Aku benci pada waktu yang sedang kulewati. Seandainya saat ini tanganku menggenggam sebuah batu, aku yakin pasti aku bisa membuatnya menjadi kepingan. Kemudian membuatnya hancur menjadi debu karena kebencian yang telah kurasakan sejak dulu terhadapnya.
Kuperhatikan lagi lelaki yang berdiri di samping jendela kamarku. Menatap keluar menerobos jendela dan diam. Aku gerah melihat semua itu. Diamnya seakan mencekik tengorokanku untuk melakukan hal serupa. Sama-sama diam. Kakiku telanjang menjejak tanah kamar sempit ini. Kurasakan dingin mengaliri sampai ke ubun-ubun namun tak cukup meredam kebencian yang kurasakan. Aku menyeringai menatapnya. Lelaki berkacamata yang setiap orang menganggapnya baik dan menyukainya. Lelaki yang begitu dibanggakan ibu dan bapak, lelaki yang selalu jadi tempat bertanya dan menyelesaikan urusan keluarga. Tapi tidak bagiku.
Ia adalah laki-laki yang kubenci. Sangat kubenci. Aku muak melihat wajahnya lama-lama. Tapi, tempaan yang diberikan kedua orang tuaku tak mungkin begitu saja kulupakan. Aku tetap menghormatinya sebatas karena dia Abangku. Penghormatan yang akhirnya menahanku menutup mulut dan menghajarnya sesaat tadi. Kalau saja aku tak menganggapnya Abang, aku tak tahu bakal jadi apa dia sekarang. Mungkin mati.
“Oke, kalau tak ada yang perlu Abang bicarakan silakan keluar dari kamar ini, sebelum apa yang kupikirkan sejak tadi benar-benar kulakukan. Satu hal yang Abang perlu ingat. Jangan lagi campuri kehidupanku. Jangan lagi sok mengatur apapun yang terbaik buatku. This is my life. Biarkan aku melakukan apapun yang kumau.” Aku memecah kebisuan yang timbul sejak beberapa menit yang lalu. Aku jengah menatapnya dan akhirnya ketika tak ada tanda-tanda ia beranjak atau bicara, otakku memerintahkan untuk segera angkat kaki dari kamarku sendiri. Hah, bahkan aku bisa diusir oleh kediamannya. Diusir dari tempat dimana seharusnya aku lebih berkuasa. Kamarku.
“Biar Abang yang keluar.” Sejenak perkataan Abangku menghentikan langkahku. Tapi, kemudian aku tetap melangkah keluar. Mengacuhkan omongannya. Ya, mulai saat ini biar aku berjalan di jalanku sendiri. Tanpa ada aturan darinya. Ini kehidupanku dan aku tak mau Abangku mencampurinya lagi.
***
Aku adalah anak keempat dari empat bersaudara. Anak terakhir. Namaku Mufti Hasan. Orang-orang lebih suka memanggilku Macan. Peleburan dari kata Hasan menjadi Macan yang aku lupa sudah sejak kapan. Aku lahir dari keluarga yang pas-pasan, kedua orang tuaku, terutama ibuku, selalu mengajarkan seperti itu. Hal yang benar-benar dilarang mengatakan bahwa kami berasal dari keluarga tidak mampu. Dan kalau kalian tahu kondisi sebenarnya pasti kalian bakal tahu bahwa pas-pasan adalah kata yang kurang tepat untuk menggambarkan kondisi keluargaku.
Sebagai anak bungsu yang lahir dari keluarga yang serba kekurangan, aku beruntung bahwa semua itu tidak menumbuhkan sifat manjaku. Biasanya anak bungsu terkesan manja kan? Meski tidak semua. Termasuk aku.
Dari kecil aku sudah terbiasa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan dewasa dan berat. Membantu kedua orang tuaku sebagai petani.
Setelah pulang dari sekolah aku berangkat ke sawah mengendarai sepedaku. Setiap hari seperti itu. Pergi ke sawah bukan untuk bermain atau mandi dan bermain di kali. Tidak. Aku membantu mencangkul, menanam padi, dan memanennya jika waktunya tiba. Kuperjelas sekali lagi. Setiap hari. Tidak hanya ketika musim tanam padi saja tapi ketika musim tanam palawija atau musim-musim lainnya pun hari-hariku lebih banyak kuhabiskan di sawah.
Saat masih kecil dulu, aku mempunyai waktu yang paling kusukai, yaitu ketika siang datang. Dengan bekal yang sudah dipersiapkan dari rumah kami akan makan bersama di sebuah gubuk yang dibangun Bapak di tengah sawah milik kami. That’s it. Cuma itu yang menyenangkan bagiku. Kemudian setelah makan siang selesai dan shalat dhuhur kembalilah aku bercinta dengan panasnya matahari di siang hari setelah tidur siang sebentar. Dan semua itu akhirnya memahat gurat tua di wajahku. Pahatan wajah yang di masa mendatang menjadi bahan ledekan dan lucu-lucuan orang-orang yang dekat denganku.
Memang kejam kehidupan masa kecilku. Hampir tak ada waktu untuk bermain bersama teman-teman sekolahku. Kekejaman hidup yang membuatku akhirnya berpikir sedikit lebih dewasa dari teman-temanku. Meski kadang aku terlihat gila dan kekanak-kanakan tapi itulah caraku menghibur diri dan untuk mengaburkan persoalan yang kualami. Terkadang aku berpikir untuk menikmati kehidupan, lupa akan kepahitan yang sering menjadi teman. Menikmati kehidupan yang sebenarnya menawarkan kebahagiaan juga. Ya, menikmati kehidupan yang menurut Bapak tak pantas dilakukan. Entahlah. Ternyata, aku punya satu waktu lagi yang sangat kusuka. Aku sangat menikmati malam-malamku. Setelah seharian berlelah-lelah di sawah aku suka berkumpul dengan beberapa temanku yang mempunyai nasib yang sama denganku. Melakukan kegiatan menyenangkan (menurut kami). Menghibur diri dengan bernyanyi, main kartu, bahkan sekedar ngobrol ngalor-ngidul tak jelas topiknya. Bagi kami apakah salah menghilangkan penat yang selalu memikirkan bahwa hidup ini adalah seperti makhluk pembawa pedang. Bisa suatu waktu membunuh kita. Selalu memikirkannya pasti akan membuat kita gila. Pagi, siang sampai sore belajar dan bekerja. Malam-lah yang akhirnya kami pilih untuk melepas lelah dengan bersenang-senang. Malam-lah yang membuat lupa kami adalah keluarga kurang mampu. Bukan tidak mampu.
Dari keadaan yang serba pas-pasan itu akhirnya semua sedikit berubah ketika kakak keduaku yang perempuan rela menjual masa depannya dengan cucuran keringat menjadi berlembar uang dolar di Singapura. Menjadi TKW selepas lulus SMA demi mengubah keadaan keluargaku. Tidak begitu banyak berubah tapi keadaan keuangan sedikit membaik. Setidaknya, akhirnya aku yang saat itu baru masuk SMP tidak terbagi pikiran untuk memikirkan pelajaran dan pekerjaan.
“Biar Mbak yang cari duit. Jangan pernah berpikir untuk berhenti sekolah ya. Jangan bebani pikiranku dengan berpikir untuk mencari tambahan uang,” Aku masih ingat betul kata-kata Mbakku saat memelukku waktu hari terakhir berada di Negara bernama Indonesia. Ya, hari dimana akhirnya aku bisa sekolah tanpa beban memikirkan uang sekolah. Sekali waktu.
Bagaimanapun juga aku adalah salah satu orang yang terlahir dari keluarga bukan orang kaya di kampungku. Setiap waktu pikiran kami terbentang bayangan mau makan apa besok kalau hanya berpangku tangan. Pikiran yang membuat hampir setiap kali keringat kami keluar, untuk mengelapnya hanya bisa dengan satu benda. Uang. Bukan sebagai orang yang matrealistis atau apalah sebutan lain untuk orang yang menggambarkan bahwa uang adalah segalanya. Tapi, inilah keadaan dan hak kami. Kalau orang menginginkan kami melakukan apapun yang mereka minta, maka uanglah bayarannya. Tak perlu yang lain.
Aku adalah anak terakhir dari empat bersaudara, sekedar pengulangan yang menurutku perlu. Kakak pertama adalah seorang laki-laki yang hanya lulusan SMP dan akhirnya merantau ke Batam. Kakak yang tidak terlalu banyak membantu mengubah kondisi keuangan karena sebagai seorang laki-laki gajinya bahkan kadang tak mencukupi pengeluaran bulanannya sendiri. Ya makan, uang kontrakan, dan tentu saja untuk rokok.
Kemudian kakak keduaku adalah seorang perempuan. Satu-satunya anak perempuan yang bagiku benar-benar berjasa. Pergi ke negeri orang dengan tekad untuk menyekolahkan adik-adiknya, aku dan kakak terakhirku. Dan, bagian ini yang paling ingin aku lewati. Menceritakan tentang kakak terakhir yang kupanggil Abang dan satu-satunya kakakku yang kubenci.
Umur kami berdua terpaut tiga tahun. Tapi, ketika orang lain bertemu dengan kami berbarengan pasti orang-orang akan menganggap akulah yang pantas jadi kakaknya. Gurat wajah tua hasil pahatan sang matahari sebabnya. Itu menjadi salah satu alasan mengapa aku membencinya.
Alasan kedua. Aku mewarisi gen Bapak. Pewarisan yang tidak membuat ia lebih menyayangiku. Aku agak tinggi, badan sedikit lebih besar dan kulitku hitam. Sehingga tentu saja akulah yang terlihat lebih tua. Ditambah Abangku terkesan lebih dimanja oleh Bapak. Pekerjaan-pekerjaan berat lebih sering dilimpahkan padaku. Bukan padanya yang harusnya jadi panutan untukku.
Jadi, untuk alasan kedua ini apakah terlalu berlebihan aku membenci kakakku sendiri? Abangku tidak sepenuhnya berdiam diri tidak ikut membantu pekerjaan keluarga. Cuma karena porsi badannya yang lebih kecil daripada badanku tentu saja akulah yang lebih memungkinkan melakukan pekerjaan yang berat.
Hah, pembelaan apapun terhadapnya, aku tetap tidak menyukainya. Dia selalu mencampuri kehidupanku. Kakak yang sok tahu dan selalu menjadi sutradara kehidupanku. Aku memang berbeda dengannya. Justru sangat berbeda. Aku merasa kami berdua tidak cocok menjadi kakak adik. Bang Ikram, panggilan untuk kakakku yang satu ini, adalah warisan dari almarhum ibuku. The next reason. Mengapa bukan aku yang mewarisi sifat ibu. Dia pintar, displin, dan alim. Sedang aku bengal, jauh dari kata alim, tapi tetap pintar. Dan alim-lah yang membuatnya mendapat nilai jauh lebih tinggi dariku.
Tahukah kau, sewaktu ia baru menjadi murid Sekolah Dasar ia pasti menangis kalau ketiduran dan Bapak atau Ibu tak membangunkannya untuk shalat berjamaah di masjid. Selalu ingin menjadi imam kalau kedua orang tuaku menyuruh salah satu dari kami belajar menjadi imam. Tapi, bagiku semua itu serasa rantai yang membebani langkahku. Bapak selalu berkata, “Contoh Abang Ikram!” acapkali aku melakukan kesalahan. Selalu. Ketika aku berkelahi dengan temanku, memetik rambutan milik tetangga, absen shalat di masjid dan mengaji, atau ketika aku terjatuh dari pohonpun kata-kata itu pasti diucapkannya. Orang yang kembar sekalipun pasti mempunyai sifat yang beda apalagi aku yang cuma jadi adiknya tapi bukan kembarannya.
Berbeda dengan Ibuku yang justru senang bahwa kami berbeda. Senang bahwa kami seperti sisi mata uang koin. Itulah yang paling kurindukan dari sosok Ibu. Setelah kematiannya ketika aku duduk di bangku kelas dua SD aku merasa seperti tak punya pembela. Aku seperti hidup sendiri.
Aku merasa tersingkirkan di rumahku sendiri dan oleh Bapakku sendiri. Aku merasa seperti anak pungut yang pasti dinomorduakan.
0 komentar:
Posting Komentar