Technology

Pages

Sports

Sabtu, Mei 02, 2015

Kotak Amal

Dimuat di Majalah Sabiliku Edisi April

Oleh: Iqbal Haris


            MALAM YANG GELAP MULAI BERANJAK PERGI. Pagi menyongsong dengan sang fajar yang mulai bersinar di ufuk timur. Suara kokok ayam dan lolongan anjing terdengar bersahutan menemani jalannya pagi.
            “Ashalatu khairum minan naum….” suara bas Pak Yakup  membangunkanku dari mimpi indahku. Padahal, aku masih ingin tidur. Masih ngantuk. Kucoba menjemput mimpi yang sebenarnya aku sendiri tahu bahwa aku tidak akan bisa kembali tidur karena sebentar lagi jamaah shalat subuh mulai berdatangan. Sehingga aku harus menahan rasa kantukku dan membiarkan Pak Yakup memanggil jamaah dan tentunya berharap jamaah segera pulang dari masjid ini baru aku bisa tidur kembali.

            Sepuluh menit berlalu. Iqamah pun dikumandangkan setelah semua orang berpikir bahwa tidak akan ada lagi orang yang akan datang menunaikan shalat subuh. Shalat yang hanya dua rakaat itu  beberapa menit kemudian akhirnya selesai. Hah, akhirnya aku bisa tidur kembali setelah orang-orang sudah pergi. Semoga aku mimpi indah (o iya, memang aku bisa bermimpi ya ???)

***

Matahari mulai menampakkan wajahnya. Sinarnya yang hangat menerobos masuk melewati ventilasi jendela. Aku masih tidur di salah satu pojok masjid kemudian terbangun oleh suara kegaduhan yang kudengar berasal dari ruang depan masjid.

Masjid ini terbagi dari dua ruangan. Ruang depan dan ruang belakang. Untuk ruang belakang—yang sebenarnya letaknya di depan—digunakan untuk anak-anak mengaji tiap malam dan digunakan untuk TPA setiap sore. Sedangkan ruang depan ya, buat orang-orang shalat. Sebenarnya masjid ini tidak telalu besar. Tapi, setidaknya cukup untuk menampung orang-orang desa ini. Namun, yang aku heran orang-orang yang shalat di sini sedikit sekali.
            Sejenak kudengar kegaduhan dari ruang belakang masjid. Suara barang-barang yang diseret terdengar jelas di telingaku (ups! Kok aku jadi sering lupa kodrat). Kemudian kulihat Hasim menyeret tikar dan mendekatiku. Ternyata, Hasim sedang bersih-bersih bersama Pak Yakup. Dia kemudian mengangkatku dan meletakkanku di atas mimbar. Ingin aku berteriak supaya aku tetap berada di sini. Di pojok ruangan masjid untuk ya… kembali melanjutkan tidurku. (heran kan?!? Aku juga heran setiap hari kok bisanya cuma tidur).
            Sebenarnya, tidak perlu heran. Apa sih yang bisa dilakukan sebuah kotak persegi panjang yang dibuat hanya untuk menjadi tempat mengumpulkan uang sumbangan alias uang amal yang diberikan jamaah masjid. Ya, akulah yang disebut orang-orang sebagai KOTAK AMAL.
            Daripada terus penasaran, aku perkenalkan diri dulu. Namaku ya…tadi,  K-O-T-A-K A-M-A-L. Jangan lupa! antara huruf K dan A harus ada spasi. Aku baru dilahirkan—maksudnya dibuat ding—setahun yang lalu setelah kotak amal yang sebelumnya pensiun. Aku memulai karierku pas idul fitri tahun lalu. Awal karier, aku sangat sukses dan tercatat sebagai kotak amal pertama yang mendapatkan uang amal paling banyak, begitu yang aku dengar dari obrolan Pak Yakup dan bendahara masjid pas menghitung uang amal idul fitri kemarin. Maklumlah, namanya juga lebaran, jadi, penghasilan pertamaku itu sangat menakjubkan. Satu bulan, dua bulan, enam bulan, dan setahun setelahnya mungkin seperti pendahuluku, pendapatanku merosot. Setiap minggu yang bisa kudapatkan dari hasil berkeliling pada waktu shalat jum’at tak lebih dari tiga atau malah dua puluh ribu. Bahkan, pernah aku cuma mendapatkan uang sepuluh ribu rupiah. Itupun sebenarnya cuma dapat delapan ribu sebab dua lembar uang yang terhitung itu sudah tidak bisa dipakai.
            Oya, selama meniti karier sebagai kotak amal banyak lho kejadian aneh yang aku alami. Sebentar ya… aku mau memeras otakku dulu (tuh kan mulai lagi lupa kodrat) mengingat kejadian yang menurutku sangat aneh itu. Harap maklum lho… namanya juga sebuah kotak jadi, ingatanku agak oneng. Tunggu bentar ya…

***

Aku masih tergeletak di pojok depan masjid. Menunggu waktu orang-orang yang mau shalat jumat datang. Tentu saja aku harus kerja hari ini. Kutanya jam yang tergantung di dinding depan. Aku nggak bisa melihat tangannya—maksudnya jarum jam—menunjuk angka berapa sehingga aku harus berteriak memanggil sang penunjuk waktu itu.
            “Hei, Jam, sekarang angka yang ditunjuk tanganmu berapa?” tanyaku yang tahu kalau sebenarnya dia harus berkonsentrasi menjaga tempo gerak tangannya. “Sekarang jam sebelas lebih tiga puluh menit” jawabnya ketus.
            Hah, sebentar lagi tugasku akan dimulai. Sedikit berharap setidaknya aku bisa tidur barang sebentar karena dari tadi pagi aku tidak bisa tidur terganggu oleh suara ribut orang-orang yang aku tidak tahu mereka itu melakukan apa (Ya Allah…tidur lagi…tidur lagi).
            Tiga puluh menit kemudian masjid ini telah penuh. Nggak penuh sih. Seperti biasa, cuma separo. Ketika adzan selesai dikumandangkan kemudian pak khotib memulai khotbahnya aku pun mulai berjalan di depan jamaah shalat jumat. Membuka mulutku lebar-lebar supaya jamaah mudah memasukkan uangnya ke tubuhku.
            “Orang-orang yang beriman adalah mereka yang menjadikan ridha Allah sebagai tujuan tertinggi dalam kehidupan mereka dan mereka berusaha keras untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam Al-qur’an, Allah menyebut orang-orang yang berjuang dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah adalah orang-orang yang beruntung. Mereka telah mengabdikan hidup mereka untuk Allah dan bersedia mengorbankan segala sesuatu yang mereka miliki untuk mencari ridha Allah dan mendapatkan surga-Nya.
            Orang-orang beriman pun punya sifat-sifat penting yang memungkinkan mereka untuk menyibukkan diri, dan dalam keadaan yang sangat berat sekalipun, mereka mengucapkan, Hasbunallah—cukuplah bagiku Allah—dan  mereka akan selalu mendambakan keridhaan Allah.” suara khotbah Pak Solihin mengirigi tugasku hari ini. Tanpa beban aku terus melangkah di depan para jamaah sambil melihat-lihat orang-orang yang ada di depanku. Ada yang mendengarkan khotbah itu dengan serius namun, tetap saja banyak dari mereka yang tertidur. Aku terus berjalan hingga aku berada di depan seorang laki-laki tinggi dan gemuk. Kuperhatikan wajah orang itu. Sedetik kemudian aku langsung mengenalinya. Pak Slamet. Kemudian kulafalkan doa yang seing aku dengar dari anak-anak TPA “Allohumma baarik lana fiima...” ups! Ä°tu kan doa mau makan.
            Aduh, gimana nih. Ya Allah semoga orang ini tidak memasukkan uangnya, doaku kemudian. Namun, kulihat tangan Pak Slamet merogoh saku bajunya kemudian mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Dan setelah uang itu masuk kurasakan tubuhku seketika panas. Seperti terbakar. Kucoba berteriak untuk mengeluarkan uang yang baru saja dimasukkan ke dalam tubuhku. Sia-sia.
            “Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah semua ini. Aku memang sudah begitu nista sehingga sebenarnya aku nggak pantas untuk memasukkan uang itu ke tubuhmu.” Tangan orang itu mencoba menjelaskan semua padaku. “Aku sering digunakan untuk mengambil barang  yang bukan hakku. Dan aku tidak  bisa berbuat apa-apa buat mencegah itu.” aku menggeliat (bayangkan sendiri kalau sebuah kotak menggeliat) merasakan tubuhku ini semakin lama bertambah panas dan aku masih harus berjalan tanpa ada yang tahu bahwa aku sangat tersiksa. Aku terus mencoba berteriak, berdoa ada seseorang yang mendengar teriakanku dan mengeluarkan uang itu. Akhirnya aku mencoba bertahan sampai shalat jumat selesai.
            “Hasyim, udah selesai belum?”  suara Pak Yakup akhirnya membuyarkan lamunanku. Kulihat jam yang tergantung di dinding depan. Aku bisa melihatnya karena aku berada di pojok belakang masjid. 10.23. Masih ada waktu buat tidur (hehehe) sebelum aku bekerja.

***


          Tiap hari jumat, ku berjalan di depan shaf...
 membuka mulutku, uang pun masuk tubuhku...
 berjalan dan terus berjalan itu tugasku...
 senang kurasa saat kau masukkan uangmu...

            Aku bernyanyi menirukan nada “Naik Delman” yang biasanya kudengar dari anak-anak yang belajar mengaji tiap malam dengan syair yang kubuat sendiri sambil terus melangkah di depan shaf jamaah shalat jumat hari ini.
            Matahari bersinar sangat terik. Suasana dalam masjid pun terasa sangat panas. Apalagi hari ini jamaah yang datang lumayan banyak. Dan aku tetap harus menjalankan tugasku sebagai kotak amal. Aku terus bernyanyi sambil sesekali memperhatikan satu persatu jamaah. Yang kulihat sama saja. Lebih dari setengah orang-orang yang shalat jumat mendengarkan khotbah sambil tertidur.
            Aku terus berjalan sambil menyisipi nyanyianku dengan bersiul. Capek, kalau harus menyanyi terus. Kemudian kulihat seorang pemuda berkulit putih. Wajahnya bersih. Tak ada jerawat. Kumis di atas bibirnya tersembul malu-malu karena rajin dicukur. Sedangkan, jenggotnya panjang menjuntai sekitar tiga senti. Pemuda itu sedikit terkejut ketika orang di sebelahnya mendorong tubuhku ke depannya. Aku tahu pemuda itu tidak tertidur, karena kulihat mulutnya komat-kamit sedari tadi.
            Kuperhatikan wajah pemuda itu dengan seksama. Aku sama sekali tidak mengenali pemuda itu. Wajahnya baru pertama kali kulihat. Kemudian, pemuda itu mengambil uang yang ia sisipkan di dalam peci hitamnya. Lima ratus rupiah. Hah, kok cuma lima ratus sih. Penampilan saja yang keren, bersih, tapi, peliiiiittt. Kemudian dijejalkannya uang itu ke dalam tubuhku. Dan... Nyesss..!!!  Tubuhku tiba-tiba terasa hangat. Adem, anyes, cold, pokoknya tubuhku terasa enak. Aku berjalan dengan langkah yang terasa sangat ringan. Kulihat kembali pemuda tadi, matanya terpejam dan mulutnya masih komat-kamit. Sampai tiba di barisan belakang pun tubuhku masih terasa hangat. Ä°ni adalah hari yang menyenangkan.

***

Shalat jumat telah selesai. Aku masih tergeletak di pojok belakang masjid dengan tubuh yang masih terasa hangat. Terlihat satu-dua orang yang duduk tenang asyik bersua dengan Sang Maha Kasih. Mataku menyapu ruangan, mencari pemuda
            Sebuah tangan tiba-tiba menarikku dengan cepat. Aku tidak tahu siapa yang melakukan ini. Aku tidak bisa melihat siapa yang membawaku.
            Dibawanya tubuhku keluar masjid dan aku berpikir bahwa aku akan dibawa ke rumah Pak Hasyim. Tapi, ketika kulihat orang itu melewati rumah Pak Hasyim dan justru menutupku dengan sarung yang dipakainya aku merasa curiga. Aku masih tak tahu siapa yang membawaku hingga orang itu sampai di sebuah rumah yang agak besar tapi, ruang tamunya begitu lowong. Tak ada televisi, atau barang-barang elektronik lainnya. Orang asing itu meletakkanku di atas sebuah meja hingga aku bisa melihat dengan jelas siapa orang itu.
            “Pak, apa yang bapak lakukan?” seorang perempuan keluar dari ruang dalam. Perempuan itu mendekati orang asing itu. Tunggu, aku paham siapa orang itu.Pak Slamet.
            “Ibu diam saja. Anggap saja bapak mengambil uang simpanan bapak.” Sambil berbicara orang itu berusaha membuka gembok yang dipasang di tubuhku. “Pak, ini tindakan pencurian. Kalau ada yang tahu bapak akan diusir dari kampung ini.”
            “Diam! Tidak akan ada yang tahu kalau ibu nggak ngomong sama siapa-siapa. Bapak selalu memasukkan uang kalau bapak shalat jumat. Nggak sedikit lagi, bu. Makanya, anggap saja bapak membuka celengan bapak. Mau makan apa kita setelah usaha bapak bangkrut.”
            “Usaha apa, Pak. Bapak hanya menghambur-hamburkan uang yang bapak miliki sampai bapak sekarang nggak punya apa-apa.”
            “Diam!” orang itu kembali membentak istrinya. “Tolong ambilkan bapak golok!”
            “Bapak mau apa?” perempuan itu kemudian berlari menjauhi orang itu. “Dasar perempuan tak tahu diuntung.” rutuknya.
            Lelaki itu kemudian mengambil sebuah golok. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Setelah berada dihadapanku aku ngeri melihat sorot matanya yang sangat tajam. Tiba-tiba aku tahu apa yang dilakukannya dengan golok yang saat ini ada di genggamannya.
            Aku mencoba berteriak. Tapi, beberapa detik kemudian aku tersadar bahwa tidak akan ada yang bisa mendengar teriakanku. Hingga akhirnya aku hanya bisa pasrah dan berdoa.
            Ya Allah, tolong selamatkan aku. Aku belum ingin mati. Ya Allah... belum selesai aku mengucapkan doa, orang itu telah menghantamkan golok yang dipegangnya tepat di kepalaku. Aku merasakan sakit yang luar biasa sangat. Dengan sekali hantam saja kepalaku sudah terbelah menjadi dua. Aku sudah tidak bisa berpikir lagi ketika tangan kasar orang itu mengambil seluruh isi tubuhku.
            Kemudian mataku tertutup dan aku tidak bisa merasakan apa-apa. Namun, masih sempat kulihat orang asing itu melarikan diri ketika istri orang asing itu datang bersama-sama Hasyim dan Pak Yakup.



Jumat, Oktober 31, 2014

Kayla

My First English Short Story

KAYLA
Oleh: Iqbal El Kharis

I sat on the bus stop, waiting for my close friend, Ardy, and rereading my grammar notes. It was a hot day and and I felt really tired after joining a very confusing lesson, grammar class. Hm, I have to force myself if I want to be a good in grammar. I knew I was so stupid in grammar.

My phone rang. One message received from Ardy.
Sorry, I’m not sure
I can finish my job soon
Just leave me, Raka..
Sorry…

I sighed after I had read Ardy’s message. I looked at my phone to know what time it was. 03.50 pm. Oh, shit! I had been waiting him for twenty minutes and he cancelled our plan to go to Gramedia to look for a book. Yeah, I knew he was a leader of Student Executive Board of English Department. It meant we hadn’t much time to go and do everything together again.

I replied Ardy’s message to say “thank you for making me wait”. Suddenly,
“Raka,” I heard someone called me. I was staring at everyone around me to find someone who had called my name. I was surprised even I was almost shocked. I found her face with a very beautiful smile. I found someone I love, Kayla. But, please don’t think that Kayla is my girlfriend. She was only one of my friends in my campus even though we were in the different class. I was only her secret admirer. I loved her very much beyond that I was afraid of telling her the truth. I was afraid of showing her my feeling. I was nervous when we were talking to each other. So, she didn’t know that I really loved her. I adored her, too.

“Hei, are you daydreaming? I am still talking to you,” she surprised me and made my daydream ended. I glanced at her. She kept on her smile although I didn’t listen what she said.

“Sorry.”

“It’s OK. No problem. That’s not important but don’t replay it.” She threatened and received my apology.

“Ehm… Oh yeah, where have you been? Usually, you back home earlier everyday. Moreover, this is Wednesday. You just have two subjects today, right?”

“I have a secret business,” she whispered.

“Secret business?” I frowned, confused.

“Ha…ha… Just kidding,” she mended the reason, “I must finish my speaking assignment with Rara. Ms. Nina asked us to present it in front of my class tomorrow.”

“Oh, I think…”

“What?” She cut my words.

“Ehm… No, no, no. Forget it!” I answered and pretended taking something in my bag.

“Okey. But, wait a minutes. You make me curious. You know my schedule. You know that I always go home earlier and also you know that today I only have two lessons. What does it mean, hah?”

Oh my God. I had made a mistake. How could I say that? Now, how can I answer Kayla’s question? It’s impossible if I say, “Of course I know it at all. Of course I know your schedule. I have known you so well because I love you. I have known those because I’m your secret admirer.” No, I couldn’t say that.

“Raka. Are you with me, hah? Don’t say that you’re daydreaming again and didn’t hear my question,” I looked a little forced smile on her face. I felt guilty.

“Oh, ehm, it was…”

“It was what?”

“I know your schedule because Ardy is in the same class with you, right? Ardy is my close friend so that I know his schedule like I know yours.”

“Not. That’s not the answer, Raka. Your eyes say that you were lying.” She cried then and I just silenced. I wanted to wipe off her tears but I didn’t do that. I couldn’t do that exactly.

“You’re a liar, Raka. I know your feeling and I know you love me from the first time we met. You love me like I love you at our first sight, Ka. I love you, too.” She said then she ran. She Left me alone here, watching her leaving without doing nothing.

“I’m sorry. I love you, Kayla. I love you so much but I can’t say it. I’m sorry. Maybe, toworrow I will do it. If I can.”

Terjajah Bahasa; Mimpi, Potensi dan Realita Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional

Pernah mendengar kata gergasi? Pasti akan banyak dari kita yang mengatakan tidak dan menggelengkan kepala. Bagaimana kalau kata monster? Semua orang akan dengan segera mengatakan pernah karena mengakrabi kata ini di ruang dengar dan lisannya. Padahal, kata gergasi dan monster memiliki arti yang sama, yaitu makhluk raksasa. Terus apa yang membedakan keduanya? Yang pertama adalah bahasa asli negeri bernama Indonesia sedangkan yang kedua adalah bahasa serapan dari bahasa Inggris.
Sekarang jika kita ditanya, mana yang lebih sering kita gunakan antara binatu dan laundry? Mangkus dan sangkil atau efektif dan efisien? Gelar wicara atau talkshow? Sebagian besar dari kita akan memilih kata kedua di masing-masing pilihan. Ini merupakan pengalaman “buruk” akibat kelambanan kita dalam memasyarakatkan penggunaan padanan kata terhadap istilah-istilah asing. Para penutur, termasuk kita yang seorang akademisi, justru terasa lebih akrab dengan istilah asing itu sendiri ketimbang padanannya.
Ada banyak contoh lain dimana kita justru melupakan bahasa kita sendiri. Kita lebih mengenal kata relatif, konsisten, relevan, ketimbang nisbi, panggah, atau penad. Begitulah, meski katanya Negara ini sudah merdeka tapi kenyataannya kita masih terjajah bahasa. Fenomena itu bahkan sempat menjadi pokok berita saat seorang bernama Vicky menggunakan bahasa ‘isasi-nya’ yang kemudian secara sadar kita menertawakan lalu latah mengikuti bahasa yang kita tertawakan tersebut.
Indonesia, yang berada di posisi keempat sebagai Negara dengan jumlah penduduk terbanyak setelah RRC, India, dan Amerika Serikat, memiliki modal kuat menjadi negara besar yang diperhitungkan dalam kancah global, termasuk menjadikan Bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa internasional. Penduduk Indonesia yang tinggal dan tersebar di pelbagai Negara bisa menjadi penutur untuk meperkenalkan Bahasa Indonesia dalam diskusi kebudayaan negeri ini di luar negeri. Jika ini dimaksimalkan maka bukan tidak mungkin, seperti banyak kalangan menilai, bahwa sudah saatnya bahasa Indonesia benar-benar didorong dan diberikan ruang seluas-luasnya untuk menjadi bahasa internasional.
Wacana untuk mewujudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional semakin menguat setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam pasal 44 disebutkan bahwa: (1) pemerintah meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan; (2) peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan; (3) ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.1
Jika kita belajar sejarah, posisi BI makin menguat setelah Indonesia diproklamirkan Soekarno-Hatta sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945, BI diakui keberadaannya sebagai bahasa resmi (bahasa negara). Ini artinya, BI tak hanya sebatas digunakan sebagai bahasa pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga difungsikan sebagai bahasa resmi kenegaraan (lisan maupun tulisan) dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan. 
Yang jadi pertanyaan sekarang, bisakah dikatakan BI menjadi lambang kebanggaan nasional kalau kenyataan yang terjadi justru makin banyak kalangan di negeri ini yang lebih bangga menggunakan setumpuk istilah asing dalam tuturannya, baik dalam ragam lisan maupun tulis? Bisakah BI menjadi bahasa internasional jika pemilik bahasanya sendiri malu untuk menggunakannya? Atau bisa jugakah dikatakan BI menjadi lambang identitas nasional kalau makin banyak kalangan yang abai untuk menggunakan BI secara baik dan benar sebagai bagian dari jati diri bangsa?
Pada tataran dunia kampus misalnya, lembaga-lembaga pemerintahan mahasiswa (baca: BEM) sebagai titik sentral yang menjadi acuan mahasiswa pun tidak lepas dari “virus” ini. Di berbagai publikasi yang dibuat lembaga-lembaga ini, para pemangkunya lebih memilih menggunakan kata “BEMJ/F Proudly Present” ketimbang “BEMF/J Dengan Bangga Mempersembahkan”. Parahnya, “kesombongan” menggunakan frase “Proudly Present” tidak diimbangi dengan pengetahuan kapan harusnya menggunakan frase “Proudly Present” atau “Proudly Presents”. Ternyata, masih jauh panggang dari api, jika kita punya mimpi BI menjadi bahasa internasional. Karena kita masih belum merdeka dalam berbahasa, terjajah oleh bahasa asing. #BanggaBerbahasaIndonesia.

Gegara Teh Obeng dan Teh O

Dimuat di Majalah Nuraniku
Iqbal El Kharis

Satu – persatu pelanggan mulai berdatangan. Tapi, tumben. Hari ini tidak seramai biasanya. Hanya beberapa orang saja terlihat di sudut – sudut tempat makan ini. Ibu berjilbab panjang yang selalu datang bersama Annisa tidak terlihat. Padahal, biasanya dia adalah pelanggan paling pertama yang datang dan membeli dua paket nasi uduk untuk Annisa, gadis kecil berumur empat setengah tahun yang selalu jadi hiburan kalau ia datang.

“Om Andli, Nisa pesen nasi uduknya ya. Pake ayam aja. Nisa takut ama lele,” begitu celotehnya yang selalu salah mengucap namaku. Celotehan yang berujung sebuah cubitan manja di pipi tembemnya.

“Ih, Om Andli kok genit ama Nisa.”

“Emang nggak boleh ya?”

“Nggak boleh. Kan Nisa masih kecil. Om Andli ama tante Lina aja tuh.” Kulirik dengan ekor mataku. Orang yang dibicarakan Nisa tidak bergeming. Seperti tidak mendengar.

“Hush, kok Nisa ngomongnya gitu? Umi nggak pernah ngajarin kan?”

“O iya. Maaf deh, Om. Jangan malah ya. Tapi, om pasti seneng kan?” Selalu begitu. Nisa selalu saja “menjodohkanku” dengan Lina, teman kerjaku sendiri. Tapi, kenapa justru Nisa yang tahu perasaanku ya?

“Hoy, Ndri. Jangan ngelamun. Hari pertama puasa udah mikirin mudik aja.”

Ah, iya. Hari ini kan puasa. Kok bisa lupa gini ya? Untung nggak kelepasan makan siang. Ah, gara-gara Lina nih pikiranku jadi nggak fokus. Aduh salah, maksudnya gara-gara si Nisa. Pantesan. Hari ini si Annisa nggak dateng. Kan puasa. Ah, masak anak seumuran dia udah puasa?

“Ndri, ngelamun lagi. Udah. Bantuin gua aja. Nih lapnya. Meja 11 baru ada pelanggan dan joroknya minta ampun. Nanti bos dateng dan ngeliat bisa berabe kita,” Hasan melemparkan kain lap kering dan acuh meninggalkanku yang melotot ke arahnya. “Sialan lu. Ganggu aja nih.”

Dengan gontai, aku mendekati meja yang ditunjuk Hasan. Panasnya matahari siang hari ini membuatku malas bekerja. Selain karena Nisa yang tak datang cuaca hari ini memang membuat banyak orang memilih untuk tinggal di rumah saja. Apalagi hari ini puasa. Tidur adalah ibadah akan banyak terlontar dari mulut orang-orang yang malas dan mengingkari bahwa panasnya matahari adalah salah satu nikmatNya.

Rumah makan tempatku bekerja memang tidak seperti rumah makan yang umumnya ada di Batam. Rumah makan ini adalah sebuah usaha franchise dari Jakarta. Majikanku, berumur kurang lebih dua limaan, seorang keturunan Tiongkok yang amat detail dengan usaha yang dimilikinya. Dia merancang bangunan semi beranda sebagai ruang utamanya. Berharap rumah makannya ini tidak harus mengeluarkan biaya listrik untuk pendingin ruangan. Namun, harapan tinggal harapan. Rumah makan ini justru mengalirkan udara panas di siang hari karena sebelah kanan rumah makan ini letaknya dekat dengan jalan raya.

“Eh, Ndri, ngelamun mulu sih. Tuh liat. Ada bos David. Dipecat mampus kau.” Togar mencolek pinggangku sambil membawa pesanan ke meja di samping Andri.

“Waduh, bisa berabe tuh. Hasan yang ngelayanin lagi.” Jawabku membalas ucapan Togar. Aku mengelap meja di depanku cepat. Tak peduli beberapa sudut masih terlihat kotor. Kejadiannya akan jadi runyam kalau majikanku datang dan yang melayani pesanan si Hasan.

Hasan adalah rekan kerjaku yang misterius. Tidak ada yang tahu banyak tentang kehidupannya. Bahkan menikah saja aku tidak tahu. Meski aku termasuk orang yang paling dekat dengannya karena aku sudah lama mengenalnya. Aku hanya tahu bahwa ayahnya orang asli Vietnam. Salah satu dari ribuan Manusia Perahu yang merupakan pengungsi dari Vietnam dan terdampar di Pulau Galang.

Di masa perang saudara di Vietnam tahun 1979, ratusan ribu penduduk Vietnam Selatan mengungsi dari negaranya demi alasan kemanan. Mereka mengungsi dengan menggunakan perahu-perahu kayu sederhana yang kondisinya memprihatinkan karena dalam satu perahu bisa ditempati 40-100 orang. Berbulan-bulan para ‘Manusia Perahu’ ini terombang-ambing mengarungi perairan Laut Cina Selatan sejauh ribuan kilometer tanpa tujuan yang jelas dengan harapan mendapat perlindungan dari negara lain. Sebagian dari mereka ada yang meninggal di tengah lautan dan sebagian lagi berhasil mencapai daratan, termasuk wilayah Indonesia.
Hingga tahun 1995, akhirnya mereka mendapat suaka di negara-negara maju yang mau menerima mereka ataupun dipulangkan ke Vietnam. Termasuk ayah Hasan yang sampai saat ini tidak dia ketahui keberadaanya. Ibu Hasan dulu menolak ikut karena kakek Hasan menolak untuk pindah ke Vietnam.

Begitulah. Hanya secuil kehidupan Hasan yang bisa jadi konsumsi teman-temannya. Dan secuil ini yang bisa membuat Hasan meledak jika disinggung.

Aku mendekati meja dimana Pak David duduk. Baru berjalan beberapa langkah Hasan memberi kode untuk menjauh. Aku ragu. Namun, akhirnya manut kode dari Hasan.

Seperti biasa, Pak David datang bersama enam orang seumurannya yang juga masih kerabat dekat. Pegawai rumah makan ini tidak ada yang suka saat Pak David datang. Terutama Hasan. Selalu saja ada komentar pedas dari mulutnya. Beberapa orang tidak suka caranya memberi masukan. Tidak punya sikap. Padahal, banyak dari kami yang lebih tua darinya. Dan Hasan lagi – lagi menjadi air dan minyak dalam urusan ini. Mudah-mudahan kali ini mereka berdua tidak ribut.

Aku memilih untuk pergi ke bagian bartender. Ada Uni Kesih. Sudah jadi tabiatnya, Uni Kesih tidak pernah lepas dari kotak make up kecil berwarna biru di tangannya. Beberapa menit berlalu, Hasan mendekati kami.

“Uni, teh obengnya tiga, juz mangga 1, es jeruk satu, teh O-nya satu.” Hasan menyerahkan kertas berwarna kuning ke tangan Uni Kesih.

“Andri, tolong bantu bawain makanannya. Minumannya biar saya yang bawain,” Hasan duduk dan mengelap keringat dengan punggung tangannya. Aku mendekati togar yang sedang menggoreng ayam pesenan rombongan Pak David.

Kulirik jam yang tergantung di dinding. 11.30. Baru berjalan setengah hari. Berat rasanya harus berpuasa sambil bekerja di rumah makan. Tapi, apa boleh buat. Rejeki yang harus kejemput untuk sementara memang harus di sini.

“Heh, lu gimana sih. Gua kan pesen teh obeng. Kok ini dikasih teh O.” terdengar suara Pak David dari arah beranda. Aku medongakkan kepala karena tertutup etalase makanan. Pak David yang duduk di meja dekat Lina berdiri sambil menunjuk-nunjuk Hasan.

Kulihat Hasan hanya tersenyum. Beberapa rekan kerjaku diam di tempat. Mereka takkan mau berurusan jika menyangkut Pak David.

“Pak, maaf. Tadi bapak kan bilang bapak pesen teh O aja. Katanya bapak lagi meriang kan?” Hasan menanggapi kemarahan Pak David dengan tenang. Aku hendak mendekat namun Hasan dengan ekor matanya memberi tanda untuk mundur.

Aku kembali mendekati si Togar.

“What? Me? Sakit? Lu nggak liat gua sesehat apa? Mau ngerasain gua bisa mukul lu, hah?” Pak David menepuk pipi Hasan beberapa kali. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku akan tahu akhir dari pertengkaran ini.

“Bapak yang tadi bilang sendiri kan?” Hasan menjawab masih dengan suara dibuat sesabar mungkin. Dari jauh Lina memintaku berbuat sesuatu. Tapi aku masih terpaku di tempatku. “Hasan tidak mau aku ikut campur,” kataku.

“Heh, Cik Hasan. Kenapa sih lu selalu cari gara-gara ama gua? Punya dendam apa lu?”

“Pak, maaf. Saya nggak pernah cari gara-gara sama bapak. Tapi…”

“Tapi, apa?” Pak David menatap Hasan tajam. “Tapi, apa? Jawab!”

“Pak, teh O-nya biar saya ganti saja. Tunggu.”

“Heh, lu kabur gitu aja. Bukan masalah tehnya. Tapi masalah sikap lu jadi pegawai nggak ada sopan-sopannya.” Hasan mengangkat kepalanya. Tatapan mereka berdua sama-sama tajam. Aku akhirnya tak peduli dengan permintaan Hasan. Aku mendekat ke arah mereka.

“Lu jangan ikut campur. Kalian juga!” bentak Pak David padaku dan beberapa temannya.

“Heh, denger ya. Gua di sini bosnya. Harusnya lu nggak usah macem-macem.

“Saya minta maaf, PAK. Belum cukupkah?” Hasan geram.

“Enak aja minta maaf doang. Pantes bapak lu pergi gitu aja.”

“CUKUP, PAK!” Hasan semakin nggak bisa mengontrol emosinya. Dia mendorong tubuh Pak David hingga terjungkal. Aku akhirnya mendekat dan mendekap tubuh Hasan. Teman-teman Pak David terlihat kesal dengan kejadian barusan.

“Bapak bisa menghina saya. Tapi, jangan pernah bawa-bawa ayah saya.”

“Emang gua salah ngomong?” Pak David berdiri dan menyeringai ke arah Hasan. Tubuhnya ditahan oleh teman-temannya agar tidak membalas Hasan.

“Pak, cukup. Bapak minta teh obeng atau teh O sekarang?”

“Lupakan teh obeng dan teh O. Lu lupa. Gua yang bayar lu. Lu udah permaluin gua di depan semua. Jangan harap gaji lu bisa keluar.”

“Oke, Pak. Saya keluar mulai detik ini.”

“Nggak semudah itu. Kalo lu keluar sekarang lu harus bayar ganti rugi ke gua.”

“Apa-apaan nih. Enak aja. Bapak yang punya dendam kan sama saya? Bapak yang mau terus-terusan menghina saya. Orang kaya sombong kayak bapak akan dapat balasannya, Pak. Tuhan nggak pernah tidur,”

“Kurang ajar. Sekarang ngajarin gua tentang agama lagi. Siapa lu, hah.” Semua orang tak bisa berbuat apa-apa. Semua terpaku seperti menyaksikan adegan sinetron di televisi. Pak David masih berusaha melepaskan tubuhnya. Berusaha mendekati Hasan. Aku berusaha menenangkan Hasan. Sia – sia. Emosinya sudah memuncak.

“Dasar anak pelarian.” Aku lengah. Peganganku melemah. Hasan bisa melepaskan diri. Ah, bukan. Kalimat terakhir Pak David-lah yang menambah tenaganya.

“BUGGG!” Pak David kembali terjungkal. Semua berjalan cepat. Pak David berdiri. Tangan kanannya cekatan mengambil pisau di atas meja dan di depan mataku sendiri Hasan tersungkur. Beberapa tusukan tepat masuk ke perutnya. Semua orang malah terdiam. Tidak menyangka akhirnya akan begini.

“Abiiiiiiii…” tiba-tiba, aku mendengar teriakan gadis kecil yang kutunggu sejak pagi. Scene yang terjadi berikutnya membuat semua yang ada di beranda menyesal. Annisa, gadis pintar itu harus melihat ayahnya mati di depan matanya.

Dan semua orang masih terdiam.


Senin, Oktober 20, 2014

Tak Ada yang Kebetulan

Peraih Penghargaan Inspiring Student Bidik Misi Award 2014

5 Mei 2010, 19.30. Bandara Soekarno Hatta


Semburat langit senja Jakarta menyapaku. Dan seakan ada bongkahan emas di hadapanku, kaki ini berjalan mantap menantang bumi. Aku yang tak tahu bagaimana masa depanku kelak memilih tetap bersemangat. Toh, mendramatisasi keadaan memang sebenarnya tidak perlu. Hanya karena kita tak tahu apa yang akan terjadi—bahkan sedetik dari waktu sekarang—saja hingga terkadang kita terlalu berlebihan menilai sesuatu kejadian.

Kini. Aku telah pulang. Dari proses panjang yang melelahkan namun menguatkan.

Pada suatu masa
Aku melihat kembali deretan nama-nama di kertas yang tertempel di mading sekolah favorit ini. Sudah beberapa kali mata ini mengeja satu-persatu nama-nama itu tapi nama Muhammad Iqbal memang tidak tertera di sana. Sedih? Pasti. Aku sebagai siswa dengan nilai ujian tertinggi di es-em-pe-nya dulu tidak diterima di sekolah favorit di kotanya. Butuh waktu lama untuk menyadari bahwa sekolah SMAku saat itu belum jelas di mana. Hingga akhirnya seminggu kemudian keputusan untuk masa depan itu diketuk palu, “Mending kamu kursus Bahasa Inggris saja dulu daripada sekolah di SMA swasta,” kata Mas Mufid sambil menyebut sebuah nama sekolah yang tak mungkin kusebut di sini. Orang tuaku mengangguk yakin. Lebih tepatnya memaksa untuk yakin dengan keputusan itu.
“Oke,” kataku waktu itu menghibur diri. Dan tahukah kamu mengapa akhirnya kuiyakan juga saran Mas Mufid itu. Alasan pastinya sebenarnya satu. Orang tua akan sangat keberatan dengan menyekolahkan dua orang anaknya bersamaan. Kakak yang waktu itu juga belum ketahuan sekolah dimana harus didahulukan.
Setahun mengambil kursus Bahasa Inggris membuat waktu berjalan sangat cepat. Waktu penerimaan siswa baru sudah kembali digelar. Nama SMA Negeri 1 Pringsewu tetap menjadi pilihan pertama disusul nama SMA Negeri 3 dan MAN 1 Bandar Lampung yang—kembali—atas usulan Mas Mufid, sekolah yang kusebut terakhir akhirnya masuk daftar sekolah yang ingin kumasuki. Waktu ternyata berkata lain, pengumuman di MAN 1 lebih dahulu diterbitkan. Hingga akhirnya tanpa pikir panjang, keluarga sepakat memilih MAN 1 sebagai tempatku menimba ilmu karena takut anak yang sudah keburu dibanggakan tidak diterima di SMA 1 atau bahkan SMA 3 Pringsewu.
Satu bulan aku merasa tidak betah sekolah di MAN. Kupikir itu karena akhirnya aku tahu bahwa aku diterima di SMA 1. Tiga bulan kebosanan menghantui hari-hariku. Hingga genap dihitungan angka enam, aku memutuskan untuk pindah. Awalnya. Namun, usaha yang dilakukan Mas Mufid untuk memasukkanku di SMA Negeri 1 Pringsewu gagal. Dan lagi. Enam bulan sisanya aku tidak sekolah. Namun, di kesempatan ketigaku, akhirnya dengan serius kujalani semua proses yang memang harus kujalani. Aku kembali mendaftar di SMA 1 dan SMA 3 sampai waktu pengumuman tes tiba akhirnya sejarah mencatat bahwa SMA Negeri 1 Pringsewu adalah tempat dimana aku menghabiskan tiga tahun masa SMAku.
Hidup memang terlalu sederhana diceritakan jika ia berjalan melewati jalan yang tanpa hambatan. Dan sekarang baru kusadar bahwa Allah begitu menyayangiku dengan pembelajaran kegagalan yang kembali terulang saat aku ingin meraih gelar sebagai mahasiswa.
Setelah lulus SMA, aku ikut bergabung dengan ribuan orang yang berebut satu kursi di universitas lewat jalur SNMPTN. Di tahun itu, aku mendaftar cukup di Unila, Universitas Lampung. Orang tuaku tak mau kalau anaknya terlantar jika aku mendaftar di universitas (provinsi) lain. Hasilnya. Aku gagal. Sebagai gantinya aku belajar Bahasa Inggris di Kampung Inggris, Pare, selama sembilan bulan. Waktu yang tidak sebentar di Pare itu kujalani dengan sedikit terlunta – lunta. Awalnya, informasi dari teman kakakku mengatakan bahwa uang 300 ribu rupiah sudah bisa menghidupiku di sana. Tapi, kenyataan berkata lain. Aku harus kerja menjaga sebuah konter pulsa untuk menambah uang hidup dan uang tinggal.
Tahun berikutnya, aku punya keinginan besar. Aku mau kuliah di luar Lampung karena ingin suatu saat bisa kembali ke Kampung Inggris biar nggak kejauhan kalau kuliahku di pulau Jawa. Orang tua tidak setuju. Dan Unila, lagi-lagi, jadi pilihan mentahku.
Dan aku kembali gagal. Namun, kegagalan itu membuat titik tolak masa depanku. Kalau gara-gara alasan takut anaknya terlantar mereka melarangku kuliah di luar Lampung, berarti aku harus nyari duit buat kuliahku tahun depan. Dan setelah sedikit berdebat dengan ibu, akhirnya Allah menakdirkanku terbang ke Batam. Salah satu tempat yang kusyukuri bahwa aku pernah menginjakkan kakiku di sana.
Bekerja di sebuah warung makan yang merupakan sebuah usaha franchise dari Jakarta membuatku sedikit banyak belajar. Di sana aku bertemu dengan orang yang sangat luar biasa. Namanya Untung. Aku memanggilnya Mas Untung. Di usianya yang menginjak kepala tiga dan tercatat masih membujang, kegalauan mengisi hari-harinya. Dan tak tahu mengapa Mas Untung memilihku untuk tempat curhat. Hingga akhirnya, aku mengusulkan untuk ikut Mentoring (liqo). Dan dia mengiyakan.
Merasa kurang dengan kuantitas pertemuan Liqo’, Mas Untung memintaku untuk mengajarinya baca al-quran setelah pulang kerja. Padahal, jadwal kita membuka warung makan itu sampai jam sebelas malam.
Saat itu, akhirnya saya tersadar bahwa segala sesuatu yang sudah terjadi dan menimpa saya memang bukanlah suatu kebetulan. Kegagalan-kegagalan yang akhirnya mengantarkan saya di kota Batam ternyata menjadi sebab Mas Untung yang ingin belajar agama. Atau pembelajaran yang sudah tak terhitung lagi buat saya. Meski sebenarnya saya-lah yang belajar banyak hikmah dari beliau. Sampai-sampai ketika saat ini beliau sudah bekerja di Korea, pernyataan-pernyataan beliau lewat media sosial masih tentang hal yang sama, “Ora eneng sing ngajari aku mening lah”. (Nggak ada lagi yang ngajarin saya lagi nih). Lalu, saya menanyakan kepada diri saya sendiri, “Kenapa saya nggak bias se-semangat Mas Untung?”
Begitulah, Allah sudah dengan gamblang menjelaskan dalam ayatNya: “Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bias jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216) Lalu, masihkah kita ragu?
Di tanggal 5 Mei aku terbang meninggalkan Batam menuju Jakarta karena masa penerimaan mahasiswa baru sebentar lagi dibuka.

8 Juni 2010, 18.00 di Kosan Pak Dharma
Aku deg-degan menuliskan nomor ujianku pada kolom yang tersedia. Aku menyuruh Wira yang menuliskan nomor itu akhirnya dan tiba-tiba dia menjerit ketika namaku dinyatakan diterima di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Aku yang belum melihatnya tak percaya dan ternyata aku memang benar-benar diterima di universitas tersebut. Allahuakbar! Rencana Allah memang indah. Inilah kesuksesan yang tertunda itu. Lagi-lagi.

16-17 Juni 2010, SMA Perguruan Cikini
Awalnya, karena sudah mendapatkan kursi di UIN Syarif Hidayatullah aku tak mau untuk ikut SNMPTN. Tapi, karena di UIN ada jadwal test TOEFL dan TOAFL (bahasa arab) yang berdekatan dengan jadwal SNMPTN akhirnya aku ikut tes SNMPTN.

16 Juli 2010, 17.00
Aku memasukkan angka ujianku ke dalam sebuah kotak. Klik. Dan tertulis di sana bahwa nama Muhammad Iqbal diterima di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UNJ. Aku sujud syukur. Ibu yang sedang mengajari anak – anak tetangga sebelah mengaji terheran. Kemudian kukatakan pada beliau, “Ibu, Iqbal diterima di UNJ juga.”
“Alhamdulillah. Tapi, Bal, kan uang gajimu udah abis buat daftar ulang di UIN. Ibu nggak bisa bantu kalau harus ngeluarin uang jutaan untuk daftar ulang di UNJ.” kata Ibu. Aku tersadar. Benar juga apa yang disampaikan Ibu. Uang simpanan kerja di Batam kan sudah dibayarkan untuk daftar ulang di UIN. Mau bayar pakai duit darimana? Ah, sudahlah. UIN akan jadi kampusku. Aku nggak mau membebani orang tuaku. Meski aku pasrah, aku tetap membagi berita bahagia itu ke Wira. Teman SMA yang kuliah di UNJ, yang kosannya kutumpangi selama proses penerimaan mahasiswa baru.“Sekarang kamu lebih sreg mana? UNJ apa UIN?” Tanya Wira di tengah – tengah pembicaraan. “Sebenarnya UNJ. Banyak temennya kan? Ada ente, Okky, Yusuf, ama Cahyo.”
“Yowes, besok kamu langsung berangkat ke sini aja. Masalah uang nggak usah dipikirin.”
“Gimana nggak dipikirin. Udah nggak pegang duit lagi nih. Tabungan udah habis. Paling tinggal beberapa juta buat uang hidup di UIN, kalo jadi kuliah di sana.”
“Udah. Ke sini dulu aja. Nanti dibantuin buat minjem uang dari kampus.”

19 Juli 2010
Meski ragu – ragu aku tetap menuruti saran Wira. Sesampainya di Jakarta, hari berikutnya aku diantar Agphin, kawan dari Lampung. Mengurusi berkas – berkas dan segala macamnya. Setelah selesai aku diantar ke sebuah stand pengaduan. Di stand tersebut aku ditanya oleh seorang lelaki berkaca mata yang kemudian kukenal namanya adalah Tony. Ternyata dia adalah seniorku di Bahasa Inggris. Setelah ditanya macam – macam aku dimintanya untuk mengusahakan terlebih dahulu uang buat bayaran.
Seminggu berlalu namun aku dan keluarga tetap belum mendapatkan uang sebesar Rp 3.530.000. Aku kewalahan. Aku kembali disuruh datang ke secretariat BEM FBS. Masih ditanya-tanya ulang. Disuruh balik hari berikutnya. Hingga akhirnya di akhir masa bayaran akan usai aku harus mengumpulkan ijazah SMA ku sebagai jaminan.
Saat itu aku benar – benar merasa berterima kasih kepada Tony. Karena pada akhirnya aku mendapatkan dana Nadi. Nominalnya pun nggak kecil. Uang sebesar Rp 3.000.000 menjadi pinjaman untuk membayar uang masukku di UNJ. Lagi – lagi aku sujud syukur dan tak mempedulikan orang – orang yang menatapku. Ya Allah, terima kasih atas segala ujian yang Kau berikan kepadaku dan menguatkanku.
Setahun Kemudian
Setahun hidup di ibukota bukan hal yang mudah bagiku. Pernah jadi guru privat, translator, pernah juga kerja serabutan. Hingga suatu hari sebuah sms masuk. Dari Indah FIP. “Iqbal bisa temui saya di FIP. Ada perlu.
Aku bertanya. Ada perlu apa sehingga sepertinya sms dari Indah formal sekali. Langsung kusambangi Indah di FIP. Ngobrol basa – basi sejenak hingga keluar kalimat dari Indah. “Sabar kan ya? Kita akan ketemu dengan Kasubag kemahasiswaan FIP. Indah udah ngobrol dan mengusulkan nama Iqbal sebagai mahasiswa pengganti penerima Bidik Misi.”
Dengan wajah yang tidak dibuat – buat terkejut aku berkata gemetar. “Beneran, Ndah?”
“Iya. Insya Allah. Berdoa saja dimudahkan. Prosesnya agak ribet karena lintas fakultas. Dengan penjelasan bahwa Iqbal kuliah dengan bantuan dana Nadi dan sudah tidak mendapat uang dari ibu akhirnya pihak Kasubag mawa FIP yang sudah berkoordinasi dengan Kasubag mawa setuju. Nanti Iqbal akan ketemu dengan Kasubagmawa FIP. Tanpa Indah ya. Semoga dimudahkan.”
Ya Allah. Terima kasih atas segala cobaan dan ujian yang menguatkanku. Aku yang kemudian harus dua tahun berhenti setelah lulus SMP dan dua tahun setelah SMA bukan tanpa maksud. Meski selalu jadi orang paling “sepuh” di sekolah dan kampus. Akhirnya, kau tunjukkan anugerahmu. Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Yang ada hanya pembelajaran.

Sabtu, Agustus 23, 2014

Kiat Sukses Jadi Mahasiswa Baru

Selamat! Buat kalian yang sudah masuk dan menjadi Mahasiswa Baru FBS UNJ. Setelah tiga tahun menjalani hari di masa SMA, teman-teman akhirnya dituntut untuk lebih dewasa dan peka terhadap kondisi sekarang. Nggak boleh lagi 4LaY (lha, sendirinya alay), nggak boleh manja, nggak boleh kebanyakan main, nggak boleh jajan sembarangan (ngaco, maaf). Yang penting sih harus sadar dengan kata "maha" di depan kata "siswa" yang sekarang teman-teman sandang.

Okeh, menjadi maba susah-susah gampang tapi asyik lho. Banyak hal baru yang bisa teman-teman dapat dan banyak hal yang peru dipersiapkan untuk berhasil. Mumpung masih diawal. Inget, kalau sudah semester empat seperti saya atau diatas saya, teman-teman bakal banyak penyesalan mengapa waktu jadi maba nggak bikin target dan persiapan mateng.

Olrait, daripada lama-lama, nih ada kiat-kiat sukses jadi maba. Ini berdasarkan pengalaman pribadi ya:

  1. Harus sering ke kampus. Buat apa? Banyak. Buat lapor diri, buat ngembaliin formulir, dan buat tes kesehatan (hehe. itu kan memang wajib). Sebenarnya "harus sering ke kampus" ini maksudnya cari info sebanyak-banyaknya. Nggak harus ke kampus juga. Yang penting temen-temen nggak ketinggalan info kapan jadwal wawancara dan apa saja dan kapan rangkaian acara MPA (Masa Pengenalan Akademik *ospek).
  1. Banyakin koneksi. Ini yang lebih sangat penting. Buat yang nggak punya teman satu sekolah yang masuk di satu jurusan atau fakultas yang sama, membangun jaringan adalah hal yang utama. Mau tanya apa-apa ke kakak kelas tapi takut, bisa nanya temennya itu. Mau sharing info juga bisa. Mau berangkat bareng monggo. Tapi, jangan mulai buat nyari jodoh dulu. Woi, kuliah dulu. hehe. Pepatah baru yang harus teman-teman tahu, "Banyak teman, banyak rejeki".
  1. Banyak tanya. Jadi pura-pura bego aja (maaf). Sebenarnya udah tahu tapi tanya-tanya aja. Apalagi yang ditanya mau "dimodusin". Waduh, katanya nggak boleh nyari jodoh dulu. Pokoknya, banyak tanya aja kalo bingung dan nggak tahu meski ngapain. Ini berhubungan dengan poin nomer 1.
  1. Ikuti seluruh rangkaian khusus maba. Sekarang kalau boleh, saya pun pengen jadi maba lagi. Apalagi ikut MPA. Jadi, banyak temen, baik dari jurusan sendiri maupun jurusan yang lain, bisa asyik-asyik, punya cerita lucu, kejadian unik, naksir temen (lho, kok lagi?). Mungkin terkesan subjektif ya tapi kalau belum ngerasain memang nggak bisa ngomong kayak gini.
  1. Yang terakhir baru bikin target kuliah. Nih, udah sukses jadi maba jangan sampai nggak sukses jadi mahasiswa. Kuliah itu juga susah-susah gampang. Mulai sekarang harus bikin target. IP harus 4, IPK nggak boleh kurang dari 3.5, nggak ada nilai C, tapi tak perlu punya target lulus cepet. Kenapa? Ada di nomer 6.
  1. Maksud dari nggak perlu lulus cepet adalah kampus adalah gerbang terakhir teman-teman menuju kehidupan sebenarnya. Setelah lulus teman-teman bakal jadi manusia mandiri yang HARUS mandiri dan NGGAK BOLEH bergantung kepada siapapun. Maka, cari pengalaman sebanyak-banyaknya. Nilai tetap BAGUS tapi yang penting pengalaman. Ini semua bisa didapat kalau teman-teman ikut organisasi. Akademik itu PENTING, tapi organisasi itu PERLU. Di dunia kerja nanti, IP itu cuma sampai seleksi administrasi tapi kemampuan teamwork, pengalaman organisasi, dan kemampuan managemen-lah yang ditanya dan dihargai. Dan, pembelajaran itu nggak didapat di dalam kelas kuliah tapi di organisasi. So, jangan ragu buat ikut organisasi ya. Bukan mahasiswa kalo nggak ikut organisasi. "Buat apa punya ilmu (IP gede), tapi nggak dibagi".


Pintar itu bukan dinilai dari seberapa bagus cetakan angka-angka kita di KHS*. Tapi, seberapa bermanfaat ilmu itu buat sekitar kita.
Itu dulu aja ya. Bersambung nih.

www.duniakataiqbal.blogspot.com


*KHS: Kartu Hasil Study

Rabu, Agustus 20, 2014

Best Friend itu NGGAK ADA!!!

Apa yang membuat saya tak lagi mempercayai adanya 'best friend'? Ini semua karena aku berkaca pada pengalamanku sendiri. Beberapa waktu lalu--tepatnya beberapa tahun yang lalu--aku begitu memuja persahabatan. Aku (masih) percaya ada best friend. Tapi, saat ini semua itu terasa hal yang absurb; klise dan nonsens. Jika teman-teman merasa aku salah maka berikanlah saya bukti bahwa masih ada yang namanya 'best friend'.


Sekali lagi saya katakan bahwa beberapa tahun lalu saya benar-benar percaya akan adanya sahabat terbaik. Kepercayaan yang sebenarnya tiap waktu menipis. Kepercayaan bersanding bersama keraguan apakah aku bakal punya sahabat terbaik.

Akan saya ceritakan alasannya.


Sewaktu kecil dulu aku punya seorang kawan yang bahkan ayahnya kupanggil 'bapak'. Berbagi ayah dengannya karena sewaktu lahir sampai saya berumur kurang lebih 10 tahun saya tidak mengenal seorang ayah. Ayah harus merantau jauh supaya dapur ibuku tetap mengempulkan asap. Aku dengan sahabatku tersebut hampir selalu bersama; bermain gundu, main hujan-hujanan, pergi-pulang sekolah, duduk sebangku, tidur bareng, dan banyak hal-hal lain yang kami lakukan bersamaan. Tapi, itu dulu. Ya, dulu sekali. Semua berubah ketika ternyata makhluk yang bernama 'dewasa' merasuki kami. Kebersamaan kami mulai berkurang sedetik demi sedetik. Kami menjadi TEMAN BIASA. Yang hanya bertegur sapa ketika sewaktu-waktu bertemu. Yang hanya menanyakan kabar sekadar basa-basi belaka. Yang tak pernah lagi bermain bersama, menginap di salah satu rumah dari kami, atau bahkan sekadar berkunjung. Semua menjadi hilang dan lenyap. Ironisnya, saat inipun aku tak tahu nomor teleponnya. Maaf, bukan aku tak mau mencari atau tak mau memilikinya. Tapi itulah. Aku sudah beberapa kali menyimpan nomor kontaknya di hapeku dan beberapa kali pula ia berganti-ganti nomor. Ya, aku tahu bukan karena dia menghindariku dengan bergonta-ganti nomor. Tapi yang pasti, kedekatan kami di masa kecil dulu telah hilang. Tersisa sedikit. Hanya sedikit.


Tiba saat masa SMP. Lagi-lagi aku merasa telah menemukan seorang teman terbaikku. Ya, teman terbaik yang kata orang mendengarkan saat kita mengeluh. Memberikan semangat saat kita terpuruk. Tak menyalahkan kita ketika kita berjalan keluar jalur. Dan bla bla bla lainnya yang menggambarkan tentang sahabat terbaik.


Awalnya. Ya, awalnya memang seperti itu. Kami bersama. Bersenang-senang. Bercanda. Bersenda gurau. Melakukan banyak hal yang sekarang akupun tak lagi ingat satu-satu karena saking banyaknya. Lagi-lagi itu dulu. Saat kami dekat. Saat kami sedang menempuh pendidikan di sekolah yang sama. Saat tiap hari kami pasti bersua. Hingga akhirnya ketika ia lulus dan aku baru naik kelas tiga es-em-pe, persahabatan itu menemui ujungnya. Sama seperti "SAHABAT'ku saat di Sekolah Dasar, saat inipun aku tak mempunyai nomor telepon atau tahu kabarnya. Sama sekali tak tahu. Lagi dan lagi bukan karena aku tak mencari tahu. Tapi, karena kesibukan kami dan banyak hal, termasuk masalah jarak, kebersamaan itu lenyap. Tersisa hanya secuil berupa kenangan dalam memoriku. Sekarang salahkah jika aku tak lagi mempercayai sahabat terbaik? Aku rasa tidak karena ternyata semua itu berlanjut ke masa selanjutnya.

Di sekolah menengah saat aku duduk di tahun pertama, aku bahkan mempunyai tidak hanya satu teman yang kuanggap teman terbaikku. Tiga. Ya, T-I-G-A orang sekaligus. Dua orang kuanggap teman terbaik karena mereka selalu membantuku, menopangku saat aku lemah, menjadi tempat bercerita, dan menjadi teman yang membantuku saat aku tak bisa pulang ke rumah saat aku kesorean dan tak mungkin pulang mengingat rumahku yang jaraknya sangat JAUH dari sekolahku. Sedang seorang lagi kuanggap teman karena ternyata dia menganggapku ada. Ya, tak bisa kupungkiri bahwa manusia pasti butuh eksistensi dan dialah orang yang tak meragukan kemampuanku. Mereka bertiga adalah teman terbaikku (menurutku) saat aku berada di kelas X (sepuluh). Lalu, saat kami harus berpisah kelas. Dua orang menjadi sekelas lagi jurusan yang sama denganku, Ilmu Alam, dan seorang justru masuk ke jurusan Ilmu Sosial. Hah, 'best friend'ku kembali menikmati dunia mereka sendiri. Hubungan itu terpisah karena kami tak lagi dekat (tak lagi bisa berjumpa setiap hari karena beda kelas).


Saat di tahun kedua aku tak bisa menganggap satupun dari teman sekelas sebagai teman terbaikku. Kebersamaan selama setahun tak bisa membuatku mengalungkan predikat best friend kepada salah satu dari mereka. Baru di tahun ketigalah aku berani menganggap beberapa dari mereka best friend-ku. Namun, semua tak berjalan lama. Parahnya, kelas yang katanya kompak pun akhirnya kehilangan 'jin' kekompakan yang (dulu) bersama kami. Itu semua tentu saja karena jarak. Ya, jarak yang memisahkan dan kesibukan yang kami lakoni sekarang masing-masing membuat 'jin' itu 'ter-ruqyah' dengan sendirinya. Pergi.


Hah, begitulah. Aku tak lagi mempunyai 'medali' teman terbaik. Semua yang telah terjadi itulah alasannya. Kalau saya dianggap memilih-milih teman, saya katakan bahwa saya TIDAK pernah memilih-milih orang untuk menjadi teman. Kalau saya dianggap kurang perhatian maka saya BERANI mengatakan kurang care apalagi saya? Saya dengan sahabatku di masa kecil, saya dengan sahabatku di masa SMP, saya dengan ketiga temanku di tahun pertamaku di SMA, saya dan beberapa teman sekelasku di tahun ketigaku di SMA memang tak berperang atau punya masalah atau putus hubungannya. Namun, kami (terlebih saya) merasa kedekatan yang dulu kami bangun langsung luluh-lantak dihancurkan 'gelombang' jarak. Ya, kami tetap berteman tapi berteman BIASA. Tak ada yang istimewa. TAK ADA LAGI BEST FRIEND. Kami adalah cuma TEMAN DEKAT (Teman terbaik saat raga kita memang dekat) bukan dari kedekatan hati. makhluk bernama 'jarak' yang menelanjangi semua itu. Ya, hingga akhirnya aku percaya. Best Friend itu NGGAK ADA. Yang ada hanya teman (ketika jarak--raga) dekat. Itu saja. Maaf.



Rawamangun - Warnet Radja, 23 Februari 2011