Technology

Pages

Selasa, Desember 24, 2013

Mewarnai Pelangi




Prolog
Bukankah hujan menjanjikan pelangi di setiap akhir tetesannya? Aku selalu meyakini hal itu. Akan ada kisah yang manis setelah narasi penuh duka, akan ada tawa setelah tangis mendera, begitu juga kebahagiaan akan menggantikan kesedihan yang kita rasa. Percayalah. Itu bukan sekadar teori belaka. Hari ini. Seperti yang kurasa. Di hari terakhir keberadaanku di sekolah ini.
Aku kembali mengecek lelembaran kertas di meja. Berkas-berkas yang harus ditandatangani sudah rampung. Tinggal memasukkannya bersama berkas-berkas lain dalam satu map. Dan ceritaku di sekolah ini juga selesai.
Ah, menyesakkan sekali.
Melakukannya sama seperti memasukkan kisah yang terjadi beberapa bulan ke belakang ke dalam sebuah kotak berkunci. Hari-hari menjanjikan kebahagiaan saat aku menggambar pelangi dan mewarnainya. Saat aku bersama mereka melewatkan hari. Saat aku menjadi sosok yang mereka turuti. Saat sama-sama merajut mimpi untuk kemudian hari.
“………”
“Rizky Al-Muhammady”
“Panggilannnya Gaston, Sir.”
“Gaston? Terus Julia Perez-nya siapa?”
“Adanya Juliet, Sir.”
“……”

“Sir, jadi present tense itu pake verb 1, kan?
“Iya, Juned.”
“……”

“Insya Allah besok sabtu LDK Rohis. Sekalian pemilihan ketua Rohis.”
“Ente calon juga, Rifky?”
“Sepertinya iya, Sir.”
“….”

“Sir, udah nggak ngajar lagi?”
“Iya, ini minggu terakhir. Tinggal ngurus sedikit berkas aja. Tania, ini edisi Jumat atau memang Tania benar-benar berjilbab?”
“Doakan saja, Sir.”
“Semoga istiqomah ya.”
“Amiin.” Jawab Tania.
“Sir, ngajar terus di sini aja,” sela Gaston.
“Maunya sih gitu.”
“……………”

Dan semua ini ternyata harus segera diakhiri.
***
Bal, kita sekelompok.
Bareng Yesy sama Shintia
Kita dapet di SMP 74 deket kampus B
Pengirim: DB Sigit
+62896534xxxx

Alhamdulillah
Deket kalo gitu.

Terkirim.

Katanya senin kita harus ke sekolah tempat kita PKM.
Jam 7 pagi ya. Ketemuan di sana aja.

Olrait. See ya.
           
         Sempurna. Doaku diijabah. Dijawab. Aku yang meminta semoga tempat PKM-ku dekat dengan kampus ternyata benar-benar dikabulkan. Tidak perlu motor atau naik angkot. Toh, kampus B bisa dicapai dengan berjalan kaki.
          Awalnya. Sesaat setelah menerima SMS dari Sigit itu, aku—dan mungkin—ketiga temanku nggak berpikir bahwa Allah ternyata lebih tahu mana yang terbaik.
            Ya, terbaik menurut kita bukan hal yang mungkin bukan yang terbaik menurutNya. Kenyataan pahit yang sebenarnya harus kami hadapi ada di hari kami menunaikan janji.
            “Lumayan banget. Nggak perlu ngongkos,” kataku saat memasuki gerbang SMP 74.
            “Yah, elu mah enak. Kalo gua ama Sigit ya sama aja. Bekasi booo,” Yesy kecewa.
            “Yang penting deket sama kampus. Kan kita masih punya mata kuliah yang lain,” Shintia menimpali. “Eh, itu Pak Lasito, dosen pembimbing kita,” lanjut Shintia yang melihat Pak Lasito turun dari halte Transjakarta.
            “Oke, udah komplit, kan? Ayok kita masuk!” Perintah Pak Lasito begitu tiba di depan kami.
***
            “Maaf, Pak. Bukan kami menolak. Tapi, guru PPL di sini sudah terlalu banyak. Kemarin yang dari jurusan Matematika saja kami nggak terima.”
            “Intinya ditolak kan, Pak?” tanya Pak Lasito.
            “Mungkin. Tapi, kami memang nggak bisa menerima guru PPL banyak-banyak.” lanjut Wakil Kepala Sekolah 74 berperawakan gendut pendek. “guru sekolah kami sudah cukup mumpuni juga. Repot kalo harus ngurusin mahasiswa yang mau belajar ngajar.” Senyum angkuh tersungging di wajahnya.
            “Ok. Baiklah, Pak. Maaf jika kedatangan kami merepotkan,” sampai saat ini Pak Lasito yang memegang kendali dibandingkan kami. Beliau yang lebih banyak bicara. “Kami pamit kalo begitu.”
            “Mari saya antar.” pinta sang bapak berumur kira-kira lima puluhan tahun di depan kami. “Tidak usah, Pak. Kami masih cukup mumpuni untuk sekadar jalan kaki keluar dari sekolah ini. Nggak mungkin tersesat. Selamat pagi.”
            Kecewa. Pasti. Terutama aku. Yang terlalu pede menganggap doaku dikabulkan. Kenyataan yang kami hadapi jelas bahwa aku dan ketiga temanku benar-benar tersesat. Belum tahu dimana tempat kami menerapkan kemampuan mengajar kami.
            “Gini aja. Kalian mau nggak ngajar di sekolah yang dulu bapak ajar.” Pak Lasito langsung membuka obrolan begitu kami keluar dari gerbang 74. Kami berempat saling berpandangan.
            “Dimana, Pak?” Yesy berinisiasi.
            “Di daerah deket Pedongkelan. Agak jauh sih emang kalo kalian jalan.”
            “Pokoknya di komplek TNI AL. Daerah Sunter.”
            “Lha, bapak gimana? Katanya tadi deket Pedongkelan?” sungut Sigit. Dia paling tidak suka dengan orang yang plin-plan.
            “Pokoknya di situ. Denger-denger lagi butuh guru. Siapa tahu kalian dibayar juga.” Iming-iming dari Pak Lasito.
            “Ya udah di sekolah mana, Pak?” kejar Shintia, cewek berjilbab yang nggak suka bertele-tele.
            “Jadi mau nih?” ulur Pak Lasito.
            “Oke, oke, maaf,” kata Pak Lasito yang melihat muka kami langsung bête, “Di SMA 72 Jakarta.”

Bersambung

Selasa, Desember 03, 2013

Me 'n Gozzan

Entahlah. Aku sendiri nggak tahu apa alasannya dan bagaimana hingga ia lebih dekat denganku. Awalnya, tak ada yang istimewa. Aku tak merasa dekat. Seperti ke anak-anak yang lain. Biasa. Namun, sekarang aku merasakan ia menyukaiku. Entah karena apa? Aku sendiri bingung. Dan akhirnya aku pun sangat menyayanginya. Lebih dari anak-anak itu.

Namanya Gozzan. Sampai saat ini aku tak tahu nama panjangnya. Dia adalah salah satu murid Comdev (Community Development) FBS, sekolah gratis untuk anak-anak daerah Pura Bali di belakang kampusku. Setiap orang akan gemes begitu melihat tubuhnya yang sangat “sehat” dibandingkan anak-anak yang lain. Tubuhnya bulat sempurna saking sehatnya. Rambutnya ikal dan agak sedikit panjang yang menyamarkan jenis kelaminnya karena maklum, masih anak-anak. Belum begitu jelas apakah dia perempuan atau laki-laki. Semua yang baru mengenalnya akan menanyakan, “dia cowok apa cewek?” Begitulah. Seorang anak yang punya daya tarik dari tubuhnya yang super besar ternyata “menyayangi” dan “mencintai-ku” dengan caranya. (semoga bukan perasaanku saja).

Gozzan. Seperti yang kubilang tadi. Awalnya, aku menganggap dia biasa-biasa aja. Nothing special. Hingga akhirnya aku menyayanginya. Sangat menyayanginya. Aku ingat pertama kali rasa itu tumbuh. Saat itu setelah bagi raport Comdev, Pengurus memutuskan untuk mengadakan outing-class di Ragunan. Kemudian keluar dari lisannya penuh ketulusan, “Pak Iqbal ikut gak? Kalo nggak ikut Gozzan nggak ikut”. Kemudian kukatakan padanya bahwa aku akan menyusul rombongan karena ada yang harus kukerjakan dan akhirnya senyum dari bibirnya terkembang.

Kemudian di liburan selanjutnya, saat jalan-jalan Comdev ke TMII dia menanyakan hal yang sama apakah aku akan ikut jalan-jalan atau nggak? Aku, saat itu, menjawab langsung pertanyaannya dengan anggukan tegas dan aku semakin terharu ketika di hari H saat akan berangkat jalan-jalan dia memberikanku beberapa bungkus makanan kecil yang sengaja dia bawa dari rumahnya. “Ini untuk pak Iqbal”. Lucunya, dia menolak memberikannya pada guru yang lain. Tidak juga pada Nadya dan Ardy (weks!!! :P)

Gozzan. Aku tak pernah memperlakukannya secara khusus. Aku memang terkadang gemes melihat pipi chubby-nya (hal sama yang pasti dilakukan semua orang saat melihatnya). Namun, setiap kali aku dating untuk sekedar melihat proses belajar mengajar Comdev, dia langsung tersenyum penuh makna ke arahku bahkan langsung memelukku.

Kata teman sekelas sekaligus guru Comdev, Nadya, anak kecil itu tak pernah bohong dan aku percaya rasa sayang Gozzan kepadaku juga bukan sebuah kebohongan. Rasa sayang yang ternyata mengalahkan cintanya pada Bu Nadya, Bu guru yang justru lebih banyak mencurahkan waktu dan pikirannya untuk Comdev. Dan ternyata rasa itu nggak hilang bahkan ketika setahun lebih aku jarang sekali bertemu dengannya karena tak lagi berurusan dengan Comdev. Amanah di  BEMJ yang menuntutku untuk nggak lagi terlibat di Comdev tak membuat Gozzan melupakanku. Hingga ketika liburan Comdev semester ini, saat outing-class di Museum Satri Mandala, lagi-lagi dia menunjukkan rasa cintanya padaku.
“Pak Iqbal. Sini! Makan bareng Gozzan.”

*Aku menyayangimu seperti engkau menyayangiku. Tulus setulus engkau mencintaiku. Terima kasih telah membuatku merasa bahwa aku berarti.




Senin, November 25, 2013

Catatan Akhir Sekolah; Sebagai guru PPL

Entah harus bersyukur atau bersedih. Toh, mengajar anak-anak SMA dengan kondisi real di sekolah ternyata menyenangkan. Iya kan? Ini buat yang PKM (baca: PPL). Mengajar mereka yang menjadi beban dan tanggungan kita para calon guru memang menyenangkan.

Es-em-a 72 Jakarta menjadi potongan kisah yang tak terlupa. Meski awalnya malas-malasan karena harus dibarengi dengan jadwal kuliah yang masih (agak) padat, pada akhirnya ada rasa yang tertinggal juga. Apalagi ketika terkenang sebuah kelas yang begitu ramah dan menyambutku dengan baik. Menghormatiku sebagai seorang guru yang meski masih banyak kurangnya tapi mereka memberikan penghargaan yang luar biasa, XI.IPA.1.

Hari ini ujian PKM. Tapi, beruntung hari ini bukan hari terakhir di sekolah. Kenyataan bahwa salah satu guru bahasa Inggris di SMA ini harus meninggalkan kewajibannya mengajar karena sang suami yang sedang sakit membuatku kami harus "angkat kaki" dari sekolah ini tepat sebelum UAS. Okeh, itu kabar baik. Karena masih ada waktu buat kami (Sigit, Shintia, dan Yesy) menorehkan beberapa kisah lagi.

SMA 72 Jakarta, dengan sambutan luar biasa dari para gurunya membuat kami enggan untuk bersegera "kabur" dari sini. Terlepas dari pikiran bahwa kita menjadi "ban serep" beberapa guru tapi ketika kita menjalaninya dengan senang hati hal yang terlihat berat jadi tak terasa.

Hari ini ujian PKM. Hari ini bukan perpisahan. Meski waktu untuk itu tentu semakin mendekat.

Hari ini ujian PKM. Hari ini aku menyadari bahwa mengajar dengan cinta jauh lebih menyenangkan dibanding mengajar karen profesi, yang berujung pada tujuan finansial. Terngiang nasihat seorang kawan tadi pagi saat dia memberikan kultum selepas shalat shubuh, "Mengajarlah dengan keikhlasan untuk Allah. Memberika yang terbaik kepada murid-murid kita karena kita mengharapkan perbaikan dari mereka. Memberikan contoh. Dan memberikan sentuhan cinta di setiap kata yang terlontar dari lisan-lisan kita. Yakinlah, menanam ilmu akan menghasilkan ilmu yang jauh lebih besar."


"Pengalaman adalah guru terbaik. Dan guru terbaik lahir dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ)"

Sabtu, Oktober 19, 2013

Pada Suatu Siang

Engkau yang melihat akan sama terharunya seperti aku. Bukankah Jakarta terkenal dengan kota individualis dan kapitalis, atau semacamnya. Ternyata tidak. Setelah siang itu.

Perjalanan pulang dari Praktik Ketrampilan Mengajar (PKM, dulu disebut PPL), di siang hari yang terik hari jumat, aku turun dari 03. Keringat yang saat itu membuat bajuku basah terus saja turun padahal sebuah bundel fotokopian sudah lecek karena beralih fungsi sebagai kipas. Aku tetap bergegas melangkahkan kaki karena shalat Jumat sudah harus didatangi. Di jembatan layang depan Pasca Sarjana UNJ aku melihat seorang kawan hendak menaiki tangga jembatan namun kemudian dia sedikit berlari dan mendekati seorang wanita tua yang berhenti di tiga anak tangga pertama. Kemudian samar kudengar dialog keduanya:

"Ibu, sini tasnya saya bawain," kata sang kawan. Masih tidak menyadari bahwa aku ada tak seberapa jauh darinya.

"Oh, iya. Makasih." kata sang ibu berusia kurang lebih lima puluh tahunan.

"Darimana, bu?" tanya sang kawan. "Dari rumah anak. Biasa nih, dibawain oleh-oleh."

"Emang rumahnya dimana, bu?"

"Di Bogor."

Keduanya menuruni tangga. "Sekarang pulang naik apa, bu?"

"Mau ke Manggarai. Naik kereta. Mau naik bajaj ke Manggarai."

Tak berapa lama mereka berdua sudah mendekati sebuah bajaj. "Pak, berapa ke Manggarai?"

"Dua puluh lima ribu."

"Buat ibu ini. Lima belas ribu aja ya!" tawa sang kawan. "Dua puluh deh, Mas."

"Udah, Pak. Lima belas ribu aja. Ini, Pak!" tanpa kuduga sang kawan mengeluarkan uang lima puluh ribuan. Aku yang berdiri tak jauh dari kejadian itu menggelengkan kepala. Heran dan terharu. Subhanallah.

Siang itu, sebuah hikmah terlempar jelas di depan mata.

Rabu, Agustus 21, 2013

Aku Tunggu di Fotokopian

SATU sms aku kirim kembali. Mungkin kali ini akan ada balasan.

Q tn9gU di FtoCopIaN. Da y9 iNgN Q oMogIn
Status: Delivered to My Honey

Kutunggu jawaban dari sms yang kukirim. Lima menit, sepuluh menit, tiga puluh menit. Tetap belum ada balasan. Kucoba untuk menelpon Marsya akhirnya. Aktif. Tapi, kenapa nggak diangkat. Aku tak mau berpikir macam-macam. Mungkin masih ada guru di kelasnya hingga sms dan telepon dariku diacuhkannya. Terus kupandangi layar hape-ku. Sebuah wallpaper tokoh kartun laki-laki dan perempuan.yang terlihat mesra menghiasinya. Berjalan bersisian yang sekali waktu si lelaki mencuri kesempatan mencium si perempuan. Ingin rasanya bisa seperti itu. Tapi, apa mau dikata. Marsya selalu menolak untuk berjalan berdua. Pasti ada saja temannya yang menjadi destroyer kencan kami.

“Ketika seorang laki-laki dan perempuan berduaan, orang ketiganya adalah setan.” katanya memberi penjelasan.

Marsya Safitri. Aku menerawang jauh ke masa ketika aku mulai pedekate. Sebuah ritual yang sangat mudah bagiku. Rayu, kasih hadiah, taklukkan. Tapi, ternyata tidak mudah untuk mendapatkan seorang Marsya. Tidak mempan dengan rayuan, tidak mau dikasih hadiah dan tentu saja tidak bisa aku taklukkan. Sebenarnya dulu tidak ada niat buat menjadikan Marsya sebagai pacar. Aku, seorang Dizky Farista yang menjadi idola di sekolah, yang pasti tidak cukup sulit untuk menjadikan siapapun untuk menjadi kekasih, memilih seorang Marsya yang sebenarnya biasa-biasa saja. Orangnya memang cantik. Tapi, menurutku, sebenarnya aku masih bisa mendapatkan seorang yang lebih dibandingkan Marsya.

Hah, dari awalnya memang cuma iseng menjadikan dia sebagai objek taruhan. Tapi, yang terjadi sekarang sungguh di luar dugaanku. Aku menjadi pemuja seorang Marsya. Aku tidak bisa kalau dia pergi jauh dariku. Aku selalu berharap bahwa dia akan menjadi milikku selamanya. Aku benar-benar sudah jatuh cinta padanya.~El-Kharis~Aku sedang asyik menyeruput es jeruk yang aku pesan dari penjaga fotokopian ketika tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.

“Dizky..”

Aku langsung menoleh mendengar suara yang sungguh begitu ingin aku dengar sedari tadi. Marsya tersenyum memamerkan giginya yang putih. Wajahnya ceria. Itulah salah satu yang membuat aku begitu sulit melupakan dia. Tak pernah terlihat murung, walaupun kadang aku tahu dia sedang sedih.

Aku masih ingat kejadian waktu kakaknya masuk rumah sakit dan akhirnya meninggal akibat penyakit malaria yang di deritanya. Tak ada raut kesedihan ketika kakaknya dimakamkan. Dia terlihat tegar, bahkan masih bisa tersenyum melihat kakaknya disemayamkan di liang lahat. Aneh, itu komentar yang aku lontarkan ketika aku bertanya dan dia, masih dengan tersenyum mengatakan “Dia adalah kakakku, Dizky, tapi tak pantas buatku menangisi kepergiannya. Aku memang sedih tapi, aku nggak mau menangis. Ini semua sudah ada yang ngatur. Buat apa aku menangis padahal masih banyak yang harus aku lakuin. Aku ikhlas.”

Benar-benar aku tidak mengerti jalan pikirannya.

“Dizky, kok ngelamun? Aku lagi ngomong sama kamu. Ada masalah ya?” tuh kan, aku cuekin saja dia masih saja sabar. Marsya… Marsya, kenapa kamu nggak marah sih?

Dia kemudian mengambil kursi dan duduk. Tidak begitu dekat denganku. Seperti biasanya.“Eh, enggak-enggak, aku cuma berpikir bahwa aku beruntung bisa pacaran ma kamu. Udah cantik, sabar, baik hati, pengertian, pokoknya beruntung deh aku bisa jadi pacar kamu.” Dia tersenyum. Aku memperhatikan wajahnya.

“Diz, ada apa nih kamu ngajak aku ketemuan?” dia bertanya tanpa memandangku. Aku sudah tahu semua kebiasaannya. Tidak mau berduaan, tidak mau dipegang, dan kalau bicara tidak pernah memandangku. Dia bilang ghadul bashar alias jaga pandangan. Aku sih awalnya tersinggung, tapi, ketika dia memberi pengertian, aku akhirnya menerima walaupun dengan terpaksa. Katanya juga dia melakukan ini yaaa… yang utama dia menghormati aku (aku tidak mengerti), kemudian katanya bahwa aku dan dia belum tentu berjodoh jadi, dia tidak mau untuk disentuh. Hah, pokoknya pertama kali aku jadian sama dia aku selalu dibikin eneg..

“Kok ngelamun lagi? Bener nih nggak mau cerita? Kalau gitu mending aku pergi aja ya, kayaknya kamu perlu sendiri.” kata Marsya yang melihat aku cuma melamun. Dia lalu beranjak dari tempat duduknya, aku berusaha memegang tangannya, dan dengan sigap dia menariknya. “Sorry.” kataku meminta maaf.

“Diz, aku pergi aja ya. Kamu kayaknya nggak lagi pengen diganggu.” lagi-lagi Marsya tersenyum. “Jangan pergi. Aku butuh kamu.” aku memasang tampang memelas. Aku tidak mau dia pergi.

“Ya udah, kamu mau ngomong apa?” tanyanya kemudian. Dia kembali duduk di tempat duduknya semula. “Kalau mau cerita, cerita aja! Siapa tahu aku bisa bantu. Paling tidak bisa ngurangin beban kamu. Tapi, cepet ya. Waktu istirahat tinggal sepuluh menit lagi nih.”

“Ok deh.” kata ku akhirnya.

Sepuluh menit berlalu. Namun, aku belum bisa mengatakan apa-apa. Aku hanya berbicara tidak keruan. Tidak jelas jalurnya. Sebenarnya aku tahu kalau dia kecewa aku menyita waktunya untuk hal yang sia-sia. Tapi, itulah Marsya, lagi-lagi dia membuatku terpesona. Dia tidak menampakkan kekecewaannya. “Aku harus masuk kelas, udah masuk nih. Kalau masih ada yang mau dibicarakan nanti aja pulang sekolah.”

“Makasih ya.” kataku tulus. Dia beranjak dari tempat duduknya meninggalkanku sendiri di sini.

*****

sPerTi bIaSA, aKu tuNg9u Di FtOcpIaN
Status: Delivered to My Honey

Aku masih termenung memikirkan masa-masa indah bersama Marsya. Sebenarnya apanya yang indah. Kita berdua tidak pernah jalan bareng, tidak pernah ada malam minggu dalam kamusnya, dan tidak pernah ada kata berduaan buat kami. Tiba-tiba aku berpkir bagaimana kalau dia meninggalkanku. Aku tak bisa membayangkan lebih jauh. Pokoknya, Marsya harus jadi milikku seorang. Aku tak mau dia pergi.

Sedetik kemudian Marsya sudah ada di belakangku. “Diz… kamu ada masalah apa sih? Cerita dong..! siapa tahu aku bisa bantu kamu.” dia berkata sambil menyeret kursi plastik di depan rak minuman. “Aku bingung mau cerita dari mana?” mataku beradu pandang sejenak untuk kemudian dia kembali menunduk seperti biasa. Ghadul bashar lagi.

“Ya udah, kamu bicara apa yang kamu anggap pen…”

“Aku sayang ma kamu dan aku nggak ingin kamu pergi.” aku menghentikan omongan Marsya. Kulirik wajahnya yang masih menunduk. Kucoba menebak apa yang dia pikirkan saat ini. Marsya mengangkat wajahnya namun, kembali menunduk ketika mengetahui aku memperhatikannya. “Jangan pandang aku seperti itu.” pintanya.

Aku diam sambil terus memperhatikan Marsya. Aku tidak peduli apa yang dikatakannya barusan. Dia terdiam. Aku pun tak ingin mengatakan apapun. Aku telah mengatakan apa yang ingin aku katakan. Dia menghela nafas panjang.

“Maafkan aku, Dizky, kayaknya aku harus meninggalkanmu saat ini juga.”

Aku terpaku. Pergi…. Tidak!!!… Marsya tidak bisa pergi. Marsya harus jadi milikku. Ya, dia tidak bisa meninggalkanku begitu saja.

“Maafka…”

“Kenapa, Sya..?” kembali kuhentikan omongannya. Dia masih menunduk “Perhitunganku salah.” kata Marsya.

“Perhitungan apa?” aku tidak mengerti maksudnya. “Diz, aku minta maaf. Sebenarnya aku melakukan ini semua….” Marsya berhenti.

“Aku kira aku bisa merubahmu. Aku pikir aku bisa mendapatkan cinta yang sesungguhnya dengan menjadi orang yang deket denganmu dan menghentikan kebiasa…”

“Jadi….. kau mempermainkan aku.” sekali lagi aku menghentikan omongannya.

“Bukan itu maksudku.” katanya. Terdengar isakan di sela-sela bicaranya. “Sya, kenapa kamu malah nangis?”

“Dizky, aku ingin merubahmu. Aku ingin membuatmu sadar bahwa kebiasanmu selama ini salah. Kamu selalu mempermainkan perasaan wanita tanpa pernah merasakan bagaimana perasaan mereka setelah kau sakiti.

Ketahuilah, aku deket denganmu supaya kau mengenal Dia. Aku ingin kau tahu Dia yang lebih pantas untuk dicintai. Dia yang cinta-Nya aku cari selama ini.” isakan Marsya semakin terdengar. Kulihat beberapa kali dia meneteskan airmata. “Jadi… kau hanya memperalatku. Kau mendekati aku supaya kau bisa deket denganya dan akhirnya pacaran, hah..? aku jadi penasaran siapa yang sudah merebut hatimu dariku.”

“Dia bukan siapa-siapa. Tapi, Dialah yang menciptakan cinta. Dia yang lebih pantas dicinta dan cinta dari-Nyalah yang seharusnya kita cari.”

“Alah, bullshit..” kataku menyumpah. “Dizky, jangan bicara seperti itu. Aku tahu bahwa aku telah bersalah tak mengatakan yang sebenarnya. Kini aku tahu bahwa usahaku selama ini sia-sia. Kau deket dengan-Nya karena aku, bukan karena keikhlasan yang aku inginkan.” aku biarkan Marsya bicara semaunya. Hatiku sudah hancur sekarang. Orang yang kucintai sepenuh hati ternyata hanya memperalatku. Disaat cinta itu benar-benar kurasakan, cinta itu malah menghancurkan hatiku.

“Aku minta maaf. Aku harus pergi.” Marsya beranjak dan aku hanya bisa menatapnya tanpa bisa menghentikannya. Biarlah dia tidak mengatakan yang sebenarnya, tapi, jangan tinggalkan aku. Aku mencintaimu, Sya. Aku terima apa yang kau lakukan padaku. Tolong jangan tinggalkan aku.

*****

Sudah seminggu Marsya tidak masuk sekolah. Teman-teman sekelasnya pun tidak tahu kenapa. Saat aku berusaha ke rumahnya untuk tahu kenapa dia tidak berangkat, aku mendapati rumahnya telah kosong. Tetangga sebelahnya pun sama tidak tahunya seperti teman-teman Marsya. Aku jadi bingung. Kemana lagi aku harus cari tahu keberadaan Marsya.

“Sya, kamu dimana? Aku memaafkanmu. Jangan buat aku merana.”

*****

Aku merobek sampul surat yang kupegang.

Teruntuk Dizky Farista,

Assalaamu’alaikum.

Diz, di surat ini aku harus jelaskan semuanya. Memang tidak seharusnya aku melakukan ini padamu dan aku tahu aku salah. Tapi, tolong maafkan aku. Sekarang aku harus mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak ingin kau salah paham.

Aku mendengar apa yang kau rencanakan terhadapku bersama Tyo dan Angga. Kau menjadikan aku objek taruhan hanya karena kau ingin mendapatkan uang enam ratus ribu. ketika aku mendengar itu aku heran, orang sepertimu menjadikan perasaan seorang wanita demi uang yang tak seberapa buatmu. Kau orang berkecukupan bahkan kaya dan itu menjamin bahwa kau tidak akan kekurangan uang. Namun, aku akhirnya tahu bahwa bukan uang yang jadi tujuanmu. Tapi, karena gengsi yang kau miliki. Kau tidak bisa berbuat seperti ini terus. Pasti, suatu saat kau akan merasa kehilangan saat orang yang kau cintai pergi meninggalkanmu.

Aku berhenti membaca surat dari Marsya. Sya, kamu benar. Saat ini aku merasa telah kehilangan separuh nyawaku. Kau yang telah membawanya.

Aku kembali melanjutkan membaca surat di tanganku.

Pada awalnya aku berpikir aku telah berhasil merubah kebiasaanmu. Kau bukan Dizky yang dulu. Tapi, ternyata aku salah. Kau memang berubah namun, kau berubah karena aku. Kau telah benar-benar mencintaiku.

Dizky, perlu kau tahu, ada yang lebih berhak dicintai dan lebih pantas untuk kau harapkan cintanya. Cinta dari Dzat yang menciptakan cinta, cinta untuk Dzat yang menciptakan kita. Dialah Tuhan yang telah menciptakan apapun yang ada di dunia. Dia sangat pencemburu, Dizky. Karena itu, aku tak berani mengkhianatinya. Percayalah, tanpa Dia cinta itu tidak bakal ada.

Sekarang aku harus pergi. Aku tak bermaksud menghakimimu. Aku juga tak bermaksud untuk mengguruimu. Aku memang tidak ingin terjerat pada cinta yang bisa membutakan kita. Siapa yang bisa menjamin bahwa kita nantinya tidak akan terjerumus ke dalam jurang nafsu. Kalau memang kita jodoh aku akan jadi milikmu. Sekali lagi maafkan aku. Aku harus pergi. Satu hal yang kini aku sadari dan aku tak mau ini terjadi sekarang. Aku sadar ‘Aku juga mencintaimu’. Maafkan aku, Dizky.

Wassalaamu’alaikum Salam
Maaf dariku Marsya

Aku meletakkan surat Marsya yang ia titipkan pada temannya untukku. Marsya memutuskan pindah ke Semarang, tempat saudara ibunya. Mataku tak kuasa menahan tangis yang sedari ingin kutumpahkan. Maafkan aku, Sya, aku telah salah menilaimu. Aku akan menunggumu.

*****

Aku menyandarkan kepalaku pada kursi yang aku duduki. Tugas-tugas yang harus aku kerjakan akhirnya selesai. Aku mengecek ulang apa yang telah ku kerjakan. Kontrak dengan PT Global Makmur telah kutandatangani, Laporan Keuangan Kantor telah aku cek, dan Daftar Tunjangan yang harus ku berikan kepada karyawanku telah kupelajari. Tiba-tiba Dinda, sekretarisku, masuk.

“Pak, Ibu tadi telpon, dia bertanya dimana bapak dan beliau mau ketemuan. Katanya anak-anak sudah nggak sabar ingin liburan bareng ayahnya.” kata Dinda.

“Oh, ya sudah, terima kasih.” Dinda keluar ruangan.

Kuambil handphone yang kutaruh di dalam tas. Ku klik menu kemudian pesan, tulis pesan dan kukirim satu sms pada istriku.


Aku tunggu di fotocopian samping sekolah
Status: Delivered to Istriku.

Jumat, Juli 05, 2013

Curhat Mini

Banyak yang bilang sahabat itu adalah teman yang ada disaat kamu sedang sedih. Tidak. Bagiku, sahabat itu justru harusnya ada disaat kita sedang senang. Bagaimana rasanya ketika engkau sedang merayakan kebahagiaan tapi tak ada satupun sahabat di sampingmu?

Rabu, Mei 01, 2013

Lomba Cerpen Remaja Rohto 2013




Lomba Menulis Cerita Remaja (LMCR 2013) by Rohto
Lebih Berbobot, Lebih Bergengsi, Lebih Banyak Pemenangnya


Berhadiah Total Rp 92 Juta





Persyaratan Lomba
  1. Lomba terbuka bagi pelajar (Kategori A: Pelajar SLTP; Kategori B: Pelajar SLTA), mahasiswa, penulis/pengarang dan umum (Kategori C), warga  Indonesia  di Tanah Air maupun yang bermukim  di Luar Negeri.
  2. Lomba dibuka 1 April 2013 dan ditutup 25 September  2013 (Stempel Pos/Jasa Kurir).
  3. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia yang benar,  indah (literer) dan  komunikatif.
  4. Naskah yang dilombakan karya asli (bukan jiplakan, terjemahan atau saduran), belum pernah dipublikasi dalam bentuk apa pun dan tidak sedang disertakan lomba serupa.
  5. Tema Cerita: "Dunia remaja dan segala aspek rona kehidupannya (cinta, harapan, kepedihan, perjuangan, kekecewaan, perjuangan hidup dan pencerahan)".
  6. Panjang naskah  5 – 10 halaman A4,  1,5 spasi  Times New Roman 12 Font,  2 (dua) rangkap, dilampiri foto copy identitas KTP/Kartu Pelajar/Paspor/SIM/Kartu Keluarga (Pilih salah satu) dan foto pose bebas serta file naskah cerpen yang dilombakan dalam CD/DVD.
  7. Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari 1 (satu) judul. Perjudul dilampiri struk/bon asli pembelian produk PT  Rohto Laboratories Indonesia (jenis produk apa saja, bebas memilih) – klik www.rohto.co.id.
  8. Naskah  dikirim ke Sekretariat LMCR: Jalan Gunung Pancar No.25 Bukit Golf Hijau Sentul City Bogor 16810, dalam amplop tertutup dilampiri persyaratan Butir 6 dan 7, tulis keterangan Kategori-nya A, B atau C di bagian kanan atas amplop.
  9. Naskah yang dilombakan menjadi milik penyelenggara, hakcipta pada pengarang.
  10. Pemenang diumumkan 26 Oktober 2013.
  11. Daftar Pemenang dan Hadiah sebagai berikut:
  • Kategori A:
  • Pemenang 1:  Rohto-Mentholatum Golden Award + Uang Tunai Rp 4.000.000,-; 
  • Pemenang 2: Piagam Rohto-Mentholatum + Uang Tunai Rp 3.000.000;
  • Pemenang 3: Piagam Rohto-Mentholatum + Uang Tunai Rp 2.000.000,- ;
  • 10 Pemenang Harapan, masing-masing memperoleh: Piagam Rohto-Mentholatum + Uang Tunai Rp 500.000,- dan 
  • Pemenang 25 Karya Favorit – Piagam Rohto-Mentholatum

  • Kategori B: 
  • Pemenang  1:  Rohto-Mentholatum Golden Award + Uang Tunai Rp 5.000.000,-; 
  • Pemenang 2: Piagam Rohto-Mentholatum + Uang Tunai Rp 4.000.000,-; 
  • Pemenang 3: Piagam Rohto-Mentholatum + Uang Tunai Rp 3.000.000 dan 
  • 8 Pemenang Harapan, masing-masing memperoleh Piagam Rohto Mentholatum + Uang Tunai Rp 500.000,- dan Pemenang 60 Karya Favori: Piagam Rohto-Mentholatum.

  • Kategori C: 
  • Pemenang  1:  Rohto-Mentholatum Golden Award + Uang Tunai 7.000.000,- ; 
  • Pemenang 2:  Piagam Mentholatum + Uang Tunai Rp 6.000.000,-; Pemenang 3: Piagam Rohto-Mentholatum + Uang Tunai 4000.000,-; 8 Pemenang Harapan masing-masing memperoleh: Piagam Rohto-Mentholatum + Uang Rp 750.000,- dan 150 Pemenang Karya Favorit:  Piagam Rohto-Mentholatum.
  • Penghargaan Khusus: Pemenang Cerpen Berbahasa  Terliris Kategori B mendapat Piagam Rohto-Mentholatum + Uang Tunai Rp 1.000.000,- dan 
  • Pemenang Cerpen Berbahasa Terliris Kategori C mendapat Piagam Rohto-Mentholatum + uang Tunai Rp 1.500.000,-.

  • Seluruh Pemenang mendapat hadiah Antologi Cerpen  LMCR-2013.
  • Pajak hadiah ditanggung PT Rohto Laboratories Indonesia.
  • Nama Para pemenang dapat diakses di: www.rohto.co.id, www.rayakultura.net dan Facebook: www.facebook.com/#!/groups/4598847( Grup Diskusi: Puisi, Cerpen dan Novel.
20 Cerita Pendek Terbaik Diterbitkan sebagai Antologi  LMCR

Minggu, Januari 20, 2013

Sepenggal Episode Aku dan Ibu


Aku terhenyak. Pikirku tak jua bisa mengalihkan apa yang saat ini membuatku ingin pergi jauh. Berlari jauh ke ujung dunia ini. Menjauh dari tempat yang saat ini kupijak. Kalau bisa aku ingin menenggelamkan tubuhku ke dalam bumi. Sejenak. Menghilangkan penat yang muncul sejak kedatangan perempuan itu. Ya, seminggu yang lalu. Seminggu yang terasa begitu lama karena aku benar-benar memikirkannya. Seminggu yang kujanjikan jawaban atas apa yang ia minta dariku. Seminggu yang membuatku seperti orang gila. Seminggu yang membuat seorang Firdaulana di cap orang yang temperamen di tempat kerjanya. Hah, seminggu.

* iqbal_haris *

Aku terus memperhatikannya. Menjelajah dari ujung kaki sampai bagian tubuhnya yang terbalut jilbab panjang berwarna coklat. Sudah lima belas menit. Namun,
perempuan di depanku tetap saja menundukkan wajahnya. Sedari tadi ia hanya diam tanpa mengatakan apapun. Hanya isakannya yang terdengar. Lirih.

Sejenak ia terlihat akan mengatakan sesuatu. Tapi, kembali tak kudengar suara dari mulutnya.

Di sela-sela keheningan itu tiba-tiba seorang perempuan paruh baya keluar dari kamar, Ibuku. Yang sejak kedatangan perempuan asing di depanku ini, meninggalkanku hanya berdua dengannya. "Katakanlah yang sebenarnya, Kak Nani. Dia berhak tau semuanya!" Ibuku menjajari perempuan itu dan membelai pundaknya.

Kupandangi kedua perempuan yang ada di depanku. Wajah ibuku tak jauh beda dengan perempuan di sebelahnya. Hanya saja perempuan yang bernama Nani lebih kurus dan wajahnya terlihat pucat.

"Bicaralah!" Ibuku menggenggam tangannya.

"Engkau adalah anakku. Anak kandungku. Engkau adalah anak yang lahir dari rahimku dan..." perempuan itu berhenti dan terisak di pelukan ibuku. Ibuku membelai jilbabnya. Sedang aku hanya bisa menatap keduanya tanpa bisa mengatakan apa-apa. Bibirku terkatup rapat. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan dan kukatakan. Terpaku pada sebuah kenyataan bahwa perempuan asing berjilbab coklat itu adalah ibuku. Ibu kandungku.

Aku berdiri. Menjauh dari tempat tidurku mendekat ke arah jendela. Sesaat aku ingin memecahkan kaca jendela itu sebagai pelampiasan. Untung pikir sehat ini masih menahannya.

Kupandangi halaman rumahku. Menerobos kaca jendelaku. Halaman rumah yang begitu sempit tapi terlihat menyejukkan mata hatiku. Ibuku, lebih tepatnya orang yang mengasuhku, yang selama ini kuanggap sebagai ibu dan selamanya dia adalah ibuku, menanam beberapa tanaman dalam pot yang sedikit banyak mengurangi kepenatan yang kurasa. Sesekali titik-titik embun masih menetes dari dedaunanan. Menimbulkan irama merdu menemani keheningan pagi ini.

Langit masih terlihat muram. Mendung menggayut manja membuat aktifitas pagi di jalan depan rumahku hari ini tak terlihat seperti biasanya.

Pikiranku kembali merasa sendu ketika kuingat hari ini adalah waktunya. Hari yang tak ingin kutemui sejak seminggu yang lalu. Perempuan itu hari ini akan datang. Meminta jawaban atas permohonan maaf yang ia utarakan, meminta kasih sayang yang sepenuhnya telah kuberikan untuk orang yang selama ini menjagaku, dan tentu saja meminta ruang di hatiku untuk memanggilnya ibu.

Aku belum tahu apa yang akan kulakukan. Aku belum tahu apa yang akan kusampaikan. Aku belum bisa menerima kenyataan ini. Aku belum bisa menerima kehadiran ibu kedua yang sangat asing bagiku. Meski ia adalah ibu kandungku.

Mengapa ia tiba-tiba hadir dan mengacaukan kehidupanku? Mengapa ia dulu meninggalkanku? Memberikanku kepada adiknya dan pergi entah kemana?

* iqbal_haris *

Kupandangi perempuan yang ada di depanku. Matanya sendu. Wajahnya yang terbungkus jilbab tak secerah biasa. Ia menunduk tanpa menatapku. Padahal, aku benar-benar ingin menatap matanya. Bagian dari wajahnya yang paling kusukai.

"Maafkanlah Kak Nani, Putraku. Ibu kandungmu. Tak seharusnya ia mendapat hukuman seperti ini." Ibuku menatapku. Mata bening yang sedari tadi ingin kulihat meneteskan air mata. "Ibumu melakukan ini semua ada alasannya."


"Apa, Bu?" tanyaku mengejar penjelasannya. "Apa saya salah jika aku tak menerimanya sebagai ibu? Kemana ia ketika aku ingin menyusu darinya? Kemana ia ketika aku ingin belajar berjalan? Ketika hari pertama aku sekolah? Ketika aku mulai merasakan jatuh cinta? Kemana perempuan itu?" Aku berjalan ke arah jendela. Memandang tanaman-tanaman yang kuharap bisa menyejukkan hatiku. Tak berhasil.

"Engkaulah yang mengajariku berjalan. Engkaulah yang mengantarku ketika hari pertama sekolah. Engkaulah yang pantas untuk kupanggil ibu. Dan di bawah telapak kakimulah surga untukku." Aku memandang ibuku yang duduk di atas tempat tidurku. Ia menatapku tapi tatapannya kosong. Pipinya semakin basah oleh air mata.
"Maafkan aku, Bu. Sepertinya waktu seminggu belum bisa menghapus kesalahannya meninggalkanku selama dua puluh satu tahun." Aku berjalan keluar kamarku.

"Tunggu, Nak! Ibu masih ingin bicara. Setelah ibu bicara, ibu tidak akan memaksa untuk memaafkan Kak Nani. Ibu serahkan semuanya kepadamu." Matanya yang masih berkaca-kaca menahan langkahku.


* iqbal_haris *

Kulirik jam yang tergantung di dinding ruang depan. 11.18. Sudah lebih satu jam aku menunggunya. Kedatangan seorang perempuan yang akan kupanggil ibu.

Entahlah, aku sendiri belum yakin dengan jawaban yang akan aku katakan padanya. Aku masih belum sepenuhnya bisa memaafkannya. Meski ibuku telah menceritakan alasan kepergian perempuan itu.

Setelah dua tahun pernikahan mereka, ayahku menjadikan ibuku sebagai tumbal atas hutang-hutangnya. Usaha kecil yang berusaha dirintisnya bangkrut. Ayah menjadi seperti monster bagi ibu. Masalah sepele selalu dibesar-besarkan. Ibuku akhirnya kabur saat dirinya berbadan dua. Awalnya ibu ketakutan berpikir anak yang dikandungnya adalah hasil hubungannya dengan rekan kerja suaminya. Tapi, ketika anak yang dikandungnya lahir, ibu yakin bahwa ia adalah anak suaminya. Menurut ibuku wajahku sangat mirip dengan wajah ayahku.

Merasa dirinya bukanlah perempuan yang baik karena dirinya telah jadi tumbal, ia menyerahkanku pada adiknya. Ibu yang selama ini menjaganya. Menjaga anak yang akhirnya di aqiqahi dengan nama Ahmad Firdaulana.

Ibuku muncul dari ruang belakang. Kutatap ia yang berjalan menyongsongku.

"Kau yakin dengan keputusanmu?" tanya ibuku. Pandangannya teduh menatapku. Mata beningnya memancarkan kehangatan. Mengalirkan kekuatan untukku. "Ibu tahu bahwa dirimu belum sepenuhnya bisa memaafkan ibumu. Tapi, dengan kau buka sedikit saja ruang keikhlasan di hatimu menerima alasannya menitipkanmu padaku adalah awal yang baik," lanjutnya masih menatapku.

"Sepertinya keputusanku salah, Bunda. Apa ini keseriusan memintaku untuk mengakuinya sebagai ibu? Sudah berapa jam aku menunggunya? Kemana perempuan itu jika ia benar-benar tulus meminta maaf kepadaku?" aku menatap mata beningnya. Mengharap ketenangan.


"Sabarlah. Berpikirlah tentang sebuah halangan yang membuatnya terlambat. Bunda tahu siapa Kak Nani dan begitu berharapnya dia kamu mau mengakuinya dan memaafkannya..."
"Dengan membuatk menunggu?" kejarku menaikkan suaraku.


"Maaf," kataku menunduk, menyadari tak sepantasnya aku menaikkan suaraku.

Tiba-tiba ibuku beranjak ke dalam kamarnya, meninggalkanku. Mungkin ia kecewa dengan nada suaraku yang tinggi. Hah, benar-benar perempuan itu telah merusak hidupku.

Kembali kul
irik jam yang tergantung di dinding. 12.06. Sepertinya perempuan itu cuma mempermainkanku. Sudah dua jam
aku menunggunya.

Selewat beberapa menit ibuku keluar dari dalam kamarnya. Menjajari dudukku dan menyodorkan sebuah amplop padaku. "Bacalah! Sepertinya ibumu takkan datang," katanya sambil menggenggamkan amplop yang dipegangnya. "Apa ini?" tanyaku.

 
"Seminggu yang lalu ketika ibumu datang, ia menitipkan surat ini pada Bunda. Katanya, kalau lebih dari jam dua belas ia belum datang surat inilah penggantinya." katanya menjelaskan. "Sial! ternyata perempuan sialan itu mempermainkanku." kataku mengumpat.

 
Sedetik kemudian sebuah tamparan keras mendarat di pipiku.

 
"Jangan pernah bicara seperti itu kepada orang yang di bawah telapak kakinya ada surga untukmu."

 
"Bunda, apa yang salah pada ucapanku? Jika memang dia mengharap aku mengakuinya sebagai ibu, mengapa cuma ini usahanya?"

 
"Bacalah surat itu dulu! Ibumu benar-benar tak yakin kamu mau memaafkannya hingga cuma ini yang bisa ia lakukan. Ia berjanji takkan lagi muncul di kehidupanmu kelak dan ia minta maaf jika ia tiba-tiba mengacaukan dan mengusik hidupmu seminggu ini." Airmatanya tumpah. Mata bening itu menangis. Dan aku tak kuasa untuk mengusap dan menghapusnya.

 
"Jika memang kamu tak bisa memaafkannya, permintaan terakhir ibumu cuma satu. Kamu mau membaca surat itu." Ibuku kembali beranjak membiarkanku terpaku sambil menggenggam sebuah amplop.


Teruntuk Putraku

Putraku, izinkanlah aku memanggil dirimu dengan sebutan itu, mungkin kesalahan ibumu ini begitu besar hingga seribu kali ibu mengucap maaf masih belum bisa menghapus kesalahan itu.
Putraku, tangis airmata ini tak pernah habis menyesali keputusan ibu dahulu. Ibu selalu berharap ibu adalah orang yang kuat. Yang tak terlalu memikirkan apa yang terjadi hari kemarin. Namun, ibu bukan orang seperti.
Berulang kali ibu berusaha menghapus kejadian saat ibu di paksa memenuhi nafsu manusia bejat itu. Tapi, ibu tetap tak bisa. Ibu bertahan sampai engkau lahir. Mengharap ada jejak ayahmu pada dirimu. Yang artinya bahwa engkau adalah hasil hubungan yang suci. Harapan itu ternyata tidak sia-sia. Ada sebentuk wajah yang begitu mirip dengan ayahmu.
Keputusan menitipkanmu pada adikku, ibu yang selama ini menjagamu, akhirnya ibu ambil karena ibu benar-benar tertekan. Ibu selalu dihantui perasaan malu dan merasa hina.
Putraku, ibu tidak benar-benar pergi. Ibu selalu mengawasimu. Ibu selalu menunggumu di luar sekolahmu, ibu selalu menitipkan hadiah di hari ulang tahunmu. Dan ibu tak pernah melupakan engkau dalam setiap doa ibu.
Percayalah, ibu melakukan ini karena ibu pikir inilah yang terbaik. Ibu selalu ingin membelaimu ketika kau tertidur, begitu ingin. Tapi, inilah konsekuensi yang harus terima.
Putraku, maafkanlah kesalahan ibumu. Ibu takkan mengganggu kehidupanmu lagi. Ibu akan pergi jauh. Mungkin ini yang engkau ingin. Sekali lagi ibu minta maaf.
Titip satu tetes airmata doa.

* end *

Karena Namaku Bokat

 (Cerpen ini pernah dimuat di Harian Lokal Sijory Mandiri, Batam)


My name is Bokat. Ya, Bokat. B-O-K-A-T. Titik. Tak ada nama depan atau nama belakang. Cukup Bokat. Nama yang cukup singkat, padat dan pastinya akan memunculkan tanda tanya besar dan beragam komentar ketika orang-orang berkenalan denganku. Tapi, jangan pernah menanyakan arti nama itu padaku. Sungguh, aku sendiri benar-benar tak tahu apa arti namaku. Yang aku tahu sebatas bahwa nama adalah doa, begitu kata teman es-em-a-ku dulu.

Pernah kutanyakan perihal mengapa kedua orang tuaku memilihkan nama Bokat untukku.

"Bapak sama Ibu tak tau artinya apa. Kata Bapak nama itu begitu saja terlintas dan menurutnya unik. Makanya kami setuju memberikan nama itu padamu," begitu jawaban ibuku. Jawaban yang benar-benar tak kuinginkan dan membuat aku begitu membenci bapakku setelah itu. Tega-teganya beliau memberikan nama itu hanya karena nama itu unik. Tak ada doa, tak ada pengharapan dan tak ada keinginan apapun kepadaku. Benar, nama adalah doa dan doa bapakku adalah aku jadi anak yang unik. Tak ada yang lain.

Selama beberapa hari kemudian aku membungkam mulutku untuk tidak berbicara dengan bapakku. Aku melakukan itu sebagai tindakan protes. Tapi, sikap bapak tetap biasa. Tak ada sinyal bahwa beliau akan mengganti namaku.

"Nak, bukan begini caranya," kata ibu yang sepertinya sudah tak tahan dengan tindakanku. "Ibu dan bapakmu tidak begitu saja memberikan nama itu padamu." Hm, naluri seorang ibu memang benar-benar tajam. Beliau tahu bahwa kediamanku beberapa hari ini adalah sebagai tindakan protesku mengapa namaku Bokat. "Ada banyak doa yang kami selipkan pada nama itu. Kami memang tidak tahu arti sebenarnya dari nama Bokat. Tapi, dengan tidak taunya kami, justru bapak dan ibumu bebas mengartikan doa kebaikan. Kami menganggap arti Bokat adalah anak yang baik, penurut, rajin dan segala arti nama yang baik adalah arti nama bokat. Jadi, jangan hukum bapakmu karena telah memberimu nama Bokat." itulah jawaban yang kuinginkan. Ya, ternyata benar-benar ada doa dari namaku.

"Hoi, kamu mau kerja apa mau ngelamun?" teguran dari Bosku menghentikan lamunanku. Aduh, pasti kena marah.

*iqbal_haris*

Kulemparkan begitu saja tubuhku di atas tempat tidur. Lelah yang kurasa, tempat tidur yang tak terlalu nyaman serta kejadian tadi siang di tempatku bekerja membuat kamar kos sempit ini menjadi terasa semakin sempit.

Kupandangi langit-langit kamar dan pandanganku akhirnya menerobos jauh ke waktu dimana aku memutuskan untuk merantau ke kota Batam ini.

"Ati-ati di negeri orang, Le. Jaga sikap dan jaga lidahmu. Kamu di sana kan tak ada saudara. Jangan tinggalin sholatmu dan jangan lupa selalu berdoa. Ibu dan bapak berharap kamu jadi orang yg berhasil."

Ternyata memang berat hidup di perantauan. Meskipun sudah bekerja, aku tetap kesulitan untuk mengatur gajiku. Bayar kontrakan, uang makan, transport ke tempat kerja, juga tentu saja aku harus mengirimkan uang untuk ibu bapakku di kampung. Kadang akupun harus berhutang untuk menambal kekurangan.

Dua hari yang lalu Pakde Mardi mengirim kabar bapak sakit-sakitan. Ibu memintaku agar bisa mengirimkan uang secepatnya karena simpanan ibu ditambah bantuan dari Pakde Mardi masih belum cukup. Aku bingung. Gaji bulan ini sepertinya tidak akan cukup buat biaya hidupku selama sebulan ke depan. Mana uang kontrakan bulan kemarin separuhnya belum dibayar.

Ya Allah, aku begitu hafal bahwa Engkau takkan memberikan ujian di luar batas kemampuan hambaMu. Tapi, saat ini hamba benar-benar tak kuat.

Tiba-tiba handphone di kantong celanaku bergetar. Sebuah sms kuterima dan membuat pikiranku semakin tak keruan.

Kat, uAng yG kaU
piNjam 3 buLan yg laLu
uDah ada? aKu butUh bgd nEch

Astaghfirullah, ternyata aku masih punya hutang sama teman sekerjaku dan aku janji bulan ini harus kukembalikan. Ya Allah, hamba benar-benar tak kuat.

*iqbal_haris*

Kuhitung ulang uang yg ada di tanganku. Penjaga konter hape di depanku cuma memperhatikanku sembari tersenyum memberikan keramahan. Akhirnya kuputuskan untuk menjual hapeku satu-satunya dan kuharap pengeluaran bulan ini bisa tercukupi.

"Makasih, mas. Pas," kataku kepada penjaga konter. Kumasukkan uang hasil penjualan hape ke dalam dompet.

Sedetik kemudian aku beranjak dan kuputuskan membawa kakiku langsung ke kantor pos. Aku harus mengirimkan uang ini untuk pengobatan bapak.

Sepanjang perjalanan pikiranku terus berputar memikirkan darimana aku bisa mengembalikan uang temanku. Aku tak boleh menyerah. Ya, aku tak boleh menyerah karena namaku Bokat. Bokat yang saat ini kuartikan aku harus bertahan dan tak boleh menyerah.

 *iqbal_haris*
 
Aku berjalan menelusuri sebuah gang kecil menuju kantor pos. Pikiranku masih tak keruan. Peluh menetes satu-satu membasahi keningku. Di depanku seorang ibu berjalan kepayahan menenteng barang belanjaannya. Kuperhatikan terus ibu itu tanpa terpikir olehku untuk membantunya. Padahal, aku tahu ibu itu membutuhkan seseorang untuk membantu membawa barang belanjaannya. Tangan kanan kirinya penuh membawa bungkusan plastic yang aku sendiri tak tahu apa isinya.

Terus kuperhatikan ibu paruh baya itu dan pandanganku akhirnya terpaku pada benda yg ia selipkan di ketiaknya. Tiba-tiba terbersit niat jahat untuk mengambil benda itu.

"Ambil saja dompet itu. Kamu bias gunakan untuk membayar hutang ke temenmu. Ayo! Tunggu apa lagi. Ambil! Liat gang ini sepi."

Kemudian pikiran baikku mencoba mengatakan sesuatu.

"Jangan! Pikirkan apa yg akan terjadi jika kamu tertangkap oleh masa."

"Alah, nggak mungkin. Nggak ada orang di gang ini."

"Jangan. Pikirkan resikonya."

Aku benar-benar tak sadar, sejurus kemudian dompet yang tadi terselip di ketiak ibu paruh baya itu sudah ada di tanganku. Ya, pikiran jahatku yang menang. Aku berlari mengerahkan seluruh tenagaku menjauh dari gang. Kulihat di belakangku ibu itu mengejarku sambil tetap membawa barang belanjaannya. Seorang pemuda yang sedang duduk di depan rumahnya ikut mengejarku ketika ibu itu meneriakkan kata maling. Kemudian dua, lima, dan terus bertambah orang-orang yang mengejarku.

Aku terus berlari dan berusaha menambah kecepatanku. Tak peduli keringat mengalir deras membasahi bajuku. Yang kuinginkan saat ini aku bisa lolos dari kejaran orang-orang yg siap menghajarku.

* iqbal_haris *

Bajuku benar-benar basah. Lariku semakin lama semakin melambat. Aku sudah berlari keluar gang. Dan orang-orang yang tak tahu apa yang telah kuperbuat cuma melihatku. Namun, ketika orang-orang yang sudah lebih dulu siap menghajarku keluar gang, orang-orang tak tahu itupun ikut-ikutan mengejarku.

Aku menambah kecepatanku berlari. Sia-sia. Tenagaku sudah hampir habis. Aku yang tak terbiasa olahraga berlari ngos-ngosan. Kulihat sekali lagi orang-orang di belakang. Sudah tak terhitung berapa banyak orang yg telah siap menghakimiku.

Aku terus berlari. Berlari dan berlari. Dadaku terasa sakit. Kemudian kulihat ada sebuah jalan kecil masuk ke arah kanan. Dan. . .

Sial. Benar-benar malang tak dapat di hindari. Sebuah motor dari jalan kecil menabrakku. Aku limbung dan tubuhku terpelanting.

* iqbal_haris *

Kutundukkan kepalaku. Aku tak berani menatap orang-orang yang mengelilingiku. Bibir bawah dan pelipis kananku berdarah akibat pukulan salah satu dari mereka. Memang malang nasibku. Gara-gara motor sialan itu akhirnya aku tak bias lolos.

"Kita bakar saja dia," kata pemuda yg pertama kali mengejarku.

"Iya. Kita bakar aja biar mampus," timpal seseorang yang lain.

Aku tetap tak berani mengangkat wajahku. Nyaliku menciut melihat orang-orang yang ada di kanan kiriku. "tolong ampuni saya. ini pertama kalinya..." belum selesai aku berkata untuk meminta ampun seseorang memukulku lagi.

"Enak aja minta ampun. Ayo, hajar dia." Seorang lelaki tua langsung mencengkram kerah bajuku, mengangkatku dan meninju perutku. Aku meringis menahan sakit.

"Ini lagi," belum hilang rasa sakit akibat pukulan yang pertama lelaki tua itu meninjuku. Lagi. Lebih kuat.

Aku memegangi perutku sambil terus menahan sakit yang semakin menjadi. Tiba-tiba airmataku tumpah. Aku malu sama diriku sendiri. Bayangan kedua orang tuaku ketika melepas kepergianku seperti pita kaset yang kuputar ulang. Begitu nyata.

* iqbal_haris *

Aku masih menunduk. Tak berani menatap orang-orang yang seperti pemburu menangkap buruannya. Siap menyantapku. Suara orang-orang yang ingin membakarku masih terdengar. Tak ada satupun yang membelaku. Setidaknya membawaku ke kantor polisi bagiku lebih baik daripada aku di bakar hidup-hidup. Ya Allah, maafkan aku. Tolong jangan ambil nyawaku dalam keadaan berdosa seperti ini. Aku menyesal.

Darah dari bibirku kembali menetes. Airmataku semakin deras menyesali apa yang telah kulakukan. Bayangan kedua orang tuaku tak mau hilang. Aku memeluk kedua lututku dan membenamkan wajahku.

Tiba-tiba sebuah tangan menarik rambutku lalu mencengkram kerah bajuku. Kuat.

"Jadi ini jagoannya, hah? Berani-beraninya kamu mencuri dompet ibuku." Aku memandang pemuda berkacamata yang menatapku bengis. Tanganku berusaha melepas cengkeraman tangannya yang begitu kuat. Perempuan paruh baya yang dompetnya telah kuambil berdiri di belakangnya. Wajahnya mengingatkanku akan ibuku.

"Radit, lepas! Jangan main hakim sendiri. Serahkan semua sama pihak yang berwajib."

"Nggak, Bu. Aku pengen tau seberapa hebat jagoan ini hingga berani jadi jambret." Cengkeraman Radit, pemuda berkacamata itu, semakin kuat. Aku hampir tak bisa bernafas. Satu tinjuan ia labuhkan di perutku. Tanganku berbagi tugas. Memegangi perutku yang sakit dan berusaha mengendurkan cengkeraman Radit. Terlalu kuat.

Aku terus berusaha menarik tangan Radit dengan kedua tanganku. Tak Berhasil. Sepertinya tenaganya lebih kuat dariku. Tentu saja. Tenagaku telah terkuras habis untuk berlari. Aku menyerah.

“Jadi, cuma segini aja, hah? Yah, liat bapak-bapak, ibu-ibu! Jagoan ini menangis. Rasakan ini.” Radit meninju pipiku. Lagi, lagi, dan lagi-lagi. Dua gigi bawahku patah. Pandanganku kabur dan darah menetes deras dari mulutku. Kurasakan cengkeraman tangan Radit mengendur. Tubuhku ambruk dan mataku benar-benar sudah tak bisa kubuka. Pandanganku semakin kabur dan kepalaku terasa berat dan aku sudah tak bisa merasakan apa-apa.

“Nak, tolong bantuin ibu membawa barang belanjaan ini. Bisa tak?” Aku terkejut. Aku mengusap mukaku. Tak ada darah ataupun bekas pukulan. Bahkan tubuhku masih kuat kalau harus berjalan atau berlari sejauh satu kilo. Aku kembali mengusap wajahku.

“Alhamdulillah, ternyata aku cuma berkhayal. Ya, aku takkan melakukan itu. Tak akan. Aku tak mau mengotori kepercayaan yang diberikan kedua orang tuaku. Aku tak mau memakan apa yang bukan milikku dan haram karena namaku Bokat. Nama yang penuh doa kebaikan.”