Oleh: Iqbal Haris
MALAM YANG
GELAP MULAI BERANJAK PERGI. Pagi menyongsong dengan sang fajar yang mulai
bersinar di ufuk timur. Suara kokok ayam dan lolongan anjing terdengar
bersahutan menemani jalannya pagi.
“Ashalatu
khairum minan naum….” suara bas Pak Yakup
membangunkanku dari mimpi indahku. Padahal, aku masih ingin tidur. Masih
ngantuk. Kucoba menjemput mimpi yang sebenarnya aku sendiri tahu bahwa aku
tidak akan bisa kembali tidur karena sebentar lagi jamaah shalat subuh mulai
berdatangan. Sehingga aku harus menahan rasa kantukku dan membiarkan Pak Yakup
memanggil jamaah dan tentunya berharap jamaah segera pulang dari masjid ini
baru aku bisa tidur kembali.
Sepuluh
menit berlalu. Iqamah pun dikumandangkan setelah semua orang berpikir bahwa
tidak akan ada lagi orang yang akan datang menunaikan shalat subuh. Shalat yang
hanya dua rakaat itu beberapa menit
kemudian akhirnya selesai. Hah, akhirnya aku bisa tidur kembali setelah
orang-orang sudah pergi. Semoga aku mimpi indah (o iya, memang aku bisa
bermimpi ya ???)
***
Matahari mulai menampakkan wajahnya. Sinarnya yang hangat
menerobos masuk melewati ventilasi jendela. Aku masih tidur di salah satu pojok
masjid kemudian terbangun oleh suara kegaduhan yang kudengar berasal dari ruang
depan masjid.
Masjid ini terbagi dari dua ruangan. Ruang depan dan ruang
belakang. Untuk ruang belakang—yang sebenarnya letaknya di depan—digunakan
untuk anak-anak mengaji tiap malam dan digunakan untuk TPA setiap sore.
Sedangkan ruang depan ya, buat orang-orang shalat. Sebenarnya masjid ini tidak
telalu besar. Tapi, setidaknya cukup untuk menampung orang-orang desa ini.
Namun, yang aku heran orang-orang yang shalat di sini sedikit sekali.
Sejenak kudengar
kegaduhan dari ruang belakang masjid. Suara barang-barang yang diseret
terdengar jelas di telingaku (ups! Kok aku jadi sering lupa kodrat). Kemudian
kulihat Hasim menyeret tikar dan mendekatiku. Ternyata, Hasim sedang
bersih-bersih bersama Pak Yakup. Dia kemudian mengangkatku dan meletakkanku di
atas mimbar. Ingin aku berteriak supaya aku tetap berada di sini. Di pojok
ruangan masjid untuk ya… kembali melanjutkan tidurku. (heran kan ?!? Aku juga heran setiap hari kok bisanya
cuma tidur).
Sebenarnya,
tidak perlu heran. Apa sih yang bisa dilakukan sebuah kotak persegi panjang
yang dibuat hanya untuk menjadi tempat mengumpulkan uang sumbangan alias uang
amal yang diberikan jamaah masjid. Ya, akulah yang disebut orang-orang sebagai
KOTAK AMAL.
Daripada
terus penasaran, aku perkenalkan diri dulu. Namaku ya…tadi, K-O-T-A-K A-M-A-L. Jangan lupa! antara huruf
K dan A harus ada spasi. Aku baru dilahirkan—maksudnya dibuat ding—setahun yang lalu setelah kotak
amal yang sebelumnya pensiun. Aku memulai karierku pas idul fitri tahun lalu.
Awal karier, aku sangat sukses dan tercatat sebagai kotak amal pertama yang
mendapatkan uang amal paling banyak, begitu yang aku dengar dari obrolan Pak
Yakup dan bendahara masjid pas menghitung uang amal idul fitri kemarin.
Maklumlah, namanya juga lebaran, jadi, penghasilan pertamaku itu sangat
menakjubkan. Satu bulan, dua bulan, enam bulan, dan setahun setelahnya mungkin
seperti pendahuluku, pendapatanku merosot. Setiap minggu yang bisa kudapatkan
dari hasil berkeliling pada waktu shalat jum’at tak lebih dari tiga atau malah
dua puluh ribu. Bahkan, pernah aku cuma mendapatkan uang sepuluh ribu rupiah.
Itupun sebenarnya cuma dapat delapan ribu sebab dua lembar uang yang terhitung
itu sudah tidak bisa dipakai.
Oya, selama
meniti karier sebagai kotak amal banyak lho kejadian aneh yang aku alami.
Sebentar ya… aku mau memeras otakku dulu (tuh kan mulai lagi lupa kodrat) mengingat
kejadian yang menurutku sangat aneh itu. Harap maklum lho… namanya juga sebuah
kotak jadi, ingatanku agak oneng.
Tunggu bentar ya…
***
Aku masih tergeletak di pojok depan masjid. Menunggu waktu
orang-orang yang mau shalat jumat datang. Tentu saja aku harus kerja hari ini.
Kutanya jam yang tergantung di dinding depan. Aku nggak bisa melihat
tangannya—maksudnya jarum jam—menunjuk angka berapa sehingga aku harus
berteriak memanggil sang penunjuk waktu itu.
“Hei, Jam, sekarang angka yang
ditunjuk tanganmu berapa?” tanyaku yang tahu kalau sebenarnya dia harus
berkonsentrasi menjaga tempo gerak tangannya. “Sekarang jam sebelas lebih tiga puluh menit” jawabnya ketus.
Hah, sebentar
lagi tugasku akan dimulai. Sedikit berharap setidaknya aku bisa tidur barang
sebentar karena dari tadi pagi aku tidak bisa tidur terganggu oleh suara ribut
orang-orang yang aku tidak tahu mereka itu melakukan apa (Ya Allah…tidur
lagi…tidur lagi).
Tiga puluh menit kemudian masjid ini
telah penuh. Nggak penuh sih. Seperti biasa, cuma separo. Ketika adzan selesai dikumandangkan kemudian pak khotib
memulai khotbahnya aku pun mulai berjalan di depan jamaah shalat jumat. Membuka
mulutku lebar-lebar supaya jamaah mudah memasukkan uangnya ke tubuhku.
“Orang-orang
yang beriman adalah mereka yang menjadikan ridha Allah sebagai tujuan tertinggi
dalam kehidupan mereka dan mereka berusaha keras untuk mencapai tujuan
tersebut. Dalam Al-qur’an, Allah menyebut orang-orang yang berjuang dengan
harta dan jiwa mereka di jalan Allah adalah orang-orang yang beruntung. Mereka
telah mengabdikan hidup mereka untuk Allah dan bersedia mengorbankan segala
sesuatu yang mereka miliki untuk mencari ridha Allah dan mendapatkan surga-Nya.
Orang-orang
beriman pun punya sifat-sifat penting yang memungkinkan mereka untuk
menyibukkan diri, dan dalam keadaan yang sangat berat sekalipun, mereka
mengucapkan, Hasbunallah—cukuplah
bagiku Allah—dan mereka akan selalu
mendambakan keridhaan Allah.” suara khotbah Pak Solihin mengirigi tugasku hari
ini. Tanpa beban aku terus melangkah di depan para jamaah sambil melihat-lihat
orang-orang yang ada di depanku. Ada
yang mendengarkan khotbah itu dengan serius namun, tetap saja banyak dari
mereka yang tertidur. Aku terus berjalan hingga aku berada di depan seorang laki-laki tinggi dan gemuk. Kuperhatikan wajah
orang itu. Sedetik kemudian aku langsung mengenalinya. Pak Slamet. Kemudian
kulafalkan doa yang seing aku dengar dari anak-anak TPA “Allohumma baarik lana fiima...” ups! Ä°tu kan doa mau makan.
Aduh, gimana nih. Ya Allah semoga orang ini tidak memasukkan uangnya,
doaku kemudian. Namun, kulihat tangan Pak Slamet merogoh saku bajunya kemudian
mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Dan setelah uang itu masuk kurasakan
tubuhku seketika panas. Seperti terbakar. Kucoba berteriak untuk mengeluarkan
uang yang baru saja dimasukkan ke dalam tubuhku. Sia-sia.
“Maafkan aku. Aku
nggak bisa mencegah semua ini. Aku memang sudah begitu nista sehingga
sebenarnya aku nggak pantas untuk memasukkan uang itu ke tubuhmu.” Tangan orang
itu mencoba menjelaskan semua padaku. “Aku sering digunakan untuk mengambil
barang yang bukan hakku. Dan aku
tidak bisa berbuat apa-apa buat mencegah
itu.” aku menggeliat
(bayangkan sendiri kalau sebuah kotak menggeliat) merasakan tubuhku ini semakin
lama bertambah panas dan aku masih harus berjalan tanpa ada yang tahu bahwa aku
sangat tersiksa. Aku terus mencoba berteriak, berdoa ada seseorang yang
mendengar teriakanku dan mengeluarkan uang itu. Akhirnya aku mencoba bertahan
sampai shalat jumat selesai.
“Hasyim, udah selesai
belum?” suara Pak Yakup akhirnya membuyarkan
lamunanku. Kulihat jam yang tergantung di dinding depan. Aku bisa melihatnya
karena aku berada di pojok belakang masjid. 10.23. Masih ada waktu buat tidur
(hehehe) sebelum aku bekerja.
***
♪ Tiap hari jumat, ku berjalan di depan shaf...
membuka mulutku, uang pun masuk tubuhku...
berjalan dan terus berjalan itu tugasku...
senang kurasa saat kau masukkan uangmu...
Aku bernyanyi menirukan nada “Naik
Delman” yang biasanya kudengar dari anak-anak yang belajar mengaji tiap malam
dengan syair yang kubuat sendiri sambil terus melangkah di depan shaf jamaah
shalat jumat hari ini.
Matahari bersinar sangat terik.
Suasana dalam masjid pun terasa sangat panas. Apalagi hari ini jamaah yang
datang lumayan banyak. Dan aku tetap harus menjalankan tugasku sebagai kotak
amal. Aku terus bernyanyi sambil sesekali memperhatikan satu persatu jamaah.
Yang kulihat sama saja. Lebih dari setengah orang-orang yang shalat jumat
mendengarkan khotbah sambil tertidur.
Aku terus berjalan sambil menyisipi
nyanyianku dengan bersiul. Capek,
kalau harus menyanyi terus. Kemudian kulihat seorang pemuda berkulit putih.
Wajahnya bersih. Tak ada jerawat. Kumis di atas bibirnya tersembul malu-malu
karena rajin dicukur. Sedangkan, jenggotnya panjang menjuntai sekitar tiga
senti. Pemuda itu sedikit terkejut ketika orang di sebelahnya mendorong tubuhku
ke depannya. Aku tahu pemuda itu tidak tertidur, karena kulihat mulutnya
komat-kamit sedari tadi.
Kuperhatikan
wajah pemuda itu dengan seksama. Aku sama sekali tidak mengenali pemuda itu.
Wajahnya baru pertama kali kulihat. Kemudian, pemuda itu mengambil uang yang ia
sisipkan di dalam peci hitamnya. Lima ratus rupiah. Hah, kok cuma lima ratus
sih. Penampilan saja yang keren, bersih, tapi, peliiiiittt. Kemudian
dijejalkannya uang itu ke dalam tubuhku. Dan... Nyesss..!!! Tubuhku
tiba-tiba terasa hangat. Adem, anyes, cold, pokoknya tubuhku terasa enak. Aku berjalan dengan langkah
yang terasa sangat ringan. Kulihat kembali pemuda tadi, matanya terpejam dan
mulutnya masih komat-kamit. Sampai tiba di barisan belakang pun tubuhku masih
terasa hangat. Ä°ni adalah hari yang menyenangkan.
***
Shalat jumat telah
selesai. Aku masih tergeletak di pojok belakang masjid dengan tubuh yang masih
terasa hangat. Terlihat satu-dua orang yang duduk tenang asyik bersua dengan Sang
Maha Kasih. Mataku menyapu ruangan, mencari pemuda
Sebuah tangan tiba-tiba menarikku
dengan cepat. Aku tidak tahu siapa yang melakukan ini. Aku tidak bisa melihat
siapa yang membawaku.
Dibawanya tubuhku keluar masjid dan
aku berpikir bahwa aku akan dibawa ke rumah Pak Hasyim. Tapi, ketika kulihat
orang itu melewati rumah Pak Hasyim dan justru menutupku dengan sarung yang
dipakainya aku merasa curiga. Aku masih tak tahu siapa yang membawaku hingga
orang itu sampai di sebuah rumah yang agak besar tapi, ruang tamunya begitu
lowong. Tak ada televisi, atau barang-barang elektronik lainnya. Orang asing
itu meletakkanku di atas sebuah meja hingga aku bisa melihat dengan jelas siapa
orang itu.
“Pak, apa yang bapak lakukan?”
seorang perempuan keluar dari ruang dalam. Perempuan itu mendekati orang asing
itu. Tunggu, aku paham siapa orang itu.Pak Slamet.
“Ibu diam saja. Anggap saja bapak
mengambil uang simpanan bapak.” Sambil berbicara orang itu berusaha membuka
gembok yang dipasang di tubuhku. “Pak, ini tindakan pencurian. Kalau ada yang
tahu bapak akan diusir dari kampung ini.”
“Diam! Tidak akan ada yang tahu
kalau ibu nggak ngomong sama siapa-siapa. Bapak selalu memasukkan uang kalau
bapak shalat jumat. Nggak sedikit lagi, bu. Makanya, anggap saja bapak membuka
celengan bapak. Mau makan apa kita setelah usaha bapak bangkrut.”
“Usaha apa, Pak. Bapak hanya
menghambur-hamburkan uang yang bapak miliki sampai bapak sekarang nggak punya
apa-apa.”
“Diam!” orang itu kembali membentak
istrinya. “Tolong ambilkan bapak golok!”
“Bapak mau apa?” perempuan itu
kemudian berlari menjauhi orang itu. “Dasar perempuan tak tahu diuntung.”
rutuknya.
Lelaki itu kemudian mengambil sebuah
golok. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Setelah berada dihadapanku
aku ngeri melihat sorot matanya yang sangat tajam. Tiba-tiba aku tahu apa yang
dilakukannya dengan golok yang saat ini ada di genggamannya.
Aku mencoba berteriak. Tapi,
beberapa detik kemudian aku tersadar bahwa tidak akan ada yang bisa mendengar
teriakanku. Hingga akhirnya aku hanya bisa pasrah dan berdoa.
Ya Allah, tolong selamatkan aku. Aku
belum ingin mati. Ya Allah... belum selesai aku mengucapkan doa, orang itu
telah menghantamkan golok yang dipegangnya tepat di kepalaku. Aku merasakan
sakit yang luar biasa sangat. Dengan sekali hantam saja kepalaku sudah terbelah
menjadi dua. Aku sudah tidak bisa berpikir lagi ketika tangan kasar orang itu
mengambil seluruh isi tubuhku.
Kemudian mataku tertutup dan aku
tidak bisa merasakan apa-apa. Namun, masih sempat kulihat orang asing itu
melarikan diri ketika istri orang asing itu datang bersama-sama Hasyim dan Pak
Yakup.