Technology

Pages

Rabu, Agustus 21, 2013

Aku Tunggu di Fotokopian

SATU sms aku kirim kembali. Mungkin kali ini akan ada balasan.

Q tn9gU di FtoCopIaN. Da y9 iNgN Q oMogIn
Status: Delivered to My Honey

Kutunggu jawaban dari sms yang kukirim. Lima menit, sepuluh menit, tiga puluh menit. Tetap belum ada balasan. Kucoba untuk menelpon Marsya akhirnya. Aktif. Tapi, kenapa nggak diangkat. Aku tak mau berpikir macam-macam. Mungkin masih ada guru di kelasnya hingga sms dan telepon dariku diacuhkannya. Terus kupandangi layar hape-ku. Sebuah wallpaper tokoh kartun laki-laki dan perempuan.yang terlihat mesra menghiasinya. Berjalan bersisian yang sekali waktu si lelaki mencuri kesempatan mencium si perempuan. Ingin rasanya bisa seperti itu. Tapi, apa mau dikata. Marsya selalu menolak untuk berjalan berdua. Pasti ada saja temannya yang menjadi destroyer kencan kami.

“Ketika seorang laki-laki dan perempuan berduaan, orang ketiganya adalah setan.” katanya memberi penjelasan.

Marsya Safitri. Aku menerawang jauh ke masa ketika aku mulai pedekate. Sebuah ritual yang sangat mudah bagiku. Rayu, kasih hadiah, taklukkan. Tapi, ternyata tidak mudah untuk mendapatkan seorang Marsya. Tidak mempan dengan rayuan, tidak mau dikasih hadiah dan tentu saja tidak bisa aku taklukkan. Sebenarnya dulu tidak ada niat buat menjadikan Marsya sebagai pacar. Aku, seorang Dizky Farista yang menjadi idola di sekolah, yang pasti tidak cukup sulit untuk menjadikan siapapun untuk menjadi kekasih, memilih seorang Marsya yang sebenarnya biasa-biasa saja. Orangnya memang cantik. Tapi, menurutku, sebenarnya aku masih bisa mendapatkan seorang yang lebih dibandingkan Marsya.

Hah, dari awalnya memang cuma iseng menjadikan dia sebagai objek taruhan. Tapi, yang terjadi sekarang sungguh di luar dugaanku. Aku menjadi pemuja seorang Marsya. Aku tidak bisa kalau dia pergi jauh dariku. Aku selalu berharap bahwa dia akan menjadi milikku selamanya. Aku benar-benar sudah jatuh cinta padanya.~El-Kharis~Aku sedang asyik menyeruput es jeruk yang aku pesan dari penjaga fotokopian ketika tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.

“Dizky..”

Aku langsung menoleh mendengar suara yang sungguh begitu ingin aku dengar sedari tadi. Marsya tersenyum memamerkan giginya yang putih. Wajahnya ceria. Itulah salah satu yang membuat aku begitu sulit melupakan dia. Tak pernah terlihat murung, walaupun kadang aku tahu dia sedang sedih.

Aku masih ingat kejadian waktu kakaknya masuk rumah sakit dan akhirnya meninggal akibat penyakit malaria yang di deritanya. Tak ada raut kesedihan ketika kakaknya dimakamkan. Dia terlihat tegar, bahkan masih bisa tersenyum melihat kakaknya disemayamkan di liang lahat. Aneh, itu komentar yang aku lontarkan ketika aku bertanya dan dia, masih dengan tersenyum mengatakan “Dia adalah kakakku, Dizky, tapi tak pantas buatku menangisi kepergiannya. Aku memang sedih tapi, aku nggak mau menangis. Ini semua sudah ada yang ngatur. Buat apa aku menangis padahal masih banyak yang harus aku lakuin. Aku ikhlas.”

Benar-benar aku tidak mengerti jalan pikirannya.

“Dizky, kok ngelamun? Aku lagi ngomong sama kamu. Ada masalah ya?” tuh kan, aku cuekin saja dia masih saja sabar. Marsya… Marsya, kenapa kamu nggak marah sih?

Dia kemudian mengambil kursi dan duduk. Tidak begitu dekat denganku. Seperti biasanya.“Eh, enggak-enggak, aku cuma berpikir bahwa aku beruntung bisa pacaran ma kamu. Udah cantik, sabar, baik hati, pengertian, pokoknya beruntung deh aku bisa jadi pacar kamu.” Dia tersenyum. Aku memperhatikan wajahnya.

“Diz, ada apa nih kamu ngajak aku ketemuan?” dia bertanya tanpa memandangku. Aku sudah tahu semua kebiasaannya. Tidak mau berduaan, tidak mau dipegang, dan kalau bicara tidak pernah memandangku. Dia bilang ghadul bashar alias jaga pandangan. Aku sih awalnya tersinggung, tapi, ketika dia memberi pengertian, aku akhirnya menerima walaupun dengan terpaksa. Katanya juga dia melakukan ini yaaa… yang utama dia menghormati aku (aku tidak mengerti), kemudian katanya bahwa aku dan dia belum tentu berjodoh jadi, dia tidak mau untuk disentuh. Hah, pokoknya pertama kali aku jadian sama dia aku selalu dibikin eneg..

“Kok ngelamun lagi? Bener nih nggak mau cerita? Kalau gitu mending aku pergi aja ya, kayaknya kamu perlu sendiri.” kata Marsya yang melihat aku cuma melamun. Dia lalu beranjak dari tempat duduknya, aku berusaha memegang tangannya, dan dengan sigap dia menariknya. “Sorry.” kataku meminta maaf.

“Diz, aku pergi aja ya. Kamu kayaknya nggak lagi pengen diganggu.” lagi-lagi Marsya tersenyum. “Jangan pergi. Aku butuh kamu.” aku memasang tampang memelas. Aku tidak mau dia pergi.

“Ya udah, kamu mau ngomong apa?” tanyanya kemudian. Dia kembali duduk di tempat duduknya semula. “Kalau mau cerita, cerita aja! Siapa tahu aku bisa bantu. Paling tidak bisa ngurangin beban kamu. Tapi, cepet ya. Waktu istirahat tinggal sepuluh menit lagi nih.”

“Ok deh.” kata ku akhirnya.

Sepuluh menit berlalu. Namun, aku belum bisa mengatakan apa-apa. Aku hanya berbicara tidak keruan. Tidak jelas jalurnya. Sebenarnya aku tahu kalau dia kecewa aku menyita waktunya untuk hal yang sia-sia. Tapi, itulah Marsya, lagi-lagi dia membuatku terpesona. Dia tidak menampakkan kekecewaannya. “Aku harus masuk kelas, udah masuk nih. Kalau masih ada yang mau dibicarakan nanti aja pulang sekolah.”

“Makasih ya.” kataku tulus. Dia beranjak dari tempat duduknya meninggalkanku sendiri di sini.

*****

sPerTi bIaSA, aKu tuNg9u Di FtOcpIaN
Status: Delivered to My Honey

Aku masih termenung memikirkan masa-masa indah bersama Marsya. Sebenarnya apanya yang indah. Kita berdua tidak pernah jalan bareng, tidak pernah ada malam minggu dalam kamusnya, dan tidak pernah ada kata berduaan buat kami. Tiba-tiba aku berpkir bagaimana kalau dia meninggalkanku. Aku tak bisa membayangkan lebih jauh. Pokoknya, Marsya harus jadi milikku seorang. Aku tak mau dia pergi.

Sedetik kemudian Marsya sudah ada di belakangku. “Diz… kamu ada masalah apa sih? Cerita dong..! siapa tahu aku bisa bantu kamu.” dia berkata sambil menyeret kursi plastik di depan rak minuman. “Aku bingung mau cerita dari mana?” mataku beradu pandang sejenak untuk kemudian dia kembali menunduk seperti biasa. Ghadul bashar lagi.

“Ya udah, kamu bicara apa yang kamu anggap pen…”

“Aku sayang ma kamu dan aku nggak ingin kamu pergi.” aku menghentikan omongan Marsya. Kulirik wajahnya yang masih menunduk. Kucoba menebak apa yang dia pikirkan saat ini. Marsya mengangkat wajahnya namun, kembali menunduk ketika mengetahui aku memperhatikannya. “Jangan pandang aku seperti itu.” pintanya.

Aku diam sambil terus memperhatikan Marsya. Aku tidak peduli apa yang dikatakannya barusan. Dia terdiam. Aku pun tak ingin mengatakan apapun. Aku telah mengatakan apa yang ingin aku katakan. Dia menghela nafas panjang.

“Maafkan aku, Dizky, kayaknya aku harus meninggalkanmu saat ini juga.”

Aku terpaku. Pergi…. Tidak!!!… Marsya tidak bisa pergi. Marsya harus jadi milikku. Ya, dia tidak bisa meninggalkanku begitu saja.

“Maafka…”

“Kenapa, Sya..?” kembali kuhentikan omongannya. Dia masih menunduk “Perhitunganku salah.” kata Marsya.

“Perhitungan apa?” aku tidak mengerti maksudnya. “Diz, aku minta maaf. Sebenarnya aku melakukan ini semua….” Marsya berhenti.

“Aku kira aku bisa merubahmu. Aku pikir aku bisa mendapatkan cinta yang sesungguhnya dengan menjadi orang yang deket denganmu dan menghentikan kebiasa…”

“Jadi….. kau mempermainkan aku.” sekali lagi aku menghentikan omongannya.

“Bukan itu maksudku.” katanya. Terdengar isakan di sela-sela bicaranya. “Sya, kenapa kamu malah nangis?”

“Dizky, aku ingin merubahmu. Aku ingin membuatmu sadar bahwa kebiasanmu selama ini salah. Kamu selalu mempermainkan perasaan wanita tanpa pernah merasakan bagaimana perasaan mereka setelah kau sakiti.

Ketahuilah, aku deket denganmu supaya kau mengenal Dia. Aku ingin kau tahu Dia yang lebih pantas untuk dicintai. Dia yang cinta-Nya aku cari selama ini.” isakan Marsya semakin terdengar. Kulihat beberapa kali dia meneteskan airmata. “Jadi… kau hanya memperalatku. Kau mendekati aku supaya kau bisa deket denganya dan akhirnya pacaran, hah..? aku jadi penasaran siapa yang sudah merebut hatimu dariku.”

“Dia bukan siapa-siapa. Tapi, Dialah yang menciptakan cinta. Dia yang lebih pantas dicinta dan cinta dari-Nyalah yang seharusnya kita cari.”

“Alah, bullshit..” kataku menyumpah. “Dizky, jangan bicara seperti itu. Aku tahu bahwa aku telah bersalah tak mengatakan yang sebenarnya. Kini aku tahu bahwa usahaku selama ini sia-sia. Kau deket dengan-Nya karena aku, bukan karena keikhlasan yang aku inginkan.” aku biarkan Marsya bicara semaunya. Hatiku sudah hancur sekarang. Orang yang kucintai sepenuh hati ternyata hanya memperalatku. Disaat cinta itu benar-benar kurasakan, cinta itu malah menghancurkan hatiku.

“Aku minta maaf. Aku harus pergi.” Marsya beranjak dan aku hanya bisa menatapnya tanpa bisa menghentikannya. Biarlah dia tidak mengatakan yang sebenarnya, tapi, jangan tinggalkan aku. Aku mencintaimu, Sya. Aku terima apa yang kau lakukan padaku. Tolong jangan tinggalkan aku.

*****

Sudah seminggu Marsya tidak masuk sekolah. Teman-teman sekelasnya pun tidak tahu kenapa. Saat aku berusaha ke rumahnya untuk tahu kenapa dia tidak berangkat, aku mendapati rumahnya telah kosong. Tetangga sebelahnya pun sama tidak tahunya seperti teman-teman Marsya. Aku jadi bingung. Kemana lagi aku harus cari tahu keberadaan Marsya.

“Sya, kamu dimana? Aku memaafkanmu. Jangan buat aku merana.”

*****

Aku merobek sampul surat yang kupegang.

Teruntuk Dizky Farista,

Assalaamu’alaikum.

Diz, di surat ini aku harus jelaskan semuanya. Memang tidak seharusnya aku melakukan ini padamu dan aku tahu aku salah. Tapi, tolong maafkan aku. Sekarang aku harus mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak ingin kau salah paham.

Aku mendengar apa yang kau rencanakan terhadapku bersama Tyo dan Angga. Kau menjadikan aku objek taruhan hanya karena kau ingin mendapatkan uang enam ratus ribu. ketika aku mendengar itu aku heran, orang sepertimu menjadikan perasaan seorang wanita demi uang yang tak seberapa buatmu. Kau orang berkecukupan bahkan kaya dan itu menjamin bahwa kau tidak akan kekurangan uang. Namun, aku akhirnya tahu bahwa bukan uang yang jadi tujuanmu. Tapi, karena gengsi yang kau miliki. Kau tidak bisa berbuat seperti ini terus. Pasti, suatu saat kau akan merasa kehilangan saat orang yang kau cintai pergi meninggalkanmu.

Aku berhenti membaca surat dari Marsya. Sya, kamu benar. Saat ini aku merasa telah kehilangan separuh nyawaku. Kau yang telah membawanya.

Aku kembali melanjutkan membaca surat di tanganku.

Pada awalnya aku berpikir aku telah berhasil merubah kebiasaanmu. Kau bukan Dizky yang dulu. Tapi, ternyata aku salah. Kau memang berubah namun, kau berubah karena aku. Kau telah benar-benar mencintaiku.

Dizky, perlu kau tahu, ada yang lebih berhak dicintai dan lebih pantas untuk kau harapkan cintanya. Cinta dari Dzat yang menciptakan cinta, cinta untuk Dzat yang menciptakan kita. Dialah Tuhan yang telah menciptakan apapun yang ada di dunia. Dia sangat pencemburu, Dizky. Karena itu, aku tak berani mengkhianatinya. Percayalah, tanpa Dia cinta itu tidak bakal ada.

Sekarang aku harus pergi. Aku tak bermaksud menghakimimu. Aku juga tak bermaksud untuk mengguruimu. Aku memang tidak ingin terjerat pada cinta yang bisa membutakan kita. Siapa yang bisa menjamin bahwa kita nantinya tidak akan terjerumus ke dalam jurang nafsu. Kalau memang kita jodoh aku akan jadi milikmu. Sekali lagi maafkan aku. Aku harus pergi. Satu hal yang kini aku sadari dan aku tak mau ini terjadi sekarang. Aku sadar ‘Aku juga mencintaimu’. Maafkan aku, Dizky.

Wassalaamu’alaikum Salam
Maaf dariku Marsya

Aku meletakkan surat Marsya yang ia titipkan pada temannya untukku. Marsya memutuskan pindah ke Semarang, tempat saudara ibunya. Mataku tak kuasa menahan tangis yang sedari ingin kutumpahkan. Maafkan aku, Sya, aku telah salah menilaimu. Aku akan menunggumu.

*****

Aku menyandarkan kepalaku pada kursi yang aku duduki. Tugas-tugas yang harus aku kerjakan akhirnya selesai. Aku mengecek ulang apa yang telah ku kerjakan. Kontrak dengan PT Global Makmur telah kutandatangani, Laporan Keuangan Kantor telah aku cek, dan Daftar Tunjangan yang harus ku berikan kepada karyawanku telah kupelajari. Tiba-tiba Dinda, sekretarisku, masuk.

“Pak, Ibu tadi telpon, dia bertanya dimana bapak dan beliau mau ketemuan. Katanya anak-anak sudah nggak sabar ingin liburan bareng ayahnya.” kata Dinda.

“Oh, ya sudah, terima kasih.” Dinda keluar ruangan.

Kuambil handphone yang kutaruh di dalam tas. Ku klik menu kemudian pesan, tulis pesan dan kukirim satu sms pada istriku.


Aku tunggu di fotocopian samping sekolah
Status: Delivered to Istriku.