Technology

Pages

Kamis, September 16, 2010

Ayah Dalam Catatan Empat Hati

# Hati Pertama

“Yono, ada sms tuh,” suara bas Untung, rekan sekerjaku, mengalihkan konsentrasiku yang sedang asyik bersenandung sambil menggoreng ayam pesanan pelanggan. Kulanjutkan pekerjaanku dan berharap sms itu dari seseorang yang selama ini memang selalu kutunggu smsnya. Semenit kemudian perasaan kecewa justru yang kudapat. Sebuah sms dari ayahku di kampung yang memintaku untuk segera pulang. Lagi-lagi ayahku menyuruhku untuk mengawini Sarah, anak pamanku yang tinggal dengan kedua orang tuaku. Kedua orang tua Sarah memang sudah lama meninggal dan kamilah satu-satunya keluarga yang dimilikinya.

Aku tidak mengatakan bahwa Sarah bukanlah wanita yang tak baik buatku. Dia baik, jujur, tidak banyak bicara dan yang aku bangga darinya adalah dia wanita yang tegar. Tapi, aku sudah punya Rahma yang tanpa sepengetahuan ayah dan ibuku, aku telah melamarnya.

Aku menarik napas, menghembuskannya pelan kemudian menariknya sekali lagi. Bayangan ayahku yang selalu mencampuri kehidupanku berkelebat. Permintaan ini bukanlah kali pertama ia lontarkan. Sudah tak terhitung. Belum lagi urusan-urusan lain yang selalu saja ada larangannya. Tak boleh ini, harus begini, jangan seperti ini dan bla-bla bla lainnya yang semuanya sebenarnya aku bisa melakukan dan berpikir sendiri. Semua ia campuri, semua ia yang memutuskan dan semua harus kutanggung sendiri kalau keputusan darinya salah.

Aku masih sangat ingat dengan keputusannya bahwa aku tak bisa melanjutkan kuliah setelah lulus SMA. Bukan karena tak ada biaya, tapi menurutnya kuliah justru tak ada manfaatnya. Melihat tetangga-tetangga kami yang sudah lulus kuliah dan hanya beberapa yang punya pekerjaan tetap.

Tak kubalas sms dari ayahku. Hapeku sengaja kumasukkan ke dalam laci etalase bartender dan aku silent. Aku beranjak ke dalam dapur dan berjalan dengan pikiran yang tak keruan. Aku sudah berumur dua puluh enam tahun dan aku tahu mana yang terbaik buatku dan hidupku. Cukup sudah ia menjadi sutradara bagiku. Ia memang ayahku tapi semua yang terjadi selama ini tak bisa kubiarkan terjadi lagi.

“Enek opo, Yon? Tadi waktu aku bilang ada sms, mukamu langsung cerah. Eh, begitu smsnya kamu baca roman mukamu langsung berubah.” Untung membuyarkan pikiranku. Ia berbicara tanpa memandangku. Ia sedang sibuk membuat nasi goreng.

“Nggak ada apa-apa kok. Cuma orang iseng. Yah, pamer pulsa kali. Atau lagi dapet bonusan.” Aku kembali berjalan ke ruang depan. Siapa tahu ada tamu yang datang. Aku harus menyibukkan diri supaya bayangan ayahku tak lagi datang. Aku tak mau di paksa untuk mengawini Sarah. Pokoknya aku tak mau kehidupanku kacau gara-gara ayahku.
Persetan dengan larangan dan petuahnya kali ini.

Tiba-tiba seorang gadis berseragam SMA masuk ke rumah makan tempat aku bekerja. Kulihat semua orang sedang sibuk. Tak ada yang melayaninya. Kudekati dirinya yang sedang memegang daftar menu makanan kemudian duduk di meja 12. Kupaksakan senyumku mengembang dan kutanya mau pesan apa.

“Nasi uduknya satu sama ayam goreng ya. Minumnya jus mangga aja.” Gadis itu tersenyum, meletakkan daftar menu dan mengambil hape di dalam sakunya tanpa memandangku lagi. Kuartikan bahwa cuma itu pesanannya.

Ketika aku sedang menggoreng ayam, seorang pria paruh baya duduk menjajari gadis itu yang sedikit terkejut dengan kedatangannya. “Maaf ayah telat. Tadi ada pekerjaan yang tanggung kalau harus ditinggal. Udah pesan?” Pria itu mengambil tissue dan mengelap keringatnya. Kulihat gadis itu tersenyum kemudian kembali asyik memainkan jemarinya memencet keypad hape.

Lagi dan lagi bayangan ayahku bermain di pikiranku. Kalau saja ayahku seperti ayah gadis itu. Ya, kulihat hubungan ayah dan anak itu begitu akur. Seperti tak pernah tejadi pertengkaran ataupun pemaksaan kehendak dari sang ayah kepada putrinya. Aku iri.

# Hati Kedua

Aku mematut diri di depan kaca. Kuperhatikan wajahku dan satu jerawat akhirnya menjadi sasaran untuk kupencet. Kubersihkan dengan handuk kecil ditanganku bekas pencetan jerawat itu. Semenit kemudian aku sudah berada di dapur dan kurasakan perutku yang mulai tak bisa kuajak kompromi. “Bikin nasi goreng ah,” kataku pada diri sendiri. Kuambil hape di dalam kantongku kemudian kuletakkan di atas rak bumbu. Kali ini sengaja tak kupilih profil silent di hapeku karena aku sedang menunggu sms atau telpon dari ayahku. Ayah yang selalu kurindukan suaranya, ayah yang begitu ingin aku memeluknya, walau sesekali sekarang ini, dan ayah yang selalu kuharap bisa mencurahkan kasihnya padaku. Tapi, tidak. Ayahku bukan ayah yang seperti itu sekarang. Ia tidak pernah ada waktu buatku. Ia selalu sibuk dengan bisnisnya yang aku sendiri tak tahu dan akhirnya aku tak peduli.

Benar-benar sial. Aku merasa lebih baik tak punya ayah kalau ia selalu tak peduli denganku. Tak pernah peduli dengan sekolahku, tak pernah peduli dengan pekerjaanku, kehidupanku dan lebih sibuk dengan rekan-rekan bisnis dan koleganya.

Sebuah suara kemudian menghentikan aktifitasku yang baru mulai menyiapkan bumbu untuk nasi goreng. Aku mencari sumber suara dan mendapati handphone Hi-tech milik Yono yang berbunyi. “Yono, ada sms tuh.” Aku sedikit berteriak karena si empunya hape sedang berada di ruang depan menggoreng ayam pesanan pelanggan. Kulirik dia yang belum beranjak mengambil hapenya yang ia gantungkan di dekat lemari es. Aku mengambil beberapa siung bawang merah kemudian kuiris dan kembali berhenti ketika lagu ayah milik Saykoji menjerit dari hapeku. One message received.

Kupencet tombol buka kunci kemudian lihat.

Maaf ayah belum bisa tlpn..
Pengirim: Ayah
+6281377740xxx


Aku mendengus kesal. Lagi-lagi ia tak ada waktu buat menelponku. Ya, ia terlalu sibuk dan tak bisa diganggu bahkan oleh anaknya sendiri. Ku genggam erat hape di tanganku. Kalau saja aku tak ingat hape ini hasil jerih payahku sendiri pasti aku sudah membantingnya. Aku lebih memilih jadi koki dan mulai semuanya dari nol daripada aku harus menerima semua fasilitas dan uang dari ayahku. Mungkin inilah yang membuat ayah tak peduli denganku.

Dulu ia memanjaku dan selalu ada waktu buatku. Namun, semua itu berubah ketika masa SMP aku mulai mengenal pelajaran memasak dan aku menyukainya. Ayah yang berharap diriku bisa menggantikannya mengurusi bisnis yang sudah dirintisnya sejak ia muda berubah. Tapi, sekali lagi aku tak tahu bisnis apa. Karena sejak dirinya berubah dan tak lagi mencintaiku, aku pun tak lagi peduli dengannya.

Sial. Aku benar-benar tak mau seorang Darmawan Sucipta menjadi ayahku. Kalau boleh memilih aku ingin orang lain yang menjadi ayahku.

Yono berjalan gontai ke arah dapur. Mimik mukanya berubah tak secerah ketika kuberi tahu ada sms untuknya. ““Nggak ada apa-apa kok. Cuma orang iseng. Yah, pamer pulsa kali. Atau lagi dapet bonusan,” jawabnya ketika kutanya alasan perubahan mimik mukanya. Yah, aku tahu bukan itu jawabannya. Ia pernah cerita masalah permintaan ayahnya yang menyuruhnya untuk menikahi anak pamannya. Tapi, aku tak mau memaksanya untuk cerita. Aku hanya bisa menduga-duga.

Pikiran ini kembali berpikir tentang ayah. Kalau saja ayahku seperti ayah Yono. Ya, aku memang tak tahu sepenuhnya tentang ayahnya tapi, bagiku lebih baik mengetahui kepeduliannya terhadap anaknya daripada punya ayah yang tak pernah peduli padaku. Lebih baik bagiku ayah yang mencarikan aku pasangan hidup daripada yang lebih sibuk dengan bisnisnya.

Aku memerintahkan kakiku berjalan ke ruang depan, segera setelah menghabiskan nasi goreng yang baru kubuat. Kulihat seorang gadis SMA dan seorang bapak paruh baya duduk di meja 12 dan mengobrol. Kulihat hubungan mereka yang akur. Tapi, tiba-tiba gadis itu beranjak dengan muka cemberut meninggalkan uang dua puluh ribuan di atas meja kemudian keluar. Bapak paruh baya yang duduk di sebelah mengejarnya.


# Hati Ketiga


“Cinta, aku duluan ya. Sori nggak bisa nemenin. Aku ada janji nih.” Mitha, sahabat karibku, pamit. Dia yang biasanya menemaniku menunggu jemputan ayah kali ini ada janji dengan ibunya. Yah, aku tak bisa memaksa.

Kulirik jam yang tergantung di tanganku. Dua puluh lima menit aku menunggunya. Tapi, dia belum datang juga. Kuambil hape di dalam tas namun sejenak kukembalikan lagi ke tempat semula. Aku ragu untuk mengirim sms kepada ayahku.
Ayah. Hah, mengapa aku punya ayah seperti ayahku. Mengapa seorang Zulkifli Silalahi yang menjadi waliku. Ia memang selalu memanjaku. Tapi bagiku ia terlalu berlebihan. Benar-benar berlebihan. Terlalu over malah. Semua ia batasi, semua ia yang mengurus, semua ia penuhi, dan sama sekali tak memberiku ruang. Aku dianggapnya seperti bayi yang perlu digendong dan ditimang. Aku tak pernah punya waktu menghabiskan masa remaja seperti mauku. Ia memaksa aku untuk ikut les ini dan itu, ia selalu menjemputku pulang sekolah agar aku tak kemana-mana. Memberiku supir pribadi yang selalu menjadi tukang adu.

Kulangkahkan kakiku meninggalkan sekolahku. Biar saja ia mencariku. Aku tak peduli. Kembali kuambil hape di dalam tasku kemudian kuputuskan untuk membuka akun facebook-ku. Online.

Kira-kira berjalan lima ratus meter dari sekolahku perut ini kelaparan. Dari pagi aku hanya makan semangkuk bakso yang kubeli di kantin sekolah. Kulihat sebuah rumah makan di sebuah pojok gang. Aku masuk ke dalam kemudian mengambil daftar menu yang terselip di bawah tempat sendok. Kusapu pandanganku dan seorang laki-laki muda menghampiriku sambil tersenyum. “Nasi uduknya satu sama ayam goreng ya. Minumnya jus mangga aja,” kataku. Ia beranjak dan tak bertanya apa-apa lagi karena aku pun langsung mengambil hape di dalam sakuku.

Sedang asyik-asyiknya membaca status teman-teman di facebook, ayah datang dan duduk menjajariku. “Nggak papa,” jawabku ketika ia menjelaskan keterlambatannya. Aku memaksakan senyumku. Di sini aku tak bisa memasang tampang jutekku seperti biasa. Hah, benar-benar sial. Apa aku harus seperti ini terus? Berpura-pura tak ada apa-apa dengan hubungan kami ketika di luar rumah. Aku ingin ayahku seperti ayah-ayah yang lain. Memberiku kasih sayang sewajarnya. Tak berlebihan. Itu saja.

Kembali kusapu rumah makan ini. Beberapa orang sedang asyik mengobrol di salah satu meja di sudut, sepasang kekasih—mungkin—duduk berdua tak jauh dariku, seorang koki yang sedang menggoreng pesananku dan beberapa yang lain sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Hah, apa mereka merasakan apa yang kurasakan? Apa mereka punya ayah seperti ayahku yang membuatku tertekan? Apa mereka ingin bertukar tempat denganku? Sial. Benar-benar sial punya ayah bernama Zulkifli Silalahi.

Ayahku terus berbicara dan ku respon hanya dengan senyuman. Sesekali aku memandangnya dan kembali asyik membaca komen dan status teman-temanku di facebook. Kuminum jus mangga yang sejak tadi tak kusentuh. Makanan pesananku pun cuma kumakan tak ada separuhnya. Nafsu makanku hilang. Ayah masih berbicara dan menanyaiku macam-macam tentang sekolahku.

“Oya, Cinta, bagaimana kalau bulan depan ayah cari seorang guru les fisika yang baru buatmu. Kayaknya, guru les yang sekarang kurang kompeten. Ayah punya kenalan yang ayah yakin lebih baik dari Pak Diran.” Aku mengangguk. Kuiyakan saja permintaannya. Kembali kupaksakan senyumku mengembang. Dia menarik napas kemudian bertanya sesuatu yang benar-benar tak kuduga. “Siapa laki-laki yang minggu kemaren mengantarmu pulang. Waktu Mas Narto nggak bisa menjemputmu.” Kupandang wajah ayahku sekilas. Mencari tahu kemana arah pertanyaannya selanjutnya. Aku takut kalau ayah tahu siapa Andra sebenarnya. Aku diam dan memasukkan hapeku ke dalam tas. Jangan-jangan ia merebut hapeku dan mengecek semua nomor kontak di hapeku. Aku tak mau ia tahu dan membaca My Lovely Andra dari list phonebook-ku.

“Kok diam? Ayah mau tahu siapa dia,” lanjutnya. Aku tetap diam dan pura-pura meminum jus mangga di depanku. Hah, lagi-lagi ayahku mencampuri semuanya. Aku sudah berumur hamper tujuh belas tahun dan apakah dia juga mau melarangku pacaran. Kayaknya kali ini tak bisa kubiarkan ia melarangku. Cukup sudah aku jadi anak emasnya. “Kenapa? Apa ayah tak boleh…”

“Cukup, Yah. Apa yang ayah ingin? Melarangku pacaran dengan Andra? Ya, dia Andra. Pacarku.” Aku mengambil dompetku dan meletakkan dua puluh ribuan di atas meja.


# Hati Keempat


“Oh, semua sudah siap. Tinggal nunggu kepastian dari Pak Darmawan Sucipta saja. Pokoknya minggu depan proyek kita sudah bisa dijalankan.” Aku menutup telponku dan langsung kuambil kunci mobil di dalam laci meja kerjaku. Seseorang kemudian mengetuk pintu. “Tolong gantikan saya sebentar. Saya harus menjemput, Cinta, anak saya,” kataku pada wanita yang baru saja masuk.

Semenit kemudian aku sudah dalam perjalanan menuju sekolah Cinta. Kulirik jam di pergelangan tanganku. “Wah, telat nih,” kataku pada diri sendiri. Kutambah kecepatan laju mobilku. Aku tak mau Cinta marah gara-gara keterlambatanku.

Kupandangi foto Putriku satu-satunya yang kuletakkan di dasbor mobilku. Hah, aku membuang napas. Apa yang salah denganku ya? Hubungan kami tak pernah akur. Aku yang selalu berusaha menjadi ayah yang baik sepertinya justru selalu salah di matanya.

Ayah. Seperti apa seorang ayah itu? Aku tak pernah mengenal seorang ayah. Tak ada seorangpun yang pernah kupanggil ayah. Ayah adalah makhluk misterius bagiku. Aku tak pernah tahu siapa ayahku sebenarnya. Ia pergi meninggalkan ibuku tanpa kabar. Hah, kembali kubuang napas. Membuang kepenatan memikirkan tenatng seorang ayah. Dimanapun ia berada aku tahu ada alasan ia berbuat ini padaku dan ibuku. Dan tak pernah terpikir olehku untuk membenci. Aku ada karena ada dia. Darahnya mengalir dalam darahku.

Tapi, perasaan rindu akan belaian seorang ayah tetap selalu ada. Dan perasaan itu tak boleh terjadi terhadap Cinta. Aku harus menjadi ayah yang benar-benar tulus mencintainya, aku ingin jadi ayah yang selalu ada buatnya. Namun, lagi-lagi aku tak tahu apa yang salah dengan yang kulakukan selama ini. Cinta sepertinya merasa terkekang dan merasa tak bahagia dengan yang kulakukan. Tapi, bagaimana seharusnya seorang ayah itu? Semua menjadi buntu karena aku tak pernah tahu bagaimana cara seorang ayah mecurahkan kasih sayangnya dan tak terkesan mengekangnya.
Ditengah perjalanan kularikan mobilku ke sebuah rumah makan ketika kulihat Cinta yang berjalan dan masuk ke rumah makan tersebut. Kuparkirkan mobilku kemudian turun dan langsung masuk. “Udah. Barusan aja pesan.” Cinta menjawab pertanyaanku setelah sebelumnya meminta maaf atas keterlambatanku. Aku mengelap keringatku kemudian bertanya tentang sekolahnya. Raut mukanya tidak seperti biasa. Aku tahu dia menahan mimik muka yang selalu berikan padaku ketika di rumah.

Kuedarkan pandanganku menyapu rumah makan tempat aku dan putriku saat ini. Seorang koki yang terlihat sedang menggoreng sesuatu, beberapa pelanggan seperti kami, dan sebuah kesibukan yang terdengar lirih dari arah dapur. Kemudian kembali kupandang Cinta. Ia terlihat sibuk dengan hape di tangannya. “Oya, Nak, hari ini kamu ada les privat fisika kan? Gimana menurutmu cara mengajar Pak Diran?” aku bertanya padanya sambil terus berpikir tentang cara menjadi ayah yang baik baginya. Dia memandangku sejenak. “Lumayan kok. Enak,” jawabnya. Memandangku lagi kemudian tersenyum setengah hati. Aku jadi serba salah. Aku masih tak tahu dengan apa yang salah dari pertanyaanku. Sampai ketika kutanya bagaimana kalau aku mengganti guru les privat fisikanya dengan guru yang baru ia cuma menjawab seperlunya bahkan cuma mengangguk.. “Cinta, tolong ajari ayah bagaimana seharusnya seorang ayah itu,” kataku dalam hati. Aku tak berani mengatakannya langsung.

Ia masih terlihat asyik dengan hapenya. Orang-orang yang melihat kami pasti tak menyangka bahwa ada begitu jauh jarak diantara kami. Ada jurang yang aku sendiri tak tahu bagaimana membuat jembatan untuk menyeberanginya.
“Oya, Nak, kemaren yang nganterin kamu waktu Mas Narto nggak bisa jemput siapa?” tanyaku kemudian. Aku cukup tahu berapa umur putriku dan kalaupun laki-laki itu pacarnya aku tak bisa melarangnya. Ia memandangku sejenak dan aku mencoba mengartikan pandangannya. Kutebak ia pasti takut akan pertanyaan itu. “Kok diam?” tanyaku lebih pelan agar ia tak ketakutannya berkurang. Kulihat seseorang pemuda keluar dari arah dapur dan Cinta tetap diam dan ia tiba-tiba memasukkan hapenya ke dalam tasnya. “Ayah Cuma mau tahu siapa dia?” lanjutku. “Kenapa? Ayah tak boleh tahu…” omonganku dipotongnya.

“Cukup, Yah. Apa yang ayah ingin? Melarangku pacaran dengan Andra? Ya, Dia Andra. Pacarku.” Dia pergi setelah meletakkan uang dua puluh ribuan di atas meja. Aku yang benar-benar terkejut dengan responnya kemudian mengejar. Ia berlari keluar dan berusaha kususul. Larinya begitu cepat hingga aku tertinggal agak jauh. Kutambah kecepatan lariku dan dari arah sebelah kananku sebuah mobil melaju dengan kencang dan menabrakku. Aku jatuh terpelanting. Kurasakan ngilu di seluruh tubuhku dan darah keluar dari mulutku. Pandanganku kabur dan aku tak ingat apa-apa setelah itu

0 komentar: