Technology

Pages

Minggu, Januari 20, 2013

Sepenggal Episode Aku dan Ibu


Aku terhenyak. Pikirku tak jua bisa mengalihkan apa yang saat ini membuatku ingin pergi jauh. Berlari jauh ke ujung dunia ini. Menjauh dari tempat yang saat ini kupijak. Kalau bisa aku ingin menenggelamkan tubuhku ke dalam bumi. Sejenak. Menghilangkan penat yang muncul sejak kedatangan perempuan itu. Ya, seminggu yang lalu. Seminggu yang terasa begitu lama karena aku benar-benar memikirkannya. Seminggu yang kujanjikan jawaban atas apa yang ia minta dariku. Seminggu yang membuatku seperti orang gila. Seminggu yang membuat seorang Firdaulana di cap orang yang temperamen di tempat kerjanya. Hah, seminggu.

* iqbal_haris *

Aku terus memperhatikannya. Menjelajah dari ujung kaki sampai bagian tubuhnya yang terbalut jilbab panjang berwarna coklat. Sudah lima belas menit. Namun,
perempuan di depanku tetap saja menundukkan wajahnya. Sedari tadi ia hanya diam tanpa mengatakan apapun. Hanya isakannya yang terdengar. Lirih.

Sejenak ia terlihat akan mengatakan sesuatu. Tapi, kembali tak kudengar suara dari mulutnya.

Di sela-sela keheningan itu tiba-tiba seorang perempuan paruh baya keluar dari kamar, Ibuku. Yang sejak kedatangan perempuan asing di depanku ini, meninggalkanku hanya berdua dengannya. "Katakanlah yang sebenarnya, Kak Nani. Dia berhak tau semuanya!" Ibuku menjajari perempuan itu dan membelai pundaknya.

Kupandangi kedua perempuan yang ada di depanku. Wajah ibuku tak jauh beda dengan perempuan di sebelahnya. Hanya saja perempuan yang bernama Nani lebih kurus dan wajahnya terlihat pucat.

"Bicaralah!" Ibuku menggenggam tangannya.

"Engkau adalah anakku. Anak kandungku. Engkau adalah anak yang lahir dari rahimku dan..." perempuan itu berhenti dan terisak di pelukan ibuku. Ibuku membelai jilbabnya. Sedang aku hanya bisa menatap keduanya tanpa bisa mengatakan apa-apa. Bibirku terkatup rapat. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan dan kukatakan. Terpaku pada sebuah kenyataan bahwa perempuan asing berjilbab coklat itu adalah ibuku. Ibu kandungku.

Aku berdiri. Menjauh dari tempat tidurku mendekat ke arah jendela. Sesaat aku ingin memecahkan kaca jendela itu sebagai pelampiasan. Untung pikir sehat ini masih menahannya.

Kupandangi halaman rumahku. Menerobos kaca jendelaku. Halaman rumah yang begitu sempit tapi terlihat menyejukkan mata hatiku. Ibuku, lebih tepatnya orang yang mengasuhku, yang selama ini kuanggap sebagai ibu dan selamanya dia adalah ibuku, menanam beberapa tanaman dalam pot yang sedikit banyak mengurangi kepenatan yang kurasa. Sesekali titik-titik embun masih menetes dari dedaunanan. Menimbulkan irama merdu menemani keheningan pagi ini.

Langit masih terlihat muram. Mendung menggayut manja membuat aktifitas pagi di jalan depan rumahku hari ini tak terlihat seperti biasanya.

Pikiranku kembali merasa sendu ketika kuingat hari ini adalah waktunya. Hari yang tak ingin kutemui sejak seminggu yang lalu. Perempuan itu hari ini akan datang. Meminta jawaban atas permohonan maaf yang ia utarakan, meminta kasih sayang yang sepenuhnya telah kuberikan untuk orang yang selama ini menjagaku, dan tentu saja meminta ruang di hatiku untuk memanggilnya ibu.

Aku belum tahu apa yang akan kulakukan. Aku belum tahu apa yang akan kusampaikan. Aku belum bisa menerima kenyataan ini. Aku belum bisa menerima kehadiran ibu kedua yang sangat asing bagiku. Meski ia adalah ibu kandungku.

Mengapa ia tiba-tiba hadir dan mengacaukan kehidupanku? Mengapa ia dulu meninggalkanku? Memberikanku kepada adiknya dan pergi entah kemana?

* iqbal_haris *

Kupandangi perempuan yang ada di depanku. Matanya sendu. Wajahnya yang terbungkus jilbab tak secerah biasa. Ia menunduk tanpa menatapku. Padahal, aku benar-benar ingin menatap matanya. Bagian dari wajahnya yang paling kusukai.

"Maafkanlah Kak Nani, Putraku. Ibu kandungmu. Tak seharusnya ia mendapat hukuman seperti ini." Ibuku menatapku. Mata bening yang sedari tadi ingin kulihat meneteskan air mata. "Ibumu melakukan ini semua ada alasannya."


"Apa, Bu?" tanyaku mengejar penjelasannya. "Apa saya salah jika aku tak menerimanya sebagai ibu? Kemana ia ketika aku ingin menyusu darinya? Kemana ia ketika aku ingin belajar berjalan? Ketika hari pertama aku sekolah? Ketika aku mulai merasakan jatuh cinta? Kemana perempuan itu?" Aku berjalan ke arah jendela. Memandang tanaman-tanaman yang kuharap bisa menyejukkan hatiku. Tak berhasil.

"Engkaulah yang mengajariku berjalan. Engkaulah yang mengantarku ketika hari pertama sekolah. Engkaulah yang pantas untuk kupanggil ibu. Dan di bawah telapak kakimulah surga untukku." Aku memandang ibuku yang duduk di atas tempat tidurku. Ia menatapku tapi tatapannya kosong. Pipinya semakin basah oleh air mata.
"Maafkan aku, Bu. Sepertinya waktu seminggu belum bisa menghapus kesalahannya meninggalkanku selama dua puluh satu tahun." Aku berjalan keluar kamarku.

"Tunggu, Nak! Ibu masih ingin bicara. Setelah ibu bicara, ibu tidak akan memaksa untuk memaafkan Kak Nani. Ibu serahkan semuanya kepadamu." Matanya yang masih berkaca-kaca menahan langkahku.


* iqbal_haris *

Kulirik jam yang tergantung di dinding ruang depan. 11.18. Sudah lebih satu jam aku menunggunya. Kedatangan seorang perempuan yang akan kupanggil ibu.

Entahlah, aku sendiri belum yakin dengan jawaban yang akan aku katakan padanya. Aku masih belum sepenuhnya bisa memaafkannya. Meski ibuku telah menceritakan alasan kepergian perempuan itu.

Setelah dua tahun pernikahan mereka, ayahku menjadikan ibuku sebagai tumbal atas hutang-hutangnya. Usaha kecil yang berusaha dirintisnya bangkrut. Ayah menjadi seperti monster bagi ibu. Masalah sepele selalu dibesar-besarkan. Ibuku akhirnya kabur saat dirinya berbadan dua. Awalnya ibu ketakutan berpikir anak yang dikandungnya adalah hasil hubungannya dengan rekan kerja suaminya. Tapi, ketika anak yang dikandungnya lahir, ibu yakin bahwa ia adalah anak suaminya. Menurut ibuku wajahku sangat mirip dengan wajah ayahku.

Merasa dirinya bukanlah perempuan yang baik karena dirinya telah jadi tumbal, ia menyerahkanku pada adiknya. Ibu yang selama ini menjaganya. Menjaga anak yang akhirnya di aqiqahi dengan nama Ahmad Firdaulana.

Ibuku muncul dari ruang belakang. Kutatap ia yang berjalan menyongsongku.

"Kau yakin dengan keputusanmu?" tanya ibuku. Pandangannya teduh menatapku. Mata beningnya memancarkan kehangatan. Mengalirkan kekuatan untukku. "Ibu tahu bahwa dirimu belum sepenuhnya bisa memaafkan ibumu. Tapi, dengan kau buka sedikit saja ruang keikhlasan di hatimu menerima alasannya menitipkanmu padaku adalah awal yang baik," lanjutnya masih menatapku.

"Sepertinya keputusanku salah, Bunda. Apa ini keseriusan memintaku untuk mengakuinya sebagai ibu? Sudah berapa jam aku menunggunya? Kemana perempuan itu jika ia benar-benar tulus meminta maaf kepadaku?" aku menatap mata beningnya. Mengharap ketenangan.


"Sabarlah. Berpikirlah tentang sebuah halangan yang membuatnya terlambat. Bunda tahu siapa Kak Nani dan begitu berharapnya dia kamu mau mengakuinya dan memaafkannya..."
"Dengan membuatk menunggu?" kejarku menaikkan suaraku.


"Maaf," kataku menunduk, menyadari tak sepantasnya aku menaikkan suaraku.

Tiba-tiba ibuku beranjak ke dalam kamarnya, meninggalkanku. Mungkin ia kecewa dengan nada suaraku yang tinggi. Hah, benar-benar perempuan itu telah merusak hidupku.

Kembali kul
irik jam yang tergantung di dinding. 12.06. Sepertinya perempuan itu cuma mempermainkanku. Sudah dua jam
aku menunggunya.

Selewat beberapa menit ibuku keluar dari dalam kamarnya. Menjajari dudukku dan menyodorkan sebuah amplop padaku. "Bacalah! Sepertinya ibumu takkan datang," katanya sambil menggenggamkan amplop yang dipegangnya. "Apa ini?" tanyaku.

 
"Seminggu yang lalu ketika ibumu datang, ia menitipkan surat ini pada Bunda. Katanya, kalau lebih dari jam dua belas ia belum datang surat inilah penggantinya." katanya menjelaskan. "Sial! ternyata perempuan sialan itu mempermainkanku." kataku mengumpat.

 
Sedetik kemudian sebuah tamparan keras mendarat di pipiku.

 
"Jangan pernah bicara seperti itu kepada orang yang di bawah telapak kakinya ada surga untukmu."

 
"Bunda, apa yang salah pada ucapanku? Jika memang dia mengharap aku mengakuinya sebagai ibu, mengapa cuma ini usahanya?"

 
"Bacalah surat itu dulu! Ibumu benar-benar tak yakin kamu mau memaafkannya hingga cuma ini yang bisa ia lakukan. Ia berjanji takkan lagi muncul di kehidupanmu kelak dan ia minta maaf jika ia tiba-tiba mengacaukan dan mengusik hidupmu seminggu ini." Airmatanya tumpah. Mata bening itu menangis. Dan aku tak kuasa untuk mengusap dan menghapusnya.

 
"Jika memang kamu tak bisa memaafkannya, permintaan terakhir ibumu cuma satu. Kamu mau membaca surat itu." Ibuku kembali beranjak membiarkanku terpaku sambil menggenggam sebuah amplop.


Teruntuk Putraku

Putraku, izinkanlah aku memanggil dirimu dengan sebutan itu, mungkin kesalahan ibumu ini begitu besar hingga seribu kali ibu mengucap maaf masih belum bisa menghapus kesalahan itu.
Putraku, tangis airmata ini tak pernah habis menyesali keputusan ibu dahulu. Ibu selalu berharap ibu adalah orang yang kuat. Yang tak terlalu memikirkan apa yang terjadi hari kemarin. Namun, ibu bukan orang seperti.
Berulang kali ibu berusaha menghapus kejadian saat ibu di paksa memenuhi nafsu manusia bejat itu. Tapi, ibu tetap tak bisa. Ibu bertahan sampai engkau lahir. Mengharap ada jejak ayahmu pada dirimu. Yang artinya bahwa engkau adalah hasil hubungan yang suci. Harapan itu ternyata tidak sia-sia. Ada sebentuk wajah yang begitu mirip dengan ayahmu.
Keputusan menitipkanmu pada adikku, ibu yang selama ini menjagamu, akhirnya ibu ambil karena ibu benar-benar tertekan. Ibu selalu dihantui perasaan malu dan merasa hina.
Putraku, ibu tidak benar-benar pergi. Ibu selalu mengawasimu. Ibu selalu menunggumu di luar sekolahmu, ibu selalu menitipkan hadiah di hari ulang tahunmu. Dan ibu tak pernah melupakan engkau dalam setiap doa ibu.
Percayalah, ibu melakukan ini karena ibu pikir inilah yang terbaik. Ibu selalu ingin membelaimu ketika kau tertidur, begitu ingin. Tapi, inilah konsekuensi yang harus terima.
Putraku, maafkanlah kesalahan ibumu. Ibu takkan mengganggu kehidupanmu lagi. Ibu akan pergi jauh. Mungkin ini yang engkau ingin. Sekali lagi ibu minta maaf.
Titip satu tetes airmata doa.

* end *

Karena Namaku Bokat

 (Cerpen ini pernah dimuat di Harian Lokal Sijory Mandiri, Batam)


My name is Bokat. Ya, Bokat. B-O-K-A-T. Titik. Tak ada nama depan atau nama belakang. Cukup Bokat. Nama yang cukup singkat, padat dan pastinya akan memunculkan tanda tanya besar dan beragam komentar ketika orang-orang berkenalan denganku. Tapi, jangan pernah menanyakan arti nama itu padaku. Sungguh, aku sendiri benar-benar tak tahu apa arti namaku. Yang aku tahu sebatas bahwa nama adalah doa, begitu kata teman es-em-a-ku dulu.

Pernah kutanyakan perihal mengapa kedua orang tuaku memilihkan nama Bokat untukku.

"Bapak sama Ibu tak tau artinya apa. Kata Bapak nama itu begitu saja terlintas dan menurutnya unik. Makanya kami setuju memberikan nama itu padamu," begitu jawaban ibuku. Jawaban yang benar-benar tak kuinginkan dan membuat aku begitu membenci bapakku setelah itu. Tega-teganya beliau memberikan nama itu hanya karena nama itu unik. Tak ada doa, tak ada pengharapan dan tak ada keinginan apapun kepadaku. Benar, nama adalah doa dan doa bapakku adalah aku jadi anak yang unik. Tak ada yang lain.

Selama beberapa hari kemudian aku membungkam mulutku untuk tidak berbicara dengan bapakku. Aku melakukan itu sebagai tindakan protes. Tapi, sikap bapak tetap biasa. Tak ada sinyal bahwa beliau akan mengganti namaku.

"Nak, bukan begini caranya," kata ibu yang sepertinya sudah tak tahan dengan tindakanku. "Ibu dan bapakmu tidak begitu saja memberikan nama itu padamu." Hm, naluri seorang ibu memang benar-benar tajam. Beliau tahu bahwa kediamanku beberapa hari ini adalah sebagai tindakan protesku mengapa namaku Bokat. "Ada banyak doa yang kami selipkan pada nama itu. Kami memang tidak tahu arti sebenarnya dari nama Bokat. Tapi, dengan tidak taunya kami, justru bapak dan ibumu bebas mengartikan doa kebaikan. Kami menganggap arti Bokat adalah anak yang baik, penurut, rajin dan segala arti nama yang baik adalah arti nama bokat. Jadi, jangan hukum bapakmu karena telah memberimu nama Bokat." itulah jawaban yang kuinginkan. Ya, ternyata benar-benar ada doa dari namaku.

"Hoi, kamu mau kerja apa mau ngelamun?" teguran dari Bosku menghentikan lamunanku. Aduh, pasti kena marah.

*iqbal_haris*

Kulemparkan begitu saja tubuhku di atas tempat tidur. Lelah yang kurasa, tempat tidur yang tak terlalu nyaman serta kejadian tadi siang di tempatku bekerja membuat kamar kos sempit ini menjadi terasa semakin sempit.

Kupandangi langit-langit kamar dan pandanganku akhirnya menerobos jauh ke waktu dimana aku memutuskan untuk merantau ke kota Batam ini.

"Ati-ati di negeri orang, Le. Jaga sikap dan jaga lidahmu. Kamu di sana kan tak ada saudara. Jangan tinggalin sholatmu dan jangan lupa selalu berdoa. Ibu dan bapak berharap kamu jadi orang yg berhasil."

Ternyata memang berat hidup di perantauan. Meskipun sudah bekerja, aku tetap kesulitan untuk mengatur gajiku. Bayar kontrakan, uang makan, transport ke tempat kerja, juga tentu saja aku harus mengirimkan uang untuk ibu bapakku di kampung. Kadang akupun harus berhutang untuk menambal kekurangan.

Dua hari yang lalu Pakde Mardi mengirim kabar bapak sakit-sakitan. Ibu memintaku agar bisa mengirimkan uang secepatnya karena simpanan ibu ditambah bantuan dari Pakde Mardi masih belum cukup. Aku bingung. Gaji bulan ini sepertinya tidak akan cukup buat biaya hidupku selama sebulan ke depan. Mana uang kontrakan bulan kemarin separuhnya belum dibayar.

Ya Allah, aku begitu hafal bahwa Engkau takkan memberikan ujian di luar batas kemampuan hambaMu. Tapi, saat ini hamba benar-benar tak kuat.

Tiba-tiba handphone di kantong celanaku bergetar. Sebuah sms kuterima dan membuat pikiranku semakin tak keruan.

Kat, uAng yG kaU
piNjam 3 buLan yg laLu
uDah ada? aKu butUh bgd nEch

Astaghfirullah, ternyata aku masih punya hutang sama teman sekerjaku dan aku janji bulan ini harus kukembalikan. Ya Allah, hamba benar-benar tak kuat.

*iqbal_haris*

Kuhitung ulang uang yg ada di tanganku. Penjaga konter hape di depanku cuma memperhatikanku sembari tersenyum memberikan keramahan. Akhirnya kuputuskan untuk menjual hapeku satu-satunya dan kuharap pengeluaran bulan ini bisa tercukupi.

"Makasih, mas. Pas," kataku kepada penjaga konter. Kumasukkan uang hasil penjualan hape ke dalam dompet.

Sedetik kemudian aku beranjak dan kuputuskan membawa kakiku langsung ke kantor pos. Aku harus mengirimkan uang ini untuk pengobatan bapak.

Sepanjang perjalanan pikiranku terus berputar memikirkan darimana aku bisa mengembalikan uang temanku. Aku tak boleh menyerah. Ya, aku tak boleh menyerah karena namaku Bokat. Bokat yang saat ini kuartikan aku harus bertahan dan tak boleh menyerah.

 *iqbal_haris*
 
Aku berjalan menelusuri sebuah gang kecil menuju kantor pos. Pikiranku masih tak keruan. Peluh menetes satu-satu membasahi keningku. Di depanku seorang ibu berjalan kepayahan menenteng barang belanjaannya. Kuperhatikan terus ibu itu tanpa terpikir olehku untuk membantunya. Padahal, aku tahu ibu itu membutuhkan seseorang untuk membantu membawa barang belanjaannya. Tangan kanan kirinya penuh membawa bungkusan plastic yang aku sendiri tak tahu apa isinya.

Terus kuperhatikan ibu paruh baya itu dan pandanganku akhirnya terpaku pada benda yg ia selipkan di ketiaknya. Tiba-tiba terbersit niat jahat untuk mengambil benda itu.

"Ambil saja dompet itu. Kamu bias gunakan untuk membayar hutang ke temenmu. Ayo! Tunggu apa lagi. Ambil! Liat gang ini sepi."

Kemudian pikiran baikku mencoba mengatakan sesuatu.

"Jangan! Pikirkan apa yg akan terjadi jika kamu tertangkap oleh masa."

"Alah, nggak mungkin. Nggak ada orang di gang ini."

"Jangan. Pikirkan resikonya."

Aku benar-benar tak sadar, sejurus kemudian dompet yang tadi terselip di ketiak ibu paruh baya itu sudah ada di tanganku. Ya, pikiran jahatku yang menang. Aku berlari mengerahkan seluruh tenagaku menjauh dari gang. Kulihat di belakangku ibu itu mengejarku sambil tetap membawa barang belanjaannya. Seorang pemuda yang sedang duduk di depan rumahnya ikut mengejarku ketika ibu itu meneriakkan kata maling. Kemudian dua, lima, dan terus bertambah orang-orang yang mengejarku.

Aku terus berlari dan berusaha menambah kecepatanku. Tak peduli keringat mengalir deras membasahi bajuku. Yang kuinginkan saat ini aku bisa lolos dari kejaran orang-orang yg siap menghajarku.

* iqbal_haris *

Bajuku benar-benar basah. Lariku semakin lama semakin melambat. Aku sudah berlari keluar gang. Dan orang-orang yang tak tahu apa yang telah kuperbuat cuma melihatku. Namun, ketika orang-orang yang sudah lebih dulu siap menghajarku keluar gang, orang-orang tak tahu itupun ikut-ikutan mengejarku.

Aku menambah kecepatanku berlari. Sia-sia. Tenagaku sudah hampir habis. Aku yang tak terbiasa olahraga berlari ngos-ngosan. Kulihat sekali lagi orang-orang di belakang. Sudah tak terhitung berapa banyak orang yg telah siap menghakimiku.

Aku terus berlari. Berlari dan berlari. Dadaku terasa sakit. Kemudian kulihat ada sebuah jalan kecil masuk ke arah kanan. Dan. . .

Sial. Benar-benar malang tak dapat di hindari. Sebuah motor dari jalan kecil menabrakku. Aku limbung dan tubuhku terpelanting.

* iqbal_haris *

Kutundukkan kepalaku. Aku tak berani menatap orang-orang yang mengelilingiku. Bibir bawah dan pelipis kananku berdarah akibat pukulan salah satu dari mereka. Memang malang nasibku. Gara-gara motor sialan itu akhirnya aku tak bias lolos.

"Kita bakar saja dia," kata pemuda yg pertama kali mengejarku.

"Iya. Kita bakar aja biar mampus," timpal seseorang yang lain.

Aku tetap tak berani mengangkat wajahku. Nyaliku menciut melihat orang-orang yang ada di kanan kiriku. "tolong ampuni saya. ini pertama kalinya..." belum selesai aku berkata untuk meminta ampun seseorang memukulku lagi.

"Enak aja minta ampun. Ayo, hajar dia." Seorang lelaki tua langsung mencengkram kerah bajuku, mengangkatku dan meninju perutku. Aku meringis menahan sakit.

"Ini lagi," belum hilang rasa sakit akibat pukulan yang pertama lelaki tua itu meninjuku. Lagi. Lebih kuat.

Aku memegangi perutku sambil terus menahan sakit yang semakin menjadi. Tiba-tiba airmataku tumpah. Aku malu sama diriku sendiri. Bayangan kedua orang tuaku ketika melepas kepergianku seperti pita kaset yang kuputar ulang. Begitu nyata.

* iqbal_haris *

Aku masih menunduk. Tak berani menatap orang-orang yang seperti pemburu menangkap buruannya. Siap menyantapku. Suara orang-orang yang ingin membakarku masih terdengar. Tak ada satupun yang membelaku. Setidaknya membawaku ke kantor polisi bagiku lebih baik daripada aku di bakar hidup-hidup. Ya Allah, maafkan aku. Tolong jangan ambil nyawaku dalam keadaan berdosa seperti ini. Aku menyesal.

Darah dari bibirku kembali menetes. Airmataku semakin deras menyesali apa yang telah kulakukan. Bayangan kedua orang tuaku tak mau hilang. Aku memeluk kedua lututku dan membenamkan wajahku.

Tiba-tiba sebuah tangan menarik rambutku lalu mencengkram kerah bajuku. Kuat.

"Jadi ini jagoannya, hah? Berani-beraninya kamu mencuri dompet ibuku." Aku memandang pemuda berkacamata yang menatapku bengis. Tanganku berusaha melepas cengkeraman tangannya yang begitu kuat. Perempuan paruh baya yang dompetnya telah kuambil berdiri di belakangnya. Wajahnya mengingatkanku akan ibuku.

"Radit, lepas! Jangan main hakim sendiri. Serahkan semua sama pihak yang berwajib."

"Nggak, Bu. Aku pengen tau seberapa hebat jagoan ini hingga berani jadi jambret." Cengkeraman Radit, pemuda berkacamata itu, semakin kuat. Aku hampir tak bisa bernafas. Satu tinjuan ia labuhkan di perutku. Tanganku berbagi tugas. Memegangi perutku yang sakit dan berusaha mengendurkan cengkeraman Radit. Terlalu kuat.

Aku terus berusaha menarik tangan Radit dengan kedua tanganku. Tak Berhasil. Sepertinya tenaganya lebih kuat dariku. Tentu saja. Tenagaku telah terkuras habis untuk berlari. Aku menyerah.

“Jadi, cuma segini aja, hah? Yah, liat bapak-bapak, ibu-ibu! Jagoan ini menangis. Rasakan ini.” Radit meninju pipiku. Lagi, lagi, dan lagi-lagi. Dua gigi bawahku patah. Pandanganku kabur dan darah menetes deras dari mulutku. Kurasakan cengkeraman tangan Radit mengendur. Tubuhku ambruk dan mataku benar-benar sudah tak bisa kubuka. Pandanganku semakin kabur dan kepalaku terasa berat dan aku sudah tak bisa merasakan apa-apa.

“Nak, tolong bantuin ibu membawa barang belanjaan ini. Bisa tak?” Aku terkejut. Aku mengusap mukaku. Tak ada darah ataupun bekas pukulan. Bahkan tubuhku masih kuat kalau harus berjalan atau berlari sejauh satu kilo. Aku kembali mengusap wajahku.

“Alhamdulillah, ternyata aku cuma berkhayal. Ya, aku takkan melakukan itu. Tak akan. Aku tak mau mengotori kepercayaan yang diberikan kedua orang tuaku. Aku tak mau memakan apa yang bukan milikku dan haram karena namaku Bokat. Nama yang penuh doa kebaikan.”

Menulis bisa bikin kaya


Apa yang membuat menulis itu menarik? Bagi saya menulis adalah salah satu cara saya untuk mencurahkan isi hati, apapun bisa saya sampaikan dengan menulis. Ketika dalam keadaan suntuk, bete, ataupun perasaan sedih lainnya menulis obatnya.

Jika saya sedang berbunga-bunga terkena racun cinta, saya akan menulis perasaan itu. Bisa dengan puisi sederhana yang menjadi sedikit romantis, cerpen, atau hanya tulisan seadanya mengikuti apapun yang ada di pikiran.

Namun, menarik jugakah menulis itu bagi teman-teman?

Jawabannya ternyata macam-macam. Dan kebanyakan merasa menulis itu susah, membosankan, menjemukan (oh sama aja ya), dan membuang-buang waktu. Tak ada hasilnya menulis itu. Bikin capek otak saja.

Menulis. Yang sudah saya geluti sejak duduk di bangku SMP ternyata memberikan manfaat yang benar-benar besar terhadap diri saya. Saya sering merasa banyak sekali hal-hal yang tidak sesuai dengan kemauan dan prinsip serta pengetahuan yang saya punya. Lalu apa yang saya lakukan? Menulis. Ya, itulah cara yang sangat ampuh bagi saya untuk memasukkan ideologi saya lewat tulisan-tulisan. Mempengaruhi orang tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga. Lalu bagaimana dengan pendapat bahwa menulis adalah hal-hal yang sia-sia dan tak menghasilkan apa-apa.

Dari pengalaman yang telah saya dapat, menulis justru bisa menjadi salah satu penghasilan bahkan bisa jadi penghasilan utama. Beberapa tulisan mlik saya yang telah dimuat di media cetak atau memenangi beberapa lomba membuat saya mendapatkan penghasilan yang sewaktu SMA dulu bisa saya pakai untuk membayar uang kos sendiri. Jika masih ragu dengan bukti itu, mari saya gambarkan seperti ini.

Saat ini banyak sekali media yang menerima tulisan dari pembacanya dan ada honor buat setiap tulisan yang di-publish. Honor yang saat ini bisa diatas 100 ribuan bahkan lebih. Bayangkan jika kita bisa menghasilkan satu tulisan saja sehingga menjadi empat tulisan dalam sebulan dan dimuat. Berapa yang bisa kita dapatkan? Itu kalau emoat tulisan, jika kita bisa menulis dua judul dalam satu minggu, atau empat, atau lima? Kita benar-benar bisa menjadikan menulis sebagai penghasilan utama kita.

Intinya, hanya menulis, menulis, dan menulis jika kita ingin jadi penulis dan mendapatkan uang. Tak ada jalan lain untuk menjadi penulis selain menulis. Jangan merasa bahwa menulis itu madesu, masa depan suram 'cause menulis sama dengan dapat honor (uang). Mau?

Lomba Tulis Nasional 2013

Lomba menulis nasional 2013 dengan tema “Ketika Generasi Muda Berbicara Politik” diadakan pada periode waktu 1 Februari – 31 Maret 2013.

Kehidupan berdemokrasi yang mencakup kebebasan dalam mengemukakan pendapat harus diikuti oleh kebebasan seseorang dalam beropini, termasuk kebebasan bagi insan muda untuk menyuarakan pendapatnya di dalam dunia politik.Lomba Tulis Nasional 2013 ini mengusung tema “Ketika Generasi Muda Berbicara Politik” bertujuan untuk melihat pendapat insan muda dalam menyuarakan hak mereka terhadap permasalahan ini dan apa kata mereka mengenai politik yang sering dinilai untuk ukuran orang yang lebih dewasa.
 
Ketentuan Esai:
Menulis sebuah esai mengenai pendapat kamu, apakah boleh seorang remaja membicarakan politik di masa kini mengingat banyaknya anggapan politik adalah untuk orang dewasa dan cukup terlihat generasi muda yang terlibat dalam dunia perpolitikan di masa kini. Esai disesuaikan dengan keadaan masa kini, memiliki argumentasi yang logis, dan kreatif.Aturan Penulisan:
  1. Esai diketik sepanjang 1.000-1.500 kata. Tidak boleh melebihi 1.500 kata.
  2. Esai diketik di atas kertas A4 dengan huruf Times New Roman 12 pts, justified, margin normal.
  3. Esai diketik dalam Bahasa Indonesia, berdasarkan kaidah tata bahasa dan tidak mengandung unsur SARA, menjual produk, atau bersifat provokatif negatif.
  4. Naskah harus asli buatan sendiri, bukan saduran atau jiplakan dan belum pernah dipublikasikan di media massa atau blog. Konsekuensi atas terjadinya hal ini adalah tanggung jawab penulis dan akan didiskualifikasi.
  5. Satu peserta diperkenankan untuk mengirimkan maksimal dua naskah.
  6. Esai yang masuk menjadi hak terbit Panitia Lomba Tulis Nasional dan berhak untuk mempublikasikannya. Hak cipta tetap pada penulis.
  7. Dengan mengirimkan esai kepada panitia berarti peserta sudah menyetujui aturan yang ditentukan oleh panitia.
  8. Peserta diwajibkan mencantumkan nama lengkap, alamat surat-menyurat, tempat tanggal lahir, profesi, alamat sekolah atau universitas, dan nomor telepon/HP yang dapat dihubungi. Bila ada, info tulisan yang pernah dipublikasikan di media massa.
Kirimkan esaimu dalam format attachment (.doc atau .docx) ke ltn_2013@yahoo.com dengan subjek: LTN 2013 [judul naskah] – [nama penulis].
Periode lomba: 1 Februari- 31 Maret 2013
Keputusan juri bersifat mengikat dan tidak dapat diganggu gugat.

Hadiah:
Kategori A (15-18 tahun):
Juara Umum: Rp 2.000.000,00
Juara Favorit: Rp 1.500.000,00
Kategori B (19-25 tahun):
Juara Umum: Rp 1.500.000,00
Juara Favorit: Rp 1.000.000,00


Dapatkan Info Lomba Terbaru Lainnya di Ayo Lomba http://ayolomba.com
Sumber Info Lomba: http://ayolomba.com/lomba-menulis/lomba-menulis-nasional-2013/?utm_source=Berlangganan+Ayo+Lomba&utm_campaign=83f8a8dee2-RSS_EMAIL_CAMPAIGN&utm_medium=email

Minggu, Januari 06, 2013

Tentang Media, Alamat, dan Honor


Tulisan ini adalah hasil copas dari: Sini

Hampir setiap minggu saat saya mengupdate status Koran Minggu yang memuat cerpen dan puisi, perihal honor bagi penulis menjadi bahan komentar dan diskusi yang mengasyikkan sekaligus menjengkelkan. Tulisan di bawah ini saya ambil dari sebuah kaskus entah siapa yang nulis. Kalau kebetulan Anda yang nulis, mohon mengaku ya...

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=10125793


Kompas termasuk media yang memiliki begitu banyak rubrik untuk masyarakat. Selain opini, ada rubrik lain yang bisa dicoba seperti Teroka dan Teropong. Bedanya, jika rubrik opini muncul setiap hari, rubrik-rubrik lain ada yang tiap satu atau dua minggu. Ada juga rubrik cerpen dan puisi yang muncul setiap hari minggu. Untuk rubrik Cerpen konon sekrang (sampai juli 2011) di asuh oleh Putu Fajar Arcana, sementara untuk rubrik Puisi di asuh oleh Hasif Amini.

Alamat email: opini@kompas.co.id / kompas@kompas.com / kompas@kompas.co.id.
Honor di Kompas konon rata-rata di atas satu juta.

Jawa Pos/Indopos (www.jawapos.com)
Ada beberapa rubrik yang bisa dicoba: “opini”, “ruang putih (esai budaya)”, “di balik buku”, “cerpen”, “puisi” dsb..
Alamat email untuk opini: opini@jawapos.co.id.
Untuk cerpen, puisi, ruang putih kirim ke dos@jawapos.co.id.
Untuk rubrik Resensi buku kirim ke ttg@jawapos.co.id disertai foto penulis dan cover buku.
Oya, email ariemetro@yahoo.com tak lagi digunakan karena, Mas Arif Santoso sudah tidak lagi menjadi redaktur di Jawa Pos tetapi dipindahkan menjadi Pimred di Harian Jogja Raya)

Seputar Indonesia (www.seputar-indonesia.com)
Alamat : redaksi@seputar-indonesia.com. Ada Opini (muncul setiap hari), Kolom Budaya, Resensi, Puisi, Cerpen (ada di hari Minggu saja). Untuk cerpen kirimkan ke donatus@seputar-indonesia.com.
Honor resensi buku 200 ribu. Opini dan Kolom Budaya 400 ribu, Cerpen 400 ribu, puisi sekitar 200 ribu.

Lampung Post (www.lampungpost.com):
Email utama : opinilampost@yahoo.co.id
Untuk Kolom Opini: redaksi@lampungpost.co.id / redaksilampost@yahoo.com
Untuk Esai Budaya/Sastra dan Puisi: lampostminggu@yahoo.com,
Honor Opini 200 ribu, Cerpen 200 ribu

Media Indonesia (www.media-indonesia.com):
Untuk Kolom Opini dan Resensi Buku : redaksi@mediaindonesia.co.id /opinimi@yahoo.com
(Panjang resensi buku maximal 800 kata. Begitu juga dengan Opini. Saat kirim lebih baik semua email dikirimi.
Honor resensi buku dan Opini 400 ribu. Nama Kolom Resensi Buku-nya: Bedah Pustaka)

Bisnis Indonesia:
email: redaksi@bisnis.co.id
(Biasanya tulisan yang nyerempet soal bisnis dan ekonomi. Honor sekitar 300 ribu)

Pikiran Rakyat (www.pikiran-rakyat.com) (Jawa Barat):
Untuk Kolom Opini: opini@pikiran-rakyat.com
Untuk Resensi Buku: kampus_pr@yahoo.com
Untuk Cerpen dan Puisi: ahda05@yahoo.com dan khazanah@pikiran-rakyat.co.id
Honor Opini sekitar 300 ribu.
Honor resensi buku 200 ribu.
Honor Cerpen: 300 ribu
Honor Puisi: 200-300 ribu (tergantung berapa puisi yang dimuat)

Koran Tempo (www.korantempo.com)
Untuk Kolom Opini: koran@tempo.co.id
Untuk Resensi Buku, Esai Sastra dan Puisi kirim ke:
ktminggu@tempo.co.id/ndewanto@mail.tempo.co.id (email Nirwan Dewanto)
Honor cerpen sekitar 700 ribu, Opini sekitar 600 ribu. Resensi buku honor 400 ribu.

Republika (www.republika.co.id)
Umail utama: sekretariat@republika.co.id / redaksionline@republika.co.id
email tersebut bisa digunakan untuk kirim opini, cerpen (Republika tak ada lagi rubrik puisi). jangan lagi mengirim ke email ahmadun21@yahoo.com, karena dengar-dengar Pak Ahmadun Yosi Herfanda sudah tidak lagi di Republika.

Direpublika juga ada rubrik Guru Menulis. Kirimkan ke : akademia.republika@yahoo.com dan cc kan ke email utama.
Kalau cerpen/opininya dimuat kira-kira honornya Rp.400.000. Sementara honor rubrik Guru Menulis sebesar kurang lebih 200ribu. Tetapi sayang, Koran Islami ini kurang menghargai penulis karena honornya dikirimkan dalam waktu yang lama setelah tulisan kita dimuat. bisa lebih dari tiga bulan honor baru dikirim, tentu setelah keringat kita kering.

Alamat email: redaksisk@yahoo.com / redaksi@suarakarya-online.com .
Khusus cerpen, dan puisi bisa langsung di kirim ke alamat redakturnya, Bang Ami Herman:amiherman@yahoo.com.
Rublik budaya (puisi, cerpen, catatan budaya) muncul setiap hari sabtu, cek saja web-nya, suara karya biasanya disiplin posting.
Nah, honor untuk Cerpen, Puisi dan Opini adalah 150 ribu. kayaknya dari dulu tidak naik-naik.

Suara Pembaruan (www.suarapembaruan.com)
Email: koransp@suarapembaruan.com
Semua jenis tulisan dikirim ke email itu. Ada Kolom Opini, Resensi Buku, Puisi dan Cerpen. Honor cerpennya 400 rb, puisi 300 rb, resensi 150 ribu (lumayan gede lho, meski tentu dipotong pajak). Dulu ada email budaya@suarapembaruan.com untuk kirim cerpen dan puisi tetapi sepertinya email tersebut penuh dan tak lagi dipakai.

Koran Jakarta (www.koran-jakarta.com)
Email: redaksi@koran-jakarta.com
(Setiap hari ada Kolom Opini (namanya Gagasan) dan resensi buku (Perada). Honor 400 ribu untuk Opini, Resensi buku 280 ribu. Kalau mau dimuat, biasanya ditelfon terlebih dahulu.

Suara Merdeka (www.suaramerdeka.com)
Email umum: naskah@suaramerdeka.info dan wacana_nasional@gmail.com (untuk opini nasional) dan wacana_lokal@gmail.com untuk opini isu lokal. Sementara untuk cerpen dan puisi kirim ke:swarasastra@yahoo.com / ke email redakturnya, Mas Triyanto Triwikromo:triwikromo@yahoo.com
Ini koran Jawa Tengah lho, tetapi sangat terbuka bagi semua penulis dari luar Jateng. Bahkan sebagian besar karya khususnya cerpen dan Puisi didominasi oleh penulis luar Jateng.
Honor cerpen sekitar 400rb, puisi 300 rb, resensi 200 ribu, opini wacana lokal kayaknya juga 200 rb, dan wacana nasional sekitar 400.000.

Di jawa tengah juga ada tabloid yang namanya CEMPAKA MINGGU INI, terbit setiap jum’at. Ada rubrik cerpen, bisa dikirim ke sontrotku@gmail.com. Honornya Rp.150.000. sayang, tabloid ini tidak ada web nya, jadi kalau tulisan kamu dimuat kadang tidak ngerti. Tapi tetap cantumkan nomor rekening, insya Allah honor tetap dikirim kok.

Kedaulatan Rakyat (www.kr.co.id)
Tiap minggu menampung cerpen, puisi, cerkak, cerita anak, resensi buku. Yang saya jelas tahu adalah email untuk kirim puisi dan cerpen ke kedaulatan Rakyat, yaitu: jayadikastari@yahoo.com. Nah, Honornyanya biasnaya berbeda-beda, kayaknya redakturnya menentukan honornya. Ada penulis kaya Mahwi Air Tawar cerpennya mendapat honor Rp.400.000, saya sendiri pertama kali puisi dimuat di koran ini dihargai Rp.100.000, cerpen pernah dapat honor Rp.250.000. begitu...
KR, meskipun punya situs, tapi tak pernah memposting cerpen dan puisinya. Kenapa ya?

Minggu Pagi
Kantornya di dekat KR, masih satu group. Untuk cerpen, puisi, essai sastra dan budaya kirim ke redakturnya, Mas Latief Noor Rochmans (semoga tidak salah tulis):we_rock_we_rock@yahoo.co.id , emailnya aneh ya, dan memang beliaunya senang lagu rock. Hehe...

Honornya Minggu Pagi sudah naik lho. Cerpen: 150.000, puisi (tergantung berapa puisi yang dimuat), kalo satu kolom untuk puisi diisi hanya puisi kita maka honornya sekitar Rp.100.000. Oya, cara koran yang terbit seminggu sekali tiap Jumat ini menghargai tulisan juga sama seperti KR, masing-masing penulis berbeda2 honornya.

Tabloid NOVA
Cerpen, kirim ke nova@gramedia-majalah.com. Honornya Rp. 400.000.

HALUAN (Padang)
Cerpen dan Puisi kirim ke nasrulazwar@yahoo.com . Kata Esya Tegar Putra, honornya mencapai Rp.200 ribu.

Padang Ekspress
Cerpen dan puisi kirim ke: yusrizal_kw@yahoo.com (Padang Ekpress Redaktur). Sejak tahun ini (2011) Padang ekspess penaikkan honor cerpen menjadi 100 ribu.) Bagi kawan-kawan yang dimuat teman yang ada diPadang untuk minta bantuan mengambilkan honornya, karena koran ini jarang2 mentransfer honor penulis. Yang jelas, jangan sampai lupa tanggal pemuatannya.

HARIAN SINGGALANG (Padang)
Cerpen, puisi a2rizal@yahoo.co.id / hariansinggalang@yahoo.co.id / kj_sgl@yahoo.com

Majalah Horizon
Kirim cerpen ke: horisoncerpen@gmail.com, honornya 300 rb
Kirim puisi ke: horisonpuisi@gmail.com, honornya tergantung berapa puisi yang dimuat.
Kalau tulisanmu dimuat di HORIZON, maka akan dikirim sampel majalahnya, jadi, sertakan alamat jelas. kadang-kadang honor juga dikirim lewat wesel, jadi tidak nyantumin rekening tidak masalah.

Selain media di atas, ada beberapa media yang saya tidak tahu persis jumlah honornya, tapi sepertinya berkisar di angka Rp.200.000,-. Ini dia:


(Radar Tasikmalaya)

radar.tasikmalaya@gmail.com


(Redaktur Sastra Radar Tasik)

sanggarsastratasik@yahoo.co.id


(Jurnal Medan untuk cerpen dan Puisi)

tejapurnama@yahoo.com

(Redaktur Analisa untuk cerpen dan Puisi)
rajabatak@yahoo.com


(Riau Pos Cerpen dan Puisi)

budaya_ripos@yahoo.com / habeka33@yahoo.com

Jurnal Nasional
witalestari@jurnas.com
redaksi@jurnas.com

Majalah Alia
majalah_alia@yahoo.com

Majalah Bobo
bobonet@gramedia-majalah.com

Harian Surya Surabaya
surya1@padinet.com

Majalah Mayara Surabaya
cerpenmajalahmayara@gmail.com (cerpen, jangan lupa lampirkan foto)

Radar Semarang, Esai untuk Kolom UNTUKMU GURUKU setiap hari Minggu, kirim ke:
editor@radarsemarang.com

Majalah Esquere
redaksi@esquire.co.id (Majalah Esquire)
cerpen@esquire.co.id (Cerpen Majalah Esquire)

Majalah Kartini
redaksi_kartini@yahoo.com

Majalah Story,
memuat banyak cerpen remaja, kirim ke:
erincantiq@gmail.com (Majalah Story)

Catatan Tambahan :

1. Untuk Rubrik Opini, secara umum tulisan berkisar 700-850 kata.
2. Tulisan bisa dimuat satu hari setelah kirim, satu minggu, dua minggu atau bahkan dua bulan setelah kirim, umumnya juga tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
3. Selain actual, kenali karakter media dengan sering mengunjungi webnya masing-masing.

Kalau kemudian tulisan kita dimuat, dan honor tak kunjung dikirim, memang tidak ada salahnya kita menghubungi sekretariat atau bagian keuangan media tersebut untuk menagih hak kita. Tapi, yang jelas berkarya ya berkarya.... jangan dipusingkan masalah honor tulisan.

Saya harap anda juga berkenan memberikan tambahan informasi mengenai alamat media dan jumlah honor, karena waktu terus bergulir dan banyak hal yang berubah.

Salam kreatif!