5 Mei 2010, 19.30. Bandara Soekarno Hatta
Semburat langit senja Jakarta menyapaku. Dan seakan
ada bongkahan emas di hadapanku, kaki ini berjalan mantap menantang bumi. Aku
yang tak tahu bagaimana masa depanku kelak memilih tetap bersemangat. Toh,
mendramatisasi keadaan memang sebenarnya tidak perlu. Hanya karena kita tak
tahu apa yang akan terjadi—bahkan sedetik dari waktu sekarang—saja hingga
terkadang kita terlalu berlebihan menilai sesuatu kejadian.
Kini. Aku telah pulang. Dari proses panjang yang
melelahkan namun menguatkan.
Pada suatu masa
Aku melihat kembali deretan nama-nama di kertas yang
tertempel di mading sekolah favorit ini. Sudah beberapa kali mata ini mengeja
satu-persatu nama-nama itu tapi nama Muhammad Iqbal memang tidak tertera di
sana. Sedih? Pasti. Aku sebagai siswa dengan nilai ujian tertinggi di
es-em-pe-nya dulu tidak diterima di sekolah favorit di kotanya. Butuh waktu
lama untuk menyadari bahwa sekolah SMAku saat itu belum jelas di mana. Hingga
akhirnya seminggu kemudian keputusan untuk masa depan itu diketuk palu,
“Mending kamu kursus Bahasa Inggris saja dulu daripada sekolah di SMA swasta,”
kata Mas Mufid sambil menyebut sebuah nama sekolah yang tak mungkin kusebut di
sini. Orang tuaku mengangguk yakin. Lebih tepatnya memaksa untuk yakin dengan
keputusan itu.
“Oke,” kataku waktu itu menghibur diri. Dan tahukah
kamu mengapa akhirnya kuiyakan juga saran Mas Mufid itu. Alasan pastinya
sebenarnya satu. Orang tua akan sangat keberatan dengan menyekolahkan dua orang
anaknya bersamaan. Kakak yang waktu itu juga belum ketahuan sekolah dimana
harus didahulukan.
Setahun mengambil kursus Bahasa Inggris membuat
waktu berjalan sangat cepat. Waktu penerimaan siswa baru sudah kembali digelar.
Nama SMA Negeri 1 Pringsewu tetap menjadi pilihan pertama disusul nama SMA
Negeri 3 dan MAN 1 Bandar Lampung yang—kembali—atas usulan Mas Mufid, sekolah
yang kusebut terakhir akhirnya masuk daftar sekolah yang ingin kumasuki. Waktu ternyata berkata lain, pengumuman
di MAN 1 lebih dahulu diterbitkan. Hingga akhirnya tanpa pikir panjang,
keluarga sepakat memilih MAN 1 sebagai tempatku menimba ilmu karena takut anak
yang sudah keburu dibanggakan tidak diterima
di SMA 1 atau bahkan SMA 3 Pringsewu.
Satu bulan aku merasa tidak betah sekolah di MAN.
Kupikir itu karena akhirnya aku tahu bahwa aku diterima di SMA 1. Tiga bulan
kebosanan menghantui hari-hariku. Hingga genap dihitungan angka enam, aku
memutuskan untuk pindah. Awalnya. Namun, usaha yang dilakukan Mas Mufid untuk
memasukkanku di SMA Negeri 1 Pringsewu gagal. Dan lagi. Enam bulan sisanya aku
tidak sekolah. Namun, di kesempatan ketigaku, akhirnya dengan serius kujalani semua
proses yang memang harus kujalani. Aku kembali mendaftar di SMA 1 dan SMA 3
sampai waktu pengumuman tes tiba akhirnya sejarah mencatat bahwa SMA Negeri 1
Pringsewu adalah tempat dimana aku menghabiskan tiga tahun masa SMAku.
Hidup memang terlalu sederhana diceritakan jika ia
berjalan melewati jalan yang tanpa hambatan. Dan sekarang baru kusadar bahwa
Allah begitu menyayangiku dengan pembelajaran kegagalan yang kembali terulang
saat aku ingin meraih gelar sebagai mahasiswa.
Setelah lulus SMA, aku ikut bergabung dengan ribuan
orang yang berebut satu kursi di universitas lewat jalur SNMPTN. Di tahun itu,
aku mendaftar cukup di Unila, Universitas Lampung. Orang tuaku tak mau kalau
anaknya terlantar jika aku mendaftar
di universitas (provinsi) lain. Hasilnya. Aku gagal. Sebagai gantinya aku
belajar Bahasa Inggris di Kampung Inggris, Pare, selama sembilan bulan. Waktu
yang tidak sebentar di Pare itu kujalani dengan sedikit terlunta – lunta.
Awalnya, informasi dari teman kakakku mengatakan bahwa uang 300 ribu rupiah
sudah bisa menghidupiku di sana. Tapi, kenyataan berkata lain. Aku harus kerja
menjaga sebuah konter pulsa untuk menambah uang hidup dan uang tinggal.
Tahun berikutnya, aku punya keinginan besar. Aku mau
kuliah di luar Lampung karena ingin suatu saat bisa kembali ke Kampung Inggris biar
nggak kejauhan kalau kuliahku di pulau Jawa. Orang tua tidak setuju. Dan Unila,
lagi-lagi, jadi pilihan mentahku.
Dan aku kembali gagal. Namun, kegagalan itu membuat
titik tolak masa depanku. Kalau gara-gara alasan takut anaknya terlantar mereka
melarangku kuliah di luar Lampung, berarti aku harus nyari duit buat kuliahku
tahun depan. Dan setelah sedikit berdebat dengan ibu, akhirnya Allah
menakdirkanku terbang ke Batam. Salah satu tempat yang kusyukuri bahwa aku pernah
menginjakkan kakiku di sana.
Bekerja di sebuah warung makan yang merupakan sebuah
usaha franchise dari Jakarta
membuatku sedikit banyak belajar. Di sana aku bertemu dengan orang yang sangat
luar biasa. Namanya Untung. Aku memanggilnya Mas Untung. Di usianya yang
menginjak kepala tiga dan tercatat masih membujang, kegalauan mengisi
hari-harinya. Dan tak tahu mengapa Mas Untung memilihku untuk tempat curhat.
Hingga akhirnya, aku mengusulkan untuk ikut Mentoring (liqo). Dan dia
mengiyakan.
Merasa kurang dengan kuantitas pertemuan Liqo’, Mas
Untung memintaku untuk mengajarinya baca al-quran setelah pulang kerja.
Padahal, jadwal kita membuka warung makan itu sampai jam sebelas malam.
Saat itu, akhirnya saya tersadar bahwa segala
sesuatu yang sudah terjadi dan menimpa saya memang bukanlah suatu kebetulan.
Kegagalan-kegagalan yang akhirnya mengantarkan saya di kota Batam ternyata
menjadi sebab Mas Untung yang ingin belajar agama. Atau pembelajaran yang sudah
tak terhitung lagi buat saya. Meski sebenarnya saya-lah yang belajar banyak
hikmah dari beliau. Sampai-sampai ketika saat ini beliau sudah bekerja di
Korea, pernyataan-pernyataan beliau lewat media sosial masih tentang hal yang
sama, “Ora eneng sing ngajari aku mening
lah”. (Nggak ada lagi yang ngajarin saya lagi nih). Lalu, saya menanyakan
kepada diri saya sendiri, “Kenapa saya nggak bias se-semangat Mas Untung?”
Begitulah, Allah sudah dengan gamblang menjelaskan
dalam ayatNya: “Bisa jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bias jadi kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah:
216) Lalu, masihkah kita ragu?
Di tanggal 5 Mei aku terbang meninggalkan Batam menuju
Jakarta karena masa penerimaan mahasiswa baru sebentar lagi dibuka.
8 Juni 2010,
18.00 di Kosan Pak Dharma
Aku deg-degan menuliskan nomor ujianku pada kolom
yang tersedia. Aku menyuruh Wira yang menuliskan nomor itu akhirnya dan
tiba-tiba dia menjerit ketika namaku dinyatakan diterima di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah. Aku yang belum melihatnya tak percaya dan ternyata
aku memang benar-benar diterima di universitas tersebut. Allahuakbar! Rencana
Allah memang indah. Inilah kesuksesan yang tertunda itu. Lagi-lagi.
16-17 Juni 2010,
SMA Perguruan Cikini
Awalnya, karena sudah mendapatkan kursi di UIN Syarif
Hidayatullah aku tak mau untuk ikut SNMPTN. Tapi, karena di UIN ada jadwal test
TOEFL dan TOAFL (bahasa arab) yang berdekatan dengan jadwal SNMPTN akhirnya aku
ikut tes SNMPTN.
16 Juli 2010,
17.00
Aku memasukkan angka ujianku ke dalam sebuah kotak.
Klik. Dan tertulis di sana bahwa nama Muhammad Iqbal diterima di Jurusan Bahasa
dan Sastra Inggris UNJ. Aku sujud syukur. Ibu yang sedang mengajari anak – anak
tetangga sebelah mengaji terheran. Kemudian kukatakan pada beliau, “Ibu, Iqbal
diterima di UNJ juga.”
“Alhamdulillah. Tapi, Bal, kan uang gajimu udah abis
buat daftar ulang di UIN. Ibu nggak bisa bantu kalau harus ngeluarin uang
jutaan untuk daftar ulang di UNJ.” kata Ibu. Aku tersadar. Benar juga apa yang
disampaikan Ibu. Uang simpanan kerja di Batam kan sudah dibayarkan untuk daftar
ulang di UIN. Mau bayar pakai duit darimana? Ah, sudahlah. UIN akan jadi
kampusku. Aku nggak mau membebani orang tuaku. Meski aku pasrah, aku tetap
membagi berita bahagia itu ke Wira. Teman SMA yang kuliah di UNJ, yang kosannya
kutumpangi selama proses penerimaan mahasiswa baru.“Sekarang kamu lebih sreg
mana? UNJ apa UIN?” Tanya Wira di tengah – tengah pembicaraan. “Sebenarnya UNJ.
Banyak temennya kan? Ada ente, Okky, Yusuf, ama Cahyo.”
“Yowes, besok kamu langsung berangkat ke sini aja.
Masalah uang nggak usah dipikirin.”
“Gimana nggak dipikirin. Udah nggak pegang duit lagi
nih. Tabungan udah habis. Paling tinggal beberapa juta buat uang hidup di UIN,
kalo jadi kuliah di sana.”
“Udah. Ke sini dulu aja. Nanti dibantuin buat minjem
uang dari kampus.”
19 Juli 2010
Meski ragu – ragu aku tetap menuruti saran Wira.
Sesampainya di Jakarta, hari berikutnya aku diantar Agphin, kawan dari Lampung.
Mengurusi berkas – berkas dan segala macamnya. Setelah selesai aku diantar ke
sebuah stand pengaduan. Di stand tersebut aku ditanya oleh seorang lelaki
berkaca mata yang kemudian kukenal namanya adalah Tony. Ternyata dia adalah
seniorku di Bahasa Inggris. Setelah ditanya macam – macam aku dimintanya untuk
mengusahakan terlebih dahulu uang buat bayaran.
Seminggu berlalu namun aku dan keluarga tetap belum
mendapatkan uang sebesar Rp 3.530.000. Aku kewalahan. Aku kembali disuruh
datang ke secretariat BEM FBS. Masih ditanya-tanya ulang. Disuruh balik hari
berikutnya. Hingga akhirnya di akhir masa bayaran akan usai aku harus
mengumpulkan ijazah SMA ku sebagai jaminan.
Saat itu aku benar – benar merasa berterima kasih
kepada Tony. Karena pada akhirnya aku mendapatkan dana Nadi. Nominalnya pun
nggak kecil. Uang sebesar Rp 3.000.000 menjadi pinjaman untuk membayar uang
masukku di UNJ. Lagi – lagi aku sujud syukur dan tak mempedulikan orang – orang
yang menatapku. Ya Allah, terima kasih atas segala ujian yang Kau berikan
kepadaku dan menguatkanku.
Setahun Kemudian
Setahun hidup di ibukota bukan hal yang mudah
bagiku. Pernah jadi guru privat, translator, pernah juga kerja serabutan.
Hingga suatu hari sebuah sms masuk. Dari Indah FIP. “Iqbal bisa temui saya di FIP. Ada perlu.”
Aku bertanya. Ada perlu apa sehingga sepertinya sms
dari Indah formal sekali. Langsung kusambangi Indah di FIP. Ngobrol basa – basi
sejenak hingga keluar kalimat dari Indah. “Sabar kan ya? Kita akan ketemu
dengan Kasubag kemahasiswaan FIP. Indah udah ngobrol dan mengusulkan nama Iqbal
sebagai mahasiswa pengganti penerima Bidik Misi.”
Dengan wajah yang tidak dibuat – buat terkejut aku
berkata gemetar. “Beneran, Ndah?”
“Iya. Insya Allah. Berdoa saja dimudahkan. Prosesnya
agak ribet karena lintas fakultas. Dengan penjelasan bahwa Iqbal kuliah dengan
bantuan dana Nadi dan sudah tidak mendapat uang dari ibu akhirnya pihak Kasubag
mawa FIP yang sudah berkoordinasi dengan Kasubag mawa setuju. Nanti Iqbal akan
ketemu dengan Kasubagmawa FIP. Tanpa Indah ya. Semoga dimudahkan.”
Ya Allah. Terima
kasih atas segala cobaan dan ujian yang menguatkanku. Aku yang kemudian harus
dua tahun berhenti setelah lulus SMP dan dua tahun setelah SMA bukan tanpa
maksud. Meski selalu jadi orang paling “sepuh” di sekolah dan kampus. Akhirnya,
kau tunjukkan anugerahmu. Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Yang ada hanya
pembelajaran.
0 komentar:
Posting Komentar