Technology

Pages

Minggu, September 05, 2010

Bait-bait Cinta, Aku dan Bapak

(Pernah dimuat di Harian Radar Lampung, Oktober 2008)

♪ Teringat masa kecilku…Kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu… buatku melambung
Di sisimu terngiang…Hangat napas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala…mimpi-mimpi serta harapanmu*1

☺☺☺

HARI berjalan seperti biasa. Panas matahari menemaniku menyusuri gang-gang kecil di daerah Pringsewu. Peluh tak henti-hentinya mengalir membasahi tubuhku. Hari memang tidak terlalu panas namun, rasa capek yang kurasa membuat otakku memerintahkan sistem ekskresi tubuh ini mengeluarkan keringat tak henti-henti.

Aku selalu berharap bahwa aku akan pindah dari daerah ini. Rumah yang saling berdempetan adalah pemandangan yang biasa kulihat, yang merupakan salah satu alasan kenapa aku ingin meninggalkan daerah ini. Rumah-rumah ini tidak tertata rapi dan kotor. Bau yang begitu menyengat tercium sepanjang gang, karena di sisi gang terdapat selokan yang tertutup sampah-sampah yang telah busuk

Aku terus menyusuri gang-gang kecil ini hingga sampai di sebuah perempatan. Lalu aku mengambil arah ke kanan dan sekitar empat ratus meter dari perempatan gang terlihat sebuah rumah berukuran 5 x 7 meter yang sama sekali tidak mempunyai halaman. Rumah itu adalah tempat dimana pertama kali aku melihat dunia. Ya, rumah itu adalah rumahku.

Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah. Namun, begitu enggan. Ingin rasanya aku pergi sejauh aku bisa berlari. Kalau pun mungkin aku ingin membenamkan tubuhku ke dalam bumi karena hari ini adalah hari yang tak ingin aku jumpai.

Seharusnya hari ini aku bahagia. “Murid teladan SMA Nusantara sekaligus peraih nilai tertinggi ujian tahun ini adalah…Ahmad Kurniawan.” terngiang kembali ucapan Pak Supriyanto mengumumkan bahwa akulah juara umum.

Aku sebenarnya bahagia, apalagi bapak dan emak, mereka pasti bangga. Namun, kebahagiaan yang kurasakan dalam sekejap hilang justru ketika kemudian terbayang wajah bapak dan emak. Pandanganku akhirnya menerobos jauh ke masa tiga tahun silam.

☺☺☺

“Le, bapak mau ngomong sebentar sama kamu.” tiba-tiba bapak masuk kamarku dan memecah konsentrasiku ketika aku sedang asyik mengerjakan PR matematika. “Wonten nopo, Pak? Nek ajeng sanjang nggeh sanjang mawon.”*2 aku kemudian duduk di samping bapak, kuamati wajah bapak, mencoba menerjemah apa yang hendak bapak katakan lewat pandangannya. Sia-sia. Begitu sulit menebak isi hatinya.

“Bapak cuma mau ngomong hal yang mungkin bersebelahan dengan niatmu.” bapak berhenti sejenak. Menarik napas. Dalam. Hingga waktu serasa ikut berhenti menunggu kata-kata bapak.

“Bapak harap kamu mau mengerti, Le.”

Jeda kembali beberapa saat. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Bapak mau ngomong kalau kamu ndak usah berharap bahwa kamu akan sekolah tinggi. Bapak mau kamu membantu bapakmu ini menggarap sawah. Jadi, setelah lulus SMA kamu ndak akan sekolah.” aku termangu mendengar ucapan bapak. Berhenti sekolah?!? Baru saja aku dinyatakan lulus dari SMP dan bercita-cita untuk jadi sarjana, bapak sudah membangun sebuah tembok penghalang yang sangat tinggi dan aku tahu bahwa aku tak akan bisa melewatinya apalagi menembusnya.

“Bapak tahu bahwa ini bukanlah saat yang tepat. Bapak tahu bahwa kamu pasti sudah berpikir kemana kamu akan sekolah setelah kamu lulus SMP ini dan kamu pun pasti telah memikirkan kemana kamu akan melanjutkan sekolahmu setelah lulus SMA nanti.” bapak kembali berhenti.

Kupandangi wajah bapak sekali lagi. Wajah itu terlihat begitu tua dan terlihat begitu lelah. Aku pun tersadar dan seperti terbangun dari mimpi memikirkan apakah aku masih bisa melihat kecerahan kembali wajah bapak? Apakah masih ada waktu buatku untuk membalas semua yang telah beliau berikan padaku? Tapi, bagaimana aku bisa membuat bapak bahagia kalau aku sudah dihalangi ketika aku sedang meniti jalan untuk membuatnya bahagia.

Bapak memandangku sejenak. Aku pun mencoba mengatakan sesuatu.

“Pak, lalu bagaimana dengan cita-cita Ahmad. Bapak sendiri pernah bilang kalau anak laki-laki punya tanggung jawab yang besar sama keluarganya. Terus apa yang akan Ahmad berikan buat keluarga Ahmad, buat anak-anak Ahmad, dan buat bapak sama emak.”

“Bapak tahu itu, Le, tapi... bapak ndak akan sanggup membiayai sekolah kamu. Kamu kan tahu sendiri berapa kali bapakmu ini dipanggil oleh sekolahmu dengan satu alasan, SPP kamu belum dibayar. Le, ilmu itu ndak hanya bisa didapat di sekolah. Ilmu itu bisa kamu dapat di manapun.” aku terdiam. Aku tak mampu membantahnya kali ini.

“Satu hal yang perlu kamu ketahui, bapakmu ini telah gagal menjadi seorang ayah.” air mata bapak tiba-tiba mengalir. Tak kuasa aku menghapusnya karena aku tahu bahwa bapak sedang merasa bersalah karena tidak bisa menyekolahkanku sampai perguruan tinggi.

“Bapak tidak gagal. Aku akan melakukan apa yang bapak perintahkan.” akhirnya satu keputusan telah kuambil dan hari ini aku menyesali keputusanku waktu itu. Aku percaya kalau ada kemauan pasti ada jalan. Dan hari ini aku akan mencoba berbicara sama bapak, siapa tahu setelah tiga tahun keputusan bapak telah berubah.

“Le, sedang apa berdiri di depan pintu. Bukannya ganti dan ngebantuin emak, kamu malah ngelamun. Udah, cepet sana ganti terus bantuin emak ngambil kayu di belakang!” emakku tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Aku masih mendekap hasil ujianku dengan tekad nanti malam aku akan berusaha bicara sama bapak. Ya Tuhan, mudahkanlah ini semua.

☺☺☺

♪ Kau ingin ku menjadi… yang terbaik bagimu…
Patuhi perintahmu… jauhkan godaan…
Yang mungkin kulakukan
Dalam waktuku beranjak dewasa...

“Ya…tidak…ya…tidak…ya…” aku mengundi keberanianku dengan kancing bajuku. Aku masih ragu-ragu dengan niatku. “Aku harus tetap ngomong dan harus berani mengambil resiko.” kataku pada diriku meyakinkan bahwa memang ini harus aku lakukan. Kulihat bapak sedang duduk di ruang tamu. Aku kembali ragu dengan niatku. Kucoba memejamkan mata sambil berdoa bahwa Tuhan akan memudahkan niatku. Aku berjalan ke arah bapak dan duduk di sampingnya. Sedikit terkejut bapak melihatku tiba-tiba duduk di sampingnya. Namun, bapak kemudian kembali tenang dan pandangannya tetap lurus ke depan.

“Kamu ndak akan bisa melanjutkan sekolah, Le” seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan bapak langsung berkata dan memupuskan semua harapanku. “Jika itu yang ingin kamu omongin sama bapak saat ini, bapak akan mengatakan sekali lagi. Kamu ndak akan bisa melanjutkan sekolah, Le”

Ya Tuhan…apa ini memang sudah nasibku. Aku harus membantu bapak mengerjakan sawah peninggalan mbah kakung yang hanya beberapa petak dan mengubur semua cita-citaku.

“Pak, terus bagaimana dengan cita-cita Ahmad?” aku terus berusaha meruntuhkan tembok penghalang yang bapak bangun. “Le, jangan ulangi kata-kata itu lagi. Bapak mohon tolong kamu ngerti bapakmu ini. Bapak ndak akan sanggup ngebiayain sekolah kamu lagi.”

“Pak, Ahmad percaya menawi enten kekarepan pasti wonten jalan,*3 asal kita mau berusaha.”

“Terus, apa usaha yang akan kamu lakukan, Le? Ngemis-ngemis sama sekolah kamu seperti dulu supaya uang sekolah kamu diperingan.”

“Kita tidak mengemis, Pak. Itu usaha kita dan itu hak kita karena memang sekolah menyediakan dana buat orang-orang yang tidak mampu.” aku masih terus berusaha menjebol tembok itu. “Le, sekali lagi bapak tegaskan ke kamu. KAMU NDAK AKAN MELANJUTKAN SEKOLAH. Titik.”

“Tapi, Pak…”

“Cukup!” bapak memotong omonganku. Aku terduduk lemas bersandar pada bangku kayu yang aku duduki. Sudah tidak ada yang bisa aku lakukan. Kulirik bapak yang duduk di sampingku. Kami masih terdiam dengan pikiran masing-masing hingga bapak akhirnya memecah kesunyian itu.

“Bapak, minta maaf sama kamu, Le. Bapak ndak bisa memenuhi keinginanmu.” bapak berdiri dan keluar rumah. Sedetik kemudian tubuhnya hilang ditelan kegelapan.

Sekarang aku sudah pasrah terhadap nasibku. Aku meyakinkan diriku bahwa ini adalah yang terbaik buatku. Namun, aku masih belum bisa menerima semua ini. Ya Tuhan, mengapa aku masih belum ikhlas menerima nasibku ini?

Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan menyentuh pundakku. Emak. Ya, pasti emak. Dan aku tahu emak pasti akan menjadi juru damai antara aku dan bapak. Emak menjajari tempat dudukku dan aku menunduk ketika jemari tangan emak lembut mengelus rambutku. Hah, untung masih ada emak.

Emak. Wanita yang menemani bapak mengarungi suka duka kehidupan. Menemani bapak membesarkan aku sang anak tunggal yang sampai saat ini masih belum bisa membalas jasa-jasa mereka. Namun, masih menuntut sesuatu yang aku tidak yakin bahwa mereka akan mengabulkannya. Emak. Orang yang selalu menitipkan kasih sayangnya padaku tanpa pernah berpikir untuk mengambilnya kembali. Emak. Yang di bawah telapak kakinyalah surga untukku terbentang. Emak, emak, emak, dan bapak tentu saja yang selalu ada dalam doaku setiap kubersujud di depan Tuhan Sang Penguasa Jagat sampai aku meneteskan air mataku berharap bahwa aku akan bisa membahagiakan hari tua mereka.

“Le, apa kamu tahu apa yang sedang bapak sama emakmu pikirkan saat ini?” emak masih membelai rambutku dan mengambil tempat di sampingku. Aku memandangnya untuk kemudian menggeleng. “Le, percayalah bahwa emak dan bapak ndak ingin kamu berhenti sekolah. Bapak dan emak tahu bahwa kamu juga ndak akan mengecewakan kami dan kami telah berusaha supaya kamu ndak berhenti. Tapi, kami sudah ndak sanggup, Le. Kami selalu mengharapkan yang terbaik buatmu.”

☺☺☺

23.44. Kulihat jam yang tergantung di dinding kamarku. Malam telah beranjak larut. Suara jangkrik yang mengerik terdengar jelas memecah kesunyian malam. Udara malam bulan Juli sepoi-sepoi masuk melalui celah-celah jendela.

Bapak belum pulang.

Tiba-tiba terdengar pintu depan diketuk. “Mungkin itu bapak” pikirku.

“Mak, biar Ahmad saja yang ngebuka pintunya.” aku melangkahkan kakiku ke ruang depan. Semoga itu bapak, doaku dalam hati.

Kubuka pintu, dan bukan sosok bapak yang kudapati, sosok lelaki tua berjenggot yang baru kali ini kulihat yang berdiri di depan pintu dengan wajah gelisah. Sama sekali asing. Mau apa malam-malam begini bertamu, Pikirku. Sekali lagi kuperhatikan sosok yang ada di depanku. Jangan-jangan orang ini mau berbuat jahat? Tapi, nggak mungkin, orang asing ini tidak terlihat seperti itu, orang ini dandanannya rapi seperti orang kantoran.

“De, maaf, apa ini rumahnya Pak Slamet?” aku masih terus memperhatikan tanpa mendengar omongan orang asing ini. Perlu beberapa saat menjawab pertanyaannya.

“Benar. tapi, kalau boleh tahu bapak ini siapa? Dan ada urusan apa malam-malam begini?” aku akhirnya bisa berkata.

“Le, siapa?” emak tiba-tiba telah berdiri di belakangku. Melihat emak orang itu langsung menerobos masuk.

“Ibu Slamet?” orang itu sudah berdiri di depan emak. Aku berlari ke arah emak. Takut kalau yang aku pikirkan menjadi kenyataan. “Sebenarnya anda siapa, datang malam-malam begini? Seberapa pentingnya sih, sampai-sampai anda mengganggu tid…”

“Pak Slamet kecelakaan.” Orang itu memotong omonganku.

Jeda beberapa saat. Aku masih belum begitu bisa mencerna omongannya. Tapi, kudengar emak terisak. “Ya, Pak Slamet Kecelakaan. Sekarang di Rumah Sakit Wisma Rini.”

Deg! Bapak kecelakaan? Di rumah sakit? Tidak, ini hanya mimpi. Ya, ini mimpi. Nggak mungkin. Bapak nggak mungkin kecelakaan. Kupejamkan mataku. Kemudian kubuka kembali berharap bahwa ini mimpi. Tidak. Ini bukan mimpi. Ini kenyataan.

☺☺☺

Aku masih memandang tubuh bapak lewat kaca jendela. Tubuhnya terbaring dengan selang terpasang di beberapa bagian tubuhnya. Mukanya pucat, yang membuat aku tidak mengenalinya sebagai sosok bapak. Emak sudah ada di dalam. Rasa bersalah ini menyergap hingga aku tak kuasa untuk masuk.

Satu…dua tetes air mataku mulai jatuh. Aku tak sanggup menahan rasa sesak yang menyentak di dada ini. Sesaat kemudian emak keluar dan membimbingku masuk. Untunglah, ruang VIP sehingga hanya bapak seorang yang ada di ruang ini. Pak Hendra—orang asing itu—yang membayar semua biaya perawatan bapak. Dia juga yang telah menabrak bapak. Aku tidak tahu persis kejadiannya. Kata Pak Hendra, beliau sedang mengemudikan mobilnya dari arah Pagelaran, dengan kecepatan tinggi namun, tiba-tiba bapak menyeberang tanpa melihat keadaan jalan. Akhirnya, peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang membuat bapak kini terbaring tak sadarkan diri.

Tubuh kekar bapak kini tak ubahnya jasad tanpa nyawa. Wajahnya pucat. Beberapa luka terlihat menghiasi wajahnya dan bagian tubuhnya yang lain. Lukanya begitu parah. Dua gigi bagian atas tanggal. Tangan yang biasanya kuat untuk mengangkat beban yang berat kini patah.

Aku masih terpaku memandang tubuh yang biasanya kekar kini tergolek tak berdaya. Aku mendekati tubuh bapak. Mencoba mengajaknya bicara.

“Pak, bangun, pak! Ahmad mau menuruti apa yang bapak katakan. Ahmad akan ngebantuin bapak seperti yang bapak minta.” Air mata ini semakin deras mengalir. “Pak, masih ingatkah bapak kalau dulu Ahmad pernah bilang kalau Ahmad ingin nikah muda. Ahmad ingin bapak dan emak bisa menimang cucu dari Ahmad. Tapi, waktu itu bapak bilang bahwa masa depan ahmad masih panjang. Pak, Ahmad sudah nggak peduli dengan masa depan Ahmad. Ahmad mau ngebantu bapak. Ahmad mau menuruti keinginan bapak.” aku terus mengajak bapak bicara. Kata orang meskipun orang itu tak sadarkan diri, namun, orang itu masih bisa mendengar apa yang kita bicarakan. “Pak, bangun, pak!” aku merengkuh jemari tangan bapak

Tiba-tiba tangan bapak membalas genggaman erat jemariku. Bapak sadar. Ya Tuhan, bapak sadar. Ini bukan mimpi. Kuperhatikan mata bapak mulai terbuka. “Le…” begitu lirihnya suara bapak memanggil namaku. “Le…” aku mengusap pipi bapak. “Pak, sampun sanjang nopo-nopo*6. Nanti saja kalau bapak sudah baikan.”

“Ma…ma…maafin bapak.” terbata-bata omongan bapak.

“Pak, sudahlah. Jangan banyak bicara dulu.” Aku terus berusaha supaya bapak tidak terlalu banyak bicara. “Le, wak…tu ba…pak sudah nggak lama la..gi. Bapak mau ka…mu ma…afin bapak.” air mata ini terus mengalir. Bak sebuah bendungan jebol di terjang gelombang besar. “Pak…”

“Le, biar…kan bapak bi…cara.” jemari bapak semakin erat menggenggam jemariku. Napasnya mulai tersengal-sengal. “Pak, jangan bicara apa-apa dulu.” aku mengusap satu tetes air mataku yang jatuh.

“Ba…pak ingin te…nang di sana, le. Wak..tu bapak su…dah nggak banyak. Bapak minta ka…mu mau maafin bapakmu.” suaranya bergetar. Menahan sakit yang dirasakannya. “Bapak, jangan ngomong seperti itu. Ahmad yang harusnya minta maaf.”

“Le…ba…pak…” kalimatnya tiba-tiba terhenti. Tubuhnya kejang. Napasnya tidak teratur. Matanya tajam memandang langit-langit kamar. Jemari tangannya semakin erat menggenggam tanganku. Mulutnya berucap. Suaranya lirih, seperti mengucap tasbih. “Pak…bapak kenapa?” aku mendekap erat tubuh bapak. Ya tuhan, tolong jangan Kau ambil bapak sekarang. “Ba…pak min…ta m…a…a…f.”

Akhirnya jemari tanganku lepas dari genggaman tangan bapak. Matanya terpejam. Dengan senyum menghias wajahnya. “Bapaaaak..!” aku menjerit. Bapak telah pergi. Aku mendekap lebih erat tubuhnya. air mataku terus mengalir. Sekarang semua telah berakhir.

♪ Andaikan detik itu… kan bergulir kembali…
Kurindukan suasana… basuh jiwaku…
Membahagiakan aku… yang haus akan kaish dan sayangmu…
Tuk wujudkan segala… sesuatu yang pernah terlewati…

Teruntuk: ibu dan bapak tersayang.

Footnotes:
1: “Terbaik Bagimu” by Ada Band Feat Gita Gutawa
2: Ada apa, pak? Kalau mau ngomong, ngomong aja
3: Kalau ada kemauan, pasti ada jalan
4: Apa emak nggak bisa ngebujuk bapak
5: Semoga nggak terjadi apa-apa sama bapak
6: Jangan bicara apa-apa dulu

2 komentar:

Mela mengatakan...

Aku kayak'a prnah
baca...

lam kenal

Esa Nur I mengatakan...

bagus :)