Technology

Pages

Sabtu, Mei 19, 2012

Jalan Pulang (2)

"Gimana? Enak kan dapetin duit? Dari dulu ngapain mikir terlalu lama," Sukri tersenyum puas di depan Rahmat. Ia merasa menjadi malaikat tanpa sayap yang membawa rejeki buat Rahmat.

"Ini yang terakhir, Kri. Minggu depan saya mau pergi ke Batam." Rahmat menimpali dingin. Sudah tiga minggu lebih ia menjalani pekerjaan menjadi kurir narkoba dan ia merasa justru hidupnya semakin berat. Uang ia dapatkan tapi pikirannya selalu gelisah. Setelah transaksi barusan ia mantap untuk menyudahinya.

"Hah, ke Batam? Mau jadi apa kamu di sana? Tukang las? Kerja di galangan kapal? Atau mau kerja di daerah Sintai. Denger-denger di sana memang bagus kalo mau jadi gigolo. Mau?"

Selanjutnya bisa baca di sini

 

Jalan Pulang

Baginya hidup itu sangat sederhana. Tak perlu ribet memikirkan hal-hal yang nggak penting. Tentu saja tak penting baginya. Ia hanya memikirkan bagaimana ia bisa makan, ibunya bisa dibawa ke rumah sakit untuk berobat, dan adiknya bisa sekolah. Ia tidak peduli lagi dengan nasibnya. Orang-orang toh juga tak peduli dengannya lagi. Sejak hari itu. Sejak ia dituduh menjadi seorang pecundang dan hendak diusir dari kampungnya sendiri. Beruntung, ada Pak Komar yang mempercayainya meski tetangga dan orang-orang di kampungnya mengajukan syarat, ia tak boleh bergaul dengan anak-anak mereka, takut meracuni dan mengikuti jejaknya.

Bagi Rahmat, hidup itu sangat sederhana. Terlalu sederhana malah. Meski ia tak lagi dianggap ada oleh orang-orang di kampungnya. Yang terpenting ia bisa makan, ibunya bisa berobat, dan adiknya bisa sekolah.

***
"Bagaimana kita bisa makan, Le? Kamu mau kerja dimana? Lah wong tetangga-tetangga udah nganggep kamu sampah," ibu berkata datar, tanpa ekspresi. Ibu sudah terbiasa dengan caci maki yang dilontarkan orang-orang tentang anaknya. Ibunya hanya menyesalkan karena hitam yang setitik warna putih anaknya langsung terhapus.

"Rahmat memang nggak akan bertahan di kampung ini, Bu. Rahmat mau ke Batam saja. Ada Kang Marno kan?" jawabnya tak kalah datar. Rahmat sendiri tak yakin dengan Kang Marno. Ia pasti juga nggak bakal menerima "buangan sampah" dari kampung. "Apa dia mau meneri.."

"Nggak tau, Bu. Usaha saja," potong Rahmat atas kalimat keraguan ibu. "Duit buat ke sana?" tanya ibu lagi. Rahmat memandang ibunya yang sedang mengaduk nasi di atas tungku. Wajahnya masih datar. Rahmat tahu bahwa ibunya memendam semuanya. Menutupi kesedihan yang dirasakannya. "Bu, boleh Rahmat pinjem kalung ibu?"

Wanita berumur lima puluhan itu mengalihkan pandangannya. Rahmat mengartikan pandangan itu dengan kalimat, "nggak mungkin. Itu peninggalan bapak satu-satunya." Sejenak ibunya kembali fokus pada pekerjaannya. "Kalung itu punya banyak cerita, Le. Kalung itu adalah kekuatan ibu. Ibu kuat karena merasa ibu nggak sendiri tapi kita nggak punya pilihan lain. Ibu risih dengan gunjingan orang-orang. Ibu nggak mau mendengarkan mereka ngomongin kamu terus. Ibu mau kamu pergi jauh dari kampung ini. Ibu sudah nggak kuat." Rahmat tertegun dengan kalimat ibu, meluncurkan tanpa bisa dicegah. Kesedihan yang sudah terlalu lama mengendap dan ditahannya. Rahmat bisa merasakan kesedihan itu. Tapi, justru ada rasa sakit yang lebih dalam dari semua itu. Ibunya juga membuangnya. Meski dengan alasan namun justru itu lebih menyakitkan bagi Rahmat. Ia telah hidup sendiri sekarang.

***
Perlu waktu cukup lama untuk menerima tawaran Sukri. Berkali-kali Sukri memaksanya. "Buat ngidupin keluarga, Mat. Nggak dosa. Tujuan kita baik kok. Kalopun dosa nggak gede-gede amat. Ayo!" Begitu bujukan Sukri tiap waktu. Semakin sering Sukri membujuk Rahmat, semakin ia ragu melakukannya. Bagi Sukri mungkin itu bukan dosa besar tapi baginya itu kejahatan luar biasa besar dosanya. Ia tak mau menjadi penjual narkoba. Ia nggak mau merusak orang lain.

"Sekali dua kali nggak papa," bisik hatinya membenarkan omongan Sukri. "Jangan! Pikirkan buruknya. Jangan pikirkan duitnya," bantah hatinya yang lain.

"Duit, Mat. Kita bisa dapet duit banyak sekali jual. Bisa buat berobat ibumu. Adikmu juga bisa sekolah. Nggak kayak kita yang hidup terlantar gara-gara nggak sekolah."

"Tapi..."

"Nggak usah tapi-tapi lagi. Mau atau nggak?"

"Saya perlu waktu lagi."

"Bodoh, mau selama apalagi? Udah dua bulan kamu mikir. Semakin hari malah kamu semakin menghindar. Kalo mau bilang mau. Kalo nggak ngomong nggak. Kalo kamu bingung itu artinya kamu butuh, Mat."

Rahmat diam. Memandang langit di atas kepalanya dan membayangkan banyak hal. Sukri jengah. Namun, sore itu akhirnya menjadi awal kehidupan Rahmat yang lebih buruk. Menjadi sampah di kampungnya.

*Bersambung

Jumat, Mei 18, 2012

Cemburu

Padahal ini salah saya sepenuhnya. Tapi, saya benar-benar cemburu. Merasa saya begitu lemah sebagai seseorang. Terlebih saya tak punya idealisme yang saya pegang kuat. Sangat lemah.

Berawal hanya dari sebuah foto di hape Ardy--kawan sekelas saya di kampus--yang jadi wallpaper. Tergambar jelas kebahagiaannya dengan seorang gadis kecil memegang bunga ilalang. Mereka sungguh bahagia. Terlihat dari pancaran senyum keduanya yang sangat tulus dari hati. "Seandainya", itu yang terlintas di pikiran saya, "saya berani menghadapi orang-orang di organisasi saya, mungkin saya takkan merasa cemburu seperti ini."

Menyesalkah? Tidak, aku hanya cemburu. Itu saja. Kupertegas sekali lagi, aku cemburu. Doang. Oke, mungkin kau bertanya-tanya mengapa saya cemburu seperti itu. Baiklah, akan kuceritakan lebih detail-nya.

Basis alias Bahasa dan Seni Squad. Disitulah setahun ke belakang saya bersama beberapa kawan berada, salah satunya adalah Ardy. Basis adalah sebuah organisasi di kampus di bawah naungan Departemen Sosial dan Politik (Sospol) BEM Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Dua ranah gerakan Basis, sosial dan politik. Dan kecemburuan ini berasal dari 'lingkaran sosial'-nya.

Gozzan, si 'endut
Di ranah sosial Basis mempunyai kegiatan pemberdayaan dan pengembangan sumber daya manusianya lewat Community Development (Comdev atau Desa Binaan). Setahun yang lalu saya ikut ambil bagian dari kegiatan ini. Meski tidak sepenuh waktu seperti Ardy tapi saya sangat merasakan asyiknya dan berbahagianya bisa  berbagi. Namun, tahun ini saya harus "tidur" dulu sejenak dan menjauh dari Comdev sejak saya menjadi ketua BEM jurusan. Bukan tanpa pertimbangan akhirnya saya harus meninggalkan "perasaan" saya dan menyimpannya dahulu. Akan tetapi, ini adalah salah satu konsekuensi. Meski tetap saja, saya cemburu dan cemburu. Tak ada kata lain. Saya ingin "terjun" lagi tapi saya enggan. Mengecewakan beberapa pihak. Hingga akhirnya--maaf--buat teman-teman seperjuangan saya di Comdev bahwa saya harus "istirahat" dulu ya. Izinkan saya menebusnya tahun depan.

Semoga.

 
Nggak ada saya
dari kiri: Nadia, Halimah, Shintia, Ardy













Akh Farid dan Murid Comdev




Selasa, Mei 15, 2012

Jejak Jamur Genteng

Keceriaan minggu kemarin tergambar dari beberapa gambar berikut ini. Empat puluh orang lebih melakukan sebuah perjalanan penuh makna (bagi saya khususnya) dan penuh keceriaan tentu saja. Perjalanan yang dimaksudkan untuk mempererat kekeluargaan masyakat English Department. Jamur Banteng alias Jalan Murah Bersama ke Ujung Genteng.

Ini saat persiapan. Sebelum berangkat.

Avisena










Minum Jamu dulu biar kuat



Saya dan Wakil BEM ED-Check point




Dengan fotograpernya

Di pantai, Sro..
Meski saya tanpa ekspresi


Yousa
Para agents











Minggu, Mei 13, 2012

Memunguti kisah

Ada banyak hal yang perlu dikisahkan. Ada banyak cerita yang terdengar dan terucap. Ada banyak pembelajaran yang didapat. Tiga hari bersama orang-orang hebat. Tiga hari bersama orang-orang ynag bisa mengambil pelajaran dari kehidupan. Hingga aku pun terbawa arus sungai pembelajaran itu. Dari kisah-kisah mereka. Dari mimpi-mimpi mereka. Dari gaya mereka berbicara. Dari mobil Kijang Lajang yang membawaku dari Jakarta-Cibadak-Pelabuhan Ratu-Sukabumi-Ujung Genteng, kembali lagi dari Ujung Genteng-Curug Cikaso-Sukabumi-Cibadak-Jakarta.

*Bersambung

Sabtu, Mei 05, 2012

Pereduksian Makna Prioritas

Akhir-akhir ini saya merasakan sebuah dilema dengan semangat berorganisasi saya yang telah disuntikkan oleh kakak saya sejak dulu. Banyak hal terpikirkan dan banyak kenyataan terjadi dan membuat saya semakin bimbang.

Maghrib ini, seorang kawan dalam sebuah pergerakan menanyakan, "kok mau sih di BEM?" tanyanya. Kebetulan ada dua ketua BEM di tempat itu. Kemudian pertanyaan itu justru saya tanyakan kepada kawan saya yang sama-sama ketua BEM. "Soalnya udah nggak ada orang lagi," jawabnya. Kemudian terpikirkan jawaban yang sama, "nggak ada orang," kata saya, "yang lebih tua dari saya," bercanda. Tapi, sesungguhnya pertanyaan itu terbawa sampai akhirnya saya korelasikan dengan berbagai kejadian yang membuat saya dilema akhir-akhir ini (maaf, lebay).

Kejadian pertama ketika ada salah satu kawan Badan Pengurus Harian (BPH) di BEM saya terpilih menjadi Komandan Basis. Muncul berbagai ketakutan-ketakutan dengan pertanyaan bagaimana dia bisa menyeimbangkan keduanya, sedang keduanya menempati dua posisi yang penting: komandan Basis dan Kepala Departemen Advokasi BEM. Waktu saya menanggapi dengan santai, "kan belum kejadian. Tolong percaya dulu dan beri dukungan." Kemudian jawaban saya ternyata disimpulkan bahwa saya tidak mendengarkan ketakutan (langkah antisipasi). Padahal, menurut saya memang buat mempermasalahkan yang belum kejadian. Kalau saya menanyakan ulang, "bagaimana kalau dia bisa seimbang?" Pasti tak ada jawaban pasti karena memang semuanya belum terjadi.

Dalam buku fiqih prioritas dijelaskan bahwa ketika ada beberapa kegiatan berlangsung di waktu yang sama maka lakukanlah perbandingan menggunakan 4 prinsip yang perlu diperhatikan dalam memilih urusan yang terjadi di waktu yang sama itu. Apakah (1) urusan itu penting dan mendesak, (2) urusan itu mendesak tapi tidak penting, (3) urusan itu penting dan tidak mendesak, atau (4) urusan itu tidak penting dan tidak mendesak. Nah, inilah yang harusnya menjadi ukuran apakah kita harus meninggalkan sebuah acara atau tidak. Prioritas itu bukan dinilai bahwa kita HARUS tetap tinggal di sebuah acara padahal ketika kita tidak hadir acara itu bisa berjalan. Tapi nilailah dari penting dan tidaknya keberadaan kita di tempat itu. Contoh, ada acara A dan B berlangsung di waktu yang sama. Acara A memang penting dan ketika kita tinggalkan maka acara itu tidak bakal berjalan, sedang acara B ketika kita berada di situ ataupun tidak, ternyata tidak terlalu berpengaruh dengan berlangsungnya acara tadi. Maka, sudah seharusnya kita memilih acara A, meski kita adalah bagian yang biasanya menjadi kepala dari acara yang B.

Mengambil sebuah analogi kamera. Ketika sebuah kamera telah diatur hanya fokus pada sebuah objek lalu apakah objek yang lain tidak terlihat sama sekali? Artinya, fokus itu bukan berarti juga harus meninggalkan kewajiban kita yang lain tapi intensitasnya memang harus dikurangi. Kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang kita miliki, begitu kata Hasan Al-Banna. Kualitas keberadaan kita yang jadi intinya. Jangan jadi orang yang ketika ada dia tidak menggenapkan dan ketika tidak ada tapi tidak mengganjilkan (ada tidaknya tidak berpengaruh apapun). Itulah yang akhirnya saya katakan sebagai pereduksian makna prioritas.

Amanah adalah cara Allah menjaga saya. Ketika banyak waktu kita yang kosong maka bakal banyak godaan buat melakukan dosa.

Sekarang memang pahamnya sudah berganti, yaitu paham komunitas. Ketika kita telah masuk di sebuah komunitas kita terlalu cinta dengan komunitas itu dan tidak membiarkan salah satu anggota komunitas itu untuk ikut di komunitas lain. Rasullulah saja sebagai pemimpin negara, pemimpin perang, pemimpin keluarga dan dia bisa saja meninggalkan keluarganya jika memang dia benar-benar dibutuhkan di medan perang. Begitu juga sebaliknya.

Bagi saya, hidup di sebuah komunitas (organisasi red.) bukan cuma komitmen saja yang dibutuhkan tapi jangan pernah berburuk sangka, dan toleransilah.

Wallahu a'lam. Hanya Allah yang Maha Benar dan Maha Tahu Mana Yang Benar.

*bersambung