Technology

Pages

Minggu, September 05, 2010

Aku Ingin Membunuh Cungkring

AKU membuka penuh nafsu majalah mingguan langganan ibu. Saking nafsunya beberapa halaman akhirnya kubuat robek di bagian bawahnya. Kembali kubuka halaman daftar isi. Mencoba memastikan kembali ada di halaman berapa artikel yang ingin kubaca. Kutekuni lagi halaman demi halaman. Kali ini aku lebih santai dan lebih hati-hati supaya tak terlewat halaman yang kumau.
“Nah, ini dia.” kataku pada diri sendiri ketika kutemukan artikel yang kucari. Aku melakukan sedikit stretching kemudian mengubah posisi dudukku seperti biasa. Posisi duduk yang menurutku paling enak kalau sedang membaca. Mengambil sebuah bantal yang kusandarkan di kepala ranjang dan kurebahkan tubuhku di atas bantal itu.
“Tips menggemukkan badan,” kubaca judul artikel itu sedikit bersuara. Aku tersenyum dan merasa menemukan solusi dari masalah yang begitu mengganggu pikiranku beberapa minggu terakhir. Belum apa-apa aku sudah merasa sangat senang dan berpikir setelah melakukan tips-tips di majalah ini pasti takkan ada sebutan “Cungkring” lagi untukku.
Akhir-akhir ini aku merasa sangat tersinggung ketika teman-teman dan kerabatku memanggil Cungkring. Padahal sebelumnya tak ada masalah bagiku. Sekarang semua itu terasa seperti menelanjangiku. Aku sendiri bingung dengan perubahan sikapku ini. Apakah ini memang ketaksukaan yang sudah terakumulasi? Mungkin dari dulu aku memang tidak suka dengan panggilan itu dan saat ini perasaan itu siap meledak karena sudah terlalu lama mengendap. Ah, entahlah. Aku tak peduli alasannya. Sekarang aku harus fokus melakukan apa yang baru saja kubaca. Supaya tubuhku tak lagi seperti sapu lidi dan yang paling penting, “Pergilah kau, Cungkring!”
Selewat beberapa menit kuambil laptop di dalam tas, kutulis ulang artikel itu dan kuprint untuk kemudian kutempel diatas Styrofoam berjejer dengan jadwal kuliahku. “Selesai,” ucapku lega.
***
“Um, apalagi ya?” tanyaku pada diri sendiri. Kuambil kertas kecil di saku celanaku dan ku-cek ulang apa yang harus kulakukan hari ini. “Beli susu full cream sudah, daftar jadi member gym beres, ehm… apalagi nih? Ah, kayaknya ini dulu aja. Lainnya kan bisa nyusul nanti.” Kumasukkan lagi kertas kecil tadi ke tempat semula Beberapa menit kemudian aku sudah dalam perjalanan mengendarai Vega R-ku menuju rumah.
***
“Ndra, nanti sore kayaknya aku nggak bisa ikut latihan. Ada perlu nih.” Akhirnya kata-kata yang tadi sempat tak ingin kuutarakan keluar juga. Tak apalah sekali-kali bolos latihan band, pikirku tadi pagi. Tapi, karena sudah kepalang tanggung kukatakan, maka sekarang aku harus cari alasan yang meyakinkan. Nanti sore aku ada jadwal fitness dan aku tak mau seorangpun dari teman-temanku tahu. Malu. Pasti mereka bakal meledekku habis-habisan.
“Tumben. Emang urusan apaan? Biasanya lu yang paling getol ngomongin anak-anak buat nggak ninggalin latihan. Gue curiga nih. Jangan-jangan Cungkring yang satu ini lagi nyembunyiin sesuatu.” Indra memandangku dengan pandangan menyelidik. Membuatku merasa kikuk dan grogi. Akhirnya kusembunyikan perasaan itu dengan berpura-pura mencari sesuatu di dalam tasku. “Suer. Aku ada urusan penting nih. Cuma sekarang aku belum bisa ngomong urusan apa.” Aku berkilah. Menampakkan raut memohon supaya Indra sang ketua band mengabulkan pemohonanku.
“Please. Kali ini aja.” Aku menangkupkan tangan di depan dadaku. Kali ini wajahku kubuat begitu memelas. Persis seperti pengemis yang sering kutemui di lampu merah depan kampus. “Gue nanya ma anak-anak dulu ya. Kalo mereka ngebolehin ya… what’s to be done.”
“Ayolah, kamu kan ketuanya. Kalo kamu bilang iya, pasti mereka juga iya.” Indra terlihat berpikir sambil memainkan hape di tangannya. “Tapi…”
“Iya, aku janji kali ini aja.” kupotong omongannya cepat-cepat. Kuacak-acak rambutnya kemudian kuambil langkah seribu. “Tunggu! Maksud gue lu harus kasih sogokan ke gue.” teriaknya. “Beres.” kataku sambil berlari meninggalkannya sendirian di kantin. Wah, akhirnya aku bisa fitness dengan tenang nih. Tak terlalu susah juga minta ijin sama sang leader bandku.
***
Kuhempaskan tubuhku di atas ranjang tanpa melepas tas di punggungku. Kupandangi langit-langit kamar membayangkan tubuhku yang tak lagi kurus kering, sudah berisi, kekar, dan six-pack. Hm, jadi tak sabar. Kupalingkan wajahku dan kubaca lagi tips yang tertempel di atas Styrofoam.

From Skinny to be Fat
(Goodbye, Cungkring!!!)
1. Olahraga teratur (Nge-gym minimal harus seminggu tiga kali plus WAJIB olahraga di rumah setiap hari)
2. Minum susu full cream (Hem, yang ini asyik tuh. I like milk)
3. Makan teratur (Haha, masalah makan mah nggak usah ditanya. Tapi, jangan lupa! Sekarang kalau makan harus dikunyah baik-baik karena kata majalah kesukaan ibu—sedikit nggak percaya—menguyah makanan sampai halus dilakukan untuk mempermudah kerja lambung. Wah, jadi lama nih kalau makan)
4. Tidur yang cukup (Waduh, kalau harus nonton bola sampe malem gimana?)
5. Kurangi kebiasaan merokok (Cuih, seumur-umur aku belum pernah ngerasain rokok—bohong tingkat tinggi. Hehe—lho, udah boong pake senyum lagi. Wakwkakak—eh, malah ngakak)
6. Udah ah. Jangan banyak-banyak. Nanti malah kegemukan. (Alasan aja)

Aku mengangkat tubuhku seraya tersenyum membaca tips yang kutulis ulang itu. Sengaja kutambahkan kata-kata yang tak kutemui di artikel kemarin. Kuletakkan tasku di atas ranjang dan kulihat angka di layar ponselku menunjukkan angka 14.30. Berangkat ah.
***
“Jenis olahraga yang satu ini memang gampang-gampang susah.” Bang Rico, instruktur fitnesku, mencoba menjelaskan tentang push-up. Aku memasang telingaku baik-baik. Jangan sampai ada penjelasan darinya yang terlewat. “Sepertinya sepele sekali, cukup naik dan turunkan badan dibantu oleh otot tangan. Padahal kalau tidak dilakukan secara benar, manfaat push up tidak akan terlalu banyak berpengaruh lho.
Jadi, push-up yang benar seperti ini. Posisi tangan agak lebar di lantai, dan kaki bertumpu pada ujung jari, sehingga tubuh bisa ditopang dengan sempurna selurus mungkin. Kemudian buang napas sambil menekukkan sikut dan turunkan posisi bahu sampai tekukan sikut membentuk sudut 90 derajat. Dorong bahu ke atas sambil menarik napas hingga tangan lurus, tapi pastikan posisi sikut tidak terlalu kaku agar mudah ditekuk kembali,” aku memperhatikan Bang Rico mencontohkan gerakan push-up yang benar. Selama ini aku kalau push-up asal-asalan saja. “Usahakan untuk melakukan 2 set dengan repetisi 10-12 kali tiap set-nya. Ingat, jangan luruskan sikut terlalu kaku. Usahakan posisi kepala sejajar dengan punggung, jangan mendongakkan kepala ke depan agar posisi tulang belakang tetap netral. Push Up sendiri berguna untuk melatih otot dada, trisep dan otot pundak.”
Kemudian aku mempraktekkan apa yang baru saja dijelaskan oleh Bang Rico. Mencoba beberapa kali gerakan push-up yang baik dengan bantuannya. Ditambah gerakan-gerakan sederhana lain yang dibuat fun olehnya. Pertemuan selama satu setengah jam itu memang cukup mengesankan. Selain karena Bang Rico orangnya menyenangkan. Juga karena gerakan-gerakan di awal-awal pertemuan tak perlu menguras begitu banyak tenaga. Aku belum terbiasa olahraga.
Satu setengah jam akhirnya habis. Terasa begitu cepat kalau fitness sama Bang Rico. Tahu-tahu sudah selesai.
“Sip. Jangan lupa dilakukan rutin di rumah ya, Nino. Abang yakin proses penggemukan yang kamu mau bisa berjalan sesuai rencana kalau kamu konsisten olahraga dan tips-tips kamu yang kamu ceritakan. Mungkin bekal buat di rumah. Abang ada home-gym sederhana tanpa perlu insrtuktur. Yang pertama stretching alias pelemasan otot, sebelum melakukan aktifitas biasakan untuk melakukannya. Gerakannya cukup gerakan-gerakan yang kamu ketahui saja. Kemudian walking atau jogging dan sprinting. Yap, Pertemuan kali ini cukup. Ketemu lagi besok.”
***
“Lu mau ngomong apaan? Cepet. Gue mau ketemu sama pacar gue nih. Udah janji mau jalan.” Indra terlihat gusar ketika kupaksa dia bicara serius berdua. Pasti pikirannya ada pada Nayla, pacarnya. Aku menarik napas beberapa detik. Keberanian untuk bicara pasti muncul kalau berhadapan dengan Indra.
“Gini, Ndra. Aku cuma mau usul nih. Gimana kalau jadwal latihan kita diubah. Jadwal hari Selasa sama Kamis diganti hari Rabu-Minggu aja ya.” Aku langsung to the point. Indra tak punya waktu lama saat ini jadi harus langsung ke pokok pembicaraan. “Diganti? Nggak. Gue nggak bisa mutusin itu semua, Cungkring. Anak-anak gimana? Lu tahu sendiri dulu Fendi bela-belain jadwal ngajar bimbelnya diganti supaya bisa latihan hari Kamis. Dan hari Selasa kan lu juga tau kalo gue sama Bages nggak bakalan bisa. Cahyo sih fine-fine aja jadwalnya mau kapan. Dia kan available terus. Emang kenapa sih? Urusan rahasia yang kemaren?” aku mengangguk pelan. Sedikit kecewa karena Indra tak memberi lampu hijau atas usulku tadi. Dia melirik jam di tangannya.
“Gue yakin usul lu nggak bakal bisa diterima. Termasuk oleh gue. Jadwal latihan band kita udah paten. Susah kalo harus diubah.”
“Please, Ndra. Tolongin aku.” Lagi-lagi aku mengandalkan jurus memelasku. Tapi, kali ini tak berguna. Indra menggeleng dengan cepat. “Lu aja yang urusannya dipindah di hari yang nggak ada jadwal latihan band.” Indra kembali melirik jam di tangannya. “Nggak bisa juga. Instrukturku nggak bisa kalo hari Rabu. Apalagi hari Minggu. Jatahnya dia libur.”
“Instruktur?” Indra memandangku tajam. Keningnya berkerut mendengar aku menyebut kata instruktur. Aduh, keceplosan. “Em… Anu… Maksudku, itu… Orang yang punya urusan denganku.” Aku tergagap karena kecerobohanku sendiri.
“Okey. Kita bicarain ini nanti. Gue udah telat banget nih jemput Nayla. Yang jelas gue jadi semakin penasaran sama apa yang lu sembunyiin. Tapi, udahlah. Gue pergi dulu. Sorry ya.” Indra langsung angkat kaki dari hadapanku. Beberapa detik kemudian tubuhnya sudah tak terlihat. Hah, gagal.
***
Aku melepas sepatuku, menekan tombol on kipas angin di samping ranjang, dan kulepas kaos yang kupakai. Badanku terasa lengket karena keringat sehabis fitness tadi sore dan belum sempat mandi karena aku baru tiba di rumah. Sambil menunggu sistem ekskresi tubuhku tuntas mengeluarkan keringat, kuhidupkan ponsel yang sedari tadi kunonaktifkan. Langsung saja nada nocturnal sebagai message tone berbunyi berkali-kali. Ku klik tombol show kemudian kubaca salah satu sms dari Indra yang dikirimnya tadi sore.
CungkRinG, lu dMna?
qTa dah NungGu bWt lthaN..

Berikutnya masih ada beberapa sms dari Indra dan teman-teman bandku tertanda waktu yang sama seperti milik Indra yang barusan kubaca. Semua langsung sukses ku-delete tanpa kubaca. Pasti isinya pertanyaan mengapa aku bolos dan bla-bla lainnya. Hari ini lagi-lagi aku bolos latihan. Selama lebih dari dua minggu aku hanya ikut latihan beberapa kali. Jadwal fitnes yang selalu berbarengan dengan jadwal latihan band memaksaku lebih memilih untuk fitness. Pokoknya, untuk saat ini tak ada yang bisa menghalangi proses penggemukan badanku.
Nada nocturnal kembali berbunyi dari ponselku. Kulirik sejenak ponsel yang kuletakkan di atas meja belajar. Aku tak akan membalas sms itu kalau salah satu teman bandku yang sms. Tapi, setelah membaca sms itu aku hampir membantingnya saking kesalnya dan kubalas juga. Dari Fendi.
bgus ya.. skrng km lbh sibuk
sma urusan ga jlasmu itu…
skali lgi km ga latian km K.E.L.U.A.R..!!!
dri band kita.

Busyet! Emng kmu siapa, hah? Leader bukan.
Produser band kita? Bukan jga.
Km gag ada hak bwt n.g.e.l.u.a.r.i.n
AKU…. You know..!!!

You’re absolutely right. Tpi, ini udah kptusan qta tdi siang.
Tnya ja ma Indra atw yg lain.
Thanks…

Membaca sms terakhir Fendi akhirnya kuputuskan untuk menelepon Indra. Mengklarifikasi tentang berita yang membuatku ingin menelan hidup-hidup mereka. Seenaknya saja mendepak orang dari band.

“Halo, Cungkring. Ada apa? Kemana aja lu akhir-akhir ini jarang latihan.” Dari seberang Indra langsung meng-interogasiku. “Anu… itu…”
“Secret activity lu itu? Begini, Cungkring. Maaf nih. Tadi siang kita orang udah ngomong serius tentang kelakuan lu yang sok misterius itu. Keputusannya kalo sekali lagi lu nggak datang latihan lu keluar dari band kita. Sorry, aku nggak bisa bantu. Anak-anak semua setuju.” tanpa kutanya Indra membenarkan sms Fendi.
“Sekali lagi…” Kumatikan teleponku, memotong omongan Indra yang tak tahu mau bicara apa. Kuletakkan ponselku, kuangkat pantat, dan berdiri di depan cermin, memperhatikan tubuhku dengan seksama. Gara-gara tubuh kurus ini semua jadi berantakan.
Kuteliti setiap inchi tubuhku. Tak ada perubahan. Tubuhku masih saja ceking, kurus, sama sekali tak berisi, dan perutku semakin kecil. Tak ada tanda-tanda six-pack. Tubuh sapu lidiku masih tetap seperti sapu lidi. “Tenang, baru tiga minggu,” pikiran positifku membela diri. “Baru tiga minggu? Justru karena sudah tiga minggu kenapa belum ada yang berubah.”
“Nggak mungkin secepat itulah,” dua sisi pikiranku beradu argumen. “Bullshit! Udah, mending nggak usah aneh-aneh. Syukuri saja tubuh sapu lidi ini.”
“Usaha ini namanya. Masak baru gini aja udah mau nyerah.” Tak tahan dengan debat pikiranku sendiri, kuguyur badanku di kamar mandi berharap semua itu berhenti. Dan berhasil. Pikiranku jadi lebih tenang.
***
Kurasakan seseorang menarik kerah belakang bajuku. Tanganku berusaha melepasnya tapi gagal. Cengkeramannya begitu kuat atau tenagaku yang terlalu lemah. Hah, payah. Untuk melindungi diri saja aku tak bisa. Pasti akibat tubuh kurusku ini aku jadi tak punya tenaga sekuat yang kubutuhkan saat ini.
Orang kurang ajar di belakangku membawaku masuk ke sebuah ruangan di gedung Fakultas Bahasa dan Seni. Di tempat itu, sudah berkumpul teman-teman band-ku. Aku didudukkan di sebuah bangku dan aku baru tahu ternyata orang yang membawaku adalah Bages. Pantas saja, tubuh kurusku tak mungkin menang melawan tenaga sang gajah.

“Maaf kalo akhirnya kami ngelakuin ini. Kalo nggak seperti ini pasti lu langsung ngilang setelah kelas selesai.” Aku menatap mereka satu-persatu. Mata Indra yang menjadi tempat aku meminta bantuan. Tak kutemukan pandangan menyalahkan seperti yang lain di matanya.
“Ancaman kami untuk mengeluarkan kamu dari band ternyata nggak berhasil. Malah, kamu semakin sering bolos.” Cahyo meneruskan omongan Indra. “Maaf, kalo kami memutuskan untuk memata-matai kamu beberapa hari ini dan sekarang kami minta penjelasan, kenapa kamu lebih mementingkan ikut fitness daripada latihan band,” ucapan Cahyo membuatku tertegun. Memata-matai? Sialan. Aku merasa kecolongan.
Aku masih diam menatap mata Indra. Berharap bantuan darinya segera dia lakukan. Dia malah melepas pandangannya dariku.
Hah, mereka sudah tahu semuanya dan mungkin memang sekarang saatnya aku mengatakan tujuanku ikut fitness dan tentang panggilan Cungkring. “Aku cuma pengen membentuk dan menggemukkan badanku doang. Itu saja. Ada yang salah?”
“Tak mungkin kalo cuma itu alasannya. Kita tahu siapa kamu, Cungkring. Alasan sepele seperti itu tak mungkin mengalahkan komitmen band yang sudah kita buat. Pasti ada…”
“Fine, aku cuma pengen gemuk. Aku pengen tak sekurus ini. Aku pengen tubuhku lebih berisi. Aku pengen tubuhku lebih proporsional, tak keliatan seperti sapu lidi kayak gini. Dan paling penting aku pengen menghilangkan panggilan Cungkring karena nama asliku lebih keren. NINO.” Aku berkata dengan satu tarikan napas, menarik napas sekali lagi dan siap untuk mengeluarkan uneg-unegku. Kupandangi mereka sekali lagi dan semua diam mendengar omonganku. “Ada lagi yang masih mau ditanyakan? Hari ini aku ada jadwal nge-gym nih.”
“Oalah, jadi itu alasannya toh. Ngomong kek dari dulu kalo ente nggak suka dipanggil Cungkring.” Fendi berkata sambil tersenyum. Mencoba mencairkan suasana tapi justru membuat kami semakin terdiam. Aku pura-pura melihat jam di layar ponselku. Kejadian ini membuatku tak ingin berangkat fitness hari ini. Malas.
“Benar kata Fendi. Kenapa lu nggak ngomong dari dulu, Cungkring. Maaf, maksudku Nino. Kita memanggilmu Cungkring bener-bener tak ada maksud menghina fisik lu. Dan bukankah semua orang juga memanggilmu Cungkring? Lalu kenapa band kita yang jadi korban. Perlu lu tahu kita terima lu apa adanya. Justru kita lebih seneng seorang Nino yang punya tinggi 180-an dengan berat badan tak pernah melebihi angka 45 tapi punya komitmen tegas buat kemajuan band. Nino yang dulunya paling rajin mengingatkan tujuan kita membentuk band ini, Nino yang supel, nggak neko-neko, dan semua berubah gara-gara lu nggak suka panggilan Cungkring, tapi lu cuma diam nggak mau ngomong terus terang.” Indra angkat bicara. Bages mengangguk diikuti Cahyo kemudian Fendi.
“Kita tak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, kawan. Sudah sepatutnya kita bersyukur atas apa yang kita punya. Terkadang setelah kita mendapatkan apa yang kita inginkan, kita baru tahu bahwa kita tak lebih bahagia dengan keinginan yang sudah kita dapatkan itu.” Seperti biasa, kalau Indra sudah bicara pasti luluh semua. Tak terkecuali aku.
Akupun seperti tersadar kalau pikiranku akhir-akhir mungkin salah. Mengapa aku tak mengatakan terlebih dulu kalau aku tak suka dipanggil Cungkring sebelum melakukan tindakan bodoh seperti kemarin. Untung aku belum resmi dikeluarkan dari band. Atau jangan-jangan sudah? Wah, tambah ribet urusannya. Terus, panggilan Cungkring sendiri bagaimana? Apa memang aku benar-benar tak suka dengan panggilan itu? Payah. Mengapa jadi plin-plan begini. Tak enak rasanya mendengar Indra memanggilku Nino, nama asliku.
“Maaf, kalau sebagai teman kami kurang peka.” Indra masih terus bicara namun aku lebih sibuk dengan pikiranku sendiri.
Ada yang salah nih. Sebelum nasi jadi bubur aku harus berpikir cepat, Cungkring atau Nino sebenarnya yang kumau? Apa benar aku tak suka dengan panggilan Cungkring? Apa benar aku tak suka dengan panggilan Cungkring? Pertanyaan ini terus mendengung di telingaku. Kayaknya semua ini hanya emosi sesaat. Benar-benar terasa gatal telingaku mendengar panggilan Nino.
Aku mencoba mengundinya dengan jari tanganku. Diam-diam tentu saja. Nino. Waduh, masih kurang sreg. Kucoba sekali lagi mengundinya dengan kancing bajuku. Nino lagi. Hah, aku menyerah. Harus dibiasakan mendengar sebutan Nino tersemat padaku mulai saat ini.
Tapi, tunggu dulu. Aku minta kesempatan sekali lagi pada diriku sendiri. Kalau memang Nino lagi hasilnya kali terakhir ini maka selamat tinggal Cungkring. Aku harus mengundinya untuk yang sekali lagi. Ehm, pakai jumlah orang yang ada di ruangan ini saja.
Nino. Cungkring. Nino. Cungkring. Nino. Yah, ternyata benar-benar selamat tinggal nama Cungkring. Namun, tiba-tiba terdengar suara ketukan dan seseorang masuk. Nayla, berjalan sambil memamerkan senyum manisnya. Aku menghela napas lega sekaligus bahagia. Nayla menyelamatkan si Cungkring. Kuulangi sekali lagi, memastikan. Nino, Cungkring, Nino, Cungkring, Nino, dan Cungkring.
Aku tersenyum sedikit cekikikan. Membuat teman-temanku sekarang mungkin berpikir aku gila. Ternyata, ini yang kumau. Namaku Nino dan tetap panggil aku si Cungkring.


Rawamangun, 12 Agustus 2010

4 komentar:

gamer mengatakan...

hem...
lanjuktan...

Pertiwi Anggraeni mengatakan...

justru saya ingin sekali menjadi kurus hahahah

ceritanya menghibur dan punya pesan.
good job :)

Ni Ketut Pertiwi A mengatakan...

justru saya ingin sekali jadi kurus hahahaah

ceritanya menghibur dan punya pesan
good job :) :)

Mardiana Kappara mengatakan...

cerita yang menarik. lam kenal ^_^