Technology

Pages

Minggu, Juli 29, 2012

Penyelundupan Es Buah

Lagi musim puasa kayak gini pasti enak kalo ngebayangin berenang di lautan es buah. Di samping kiri kita ada potongan anggur atau melon atau strawberry. Di sebelah kanannya ada potongan nangka atau kelengkeng atau potongan agar-agar. Kemudian dari atas kepala kita turun mata air campuran susu dingin dan sirup. Hem, nikmat sekali ya? Es buah memang bikin ngiler dibayangin pas puasa. Nulis catetan ini aja sampai air liurnya mau turun. Ngiler. Okeh, cukup! Jangan sampai puasa batal gara-gara ngebayangin itu.



Kejadian penyeludupan ini juga terjadi waktu puasa. Beberapa hari yang lalu. Tepatnya hari jumat sore kemarin. Ceritanya, setelah ngurusin MPA (Masa Pengenalan Akademik *ospek) di kampus, dua orang teman di BEM ngajakin buat buka bersama di Pizza Hut. Mewah sekali kan? Sekali-kali. Jangan jadi ppt (para pencari ta'jil) terus-terusan. Buka gratisan di masjid atau acara buka bersama yang diadakan kampus. Sebenarnya kalo lagi nggak ada temen yang ulang tahun agak males juga. Untungnya, Ardy ulang tahun. Todong suruh bayarin aja begitu selesai.

Kira-kira pukul lima lewat dikit saya dan Ardy jalan dari kampus. Beberapa BPH (Badan Pengurus Harian) BEM saya pada nggak bisa. Cuma kita berempat. Adis, sekretaris saya, dan Ririn, bendahara. Mereka udah sampe Pizza Hut duluan.

Tepat di jalan menuju Labschool saya dan Ardy ketemu "Bu" Halimah. Mau pulang. Begitu keluar gerbang kampus, beliau beli es buah. Eh, pucuk dicinta ulam tiba, beliau beliian kita berdua satu bungkus es buah. Karena belum adzan maghrib, kita bawa aja tuh bungkusan es buah pembelian "Bu" Halim. Terus, kami melanjutkan perjalanan menuju Pizza Hut di sekitar Arion Mall. Cukup lumayan agak jauh *lebay* jaraknya. Itung-itung ngabuburit.

Anggur itu lho...


Akhirnya, beberapa puluh menit sebelum maghrib kita berdua sampe. Kita masuk tuh gerai Pizza Hut. Kemudian Adis dan Ririn langsung bisa kami temukan karena mereka duduk dekat dengan pintu masuk.

Waktu berbuka masih lima menitan. Ngobrol dulu. Ngalor-ngidul. Terus adzan maghrib berkumandang dah tuh. Saya dan Ardy memesan makanan entah apa namanya, yang jelas masih bentuk nasi. Sedang kedua gadis itu memesan pizza. Maaf, saya nggak doyan tuh makanan yang bau bawangnya nyengat banget. Lagi asyik-asyiknya makan Ardy nyeletuk, "eh, es buahnya buka!"

"Es buah apaan? Es buah yang disitu beli tahu." tunjuk Ririn ke tempat dimana di sediakan es buah.

"Bukan. Kita bawa es buah kok. Tuh di tas Iqbal," lanjut Ardy.

"Eh, emang boleh bawa minuman dari luar?" adis menimpali sambil memtong pizza dengan pisau di tangannya.

"Tahu. Sayang aja kan udah bawa nggak diminum," kataku akhirnya.

"Tapi, nggak ada mangkuknya."

"Pinjem aja. Atau ngambil disitu tuh," Ririn usul.

"Jangan, nanti dikira kita minum es buah sini."

"Pinjem aja." usul Ririn lagi.

"Nggak. Nanti ketauan." kataku.

"Lha, emang napa?"

"Takutnya malah didenda bawa minuman dari luar."

"Udah keluarin aja es buahnya," kata Ardy nggak sabar. Kemudian kukeluarkan satu bungkus es buah yang lumayan masih dingin dari dalam tasku.

"Jangan taroh di atas meja." jerit Ririn pelan.

"Kan mau diminum, Rin?" tanya Adis.

"Kita nggak tau boleh atau nggak kan bawa minuman dari luar."

"Sini." Ardy mengambil es buah di tanganku. Gelas bekas es soda blue yang sudah tak berisi ditarik dan ditaroh di tempat duduk di tengah-tengah kita berdua. "Buka plastiknya."

"Beneran?" tanyaku ragu.

"Udah, nggak papa." Kubuka ikatan plastik es buah itu kemudian kutuang air dari dalamnya ke gelas Ardy.

"Mana buahnya? Kok cuma air doang?"

"Nggak bisa keluar." kataku pelan.

"Waduh, buahnya kan enak juga."

"Jangan berisik. Nanti ketauan.' Adis memperingatkan.

"Gelasmu dulu. Cepetan." Kuambil gelas di depanku yang juga sudah kosong. Kemudian gantian. Ardy yang menuang, saya megangin gelas supaya airnya nggak tumpah.

"Udah. airnya aja." kata Ardy.

"Bentar. Biar saya yang ngambilin buah-buahannya." Dengan pandangan menyapu ruangan, pelan-pelan kusendok sedikit demi sedikit buah-buahan dalam plastik. Adis sama Ririn cengengesan.sedikit takut juga sebenarny kalau ketahuan. Tapi, sayang kan kalau nggak diminum. Hingga beberapa menit kemudian.

"Udah. Udah semua tuh." Dengan muka berbinar Ardy langsung meminum es buah di dalam gelasnya.

"Haha. Gokil. Untung nggak ketauan." Ririn menyendok buah dari dalam gelas Ardy.

Beberapa menit kemudian kami selesai makan. Shalat sebentar kemudian langsung beranjak pulang. Begitu keluar pintu Ardy menghentikan langkah kami.

"Liat tuh di pintu. Garis yang putih." Saya, Adis, dan Ririn mengikuti saran Ardy. Kemudian terbaca: DILARANG MEMBAWA MAKANAN DAN MINUMAN DARI LUAR!

Senin, Juli 09, 2012

Jalan Pulang (3)

"Dasar penjahat. Selama ini berpura-pura jadi orang baik. Taunya busuk. Penjahat berkedok malaikat." Mak Sarinah meninju Rahmat berkali-kali. Rambutnya acak-acakan. Tangis Mak Sarinah  perih terdengar di telinganya. Merintih begitu pelan. "Tolong kembalikan Arif," kalimat terakhir Mak Sarinah disusul beberapa pukulan suaminya di wajah Rahmat. "Tolong kembalikan Arif!" Kemudian tubuh Mak Sarinah ambruk, pingsan. Rahmat yang masih belum tahu masalahnya hanya memegangi bibir kanannya yang berdarah.

"Tunggu, sebenarnya apa yang terjadi?" katanya lirih.

"Dasar tak tahu diri. Wes mateni anak'e wong esik takok ngopo." (Sudah bunuh anak orang masih tanya kenapa). Pakde Tukiman memandang Rahmat tajam. Matanya merah nyalang.

"Saya beneran nggak tau apa maksud kalian menuduhku pembunuh. Sopo seng mati?" (Siapa yang mati?). Tubuhku memilih untuk mundur. Merebahkannya di dinding kayu dapur ibu.

Kulihat ibu hanya diam dan duduk di samping pintu. Pandangannya tetap datar, menahan tangis. "Arif mati, Mat. Overdosis gara-gara narkoba. Kowe kan seng adol narkoba?" (Kamu kan yang jual narkoba?) Aku mengusap mukaku. Arif mati? Karena narkoba yang dibelinya dariku. Tidak! Aku bukan pembunuh. Aku nggak ngebunuh Arif. Tidak.

"Kenapa diam? Mikir? Ngopo mikire nggak wingi sakdurunge anakku mati, Mat." Pakde Rasiman mendekati Rahmat dan kembali meninjunya. "Pembunuh! Uripmu nggak bakalan tenang, Mat. Inget! Hidupmu nggak akan tenang. Cuihh!" Pakde Sariman pergi setelah meludahinya. Rahmat diam. Ibunya tak beda jauh. Ia tak memandang Rahmat sedikitpun. Mukanya seperti biasa. Datar. Meski Rahmat tahu bahwa ibunya pasti sedih dan kecewa anaknya jadi pembunuh.

Minggu, Juli 08, 2012

Entri terbaru (setelah lama vakum menulis)

Tumpul sudah imajinasi saya setelah sekian lama nggak nulis. Entah itu nulis corat-coret di buku, di akun facebook, atau di blog tercinta ini. Posting terakhir saja Mei dan bulan Juni nggak nulis apapun. Nggak produktif banget kan? Padahal di otak ini berbaris puluhan ide yang  mau dituliskan. Tapi, selalu saja kata "nanti" dan "nanti" yang akhirnya di jalankan.

Udah l\vakum nulis, pengunjung blog ini juga semakin sedikit. Dulu sehari saja bisa ratusan pengunjung, sekarang satu dua doang. Bahkan, beberapa hari yang lalu nggak ada yang menengok blog ini. Kasihan sekali. Habis manis sepah dibuang.

Katanya mau jadi penulis. Eh, suruh nulis males. Kalau mau jadi penulis kan cuma satu yang harus dilakukan. Ya, nulis. nggak ada yang lain.

Olrait dah. Bismillah. Semoga nggak males lagi.

Kamis, Juli 05, 2012

Silakan Tinggalkan Komentarmu

Pasti tulisan-tulisan di blog ini masih banyak kurangnya. Tulis komentarmu di sini ya. Untuk perbaikan ke depannya. Postingan ini juga sebagai tempat untuk silaturahim lho. Saran, kritik, dan pertanyaan.