(Juara II Lomba Cipta Cerpen Islami, Universitas Lampung, 2008)
HARI berjalan dengan angkuhnya. Matahari bersinar terik. Panasnya kurasakan seperti jarum yang menusuk seluruh persendianku. Kupercepat langkahku. Aku ingin segera sampai di tempat kosku. Yah, meskipun bukan tempat kos yang mewah, setidaknya panas matahari yang membuat tenggorokanku kering tak lagi kurasakan.
Selewat beberapa menit akhirnya aku sampai di tempat yang kuinginkan. Aku mengambil anak kunci di dalam tasku dan membuka pintu. Begitu pintu terbuka, kujejak lantai kos-kosan. Namun, belum sempat kututup pintu di belakangku tiba-tiba sebuah tangan menarik kerah bajuku dan mendorong tubuhku ke dinding. Dani, teman satu kosku, mencekik leherku dengan kuat dan memandangku tajam. Kupandangi Dani. Aku tahu, saat ini dia sedang berusaha keras menahan rasa sakitnya. Wajahnya berkeringat, tangan yang saat ini masih mencengkeram leherku terasa panas, sesekali dia kejang-kejang kecil dan menggigil.
“Dimana lu sembunyiin koncian*1 gue?” Cengkeraman Dani semakin kuat. Aku berusaha menarik tangannya. Sia-sia. Tenaga Dani lebih kuat. Di saat seperti ini dia akan melakukan apapun asal barang yang diinginkannya bisa didapat.
“Heh, lu budek ya!” Kali ini Dani menyarangkan tinjuannya tepat di rahangku. Sudut bawah bibirku pecah. “Ayo ngomong! Atau lu pengen gigi lu gue rontokkin!” Sekali lagi Dani meninjuku. Kutatap matanya lekat-lekat. Berharap dia bisa membaca keinginanku agar dia segera menghentikan semua ini.
“Dan, aku nggak tahu bedak*2 yang kamu cari. Kalaupun aku tahu, sumpah, aku nggak akan memberikannya padamu.”
“Lu udah bikin temen lu sengsara, kampret! Cepet ngomong dimana lu sembunyiin koncian gue!” Aku tetap diam. Aku tak mau 1 gaw*3 putauw yang kusembunyikan jatuh ke tangannya. “Heh, lu bisa diajak ngomong baik-baik nggak sih?” Lagi-lagi Dani meninjuku. Entah untuk yang keberapa kalinya. Darah kembali menetes dari sudut bibirku.
“Lu bilang lu temen yang baik. Temen apa? Sialan!” Bertubi-tubi kudapat serangan dari Dani. Kutahan semampuku. Ingin rasanya kukatakan dimana putauw yang kusembunyikan tapi, tak urung hatiku melarangnya. Sia-sia saja apa yang telah kulakukan.
“Anjrit! Diberi kesempatan kok malah ngelunjak.” Akhirnya perut yang dari pagi belum kuisi kali ini menjadi sasaran. “Dan, kalau kamu nggak percaya, silakan kamu geledah kamarku!” kataku sambil menahan perutku yang terasa mulas.
“Kalau lu nggak mau ngomong. Kurasa kali ini lu bakal… hueks!” Tanpa bisa kucegah Dani muntah dan mengenai sebagian seragamku. Bau bacin langsung tercium. Cengkeraman tangannya mengendur dan akhirnya lepas. Tubuh Dani ambruk. Tanganku masih memegangi perutku yang terasa sakit hingga aku tak kuasa untuk membantunya, memapah tubuhnya untuk berdiri. Sedetik kemudian Dani berlari keluar. Kupandangi tubuhnya dari balik kaca. Aku berdoa semoga ia bisa menghadapi masa sakaw-nya kali ini.
Tubuhku kemudian melorot. Kusandarkan kepalaku ke dinding. Darah kembali menetes dari sudut bibirku. Tiba-tiba kenangan pertama kali aku bertemu dengan Dani tampak seumpama kaset yang terputar di dalam memoriku.
Waktu itu, setelah lebih dari tiga jam kesana kemari mencari tempat kos tanpa hasil, kuputuskan untuk mencari sebuah warung sekedar menyegarkan tenggorokanku. Tak begitu sulit untuk mencari warung di sekitar sekolahku. Kupilih sebuah warung yang kelihatan bersih.
“Mbak, es-nya satu,” kataku pada sebuah perempuan muda penjaga warung. Kuperhatikan wajah perempuan itu. Dia terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Kutaksir umurnya tak lebih dari dua lima tahun, namun terlihat seperti sudah berkepala tiga.
Kulemparkan pantatku di salah satu kursi sambil menunggu es yang aku pesan. Kuedarkan pandanganku. Di sudut kanan, dekat dengan rak minuman kaleng, terdapat seorang pria dengan wanita yang duduk berdua. Mesra. Tangan si lelaki memegang tangan si perempuan yang tanpa malu-malu kemudian mendekati si lelaki dan menyandarkan kepalanya di pundaknya. Tak pernahkah terlintas di benak mereka bahwa semua yang ada di dalam warung ini, termasuk aku, akan memberikan kesaksian kelak. Sebuah kesaksian untuk apa masa remaja mereka gunakan. Masa muda yang harus mereka pertanggungjawabkan di hadapan Dzat Yang Maha Kasih. Cinta mereka pun akan mereka pertanggungjawabkan karena cinta kepada makhluk-Nya tak boleh melebihi cinta kepada Dzat Yang Menciptakan Cinta.
Untunglah, sejak dulu, tak pernah terpikir olehku untuk berpacaran. Buat apa pacaran, aku menuntut ilmu adalah amanah. Amanah dari ibu dan bapakku yang tiap hari bekerja keras, memeras keringat mereka, demi mewujudkan cita-citaku. Amanah yang tak mudah untuk dijalankan.
Kembali kuedarkan pandanganku, masih ada beberapa pasang muda-mudi yang terlihat tak jauh beda dengan pasangan di sudut kanan itu .
“Ini es-nya.” Perempuan penjaga warung itu meletakkan segelas es jeruk di depanku. “Baksonya enggak?” tanyanya sambil tersenyum. Aku menggeleng. Meskipun perutku lapar, kupikir aku masih bisa menahannya sampai nanti sore.
Aku menyeruput es di depanku. Rasa dingin langsung mengaliri tenggorokanku. Alhamdulillah, ucapku dalam hati.
“Lu sekolah di SMA Satu juga ya? Kelas satu juga kan?” Seorang laki-laki seumuranku yang sedari tadi duduk sendiri tak jauh dariku menghentikanku minum es. Aku mengangguk. “Lu lagi cari tempat kos ya?” tanyanya lagi. Aku kembali mengangguk. Kupikir dia tahu aku sedang mencari tempat kos karena tas besar yang kubawa.
“Cari yang seperti apa?” Kalau untuk yang ini aku harus bicara. Aku berharap bisa dapat kosan yang bisa kutinggali dengan nyaman. Ya nyaman tempatnya, nyaman kondisinya, juga tentu saja nyaman di pikiran, karena biayanya tak tak terlalu mahal. “Yang nyaman tapi murah,” kataku. Laki-laki tersenyum.
“Oh, ya udah, ikut gue aja.” Laki-laki itu mengulurkan tangannya. “Dani.”
Aku menjabat tangannya. “Aidhil Ishak.”
Akhirnya, Dani menjadi teman terdekatku. Selain karena dia satu kos denganku ternyata aku juga satu kelas dengannya. Namun, beberapa bulan sebelum kenaikan kelas Dani berubah. Ya, sejak kedua orang tuanya bercerai, dia sering pulang malam, merokok, bolos sekolah, sampai pernah beberapa kali kupergoki dia sedang minum alkohol di kamar kosnya. Aku tak tahu sudah kali keberapa kuperingatkan dia, tapi omonganku selalu dianggapnya angin lalu. Kemudian sebulan sejak kenaikan kelas itu, tepatnya ketika kami telah duduk di kelas dua, aku mengetahui kalau dia telah menjadi seorang pecandu. Saat itu yang kutahu bukan hanya karena orang tuanya bercerai dia berubah dan akhirnya berteman dengan narkoba. Usaha bapaknya yang bangkrut, ibu kebanggaannya yang ketahuan selingkuh dengan teman kantornya dan tidak ada yang peduli dengan nasibnya saat itu hingga ia juga tak lagi peduli dengan hidupnya sendiri.
Dia menjadi sosok yang suka marah-marah bahkan untuk hal yang sepele. Pikirannya sering ngelantur. Kadang dia ketawa sendiri di dalam kamarnya. Hah, aku merasa tidak betah untuk tinggal satu kos dengannya waktu itu. Namun, sebagai seorang teman, aku harus membantunya keluar dari masalahnya sekarang. Aku harus bisa mengembalikan semangat hidupnya. Aku harus berusaha menyembuhkannya.
Adzan ashar yang terdengar dari masjid di depan gang mengembalikan ingatanku. Aku masih terduduk dengan mata sedikit basah. Darah masih menetes dari sudut bibirku. Dengan perlahan aku bangkit, beranjak ke arah kamar mandi mengambil air wudlu. Kemudian kudirikan empat rakaat shalat ashar seraya memanjatkan doa agar aku diberi kemudahan.
Ya Allah, bantulah hamba-Mu ini, doaku.
El-Kharis
“Dibawa ke RSKO*4 atau Pusat Rehabilitasi saja, Akhi. Itu jalan terbaik. Ane takut kalau tidak segera, antum terus-terusan yang jadi korban.” Lelaki di depanku berkata dengan pandangan iba ketika kuceritakan kejadian kemarin sore. Saesar, adalah satu-satunya orang yang bisa kumintai saran. Lagipula dia pernah ikut seminar tentang narkoba yang diadakan BNN*5 selama tiga hari di Bandar Lampung. Mungkin saja dia bisa memberitahuku bagaimana cara penyembuhan terhadap Dani.
“Akh, aku udah berusaha bicara dengan Dani ketika pikirannya sedang jernih. Akhir-akhir ini dia memang mengatakan ingin sembuh. Dia juga berharap aku bisa membantunya, tapi dia tidak mau kalau harus masuk Pusat Rehabilitasi. Dia tidak mau semua orang tahu dia seorang pecandu.”
“Dia udah ngomong kalau dia pengen sembuh? Akhi, ini kemajuan. Tapi, saranku cuma itu. Kita tidak bisa melakukan apa-apa selain membawanya ke pusat rehabilitasi.” Saesar menatapku teduh. Aku yang masih merasakan sakit akibat kejadian kemarin merasa mendapatkan sedikit penawar. Saesar kemudian tersenyum. “Apa memang tidak ada cara lain? Aku mengenal betul siapa Dani. Kalau dia udah ngomong tidak, aku tidak bisa membuatnya ngomong ya.”
“Apa untuk masalah ini dia juga tidak bisa dibujuk. Ini untuk kebaikannya, Akhi. Tolong antum bicara lagi dengannya kecuali…” omongan Saesar menggantung. Dia terdiam beberapa saat. Pandangannya beralih ke arah lapangan basket di depan kami. Aku penasaran dengan ucapannya yang tiba-tiba berhenti.
“Akhi, mungkin ini bisa jadi cara terakhir kita.” Saesar kembali berhenti tanpa mengalihkan pandangannya.
“Maksudnya?”
“Ada satu cara yang bisa kita lakukan untuk penyembuhan Dani.”
“Apa, Akh?” aku bertanya tak sabar.
“Tapi, ane juga nggak yakin.” Saesar kembali memandangku. “Kalau memang cara ini bisa kita usahakan dan kita lakukan kenapa tidak?”
“Ok. Detoksifikasi kayaknya bisa kita lakukan tanpa membawanya ke rumah sakit atau Pusat Rehabilitasi,” ucap Saesar ragu.
“Detoksifikasi?” tanyaku.
“Ya. Salah satu upaya penyembuhan fisik terhadap pengguna narkoba. Langkah ini ditempuh untuk mengeluarkan racun-racun yang berada di dalam tubuh, yang didapatkan akibat mengkonsumsi narkoba.” Saesar menarik napas. Kemudian dia melanjutkan.
“Detoksifikasi ini ada beberapa jenis. Yang pertama kita bisa menggunakan obat-obatan major tranquilizer yang ditujukan terhadap gangguan sistem susunan saraf pusat atau otak. Selain itu, diberikan juga analgetika non opiat, yaitu jenis obat nyeri dan juga obat anti depresi yang tidak menimbulkan ketergantungan dan ketagihan.” Saesar kembali menarik napas. Sedikit harapan muncul mendengar ada cara lain untuk menyembuhkan Dani. Namun, mendengar penjelasan Saesar tak bisa dipungkiri bahwa ada sedikit keraguan yang timbul. Kulihat Saesar akan melanjutkan bicaranya.
“Yang kedua adalah metode detoksifikasi sistem blok total atau abstinentia totalis, dimana pengguna narkoba tidak boleh lagi menggunakan obat apapun yang merupakan turunan narkoba dan juga tidak menggunakan obat-obatan pengganti. Cara yang kedua lebih mungkin kita lakukan daripada cara pertama.
Namun, yang perlu menjadi catatan kita adalah seorang penyalahguna tidak hanya perlu disembuhkan fisiknya, namun yang juga penting adalah penyembuhan mental. Penyembuhan fisik dengan cara detoksifikasi ini memerlukan waktu yang lebih singkat dibandingkan penyembuhan psikis dan mental pengguna narkoba.
Ini yang menjadi kelemahan kita karena kalau kita membawa Dani ke RSKO atau Pusat Rehabilitasi, di sana akan ada namanya psikoterapi atau terapi psikologis, salah satu aktifitas yang dilakukan untuk menangani masalah penyalahgunaan narkoba. Ada beberapa metode yang secara umum diaplikasikan antara lain adalah dengan cara pendekatan agama sesuai kepercayaan atau cara psikologi humanistic yang melibatkan keadaan emosional dan sensitifitas seorang pasien. Pada dasarnya psikoterapi melibatkan eksplorasi yang intens dari konflik yang dimiliki pasien dan sangat mengandalkan emosi pasien sebagai salah satu kekuatan untuk pemulihan diri pasien itu sendiri .”*6 Saesar mengakhiri penjelasan panjangnya. Aku tersenyum dan memeluknya.
“Setidaknya ini adalah ikhtiar yang mungkin memang bisa kita lakukan. Terima kasih, Akhi.” Tak terasa mataku basah. Setetes airmataku jatuh membasahi baju Saesar.
“Semoga Allah memudahkan dan membantu kita.”
“Amin,” kataku terisak. “Seperti yang kita tahu, Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum mereka merubah diri mereka sendiri. Jadi, kalau kita mau Dani berubah, kita juga harus berusaha merubahnya.” bisik Saesar yang membuat mataku semakin basah.
El-KhariS
Langkah kakiku terasa ringan. Sebuah jalan untuk menyembuhkan Dani telah Allah tunjukkan kepadaku. Aku tersenyum. Kubayangkan seorang Dani juga tersenyum ketika dia sudah terlepas dari barang haram yang telah merubah hidupnya. Mataku semakin basah. Membayangkan Dani bisa tersenyum dan bersih dari narkoba membuatku haru.
Aku terus berjalan dengan langkah semakin ringan. Beberapa meter lagi aku sampai di tempat kosku.
Selewat beberapa menit aku telah tiba di depan pintu kos. Aku menarik zipper tas punggungku. Mencari kunci yang biasanya kutaruh di dalamnya. Kuobrak-abrik isi tasku, namun barang yang kucari tiada. Aku berpikir sejenak. Apa tadi pagi aku tidak membawanya? Rasanya tidak mungkin sebab aku masih ingat bahwa tadi pagi kunci tersebut kumasukkan ke dalam tas. Apa ketinggalan? Tapi, dimana? Aduh, kalau kuncinya tidak ada bagaimana aku masuk. Perutku sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Dari tadi pagi aku hanya makan sepotong roti.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara seperti benda jatuh dari dalam kos. Kupertajam pendengaranku. Jangan-jangan ada maling? Ah, tidak mungkin siang-siang begini ada maling.
Akhirnya kuputuskan untuk melihat keadaan di dalam kos dengan menerawang lewat kaca jendela. Kusapu ruangan. Kulihat beberapa pecahan gelas berserakan di lantai dekat meja di sudut kiri ruangan. Kemudian kulihat sosok orang yang kukenal sedang menghirup sesuatu sambil duduk di kursi dekat meja itu. Kali ini kupertajam penglihatanku. Dani sedang asyik menghirup putauw dengan cara sniffing*7. Aku terus memperhatikannya. Ingin aku mendobrak pintu kemudian kuhentikan Dani yang sedang mengkonsumsi narkoba. Namun, aku takut terjadi SSD*8 seperti yang pernah dikatakan Saesar. Katanya, orang yang sedang mengkonsumsi narkoba terutama yang berbentuk serbuk seperti putauw, yang mengkonsumsinya dengan cara sniffing bisa terjadi SSD atau kematian akibat perasaan terkejut. Hal ini terjadi akibat kepergok seseorang ketika proses menghisap sedang dilakukan. Perasaan ketakutan atau halusinasi juga bisa menjadi pemicu terjadinya SSD.
Akhirnya aku hanya mondar-mandir di depan pintu kos tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Aku menunggu sampai waktu yang tepat. Aku duduk kemudian berdiri lagi dan mondar-mandir lagi. Begitu terus hingga kudengar lagi sebuah suara benda jatuh dari dalam. Aku kembali menerawang lewat kaca jendela. Kulihat meja di sudut kiri ruangan telah roboh kemudian kucari sosok Dani.
Aku menjerit ketika kulihat tubuh Dani terkapar di sebelah meja sambil kejang-kejang. Aku berlari ke depan pintu kemudian kudobrak dengan tubuhku. Aku tidak kuat mendobraknya. Tenagaku sudah terkuras habis sejak tadi pagi karena di sekolah aku harus mencari dana untuk kegiatan bulan bahasa.
Aku tak berhenti. Kali ini kudobrak pintu itu dengan kakiku. Butuh beberapa kali dan akhirnya pintu itu terbuka.
Aku berlari mendekati tubuh Dani yang masih kejang-kejang. Kuangkat kepalanya. Kubisikkan sesuatu di telinganya. Aku masih tidak tahu apa yang harus kulakukan. Mataku kembali basah. Aku belum mau kehilangan sahabatku.
Ya Allah, tolong jangan ambil dia sekarang, doaku penuh harap.
Dengan sisa tenagaku kubopong dia ke luar rumah. Airmataku terus menetes melihat Dani masih kejang, tubuhnya dingin dan frekuensi pernapasannya di bawah dua belas kali per menit. Aku terus berlari menyusuri gang dengan rasa sesal yang begitu menyesakkan dadaku. Mengapa tidak kuhentikan saja dia ketika kutahu apa yang dilakukannya di dalam kamar kosnya. Untuk alasan SSD, bisa saja kucari cara yang tidak membuatnya terkejut. Hah, mengapa penyesalan selalu hadir di belakang. Tanpa terasa airmataku terus menetes. Aku benar-benar belum mau kehilangan sahabatku.
Aku terus berlari membawa tubuh Dani. Orang-orang yang melihatku menatapku penuh tanya. Mataku semakin basah. Aku harus segera membawanya ke rumah sakit. Itu yang kutahu. Penanganan sederhana untuk menolong penderita overdosis adalah dengan segera membawanya ke rumah sakit.
Aku terus berlari namun, akhirnya semua yang kulakukan sia-sia. aku benar-benar menyesal. Semuanya terlambat.
Pringsewu, 15 Maret 2008
Ucapan terima kasih tak terhingga
untuk Saesar A. Trawanda
yang telah meminjamkan buku Kamus Narkoba buat referensi
Catatan:
*1: Barang simpenan
*2: Sebutan lain dari putauw. Disebut bedak karena bentuk dasar yang berupa serbuk berwarna putih yang mirip bedak. Sebutan lain adalah PT, Etep, Heroin atau Hero.
*3: Satuan ukuran 1 gram. Populer digunakan di dalam transaksi jual beli narkoba.
*4: Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Rumah sakit yang khusus untuk menangani pasien-pasien pecandu obat/ narkoba.
*5: Badan Narkotika Nusantara
*6: Dikutip dari Kamus Narkoba terbitan BNN
*7: Salah satu cara mengkonsumsi narkoba berbentuk serbuk, yaitu dengan menghirupnya melalui lubang hidung.
*8: Sudden Sniffing Death, yaitu kematian yang terjadi secara mendadak akibat penghirupan narkoba.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
aku tambah seneng sama tulisanmu.aku baru tahu SSD.
maka'ya jngan lupa terus kunjungi blog ini, ea...
ya... ya... ya...
komen'ya jga jangan lupa!
Posting Komentar