Technology

Pages

Minggu, Januari 08, 2012

High School Never End

Di tengah-tengah kesibukan Ujian Akhir Semester tiba-tiba aku rindu dengan masa SMA. Sedikit rekam jejak waktu masa-masa SMA. Dan biarkan foto-fotolah yang berbicara.

My unforgetable school

Cerita kelas X.5

Madroji-Teman Dekatku waktu kelas 1 SMA
Hury Rahmanto--bertiga dengan Madroji--kami menuliskan cerita bersama di kelas sepuluh



Rabu, Januari 04, 2012

Jangan Tonton Filmnya Jika Sudah Baca “Hafalan Shalat Delisa”?

“Jika novel ini dibuat film, mungkin tidak ada tandingannya termasuk film novel lainnya seperti “Ayat-ayat Cinta”, dan pastinya indonesia belum bisa membuatnya……Kenapa? yah karena harus ada adegan tsunaminya……. produser mana yang mampu….? “

Kutipan diatas merupakan salah satu endorsement di novel Hafalan Shalat Delisa edisi baru yang dikutip dari www.bebeks.wordpress.com. Bagaimana menurut Anda dengan komentar tersebut?

Saya langsung dengan tegas akan menyarankan Anda untuk TIDAK MENONTON film dengan judul yang sama dengan novelnya; Hafalan Shalat Delisa. Komentar dari sang blogger di situs yang saya sebutkan di atas BENAR SERATUS PERSEN. Bahkan, bukan dari efek tsunaminya saja film ini mendapatkan predikat “Buruk” oleh saya. Oke, sampai bagian ini saya tegaskan bahwa tulisan ini bersifat saran. Karena saya tak mau Anda–khususnya yang belum nonton tapi sudah membaca novelnya–kecewa berat dengan visualisasi Hafalan Shalat Delisa. Saya juga tak mau imajinasi liar Anda ketika membaca novel tersebut akhirnya benar-benar didamparkan pada adegan-adegan biasa yang sangat jauh dari yang Anda bayangkan.



Baik, maafkan saya jika saya tidak menghargai film tersebut tapi kekecewaan saya terhadap film ini memang begitu besar. Saya memang bukan seorang pakar perfilman namun yang saya sayangkan logika-logika cerita banyak yang sembarangan. Bayangkan saja, rumah yang tadinya–ketika masih utuh–lokasinya begitu dekat dengan pantai kemudian jadi jauh berpindah setelah tersapu tsunami. Bayangkan juga, seorang Ustadz penguji hafalan shalat dengan tenang keluar kelas tanpa mempedulikan muridnya yang khusyuk ujian bacaan shalat saat tsunami datang, membiarkan Delisa begitu saja. Lagi dan yang paling saya pertanyakan kemana logika sang sutradara dan penulis skenario ketika saya melihat ending film bahwa mayat Umi yang lebih dari tiga bulan nggak diketemukan, ternyata jasadnya masih utuh tak membusuk–cantik banget malah. Aneh. Belum lagi kalau di novel mayat itu ditemukan di tempat yang sedikit tersembunyi, eh, di film mayat itu ditemukan di tumpukan pasir yang dekat dengan pantai. Kemana orang-orang selama tiga bulan? Apakah pantai itu terlalu jauh. Waduh.

Saya cuma salut dan mengapresasi akting Reza Rahardian sebagai Abi dan Chantiq Schagerl sebagai Delisa.

Hem, begitulah adanya. Sekali lagi tulisan ini hanya sekedar saran. Jangan salahkan saya jika Anda juga merasakan kekecewaan sama seperti saya setelah menonton film ini. Sepertinya memang butuh usaha YANG SANGAT KERAS untuk memvisualisasikan novel ke dalam sebuah film. Salam.



Masjid Alumni
03012011