemari ini menari di atas petak-petak huruf di laptopku. Kalaupun boleh aku berceritera padamu, mata ini mengkristal meski terjangannya tak mampu menjebol dinding keangkuhanku sebagai laki-laki. Emakku pernah bilang bahwa tidak apa-apa kok laki-laki menangis. Namun dengan segenap kekuatan yang tergambar di senyum kalian aku menyunggingkan senyum bersama bayang senyum-senyum itu. Aku menulis surat ini karena aku ingin membuatmu ingat. Kalian masih bisa membukanya kapan saja. Aku tak ingin perasaanku hanya menjadi angin lalu kalau hanya kuucapkan di ruang dengar kalian.

Sudah berapa hari? Dua hari. Ya, sudah di angka dua. Kalian pasti bisa menebaknya angka dua untuk hal apa. Semoga kalian masih melekatkan ingatan tentang kebersamaan kita. Atau sudah lupa? Aku yakin kalian tak sejahat itu.

Berbilang setahun aku dan kalian melewati banyak kebersamaan. Melewatinya dengan penuh suka cita, luka dan duka, dan berujung dengan airmata penyesalan dan (semoga) bahagia. Ada banyak hati yang tergores, ada banyak kebahagiaan yang tercipta, namun apakah kalian merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan. Aku mencintai kalian. Dengan segala bentuk pengertian tentang cinta. Bukan hanya sebatas kata yang tertulis di surat ini tapi perasaan itu sudah melekat dan semakin tumbuh subur justru ketika waktu-waktu kebersamaan kita sudah menggambar kata 'jarang' dengan seenaknya. Bahkan mungkin 'satu-dua kali'. Atau 'tak pernah lagi'.

Hei, apa kabar perasaan kalian? Masihkah merindu dengan kebersamaan itu. Masihkah ada kata maaf yang tak sampai padaku. Percaya tidak? Dinding keangkuhan kelelakianku sekarang jebol. Semakin banyak kata yang terangkai di surat ini terjangannya semakin kuat. Maaf, semoga kalian juga seperti emakku. Aku bukan cengeng. Tapi, aku mencintai kalian. Percayalah. Sekali lagi ini bukan hanya sebatas barisan kata yang berjajar rapi di surat ini. perasaan ini semakin menjamur bak di musim hujan.

Dulu, saat aku terpilih jadi mahasiswa nomer satu di jurusan, aku sangat berharap bisa punya orang-orang yang hebat dan tangguh dan aku menemukan itu pada kalian. Tak perlu mengingat semua kekurangan-kekurangan karena itulah pembelajaran yang sama-sama kita dapat. Aku yang justru tidak hebat dan tangguh. Aku tak benar-benar bisa jadi 'mahasiswa nomer satu'. Aku banyak membuat kalian kecewa. Aku banyak meminta airmata kalian dan sedikit sekali menggambar senyum. Aku tak bisa berdamai dengan diriku sendiri. Aku tak bisa melenyapkan sifat-sifat burukku. Hingga akhirnya semakin banyak gerimis yang membadai.

Aku merasakan pelangi. Lihatlah. Ah, masak tak bisa kalian lihat? Jangan bilang kalau gerimis itu tak berubah jadi pelangi sedikitpun bagi kalian. Di akhir kebersamaan, bukanlah gerimis itu tak terus-menerus menjadi badai. Kita sama-sama menggambar pelangi, bukan? Maaf, kalau ternyata hanya aku saja yang menggambar pelangi gara-gara aku tak mau merasa bahwa aku gagal menjadi orang yang hebat dan tangguh.

Maaf.

Kalian tentu saja berhak menuntutku. Atas segala kekurangan dan kekhilafan. Tapi, aku mencintai kalian. Dengan segala bentuk pengertian dan definisi. Yang bukan hanya sebatas huruf-huruf yang merangkai menjadi kata-kata kepalsuan. Sungguh. Kutitipkan cinta itu pada beningnya embun pagi ini. Dan mendungnya langit siang ini, saat jemari ini menari.


Aku masih ingin bercengkerama dengan kalian. Bolehkah? Di banyak waktu yang kita punya. Di banyak kesempatan yang kita jumpai. Hingga akhirnya kita memang bertemu dengan mimpi-mimpi kita dan cinta ini hanya bisa tertanam lewat jembatan jarak nantinya.

Menjumpai kalian dengan cinta dan air mata,
Muhammad Iqbal




Jumat, Oktober 19, 2012

Bahasa Tidak Bertulang

*Bahasa Indonesia Sebagai Pemersatu Kerukunan Hidup Bermasysarakat, Berbangsa, dan Bernegara

Judul di atas memang sengaja saya pelesetkan dari sebuah ungkapan yang sudah sering memenuhi ruang dengar kita, lidah tidak bertulang. Lalu, apa maksudnya?

Ada makna penting dari judul di atas. Tidak beda jauh dengan makna ungkapan lidah tidak bertulang bahwa kita harus berhati-hati menggunakan lidah, ternyata kitapun harus berhati-hati dalam menggunakan bahasa. Seringkali karena kesalahan berbahasa akhirnya timbul pertengkaran, perkelahian, bahkan sampai pada takaran pembunuhan. Padahal bahasa adalah alat yang harusnya bisa mempersatukan dan memperkuat nilai-nilai kerukunan hidup. Semua ini diperparah dengan bahasa penghinaan, umpatan, dan cemoohan yang semakin banyak ditemui di "kamus" pergaulan sehari-hari. Ironisnya, bahasa-bahasa ini malah jadi tren tidak hanya di kalangan remaja saja, anak-anak usia sekolah dasar pun sudah bisa melafalkannya dengan fasih. Awalnya, bahasa-bahasa ini memang sebagai bahan becandaan namun akhirnya tidak sedikit kita temui anak-anak yang akhirnya berkelahi gara-gara dihina oleh teman sepermainannya. Bagi saya, ini bukan hal yang biasa dan tidak bisa dibiarkan. ini. Awalnya, bahasa-bahasa ini memang sebagai bahan becandaan namun akhirnya mereka terkena dampaknya sendiri.

Saya ambilkan contoh sederhana yang lain. Saat kegiatan pembukaan Masa Pengenalan Akademik (lebih sering disebut ospek) di kampus saya, satu orang perwakilan dari tiap fakultas diminta untuk naik diatas panggung untuk memberikan alasan mengapa akhirnya mereka memilih fakultas masing-masing. Ada tujuh fakultas di kampus saya dan ketika giliran perwakilan dari fakultas ekonomi menjelaskan alasannya banyak mahasiswa yang memintanya untuk turun dari panggung. Apa pasal? Alasan paling utama adalah karena dia menggunakan bahasa yang kurang tepat untuk menggambarkan pilihannya masuk fakultas ekonomi. Penjabaran kebanggaan dia memilih fakultasnya dibarengi dengan mengejek enam fakultas yang lain. Berbeda sekali ketika perwakilan dari fakultas Bahasa dan Seni berbicara yang sebenarnya maksud dari omongannya pun sama dengan perwakilan dari fakultas ekonomi tadi namun bahasa yang digunakan jauh lebih sopan.

Bayangkan, ketika Anda mempunyai sebuah pilihan kemudian ada seseorang yang mengatakan, "Ngapain milih itu? Gue dong pilihannya tepat. Tanpa pilihan gue pilihan elu nggak bisa apa-apa". Apa reaksi Anda? Pasti akan berbeda dan respon Anda akan positif apabila ada yang mengatakan, "Oh, elu milih itu. Nggak papa. Pilihan gue melengkapi pilihan elu. Begitu sebaliknya".

Dari kejadian di atas jelas sekali bahwa penggunaan bahasa dalam berinteraksi akan sangat mempengaruhi bagaimana hasil dari interaksi tersebut. Fungsi lain dari bahasa adalah untuk berkomunikasi dan dalam berkomunikasi kita harus dengan sadar bisa menentukan apa dan bagaimana bahasa yang tepat. Dalam hal ini apa dan bagaimana berkaitan erat dengan kapan dan dimana.

Lagi-lagi dari contoh di atas saja bisa kita analisi, kalau saja perwakilan dari mahasiwa ekonomi itu mengatakan kalimat-kalimat itu di situasi yang tidak resmi, misalnya dengan teman sejawat, responnya bisa positif. Tapi, kemudian sang penutur tidak sadar bahwa dia ada di sebuah forum besar yang mengharuskannya menggunakan bahasa yang sopan dan pantas.

Sekali lagi ditegaskan bahwa bahasa adalah alat pemersatu kerukunan hidup bukan sebagai pemecah persatuan. Jangan sampai kita mendapatkan boomerang dari bahasa yang kita pakai. Dan disinilah kita bisa memosisikan bahasa Indonesia sebagai pemersatu. Tidak sedikit, akhir-akhir ini, yang lebih senang menggunakan bahasa-bahasa asing yang belum benar-benar diserap menjadi kata baku, tak terkecuali bahasa daerah dan bahasa asing lainnya. Alasan lain bahasa akhirnya menjadi pangkal permasalahn adalah ketika ketika berkomunikasi, satu pihak tidak mengerti dengan apa yang ingin disampaikan karena sang penutur menggunakan bahasa-bahasa asing.

Bahasa Indonesia harus dipahami semua orang Indonesia agar bisa jadi bahasa pengantar dalam berkomunikasi. Jangan sampai ketika kita tercatat sebagai orang ber-KTP Indonesia tapi tidak mengerti bahasa sendiri. Banyak hal perlu dilakukan untuk meningkatkan bahasa Indonesia mejadi satu-satunya bahasa pengantar. Namun, ini tidaklah mudah. Mulai dari penyajian standard, pedoman, fasilitas, dan bimbingan dalam tujuan pengembangan kualitas bahasa Indonesia. Meski tidak mudah bukan berarti hal yang mustahil. Yang paling penting adalah kebanggan kita terhadap bahasa Indonesia itu sendiri.

Salam.

Kamis, Oktober 18, 2012

Aku ingin mengunjungimu malam ini


Malam ini sebenarnya aku ingin mengunjungimu
membawakan sebuah kado berisi kerinduan
yang telah meletup sejak berhari-hari yang lalu

Malam ini sebenarnya aku ingin mengunjungimu
membawakan buah tangan berupa kerinduan
yang menyebar memenuhi seluruh jiwa
menyesakkan
walau kunikmati

Malam ini sebenarnya aku ingin mengunjungimu
membawakan segenggam,
oh bukan lagi segenggam,
kerinduan ini tak bisa lagi kuungkap sebesar apa

Kerinduan ini hanya kurasakan
untukmu seorang

Kepada kau pemilik kata-kata

Kalau boleh dan bisa, beri aku satu kata. Tak usah beribu.
Aku ingin menghancurkan bendungan bendungan di pikiran
yang menghalangi satu kata yang mendesak
Padahal, aku tak mau membual.
kuulangi, hanya satu kata

Ah, masak kau tak percaya.
pernahkah aku berbohong dengan kata?

Prasangka


Jika teman terdekatmu berubah, tak lagi mau jalan bareng dengan alasan yang macam-macam. Jika pacarmu juga berubah, tak ada waktu untuk sekedar mengucapkan selamat tidur padahal sebulan yang lalu bahkan “teror” sms seperti itu hampir tiap menit memenuhi hapemu. Jika akhirnya kamu tahu malam minggu kemarin pacarmu nggak datang ke rumah seperti biasa tapi justru kamu mendengar dari temanmu yang lain bahwa dia jalan dengan teman dekatmu. Jika akhirnya siang ini kamu melihat sendiri mereka jalan berdua di mall kemudian makan di tempat  favoritmu dan pacarmu. Ya, jika itu semua terjadi padamu kamu berhak untuk marah. Kamu juga berhak untuk memutuskan hubungan dengan mereka berdua. Kamu lebih berhak lagi menganggap mereka tak ada. Sama seperti yang kulakukan terhadap pacarku dan teman dekatku. Mereka benar-benar tak tahu diri.

Kamu sudah memimpikan minggu depan akan jadi minggu yang special karena itu adalah lima tahun kami pacaran. Lima tahun. Coba kamu bayangkan. Itu bukan waktu yang singkat. Kalau saja pacarmu mengatakan itu baik-baik, putus baik-baik, maka kamu juga pasti akan merelakannya kan? Tapi, ini lebih menyakitkan. Mereka ada main di belakangmu. Aku sendiri tak habis pikir bagaimana mereka bisa tega melakukan itu padaku. Sungguh, sampai kapanpun kamu pasti takkan memaafkan mereka. Iya kan? Kalau iya berarti kamu sepaham denganku. Sampai kapanpun.

Semua membuatmu malas untuk berangkat kuliah pagi ini karena kamu akan bertemu dengan mereka berdua. Bertatap muka dan pasti akan ada percakapan dengan mereka dan akhirnya kamu memilih untuk datang terlambat ke kampus bahkan tak masuk kelas. Kamu pasti akan bersembunyi dari mereka. Menjauh. Bila perlu urus saja surat kepindahan kuliah. Aku sudah berpikiran sejauh itu. Karena sakit hati


“Eh, Ra, lu nggak masuk kelas. Tadi dicariin sama Andre lho. Katanya mau ngomong penting,” temanmu mengagetkanmu saat kau sedang memikirkan pembalasan buat mereka berdua. Terus, jika seperti itu inikah jawabanmu?

“Andre? Oh, mantan pacar gue itu. Masih punya urusan apa lagi dia?”

“Mantan pacar? Jadi bener kalian udah putus?” omongan temanmu yang bernama Sinta itu justru lebih mengagetkanmu. Tapi, kamu pasti bisa mengatasi keadaan itu. “Iya, beberapa hari yang lalu,” kataku. Katamu juga kan?

“Pantes. Tadi si Andre berangkat bareng sama Aisyah. Denger-denger mereka udah deket.” Apa reaksimu sekarang? Masihkah kamu tenang dengan semua ini? Aisyah, teman dekatmu ternyata tak sebaik penampilannya.

* iqbal_haris *

Apa yang akan kamu lakukan jika semua itu terjadi padamu? Tolong aku. Biar tak salah mengambil tindakan. Kamu mau mencincang mereka hidup-hidup? Setega itukah? Tidak. Kamu pasti bukan orang seperti itu. Apa bedanya dengan mereka.

Kalender di dinding kamarmu menunjukkan angka 23 Desember. Enam tahunmu berpacaran. Seharusnya. Jika dia nggak selingkuh. Saat ini kamu telah siap dengan dandanan seadanya. Dia memang mengajakmu keluar malam ini. Tapi, tadi siang dia mengatakan bahwa ada hal penting yang ingin dia bicarakan. Dan kamu juga pasti shocked ketika dia mengatakan bahwa dia juga mengajak Aisyah. Buat apa? Oke, kalau dia mau mengatakan yang sejujurnya malam ini. Maka, kamu masih memberinya waktu kan? Kamu datang memenuhi undangannya, kamu putusin, dan kamu pergi. Persis. Sama seperti rencanaku.

Di kafe ini, di tempat dimana sering kamu habiskan waktu-waktu bersamanya, hampir tiap malam minggu. Ah, sudahlah. Kamu pasti tegar. Buat apa menyesali semuanya. Toh, dia bukan satu-satunya. Dia saja dengan mudah menggantikanmu di hatinya. Kamu juga pasti bisa.

Dia datang. Dengan Aisyah. Satu mobil. “Maaf, sudah lama. Ayo, langsung masuk aja. Di tempat biasa.” Senyumnya sama. Tidakkah dia berpikir kalau kamu benci dengan senyum palsu itu. Sekarang. Setelah dengan tidak canggung dia lebih memilih menjemput Aisyah bukan kamu yang masih pacarnya. Masih pacarnya.

Akhirnya, kamu tidak bisa basa-basi. Kamu risih melihat dia lebih sibuk dengan Aisyah hingga kalian duduk bertiga di meja itu. “Maaf, jika semua ini mengejutkanmu dan membuatmu marah. Ini sudah lama ingin kukatakan. Tapi, aku belum siap. Aku ingin kamu menjadi istriku. Pacaran tak ada gunanya. Hanya buang-buang waktu. Sekarang aku telah siap untuk jadi imam bagimu.” Kamu linglung. Semuanya terjadi sangat cepat. Aisyah tersenyum simpul kepadamu.

Kamu akhirnya tahu bahwa kejadian sebulan ini adalah skenario Andre. Kamu juga tahu bahwa Aisyah adalah sepupu dia, hal sama yang baru mereka ketahui. Dan kamu juga tahu bahwa sekarang kalian nggak bertiga. Ada Sinta dan teman-temanmu yang lain yang ditugaskan Andre untuk membuat gosip kedekatannya dengan Aisyah. Kamu juga akhirnya tahu kalau semua prasangka salah. Mengapa tak meminta penjelsan dulu sejak awal. Semoga kamu juga bisa belajar sepertiku belajar untuk tak berburuk sangka.

Minggu, September 16, 2012

Menyuap malam

Rembukan dengan malam

Mencari kebahagiaan di sela tawarku
Menyelipkan jutaan lembar sebagai bayaran

malam enggan kusuap
Ia patuh dengan aturan mimpi
Malam ini aku terhukum
jatuh di dunia tanpa tawa
hitam dan kelam
Mimpi buruk
Lagi...

Jakarta Oh Jakarta: Menyoal Potensi, Kenyataan, dan Mimpi



Oleh: Iqbal Kharisyie*
Esai ini diikutsertakan dalam lomba Esai Gebyar Cinta Untuk Jakarta


Empat ratus delapan puluh lima tahun yang lalu, tepat di tanggal 22 Juni, nama bandar Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta oleh seorang punggawa bernama Fatahillah. Pasukan Demak-Cirebon yang dipimpinnya berhasil juga mengusir bangsa Portugis dari tanah Jawa. Akan tetapi, pada tanggal 30 Mei 1619 Belanda memerangi Jayakarta dan menyebabkan Pangeran Jayakarta tergusur. Di bawah pimpinan J.P Coen Belanda mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia.

Kemudian pada tahun 1942 saat terjadinya Perang Dunia II, kekuasaan Belanda diambil alih oleh kekuatan invasi Jepang dan kembali mengganti namanya menjadi Jakarta, yang berlaku hingga sekarang. Di tahun 1966, Jakarta resmi sebagai Ibukota Republik Indonesia yang akhirnya berkembang menjadi sebuah kota metropolitan. Berbagai macam suku, ras, dan budaya ada dan ikut menyumbang pertumbuhan Jakarta menjadi satu-satunya kota yang memiliki potensi terbanyak dan tersibuk di Indonesia.

Sebagai ibukota Negara, Jakarta mempunyai peran serta fungsi yang khusus dan tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain. Peran serta fungsi itu diantaranya sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan internasional. Sehingga wajar saja jika Jakarta menjadi representasi Negara Indonesia. Kenyataan ini yang menurut saya sangat istimewa. Di kota yang menjadi pusat pemerintahan, Jakarta menjadi kota yang serba ada. Dari kenyataan ini, Jakarta menawarkan banyaknya peluang usaha (kecil, menengah, ataupun makro) dan banyaknya investor, tingkat pembangunan yang pesat, transportasi dan teknologi yang maju, tempat-tempat wisata, serta fasilitas-fasilitas masyarakat yang memadai. Namun, apakah dengan begitu Jakarta menjadi tempat yang “aman”?

Menurut catatan sensus terakhir (2011), jumlah penduduk asli Jakarta kurang-lebih 8,5 juta jiwa. Ini adalah jumlah penduduk di malam hari. Sedangkan, dari pagi hingga petang jumlah ini meningkat hingga angka 12 juta jiwa akibat “luapan” warga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang mencari rejeki di Jakarta. Kenyataan ini berdampak pada arus lalu lintas di Jakarta sehingga menimbulkan kemacetan yang luar biasa. Setiap hari rata-rata ada 600.000 unit mobil yang masuk Jakarta. Kondisi ini selain menimbulkan kemacetan yang luar biasa juga menghasilkan jumlah polusi begitu hebat, sehingga suasana di jalan raya menjadi sangat tidak nyaman. Tambahan pula, kemacetan ini adalah pemborosan yang besar bagi masyarakat. Di tengah lalu-lintas yang macet itu pengguna jalan raya terpaksa harus membuang lebih banyak waktu, tenaga, dan bahan bakar. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan timbul akibat tingginya angka pembelian kendaraan bermotor dan tentu saja ini harus dibatasi karena jika tidak kemacetan akan terus meningkat tersebab kondisi lahan Jakarta yang terbatas.

Alasan lain mengapa kemacetan ini menjadi problem yang belum tertuntaskan adalah belum adanya angkutan umum yang benar-benar layak dan aman. Saya sendiri pernah menjadi korban penodongan di dalam angkutan umum. Inilah yang sebenarnya menjadi dasar masalah hingga akhirnya membuat penduduk Jakarta lebih memilih untuk memiliki kendaraan pribadi tinimbang menggunakan jasa angkutan umum meski saat ini pemerintah kota Jakarta sudah menerapkan sistem transportasi menggunakan transjakarta. Sayangnya, transjakarta yang diharapkan mampu mengatasi kondisi ini ternyata hasilnya belum terlalu signifikan. Beberapa koridor busway ditambah tetapi kerusakan transjakarta karena pemeliharaan yang kurang sering terlihat di jalanan. Saya pribadi hanya bisa sabar menunggu realisasi dari proyek Mass Rapid Transportation (MRT) segera dimulai agar kemacetan di Ibukota ini berkurang, meski belum sepenuhnya akan teratasi.

Dari potensi lain yang dimiliki Jakarta, sebagai contoh daerah wisata, Jakarta mempunyai garapan yang bisa diunggulkan. Jakarta mempunyai lima museum yang tidak dipunyai oleh daerah lain juga, yakni Museum Nasional, Museum Wayang, Museum Tekstil, Museum Bahari, dan Museum Keramik. Juga, Jakarta mempunyai peninggalan-peninggalan kuno, semisal Kota Tua.
Dalam pada itu, kepulauan Seribu juga potensi besar sebagai kawasan wisata bahari. Hingga akhirnya pada masa kepemimpinan Gubernur Sutiyoso, status Kepulauan Seribu ditingkatkan menjadi kabupaten. Objek wisata ini perlu ditonjolkan karena beberapa peninggalan bangsa Portugis berada di sana.

Masih dalam bidang kepariwisataan, kondisi pelabuhan tanjung Priok sejak 50 tahunan yang lalu sampai sekarang sangat tidak terurus. Masih saat kepemimpinan Sutiyoso, ia pernah bermimpi jika saja dibangun gerbang laut di sebelah baratnya maka akan lebih representatif.

Beberapa potensi wisata lain masih ada, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Mini Indonesia Indah, Pantai Anyer, Dunia Fantasi, kebun binatang Ragunan, dan beberapa objek wisata lain masih tersedia di Jakarta namun pengelolaannya masih kurang maksimal. Alasan keamanan juga berkembang menjadi akar permasalahan di bidang pariwisata ini.

Dilihat dari dua sisi saja, potensi Jakarta sangat berlimpah. Namun pertanyaan saya ulang: apakah dengan potensi-potensi istimewa yang dimiliki, Jakarta menjadi  “aman”?

Di sisi lain, Jakarta sebagai pusat pemerintahan menjadi pertanyaan tersendiri, apakah masih layak ada pusat pemerintahan disana? Disaat mesin bisnis bernama Jakarta terus berkembang, apakah dekatnya pusat bisnis dan pusat pemerintahan berdampak baik atau justru buruk?

Saya berpikir bahwa rekonstruksi birokrasi menjadi keharusan dan tak boleh ditawar-tawar. Menjalankan kewajiban menjadi “pelayan masyarakat” bukan “pemungut” agar efektifitas dan efisiensi anggaran, penguatan kapasitas, serta penataan kelembagaan bisa dimulai. Partisipasi publik dan masyarakat menjadi dua hal vital dalam perkembangan kota Jakarta. Mereka tak bisa dianggap sebagai pelengkap saja melainkan harus menjadi mitra strategis sekaligus aktor yang bersinegri dengan pemerintah. Analisa untuk mengetahui social dan budaya warga Jakarta juga perlu dilakukan, menyusul peta ekonomi sebagai basis apa saja yang perlu dikembangkan. Tata ruang  mengikuti analisa tersebut bukan manusainya yang mengikuti tata ruang. Jakarta punya potensi, diwujudkan dengan mimpi menjadi lebih baik, dan direalisasikan dengan tindak nyata dari berbagai pihak.

***
Penulis bernama asli Muhammad Iqbal. Pria kelahiran 5 Juli dua puluh tiga tahun yang lalu ini pernah beberapa kali memenangi lomba kepenulisan dan beberapa artikel pernah dimuat di harian lokal. Tulisan-tulisan lainnya bisa dibaca di blog pribadinya; www.kharisious.blogspot.com

Selasa, September 11, 2012

Aku masih belum punya apa-apa


Wajah-wajah di sekitarku menampilkan wajah-wajah kebahagian. Tersenyum. Tertawa. Berbeda denganku. Detik ini, waktu ini, minggu-minggu ini, sebulan ini. Aku tak bisa jika selalu aku yang mengalah. Sepertinya semua ini harus diakhiri. Maaf, bukan aku tak tahu terima kasih. Bagiku engkau adalah kesejukan yang mengaliriku sejak awal. Tapi, kesejukan itu telah berubah. Bukan engkau yang berubah. Tapi, aku. Aku yang merasa kecil di depanmu. Aku yang merasa hina di depanmu. Aku yang menjadi benalu di kehidupanmu. Aku yang selaku merepotkanmu. Aku yang tak bisa menerima kekuranganmu meski aku pun tak lebih baik darimu.

Aku hanya memandang ini sebagai kekejian kehidupan. Tak apalah aku mengkambinghitamkan kehidupan. Karena aku tak bisa bersuara jika berada di depanmu. Bibirku kaku. Mulutku bungkam karena aku merasa tak pantas menggugatmu. AKu tak pantas meminta perubahan. Ya, sekali lagi karena aku memang tak lebih baik darimu.

Justru akulah yang sampah. Sampah yang kau angkat dari kotaknya dan sampai saat ini bau busuk tubuhku belum bisa aku hilangkan. Hingga engkau merasa lelah. Benci. Dan akhirnya aku membaca engkau menghindariku. Memilih untuk menjauh karena aku hanya membebani kehidupanmu.

Maaf, hubungan ini harus diakhiri. Bukan karena aku tak berterima kasih tapi lebih karena aku sadar diri siapa aku ini.

Sabtu, September 08, 2012

Beasiswa BCA Finance 2012


BEASISWA 2012
DENGAN TEKAD KUAT UNTUK TURUT MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA, BCA FINANCE KEMBALI MEMBERIKAN BEASISWA SELAMA KULIAH KEPADA 50 MAHASISWA/I BERPRESTASI*.
TOTAL BEASISWA 2012 Rp. 900.000.000,-

TOTAL TAHUN 2011         : Rp. 567.000.000,-
TOTAL TAHUN 2010         : Rp. 420.000.000,-
TOTAL TAHUN 2009         : Rp. 305.000.000,-
PERSYARATAN :
1.       Mahasiswa/i program Strata 1 (S-1)
2.       Minimal telah/sedang menyelesaikan semester 2
3.       IPK min (PTN : 3,00 dan PTS : 3,4)
4.       Tidak sedang menerima beasiswa dari pihak manapun
5.       Beasiswa ini bebas dari ikatan dinas apapun
6.       Melakukan pendaftaran beasiswa melalui aplikasi online
7.       Tahapan Seleksi :
             a) Tahap I : Penentuan 150 Calon Pemenang Beasiswa
150 calon pemenang yang telah diumumkan akan diwajibkan mengirimkan kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan kemudian
b) Tahap II : Penentuan 50 Pemenang Beasiswa yang berhak menerima Rp.3.000.000,-/Semester
8.       Proses seleksi dilaksanakan oleh tim seleksi BCA Finance
9.       Keputusan hasil penerimaan adalah mutlak & tidak dapat diganggu gugat
10.   Keterangan lebih lanjut dapat diakses melalui website www.bcafinance.co.id

*) Maksimal Pemberian Beasiswa Sampai Dengan Semester 8


Terima Kasih,
Department Corporate Finance, Planning And Investor Relation

Sumber: dari sini

Minggu, Juli 29, 2012

Penyelundupan Es Buah

Lagi musim puasa kayak gini pasti enak kalo ngebayangin berenang di lautan es buah. Di samping kiri kita ada potongan anggur atau melon atau strawberry. Di sebelah kanannya ada potongan nangka atau kelengkeng atau potongan agar-agar. Kemudian dari atas kepala kita turun mata air campuran susu dingin dan sirup. Hem, nikmat sekali ya? Es buah memang bikin ngiler dibayangin pas puasa. Nulis catetan ini aja sampai air liurnya mau turun. Ngiler. Okeh, cukup! Jangan sampai puasa batal gara-gara ngebayangin itu.



Kejadian penyeludupan ini juga terjadi waktu puasa. Beberapa hari yang lalu. Tepatnya hari jumat sore kemarin. Ceritanya, setelah ngurusin MPA (Masa Pengenalan Akademik *ospek) di kampus, dua orang teman di BEM ngajakin buat buka bersama di Pizza Hut. Mewah sekali kan? Sekali-kali. Jangan jadi ppt (para pencari ta'jil) terus-terusan. Buka gratisan di masjid atau acara buka bersama yang diadakan kampus. Sebenarnya kalo lagi nggak ada temen yang ulang tahun agak males juga. Untungnya, Ardy ulang tahun. Todong suruh bayarin aja begitu selesai.

Kira-kira pukul lima lewat dikit saya dan Ardy jalan dari kampus. Beberapa BPH (Badan Pengurus Harian) BEM saya pada nggak bisa. Cuma kita berempat. Adis, sekretaris saya, dan Ririn, bendahara. Mereka udah sampe Pizza Hut duluan.

Tepat di jalan menuju Labschool saya dan Ardy ketemu "Bu" Halimah. Mau pulang. Begitu keluar gerbang kampus, beliau beli es buah. Eh, pucuk dicinta ulam tiba, beliau beliian kita berdua satu bungkus es buah. Karena belum adzan maghrib, kita bawa aja tuh bungkusan es buah pembelian "Bu" Halim. Terus, kami melanjutkan perjalanan menuju Pizza Hut di sekitar Arion Mall. Cukup lumayan agak jauh *lebay* jaraknya. Itung-itung ngabuburit.

Anggur itu lho...


Akhirnya, beberapa puluh menit sebelum maghrib kita berdua sampe. Kita masuk tuh gerai Pizza Hut. Kemudian Adis dan Ririn langsung bisa kami temukan karena mereka duduk dekat dengan pintu masuk.

Waktu berbuka masih lima menitan. Ngobrol dulu. Ngalor-ngidul. Terus adzan maghrib berkumandang dah tuh. Saya dan Ardy memesan makanan entah apa namanya, yang jelas masih bentuk nasi. Sedang kedua gadis itu memesan pizza. Maaf, saya nggak doyan tuh makanan yang bau bawangnya nyengat banget. Lagi asyik-asyiknya makan Ardy nyeletuk, "eh, es buahnya buka!"

"Es buah apaan? Es buah yang disitu beli tahu." tunjuk Ririn ke tempat dimana di sediakan es buah.

"Bukan. Kita bawa es buah kok. Tuh di tas Iqbal," lanjut Ardy.

"Eh, emang boleh bawa minuman dari luar?" adis menimpali sambil memtong pizza dengan pisau di tangannya.

"Tahu. Sayang aja kan udah bawa nggak diminum," kataku akhirnya.

"Tapi, nggak ada mangkuknya."

"Pinjem aja. Atau ngambil disitu tuh," Ririn usul.

"Jangan, nanti dikira kita minum es buah sini."

"Pinjem aja." usul Ririn lagi.

"Nggak. Nanti ketauan." kataku.

"Lha, emang napa?"

"Takutnya malah didenda bawa minuman dari luar."

"Udah keluarin aja es buahnya," kata Ardy nggak sabar. Kemudian kukeluarkan satu bungkus es buah yang lumayan masih dingin dari dalam tasku.

"Jangan taroh di atas meja." jerit Ririn pelan.

"Kan mau diminum, Rin?" tanya Adis.

"Kita nggak tau boleh atau nggak kan bawa minuman dari luar."

"Sini." Ardy mengambil es buah di tanganku. Gelas bekas es soda blue yang sudah tak berisi ditarik dan ditaroh di tempat duduk di tengah-tengah kita berdua. "Buka plastiknya."

"Beneran?" tanyaku ragu.

"Udah, nggak papa." Kubuka ikatan plastik es buah itu kemudian kutuang air dari dalamnya ke gelas Ardy.

"Mana buahnya? Kok cuma air doang?"

"Nggak bisa keluar." kataku pelan.

"Waduh, buahnya kan enak juga."

"Jangan berisik. Nanti ketauan.' Adis memperingatkan.

"Gelasmu dulu. Cepetan." Kuambil gelas di depanku yang juga sudah kosong. Kemudian gantian. Ardy yang menuang, saya megangin gelas supaya airnya nggak tumpah.

"Udah. airnya aja." kata Ardy.

"Bentar. Biar saya yang ngambilin buah-buahannya." Dengan pandangan menyapu ruangan, pelan-pelan kusendok sedikit demi sedikit buah-buahan dalam plastik. Adis sama Ririn cengengesan.sedikit takut juga sebenarny kalau ketahuan. Tapi, sayang kan kalau nggak diminum. Hingga beberapa menit kemudian.

"Udah. Udah semua tuh." Dengan muka berbinar Ardy langsung meminum es buah di dalam gelasnya.

"Haha. Gokil. Untung nggak ketauan." Ririn menyendok buah dari dalam gelas Ardy.

Beberapa menit kemudian kami selesai makan. Shalat sebentar kemudian langsung beranjak pulang. Begitu keluar pintu Ardy menghentikan langkah kami.

"Liat tuh di pintu. Garis yang putih." Saya, Adis, dan Ririn mengikuti saran Ardy. Kemudian terbaca: DILARANG MEMBAWA MAKANAN DAN MINUMAN DARI LUAR!

Senin, Juli 09, 2012

Jalan Pulang (3)

"Dasar penjahat. Selama ini berpura-pura jadi orang baik. Taunya busuk. Penjahat berkedok malaikat." Mak Sarinah meninju Rahmat berkali-kali. Rambutnya acak-acakan. Tangis Mak Sarinah  perih terdengar di telinganya. Merintih begitu pelan. "Tolong kembalikan Arif," kalimat terakhir Mak Sarinah disusul beberapa pukulan suaminya di wajah Rahmat. "Tolong kembalikan Arif!" Kemudian tubuh Mak Sarinah ambruk, pingsan. Rahmat yang masih belum tahu masalahnya hanya memegangi bibir kanannya yang berdarah.

"Tunggu, sebenarnya apa yang terjadi?" katanya lirih.

"Dasar tak tahu diri. Wes mateni anak'e wong esik takok ngopo." (Sudah bunuh anak orang masih tanya kenapa). Pakde Tukiman memandang Rahmat tajam. Matanya merah nyalang.

"Saya beneran nggak tau apa maksud kalian menuduhku pembunuh. Sopo seng mati?" (Siapa yang mati?). Tubuhku memilih untuk mundur. Merebahkannya di dinding kayu dapur ibu.

Kulihat ibu hanya diam dan duduk di samping pintu. Pandangannya tetap datar, menahan tangis. "Arif mati, Mat. Overdosis gara-gara narkoba. Kowe kan seng adol narkoba?" (Kamu kan yang jual narkoba?) Aku mengusap mukaku. Arif mati? Karena narkoba yang dibelinya dariku. Tidak! Aku bukan pembunuh. Aku nggak ngebunuh Arif. Tidak.

"Kenapa diam? Mikir? Ngopo mikire nggak wingi sakdurunge anakku mati, Mat." Pakde Rasiman mendekati Rahmat dan kembali meninjunya. "Pembunuh! Uripmu nggak bakalan tenang, Mat. Inget! Hidupmu nggak akan tenang. Cuihh!" Pakde Sariman pergi setelah meludahinya. Rahmat diam. Ibunya tak beda jauh. Ia tak memandang Rahmat sedikitpun. Mukanya seperti biasa. Datar. Meski Rahmat tahu bahwa ibunya pasti sedih dan kecewa anaknya jadi pembunuh.

Minggu, Juli 08, 2012

Entri terbaru (setelah lama vakum menulis)

Tumpul sudah imajinasi saya setelah sekian lama nggak nulis. Entah itu nulis corat-coret di buku, di akun facebook, atau di blog tercinta ini. Posting terakhir saja Mei dan bulan Juni nggak nulis apapun. Nggak produktif banget kan? Padahal di otak ini berbaris puluhan ide yang  mau dituliskan. Tapi, selalu saja kata "nanti" dan "nanti" yang akhirnya di jalankan.

Udah l\vakum nulis, pengunjung blog ini juga semakin sedikit. Dulu sehari saja bisa ratusan pengunjung, sekarang satu dua doang. Bahkan, beberapa hari yang lalu nggak ada yang menengok blog ini. Kasihan sekali. Habis manis sepah dibuang.

Katanya mau jadi penulis. Eh, suruh nulis males. Kalau mau jadi penulis kan cuma satu yang harus dilakukan. Ya, nulis. nggak ada yang lain.

Olrait dah. Bismillah. Semoga nggak males lagi.

Kamis, Juli 05, 2012

Silakan Tinggalkan Komentarmu

Pasti tulisan-tulisan di blog ini masih banyak kurangnya. Tulis komentarmu di sini ya. Untuk perbaikan ke depannya. Postingan ini juga sebagai tempat untuk silaturahim lho. Saran, kritik, dan pertanyaan.

Sabtu, Mei 19, 2012

Jalan Pulang (2)

"Gimana? Enak kan dapetin duit? Dari dulu ngapain mikir terlalu lama," Sukri tersenyum puas di depan Rahmat. Ia merasa menjadi malaikat tanpa sayap yang membawa rejeki buat Rahmat.

"Ini yang terakhir, Kri. Minggu depan saya mau pergi ke Batam." Rahmat menimpali dingin. Sudah tiga minggu lebih ia menjalani pekerjaan menjadi kurir narkoba dan ia merasa justru hidupnya semakin berat. Uang ia dapatkan tapi pikirannya selalu gelisah. Setelah transaksi barusan ia mantap untuk menyudahinya.

"Hah, ke Batam? Mau jadi apa kamu di sana? Tukang las? Kerja di galangan kapal? Atau mau kerja di daerah Sintai. Denger-denger di sana memang bagus kalo mau jadi gigolo. Mau?"

Selanjutnya bisa baca di sini

 

Jalan Pulang

Baginya hidup itu sangat sederhana. Tak perlu ribet memikirkan hal-hal yang nggak penting. Tentu saja tak penting baginya. Ia hanya memikirkan bagaimana ia bisa makan, ibunya bisa dibawa ke rumah sakit untuk berobat, dan adiknya bisa sekolah. Ia tidak peduli lagi dengan nasibnya. Orang-orang toh juga tak peduli dengannya lagi. Sejak hari itu. Sejak ia dituduh menjadi seorang pecundang dan hendak diusir dari kampungnya sendiri. Beruntung, ada Pak Komar yang mempercayainya meski tetangga dan orang-orang di kampungnya mengajukan syarat, ia tak boleh bergaul dengan anak-anak mereka, takut meracuni dan mengikuti jejaknya.

Bagi Rahmat, hidup itu sangat sederhana. Terlalu sederhana malah. Meski ia tak lagi dianggap ada oleh orang-orang di kampungnya. Yang terpenting ia bisa makan, ibunya bisa berobat, dan adiknya bisa sekolah.

***
"Bagaimana kita bisa makan, Le? Kamu mau kerja dimana? Lah wong tetangga-tetangga udah nganggep kamu sampah," ibu berkata datar, tanpa ekspresi. Ibu sudah terbiasa dengan caci maki yang dilontarkan orang-orang tentang anaknya. Ibunya hanya menyesalkan karena hitam yang setitik warna putih anaknya langsung terhapus.

"Rahmat memang nggak akan bertahan di kampung ini, Bu. Rahmat mau ke Batam saja. Ada Kang Marno kan?" jawabnya tak kalah datar. Rahmat sendiri tak yakin dengan Kang Marno. Ia pasti juga nggak bakal menerima "buangan sampah" dari kampung. "Apa dia mau meneri.."

"Nggak tau, Bu. Usaha saja," potong Rahmat atas kalimat keraguan ibu. "Duit buat ke sana?" tanya ibu lagi. Rahmat memandang ibunya yang sedang mengaduk nasi di atas tungku. Wajahnya masih datar. Rahmat tahu bahwa ibunya memendam semuanya. Menutupi kesedihan yang dirasakannya. "Bu, boleh Rahmat pinjem kalung ibu?"

Wanita berumur lima puluhan itu mengalihkan pandangannya. Rahmat mengartikan pandangan itu dengan kalimat, "nggak mungkin. Itu peninggalan bapak satu-satunya." Sejenak ibunya kembali fokus pada pekerjaannya. "Kalung itu punya banyak cerita, Le. Kalung itu adalah kekuatan ibu. Ibu kuat karena merasa ibu nggak sendiri tapi kita nggak punya pilihan lain. Ibu risih dengan gunjingan orang-orang. Ibu nggak mau mendengarkan mereka ngomongin kamu terus. Ibu mau kamu pergi jauh dari kampung ini. Ibu sudah nggak kuat." Rahmat tertegun dengan kalimat ibu, meluncurkan tanpa bisa dicegah. Kesedihan yang sudah terlalu lama mengendap dan ditahannya. Rahmat bisa merasakan kesedihan itu. Tapi, justru ada rasa sakit yang lebih dalam dari semua itu. Ibunya juga membuangnya. Meski dengan alasan namun justru itu lebih menyakitkan bagi Rahmat. Ia telah hidup sendiri sekarang.

***
Perlu waktu cukup lama untuk menerima tawaran Sukri. Berkali-kali Sukri memaksanya. "Buat ngidupin keluarga, Mat. Nggak dosa. Tujuan kita baik kok. Kalopun dosa nggak gede-gede amat. Ayo!" Begitu bujukan Sukri tiap waktu. Semakin sering Sukri membujuk Rahmat, semakin ia ragu melakukannya. Bagi Sukri mungkin itu bukan dosa besar tapi baginya itu kejahatan luar biasa besar dosanya. Ia tak mau menjadi penjual narkoba. Ia nggak mau merusak orang lain.

"Sekali dua kali nggak papa," bisik hatinya membenarkan omongan Sukri. "Jangan! Pikirkan buruknya. Jangan pikirkan duitnya," bantah hatinya yang lain.

"Duit, Mat. Kita bisa dapet duit banyak sekali jual. Bisa buat berobat ibumu. Adikmu juga bisa sekolah. Nggak kayak kita yang hidup terlantar gara-gara nggak sekolah."

"Tapi..."

"Nggak usah tapi-tapi lagi. Mau atau nggak?"

"Saya perlu waktu lagi."

"Bodoh, mau selama apalagi? Udah dua bulan kamu mikir. Semakin hari malah kamu semakin menghindar. Kalo mau bilang mau. Kalo nggak ngomong nggak. Kalo kamu bingung itu artinya kamu butuh, Mat."

Rahmat diam. Memandang langit di atas kepalanya dan membayangkan banyak hal. Sukri jengah. Namun, sore itu akhirnya menjadi awal kehidupan Rahmat yang lebih buruk. Menjadi sampah di kampungnya.

*Bersambung

Jumat, Mei 18, 2012

Cemburu

Padahal ini salah saya sepenuhnya. Tapi, saya benar-benar cemburu. Merasa saya begitu lemah sebagai seseorang. Terlebih saya tak punya idealisme yang saya pegang kuat. Sangat lemah.

Berawal hanya dari sebuah foto di hape Ardy--kawan sekelas saya di kampus--yang jadi wallpaper. Tergambar jelas kebahagiaannya dengan seorang gadis kecil memegang bunga ilalang. Mereka sungguh bahagia. Terlihat dari pancaran senyum keduanya yang sangat tulus dari hati. "Seandainya", itu yang terlintas di pikiran saya, "saya berani menghadapi orang-orang di organisasi saya, mungkin saya takkan merasa cemburu seperti ini."

Menyesalkah? Tidak, aku hanya cemburu. Itu saja. Kupertegas sekali lagi, aku cemburu. Doang. Oke, mungkin kau bertanya-tanya mengapa saya cemburu seperti itu. Baiklah, akan kuceritakan lebih detail-nya.

Basis alias Bahasa dan Seni Squad. Disitulah setahun ke belakang saya bersama beberapa kawan berada, salah satunya adalah Ardy. Basis adalah sebuah organisasi di kampus di bawah naungan Departemen Sosial dan Politik (Sospol) BEM Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Dua ranah gerakan Basis, sosial dan politik. Dan kecemburuan ini berasal dari 'lingkaran sosial'-nya.

Gozzan, si 'endut
Di ranah sosial Basis mempunyai kegiatan pemberdayaan dan pengembangan sumber daya manusianya lewat Community Development (Comdev atau Desa Binaan). Setahun yang lalu saya ikut ambil bagian dari kegiatan ini. Meski tidak sepenuh waktu seperti Ardy tapi saya sangat merasakan asyiknya dan berbahagianya bisa  berbagi. Namun, tahun ini saya harus "tidur" dulu sejenak dan menjauh dari Comdev sejak saya menjadi ketua BEM jurusan. Bukan tanpa pertimbangan akhirnya saya harus meninggalkan "perasaan" saya dan menyimpannya dahulu. Akan tetapi, ini adalah salah satu konsekuensi. Meski tetap saja, saya cemburu dan cemburu. Tak ada kata lain. Saya ingin "terjun" lagi tapi saya enggan. Mengecewakan beberapa pihak. Hingga akhirnya--maaf--buat teman-teman seperjuangan saya di Comdev bahwa saya harus "istirahat" dulu ya. Izinkan saya menebusnya tahun depan.

Semoga.

 
Nggak ada saya
dari kiri: Nadia, Halimah, Shintia, Ardy













Akh Farid dan Murid Comdev




Selasa, Mei 15, 2012

Jejak Jamur Genteng

Keceriaan minggu kemarin tergambar dari beberapa gambar berikut ini. Empat puluh orang lebih melakukan sebuah perjalanan penuh makna (bagi saya khususnya) dan penuh keceriaan tentu saja. Perjalanan yang dimaksudkan untuk mempererat kekeluargaan masyakat English Department. Jamur Banteng alias Jalan Murah Bersama ke Ujung Genteng.

Ini saat persiapan. Sebelum berangkat.

Avisena










Minum Jamu dulu biar kuat



Saya dan Wakil BEM ED-Check point




Dengan fotograpernya

Di pantai, Sro..
Meski saya tanpa ekspresi


Yousa
Para agents











Minggu, Mei 13, 2012

Memunguti kisah

Ada banyak hal yang perlu dikisahkan. Ada banyak cerita yang terdengar dan terucap. Ada banyak pembelajaran yang didapat. Tiga hari bersama orang-orang hebat. Tiga hari bersama orang-orang ynag bisa mengambil pelajaran dari kehidupan. Hingga aku pun terbawa arus sungai pembelajaran itu. Dari kisah-kisah mereka. Dari mimpi-mimpi mereka. Dari gaya mereka berbicara. Dari mobil Kijang Lajang yang membawaku dari Jakarta-Cibadak-Pelabuhan Ratu-Sukabumi-Ujung Genteng, kembali lagi dari Ujung Genteng-Curug Cikaso-Sukabumi-Cibadak-Jakarta.

*Bersambung

Sabtu, Mei 05, 2012

Pereduksian Makna Prioritas

Akhir-akhir ini saya merasakan sebuah dilema dengan semangat berorganisasi saya yang telah disuntikkan oleh kakak saya sejak dulu. Banyak hal terpikirkan dan banyak kenyataan terjadi dan membuat saya semakin bimbang.

Maghrib ini, seorang kawan dalam sebuah pergerakan menanyakan, "kok mau sih di BEM?" tanyanya. Kebetulan ada dua ketua BEM di tempat itu. Kemudian pertanyaan itu justru saya tanyakan kepada kawan saya yang sama-sama ketua BEM. "Soalnya udah nggak ada orang lagi," jawabnya. Kemudian terpikirkan jawaban yang sama, "nggak ada orang," kata saya, "yang lebih tua dari saya," bercanda. Tapi, sesungguhnya pertanyaan itu terbawa sampai akhirnya saya korelasikan dengan berbagai kejadian yang membuat saya dilema akhir-akhir ini (maaf, lebay).

Kejadian pertama ketika ada salah satu kawan Badan Pengurus Harian (BPH) di BEM saya terpilih menjadi Komandan Basis. Muncul berbagai ketakutan-ketakutan dengan pertanyaan bagaimana dia bisa menyeimbangkan keduanya, sedang keduanya menempati dua posisi yang penting: komandan Basis dan Kepala Departemen Advokasi BEM. Waktu saya menanggapi dengan santai, "kan belum kejadian. Tolong percaya dulu dan beri dukungan." Kemudian jawaban saya ternyata disimpulkan bahwa saya tidak mendengarkan ketakutan (langkah antisipasi). Padahal, menurut saya memang buat mempermasalahkan yang belum kejadian. Kalau saya menanyakan ulang, "bagaimana kalau dia bisa seimbang?" Pasti tak ada jawaban pasti karena memang semuanya belum terjadi.

Dalam buku fiqih prioritas dijelaskan bahwa ketika ada beberapa kegiatan berlangsung di waktu yang sama maka lakukanlah perbandingan menggunakan 4 prinsip yang perlu diperhatikan dalam memilih urusan yang terjadi di waktu yang sama itu. Apakah (1) urusan itu penting dan mendesak, (2) urusan itu mendesak tapi tidak penting, (3) urusan itu penting dan tidak mendesak, atau (4) urusan itu tidak penting dan tidak mendesak. Nah, inilah yang harusnya menjadi ukuran apakah kita harus meninggalkan sebuah acara atau tidak. Prioritas itu bukan dinilai bahwa kita HARUS tetap tinggal di sebuah acara padahal ketika kita tidak hadir acara itu bisa berjalan. Tapi nilailah dari penting dan tidaknya keberadaan kita di tempat itu. Contoh, ada acara A dan B berlangsung di waktu yang sama. Acara A memang penting dan ketika kita tinggalkan maka acara itu tidak bakal berjalan, sedang acara B ketika kita berada di situ ataupun tidak, ternyata tidak terlalu berpengaruh dengan berlangsungnya acara tadi. Maka, sudah seharusnya kita memilih acara A, meski kita adalah bagian yang biasanya menjadi kepala dari acara yang B.

Mengambil sebuah analogi kamera. Ketika sebuah kamera telah diatur hanya fokus pada sebuah objek lalu apakah objek yang lain tidak terlihat sama sekali? Artinya, fokus itu bukan berarti juga harus meninggalkan kewajiban kita yang lain tapi intensitasnya memang harus dikurangi. Kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang kita miliki, begitu kata Hasan Al-Banna. Kualitas keberadaan kita yang jadi intinya. Jangan jadi orang yang ketika ada dia tidak menggenapkan dan ketika tidak ada tapi tidak mengganjilkan (ada tidaknya tidak berpengaruh apapun). Itulah yang akhirnya saya katakan sebagai pereduksian makna prioritas.

Amanah adalah cara Allah menjaga saya. Ketika banyak waktu kita yang kosong maka bakal banyak godaan buat melakukan dosa.

Sekarang memang pahamnya sudah berganti, yaitu paham komunitas. Ketika kita telah masuk di sebuah komunitas kita terlalu cinta dengan komunitas itu dan tidak membiarkan salah satu anggota komunitas itu untuk ikut di komunitas lain. Rasullulah saja sebagai pemimpin negara, pemimpin perang, pemimpin keluarga dan dia bisa saja meninggalkan keluarganya jika memang dia benar-benar dibutuhkan di medan perang. Begitu juga sebaliknya.

Bagi saya, hidup di sebuah komunitas (organisasi red.) bukan cuma komitmen saja yang dibutuhkan tapi jangan pernah berburuk sangka, dan toleransilah.

Wallahu a'lam. Hanya Allah yang Maha Benar dan Maha Tahu Mana Yang Benar.

*bersambung

Minggu, Maret 25, 2012

Film "Dewasa", JANGAN biarkan anak Anda menonton The Raid

Berniat nonton film The Raid? Bagus. Film ini memang film wajib tonton. Selain karena cerita yang baru, film ini juga menawarkan banyak kelebihan. Yah, jujur. Saya sudah risih melihat film-film berjudul "horor" tapi "mesum". Dan, film The Raid menjadi semacam oase yang mengaliri titik jenuh itu.

Tapi, yang harus jadi catatan sebelum menonton The Raid adalah JANGAN mengajak anak, adik, ataupun anak kecil lainnya untuk menonton film ini. Saya pribadi mengkategorikan film ini sebagai film "dewasa". Bukan dalam artian bahwa film ini berisi adegan-adegan mesum ala film-film "horor" Indonesia kebanyakan tetapi karena adegan-adegan kekerasan yang sangat vulgar divisualisasikan oleh sang penggarap film.

Film ini telah mengantongi beberapa penghargaan; Midnight Madness Award (film pilihan penonton) di Toronto International Film Festival 2011, Dublin Film Critics Circle (film terbaik), dan pilihan penonton di Jameson Dublin International Film Festival 2012, dan masuk dalam kategori spotlight (film pilihan panitia) di Sundance Film Festival 2012. Bahkan, hak distribusinya telah dibeli oleh Sony Pictures WorldWide Acquisition (SPWA), sehingga film ini bisa diputar diseluruh Amerika. (www.seputar-indonesia.com)

Film ini berkisah tentang sekelompok tim SWAT tiba di sebuah blok apartemen yang tidak terurus dengan misi menangkap pemiliknya seorang raja bandar narkotik bernama TAMA. Blok ini tidak pernah digerebek atau pun tersentuh oleh Polisi sebelumnya. Sebagai tempat yang tidak dijangkau oleh pihak berwajib, gedung tersebut menjadi tempat berlindung para pembunuh, anggota geng, pemerkosa, dan pencuri yang mencari tempat tinggal aman.

Mulai bertindak di pagi buta, kelompok SWAT diam-diam merambah ke dalam gedung dan mengendalikan setiap lantai yang mereka naiki dengan mantap. Tetapi ketika mereka terlihat oleh pengintai TAMA, penyerangan mereka terbongkar. Dari penthouse suite-nya, TAMA menginstruksikan untuk mengunci gedung apartemen dengan memadamkan lampu dan menutup semua jalan keluar.

Terjebak di lantai 6 tanpa komunikasi dan diserang oleh penghuni apartemen yang diperintahkan oleh TAMA, tim SWAT harus berjuang melewati setiap lantai dan setiap ruangan untuk menyelesaikan misi mereka dan bertahan hidup.

Dari synopsis film saja sudah bisa ditebak bahwa film ini bukan film "menye-menye". Film berdurasi 1 jam 40 menit ini sengaja dibuat tegang dari awal sampai akhir. Ketegangan itu bahkan sudah dimulai ketika film ini baru berjalan sepuluh menit. Adrenalin penonton kemudian akan terasa meningkat ketika penyerbuan dimulai. Ketegangan yang tidak henti-hentinya berpindah dari satu adegan ke adegan yang lain. Penonton dipaksa untuk tidak berpaling dari layar karena diliputi rasa penasaran seperti apakah adegan selanjutnya. Dari awal hingga akhir cerita, penonton akan disuguhi aneka macam cara membunuh serta tak lupa darah yang siap mengalir dari bagian tubuh mana saja.

Adegan-adegan inilah yang sangat tidak pas untuk ditonton oleh anak-anak. Kekerasan dalam film ini ditampilkan begitu vulgar. Penembakan, bacok-bacokan, perkelahian, dan adegan kekerasan lain menjadi kekuatan yang menjadi "haram" untuk anak kecil. Bayangkan saja, adegan penembakan bisa dilihat dengan jarak cuma beberapa senti, adegan bacok-bacokan bisa dirasakan bahwa kitalah korbannya karena saking "hebatnya" kerjaan Director of Photography (DOP) film ini, Matt Flannery, dan (lagi-lagi) keseluruhan adegan brutal lainnya digambarkan dengan sangat gamblang. Tidak masalah dengan adegan pembunuhan yang disajikan dengan berbagai macam teknik seperti ditembak di kepala, leher yang ditusuk belati, atau bahkan dengan tangan kosong sekalipun. Hanya saja “seni” membunuh pada adegan film tersebut terasa masih kurang pas. Jika hanya beberapa adegan mungkin tidak masalah ditampilkan secara vulgar. Akan tetapi rasanya akan lebih baik jika imajinasi penonton juga dibiarkan berkembang tanpa harus melihat secara langsung.

Akhirnya, sepanjang saya menonton film ini, saya merasa khawatir seandainya film ini disaksikan oleh anak-anak yang masih belum mengerti apa itu kebaikan dan apa itu kejahatan. Mana yang harus dia tiru atau apa yang harus tidak dia tiru. Efek adegan kekerasan yang ditimbulkan:
  1. Berkurangnya rasa empati anak, Bagi anak-anak yang menonton tayangan kekerasan akan menganggap bahwa kekerasan adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik atau masalah, sehingga hal ini akan mengurangi rasa empati anak-anak terhadap orang lain.
  2. Menjadi anak yang penakut dan cemas. Adegan kekerasan yang disaksikan di berbagai media bisa memicu mimpi buruk, depresi, gangguan tidur serta rasa takut yang berlebihan.
  3. Meningkatkan sifat agresif.Hal ini terjadi karena dalam adegan kekerasan selalu identik dengan jagoan yang selalu menang, sehingga anak-anak selalu ingin menjadi jagoan tersebut.

Itulah mengapa akhirnya saya meng-kapital-kan kata JANGAN pada judul tulisan ini. Film ini memang layak untuk diapresiasi. Tapi, TOLONG JANGAN BIARKAN ANAK ANDA MENONTONNYA. Please.







Salam
Rawamangun, 26 Maret 2012, @Biyasa Net.

Minggu, Januari 08, 2012

High School Never End

Di tengah-tengah kesibukan Ujian Akhir Semester tiba-tiba aku rindu dengan masa SMA. Sedikit rekam jejak waktu masa-masa SMA. Dan biarkan foto-fotolah yang berbicara.

My unforgetable school

Cerita kelas X.5

Madroji-Teman Dekatku waktu kelas 1 SMA
Hury Rahmanto--bertiga dengan Madroji--kami menuliskan cerita bersama di kelas sepuluh



Rabu, Januari 04, 2012

Jangan Tonton Filmnya Jika Sudah Baca “Hafalan Shalat Delisa”?

“Jika novel ini dibuat film, mungkin tidak ada tandingannya termasuk film novel lainnya seperti “Ayat-ayat Cinta”, dan pastinya indonesia belum bisa membuatnya……Kenapa? yah karena harus ada adegan tsunaminya……. produser mana yang mampu….? “

Kutipan diatas merupakan salah satu endorsement di novel Hafalan Shalat Delisa edisi baru yang dikutip dari www.bebeks.wordpress.com. Bagaimana menurut Anda dengan komentar tersebut?

Saya langsung dengan tegas akan menyarankan Anda untuk TIDAK MENONTON film dengan judul yang sama dengan novelnya; Hafalan Shalat Delisa. Komentar dari sang blogger di situs yang saya sebutkan di atas BENAR SERATUS PERSEN. Bahkan, bukan dari efek tsunaminya saja film ini mendapatkan predikat “Buruk” oleh saya. Oke, sampai bagian ini saya tegaskan bahwa tulisan ini bersifat saran. Karena saya tak mau Anda–khususnya yang belum nonton tapi sudah membaca novelnya–kecewa berat dengan visualisasi Hafalan Shalat Delisa. Saya juga tak mau imajinasi liar Anda ketika membaca novel tersebut akhirnya benar-benar didamparkan pada adegan-adegan biasa yang sangat jauh dari yang Anda bayangkan.



Baik, maafkan saya jika saya tidak menghargai film tersebut tapi kekecewaan saya terhadap film ini memang begitu besar. Saya memang bukan seorang pakar perfilman namun yang saya sayangkan logika-logika cerita banyak yang sembarangan. Bayangkan saja, rumah yang tadinya–ketika masih utuh–lokasinya begitu dekat dengan pantai kemudian jadi jauh berpindah setelah tersapu tsunami. Bayangkan juga, seorang Ustadz penguji hafalan shalat dengan tenang keluar kelas tanpa mempedulikan muridnya yang khusyuk ujian bacaan shalat saat tsunami datang, membiarkan Delisa begitu saja. Lagi dan yang paling saya pertanyakan kemana logika sang sutradara dan penulis skenario ketika saya melihat ending film bahwa mayat Umi yang lebih dari tiga bulan nggak diketemukan, ternyata jasadnya masih utuh tak membusuk–cantik banget malah. Aneh. Belum lagi kalau di novel mayat itu ditemukan di tempat yang sedikit tersembunyi, eh, di film mayat itu ditemukan di tumpukan pasir yang dekat dengan pantai. Kemana orang-orang selama tiga bulan? Apakah pantai itu terlalu jauh. Waduh.

Saya cuma salut dan mengapresasi akting Reza Rahardian sebagai Abi dan Chantiq Schagerl sebagai Delisa.

Hem, begitulah adanya. Sekali lagi tulisan ini hanya sekedar saran. Jangan salahkan saya jika Anda juga merasakan kekecewaan sama seperti saya setelah menonton film ini. Sepertinya memang butuh usaha YANG SANGAT KERAS untuk memvisualisasikan novel ke dalam sebuah film. Salam.



Masjid Alumni
03012011