Technology

Pages

Selasa, Desember 24, 2013

Mewarnai Pelangi




Prolog
Bukankah hujan menjanjikan pelangi di setiap akhir tetesannya? Aku selalu meyakini hal itu. Akan ada kisah yang manis setelah narasi penuh duka, akan ada tawa setelah tangis mendera, begitu juga kebahagiaan akan menggantikan kesedihan yang kita rasa. Percayalah. Itu bukan sekadar teori belaka. Hari ini. Seperti yang kurasa. Di hari terakhir keberadaanku di sekolah ini.
Aku kembali mengecek lelembaran kertas di meja. Berkas-berkas yang harus ditandatangani sudah rampung. Tinggal memasukkannya bersama berkas-berkas lain dalam satu map. Dan ceritaku di sekolah ini juga selesai.
Ah, menyesakkan sekali.
Melakukannya sama seperti memasukkan kisah yang terjadi beberapa bulan ke belakang ke dalam sebuah kotak berkunci. Hari-hari menjanjikan kebahagiaan saat aku menggambar pelangi dan mewarnainya. Saat aku bersama mereka melewatkan hari. Saat aku menjadi sosok yang mereka turuti. Saat sama-sama merajut mimpi untuk kemudian hari.
“………”
“Rizky Al-Muhammady”
“Panggilannnya Gaston, Sir.”
“Gaston? Terus Julia Perez-nya siapa?”
“Adanya Juliet, Sir.”
“……”

“Sir, jadi present tense itu pake verb 1, kan?
“Iya, Juned.”
“……”

“Insya Allah besok sabtu LDK Rohis. Sekalian pemilihan ketua Rohis.”
“Ente calon juga, Rifky?”
“Sepertinya iya, Sir.”
“….”

“Sir, udah nggak ngajar lagi?”
“Iya, ini minggu terakhir. Tinggal ngurus sedikit berkas aja. Tania, ini edisi Jumat atau memang Tania benar-benar berjilbab?”
“Doakan saja, Sir.”
“Semoga istiqomah ya.”
“Amiin.” Jawab Tania.
“Sir, ngajar terus di sini aja,” sela Gaston.
“Maunya sih gitu.”
“……………”

Dan semua ini ternyata harus segera diakhiri.
***
Bal, kita sekelompok.
Bareng Yesy sama Shintia
Kita dapet di SMP 74 deket kampus B
Pengirim: DB Sigit
+62896534xxxx

Alhamdulillah
Deket kalo gitu.

Terkirim.

Katanya senin kita harus ke sekolah tempat kita PKM.
Jam 7 pagi ya. Ketemuan di sana aja.

Olrait. See ya.
           
         Sempurna. Doaku diijabah. Dijawab. Aku yang meminta semoga tempat PKM-ku dekat dengan kampus ternyata benar-benar dikabulkan. Tidak perlu motor atau naik angkot. Toh, kampus B bisa dicapai dengan berjalan kaki.
          Awalnya. Sesaat setelah menerima SMS dari Sigit itu, aku—dan mungkin—ketiga temanku nggak berpikir bahwa Allah ternyata lebih tahu mana yang terbaik.
            Ya, terbaik menurut kita bukan hal yang mungkin bukan yang terbaik menurutNya. Kenyataan pahit yang sebenarnya harus kami hadapi ada di hari kami menunaikan janji.
            “Lumayan banget. Nggak perlu ngongkos,” kataku saat memasuki gerbang SMP 74.
            “Yah, elu mah enak. Kalo gua ama Sigit ya sama aja. Bekasi booo,” Yesy kecewa.
            “Yang penting deket sama kampus. Kan kita masih punya mata kuliah yang lain,” Shintia menimpali. “Eh, itu Pak Lasito, dosen pembimbing kita,” lanjut Shintia yang melihat Pak Lasito turun dari halte Transjakarta.
            “Oke, udah komplit, kan? Ayok kita masuk!” Perintah Pak Lasito begitu tiba di depan kami.
***
            “Maaf, Pak. Bukan kami menolak. Tapi, guru PPL di sini sudah terlalu banyak. Kemarin yang dari jurusan Matematika saja kami nggak terima.”
            “Intinya ditolak kan, Pak?” tanya Pak Lasito.
            “Mungkin. Tapi, kami memang nggak bisa menerima guru PPL banyak-banyak.” lanjut Wakil Kepala Sekolah 74 berperawakan gendut pendek. “guru sekolah kami sudah cukup mumpuni juga. Repot kalo harus ngurusin mahasiswa yang mau belajar ngajar.” Senyum angkuh tersungging di wajahnya.
            “Ok. Baiklah, Pak. Maaf jika kedatangan kami merepotkan,” sampai saat ini Pak Lasito yang memegang kendali dibandingkan kami. Beliau yang lebih banyak bicara. “Kami pamit kalo begitu.”
            “Mari saya antar.” pinta sang bapak berumur kira-kira lima puluhan tahun di depan kami. “Tidak usah, Pak. Kami masih cukup mumpuni untuk sekadar jalan kaki keluar dari sekolah ini. Nggak mungkin tersesat. Selamat pagi.”
            Kecewa. Pasti. Terutama aku. Yang terlalu pede menganggap doaku dikabulkan. Kenyataan yang kami hadapi jelas bahwa aku dan ketiga temanku benar-benar tersesat. Belum tahu dimana tempat kami menerapkan kemampuan mengajar kami.
            “Gini aja. Kalian mau nggak ngajar di sekolah yang dulu bapak ajar.” Pak Lasito langsung membuka obrolan begitu kami keluar dari gerbang 74. Kami berempat saling berpandangan.
            “Dimana, Pak?” Yesy berinisiasi.
            “Di daerah deket Pedongkelan. Agak jauh sih emang kalo kalian jalan.”
            “Pokoknya di komplek TNI AL. Daerah Sunter.”
            “Lha, bapak gimana? Katanya tadi deket Pedongkelan?” sungut Sigit. Dia paling tidak suka dengan orang yang plin-plan.
            “Pokoknya di situ. Denger-denger lagi butuh guru. Siapa tahu kalian dibayar juga.” Iming-iming dari Pak Lasito.
            “Ya udah di sekolah mana, Pak?” kejar Shintia, cewek berjilbab yang nggak suka bertele-tele.
            “Jadi mau nih?” ulur Pak Lasito.
            “Oke, oke, maaf,” kata Pak Lasito yang melihat muka kami langsung bĂȘte, “Di SMA 72 Jakarta.”

Bersambung

Selasa, Desember 03, 2013

Me 'n Gozzan

Entahlah. Aku sendiri nggak tahu apa alasannya dan bagaimana hingga ia lebih dekat denganku. Awalnya, tak ada yang istimewa. Aku tak merasa dekat. Seperti ke anak-anak yang lain. Biasa. Namun, sekarang aku merasakan ia menyukaiku. Entah karena apa? Aku sendiri bingung. Dan akhirnya aku pun sangat menyayanginya. Lebih dari anak-anak itu.

Namanya Gozzan. Sampai saat ini aku tak tahu nama panjangnya. Dia adalah salah satu murid Comdev (Community Development) FBS, sekolah gratis untuk anak-anak daerah Pura Bali di belakang kampusku. Setiap orang akan gemes begitu melihat tubuhnya yang sangat “sehat” dibandingkan anak-anak yang lain. Tubuhnya bulat sempurna saking sehatnya. Rambutnya ikal dan agak sedikit panjang yang menyamarkan jenis kelaminnya karena maklum, masih anak-anak. Belum begitu jelas apakah dia perempuan atau laki-laki. Semua yang baru mengenalnya akan menanyakan, “dia cowok apa cewek?” Begitulah. Seorang anak yang punya daya tarik dari tubuhnya yang super besar ternyata “menyayangi” dan “mencintai-ku” dengan caranya. (semoga bukan perasaanku saja).

Gozzan. Seperti yang kubilang tadi. Awalnya, aku menganggap dia biasa-biasa aja. Nothing special. Hingga akhirnya aku menyayanginya. Sangat menyayanginya. Aku ingat pertama kali rasa itu tumbuh. Saat itu setelah bagi raport Comdev, Pengurus memutuskan untuk mengadakan outing-class di Ragunan. Kemudian keluar dari lisannya penuh ketulusan, “Pak Iqbal ikut gak? Kalo nggak ikut Gozzan nggak ikut”. Kemudian kukatakan padanya bahwa aku akan menyusul rombongan karena ada yang harus kukerjakan dan akhirnya senyum dari bibirnya terkembang.

Kemudian di liburan selanjutnya, saat jalan-jalan Comdev ke TMII dia menanyakan hal yang sama apakah aku akan ikut jalan-jalan atau nggak? Aku, saat itu, menjawab langsung pertanyaannya dengan anggukan tegas dan aku semakin terharu ketika di hari H saat akan berangkat jalan-jalan dia memberikanku beberapa bungkus makanan kecil yang sengaja dia bawa dari rumahnya. “Ini untuk pak Iqbal”. Lucunya, dia menolak memberikannya pada guru yang lain. Tidak juga pada Nadya dan Ardy (weks!!! :P)

Gozzan. Aku tak pernah memperlakukannya secara khusus. Aku memang terkadang gemes melihat pipi chubby-nya (hal sama yang pasti dilakukan semua orang saat melihatnya). Namun, setiap kali aku dating untuk sekedar melihat proses belajar mengajar Comdev, dia langsung tersenyum penuh makna ke arahku bahkan langsung memelukku.

Kata teman sekelas sekaligus guru Comdev, Nadya, anak kecil itu tak pernah bohong dan aku percaya rasa sayang Gozzan kepadaku juga bukan sebuah kebohongan. Rasa sayang yang ternyata mengalahkan cintanya pada Bu Nadya, Bu guru yang justru lebih banyak mencurahkan waktu dan pikirannya untuk Comdev. Dan ternyata rasa itu nggak hilang bahkan ketika setahun lebih aku jarang sekali bertemu dengannya karena tak lagi berurusan dengan Comdev. Amanah di  BEMJ yang menuntutku untuk nggak lagi terlibat di Comdev tak membuat Gozzan melupakanku. Hingga ketika liburan Comdev semester ini, saat outing-class di Museum Satri Mandala, lagi-lagi dia menunjukkan rasa cintanya padaku.
“Pak Iqbal. Sini! Makan bareng Gozzan.”

*Aku menyayangimu seperti engkau menyayangiku. Tulus setulus engkau mencintaiku. Terima kasih telah membuatku merasa bahwa aku berarti.