Technology

Pages

Senin, Oktober 20, 2014

Tak Ada yang Kebetulan

Peraih Penghargaan Inspiring Student Bidik Misi Award 2014

5 Mei 2010, 19.30. Bandara Soekarno Hatta


Semburat langit senja Jakarta menyapaku. Dan seakan ada bongkahan emas di hadapanku, kaki ini berjalan mantap menantang bumi. Aku yang tak tahu bagaimana masa depanku kelak memilih tetap bersemangat. Toh, mendramatisasi keadaan memang sebenarnya tidak perlu. Hanya karena kita tak tahu apa yang akan terjadi—bahkan sedetik dari waktu sekarang—saja hingga terkadang kita terlalu berlebihan menilai sesuatu kejadian.

Kini. Aku telah pulang. Dari proses panjang yang melelahkan namun menguatkan.

Pada suatu masa
Aku melihat kembali deretan nama-nama di kertas yang tertempel di mading sekolah favorit ini. Sudah beberapa kali mata ini mengeja satu-persatu nama-nama itu tapi nama Muhammad Iqbal memang tidak tertera di sana. Sedih? Pasti. Aku sebagai siswa dengan nilai ujian tertinggi di es-em-pe-nya dulu tidak diterima di sekolah favorit di kotanya. Butuh waktu lama untuk menyadari bahwa sekolah SMAku saat itu belum jelas di mana. Hingga akhirnya seminggu kemudian keputusan untuk masa depan itu diketuk palu, “Mending kamu kursus Bahasa Inggris saja dulu daripada sekolah di SMA swasta,” kata Mas Mufid sambil menyebut sebuah nama sekolah yang tak mungkin kusebut di sini. Orang tuaku mengangguk yakin. Lebih tepatnya memaksa untuk yakin dengan keputusan itu.
“Oke,” kataku waktu itu menghibur diri. Dan tahukah kamu mengapa akhirnya kuiyakan juga saran Mas Mufid itu. Alasan pastinya sebenarnya satu. Orang tua akan sangat keberatan dengan menyekolahkan dua orang anaknya bersamaan. Kakak yang waktu itu juga belum ketahuan sekolah dimana harus didahulukan.
Setahun mengambil kursus Bahasa Inggris membuat waktu berjalan sangat cepat. Waktu penerimaan siswa baru sudah kembali digelar. Nama SMA Negeri 1 Pringsewu tetap menjadi pilihan pertama disusul nama SMA Negeri 3 dan MAN 1 Bandar Lampung yang—kembali—atas usulan Mas Mufid, sekolah yang kusebut terakhir akhirnya masuk daftar sekolah yang ingin kumasuki. Waktu ternyata berkata lain, pengumuman di MAN 1 lebih dahulu diterbitkan. Hingga akhirnya tanpa pikir panjang, keluarga sepakat memilih MAN 1 sebagai tempatku menimba ilmu karena takut anak yang sudah keburu dibanggakan tidak diterima di SMA 1 atau bahkan SMA 3 Pringsewu.
Satu bulan aku merasa tidak betah sekolah di MAN. Kupikir itu karena akhirnya aku tahu bahwa aku diterima di SMA 1. Tiga bulan kebosanan menghantui hari-hariku. Hingga genap dihitungan angka enam, aku memutuskan untuk pindah. Awalnya. Namun, usaha yang dilakukan Mas Mufid untuk memasukkanku di SMA Negeri 1 Pringsewu gagal. Dan lagi. Enam bulan sisanya aku tidak sekolah. Namun, di kesempatan ketigaku, akhirnya dengan serius kujalani semua proses yang memang harus kujalani. Aku kembali mendaftar di SMA 1 dan SMA 3 sampai waktu pengumuman tes tiba akhirnya sejarah mencatat bahwa SMA Negeri 1 Pringsewu adalah tempat dimana aku menghabiskan tiga tahun masa SMAku.
Hidup memang terlalu sederhana diceritakan jika ia berjalan melewati jalan yang tanpa hambatan. Dan sekarang baru kusadar bahwa Allah begitu menyayangiku dengan pembelajaran kegagalan yang kembali terulang saat aku ingin meraih gelar sebagai mahasiswa.
Setelah lulus SMA, aku ikut bergabung dengan ribuan orang yang berebut satu kursi di universitas lewat jalur SNMPTN. Di tahun itu, aku mendaftar cukup di Unila, Universitas Lampung. Orang tuaku tak mau kalau anaknya terlantar jika aku mendaftar di universitas (provinsi) lain. Hasilnya. Aku gagal. Sebagai gantinya aku belajar Bahasa Inggris di Kampung Inggris, Pare, selama sembilan bulan. Waktu yang tidak sebentar di Pare itu kujalani dengan sedikit terlunta – lunta. Awalnya, informasi dari teman kakakku mengatakan bahwa uang 300 ribu rupiah sudah bisa menghidupiku di sana. Tapi, kenyataan berkata lain. Aku harus kerja menjaga sebuah konter pulsa untuk menambah uang hidup dan uang tinggal.
Tahun berikutnya, aku punya keinginan besar. Aku mau kuliah di luar Lampung karena ingin suatu saat bisa kembali ke Kampung Inggris biar nggak kejauhan kalau kuliahku di pulau Jawa. Orang tua tidak setuju. Dan Unila, lagi-lagi, jadi pilihan mentahku.
Dan aku kembali gagal. Namun, kegagalan itu membuat titik tolak masa depanku. Kalau gara-gara alasan takut anaknya terlantar mereka melarangku kuliah di luar Lampung, berarti aku harus nyari duit buat kuliahku tahun depan. Dan setelah sedikit berdebat dengan ibu, akhirnya Allah menakdirkanku terbang ke Batam. Salah satu tempat yang kusyukuri bahwa aku pernah menginjakkan kakiku di sana.
Bekerja di sebuah warung makan yang merupakan sebuah usaha franchise dari Jakarta membuatku sedikit banyak belajar. Di sana aku bertemu dengan orang yang sangat luar biasa. Namanya Untung. Aku memanggilnya Mas Untung. Di usianya yang menginjak kepala tiga dan tercatat masih membujang, kegalauan mengisi hari-harinya. Dan tak tahu mengapa Mas Untung memilihku untuk tempat curhat. Hingga akhirnya, aku mengusulkan untuk ikut Mentoring (liqo). Dan dia mengiyakan.
Merasa kurang dengan kuantitas pertemuan Liqo’, Mas Untung memintaku untuk mengajarinya baca al-quran setelah pulang kerja. Padahal, jadwal kita membuka warung makan itu sampai jam sebelas malam.
Saat itu, akhirnya saya tersadar bahwa segala sesuatu yang sudah terjadi dan menimpa saya memang bukanlah suatu kebetulan. Kegagalan-kegagalan yang akhirnya mengantarkan saya di kota Batam ternyata menjadi sebab Mas Untung yang ingin belajar agama. Atau pembelajaran yang sudah tak terhitung lagi buat saya. Meski sebenarnya saya-lah yang belajar banyak hikmah dari beliau. Sampai-sampai ketika saat ini beliau sudah bekerja di Korea, pernyataan-pernyataan beliau lewat media sosial masih tentang hal yang sama, “Ora eneng sing ngajari aku mening lah”. (Nggak ada lagi yang ngajarin saya lagi nih). Lalu, saya menanyakan kepada diri saya sendiri, “Kenapa saya nggak bias se-semangat Mas Untung?”
Begitulah, Allah sudah dengan gamblang menjelaskan dalam ayatNya: “Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bias jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216) Lalu, masihkah kita ragu?
Di tanggal 5 Mei aku terbang meninggalkan Batam menuju Jakarta karena masa penerimaan mahasiswa baru sebentar lagi dibuka.

8 Juni 2010, 18.00 di Kosan Pak Dharma
Aku deg-degan menuliskan nomor ujianku pada kolom yang tersedia. Aku menyuruh Wira yang menuliskan nomor itu akhirnya dan tiba-tiba dia menjerit ketika namaku dinyatakan diterima di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Aku yang belum melihatnya tak percaya dan ternyata aku memang benar-benar diterima di universitas tersebut. Allahuakbar! Rencana Allah memang indah. Inilah kesuksesan yang tertunda itu. Lagi-lagi.

16-17 Juni 2010, SMA Perguruan Cikini
Awalnya, karena sudah mendapatkan kursi di UIN Syarif Hidayatullah aku tak mau untuk ikut SNMPTN. Tapi, karena di UIN ada jadwal test TOEFL dan TOAFL (bahasa arab) yang berdekatan dengan jadwal SNMPTN akhirnya aku ikut tes SNMPTN.

16 Juli 2010, 17.00
Aku memasukkan angka ujianku ke dalam sebuah kotak. Klik. Dan tertulis di sana bahwa nama Muhammad Iqbal diterima di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UNJ. Aku sujud syukur. Ibu yang sedang mengajari anak – anak tetangga sebelah mengaji terheran. Kemudian kukatakan pada beliau, “Ibu, Iqbal diterima di UNJ juga.”
“Alhamdulillah. Tapi, Bal, kan uang gajimu udah abis buat daftar ulang di UIN. Ibu nggak bisa bantu kalau harus ngeluarin uang jutaan untuk daftar ulang di UNJ.” kata Ibu. Aku tersadar. Benar juga apa yang disampaikan Ibu. Uang simpanan kerja di Batam kan sudah dibayarkan untuk daftar ulang di UIN. Mau bayar pakai duit darimana? Ah, sudahlah. UIN akan jadi kampusku. Aku nggak mau membebani orang tuaku. Meski aku pasrah, aku tetap membagi berita bahagia itu ke Wira. Teman SMA yang kuliah di UNJ, yang kosannya kutumpangi selama proses penerimaan mahasiswa baru.“Sekarang kamu lebih sreg mana? UNJ apa UIN?” Tanya Wira di tengah – tengah pembicaraan. “Sebenarnya UNJ. Banyak temennya kan? Ada ente, Okky, Yusuf, ama Cahyo.”
“Yowes, besok kamu langsung berangkat ke sini aja. Masalah uang nggak usah dipikirin.”
“Gimana nggak dipikirin. Udah nggak pegang duit lagi nih. Tabungan udah habis. Paling tinggal beberapa juta buat uang hidup di UIN, kalo jadi kuliah di sana.”
“Udah. Ke sini dulu aja. Nanti dibantuin buat minjem uang dari kampus.”

19 Juli 2010
Meski ragu – ragu aku tetap menuruti saran Wira. Sesampainya di Jakarta, hari berikutnya aku diantar Agphin, kawan dari Lampung. Mengurusi berkas – berkas dan segala macamnya. Setelah selesai aku diantar ke sebuah stand pengaduan. Di stand tersebut aku ditanya oleh seorang lelaki berkaca mata yang kemudian kukenal namanya adalah Tony. Ternyata dia adalah seniorku di Bahasa Inggris. Setelah ditanya macam – macam aku dimintanya untuk mengusahakan terlebih dahulu uang buat bayaran.
Seminggu berlalu namun aku dan keluarga tetap belum mendapatkan uang sebesar Rp 3.530.000. Aku kewalahan. Aku kembali disuruh datang ke secretariat BEM FBS. Masih ditanya-tanya ulang. Disuruh balik hari berikutnya. Hingga akhirnya di akhir masa bayaran akan usai aku harus mengumpulkan ijazah SMA ku sebagai jaminan.
Saat itu aku benar – benar merasa berterima kasih kepada Tony. Karena pada akhirnya aku mendapatkan dana Nadi. Nominalnya pun nggak kecil. Uang sebesar Rp 3.000.000 menjadi pinjaman untuk membayar uang masukku di UNJ. Lagi – lagi aku sujud syukur dan tak mempedulikan orang – orang yang menatapku. Ya Allah, terima kasih atas segala ujian yang Kau berikan kepadaku dan menguatkanku.
Setahun Kemudian
Setahun hidup di ibukota bukan hal yang mudah bagiku. Pernah jadi guru privat, translator, pernah juga kerja serabutan. Hingga suatu hari sebuah sms masuk. Dari Indah FIP. “Iqbal bisa temui saya di FIP. Ada perlu.
Aku bertanya. Ada perlu apa sehingga sepertinya sms dari Indah formal sekali. Langsung kusambangi Indah di FIP. Ngobrol basa – basi sejenak hingga keluar kalimat dari Indah. “Sabar kan ya? Kita akan ketemu dengan Kasubag kemahasiswaan FIP. Indah udah ngobrol dan mengusulkan nama Iqbal sebagai mahasiswa pengganti penerima Bidik Misi.”
Dengan wajah yang tidak dibuat – buat terkejut aku berkata gemetar. “Beneran, Ndah?”
“Iya. Insya Allah. Berdoa saja dimudahkan. Prosesnya agak ribet karena lintas fakultas. Dengan penjelasan bahwa Iqbal kuliah dengan bantuan dana Nadi dan sudah tidak mendapat uang dari ibu akhirnya pihak Kasubag mawa FIP yang sudah berkoordinasi dengan Kasubag mawa setuju. Nanti Iqbal akan ketemu dengan Kasubagmawa FIP. Tanpa Indah ya. Semoga dimudahkan.”
Ya Allah. Terima kasih atas segala cobaan dan ujian yang menguatkanku. Aku yang kemudian harus dua tahun berhenti setelah lulus SMP dan dua tahun setelah SMA bukan tanpa maksud. Meski selalu jadi orang paling “sepuh” di sekolah dan kampus. Akhirnya, kau tunjukkan anugerahmu. Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Yang ada hanya pembelajaran.

0 komentar: