Mengapa aku harus banyak-banyak menceritakan alasan mengapa aku membenci Bang Ikram? Hem, tak apalah kalau itu sedikit bisa meredam emosiku padanya. Meski semakin aku menceritakannya semakin dalam kebencian itu merasukiku. Ini dia alasan-alasan lainnya.
Setelah lulus SMP, kemiskinan ternyata membangun dinding yang menghalangiku melanjutkan sekolah ke SMA. Bang Ikram masih duduk di bangku kelas tiga sehingga tak mungkin menyekolahkan kami berdua di jenjang SMA bersamaan. Mulai saat itulah karir penyutradaraan Bang Ikram terhadap hidupku dimulai.
“Ngapunten yo. Awakmu dadi ora iso sekolah taun iki.” Diam-diam aku menolak maafnya. Mengeluh mengapa aku yang jadi korban. Akulah yang anak terakhir dan akulah yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih. Akulah yang harusnya hak sekolahnya didahulukan.
“Bagaimana kalau kamu kursus bahasa Inggris aja. Abang bisa bantu ngomong sama Mbak Arum. Kalau sekedar kursus pasti Mbak masih sanggup.” Dia mencoba mengelus kepalaku tapi aku melakukan gerakan yang membuatnya cuma mengelus udara. Berpura-pura mengambil sesuatu dari tanah agar ia tak berpikir aku menghindari belaian sok sayangnya. Aku memang sengaja.
Okey, bahasa Inggris. Usulannya untuk kursus bahasa Inggris aku terima dan tak terpikir olehku waktu itu kalau penyutradaraan itu bakal berlanjut setelahnya dan setelah setelahnya.
Kursus bahasa Inggris-pun aku jalani selama empat bulan waktu itu. Kurasa kursus yang kuambil tak begitu berhasil untuk kemudian aku memutuskan keluar dan berpikir mengapa uangnya tak disimpan saja untuk sekolahku tahun depan. Ya, itu juga alasanku berhenti ikut kursus. Berhenti kursus aku jadi pengangguran ilmu. Selama itu Bang Ikram justru seperti meng-iming-imingiku kehidupan SMA. Setiap hari ia bercerita tentang sekolahnya yang membuatku gigit jari.
“Can, Abang nembe ulangan iki. Doain nilai Abang bagus biar Abang bisa mempertahankan singgasana peringkat satu.”
“Sesuk lek awakmu sekolah, nang SMA Nusantara wae. Awakmu pasti seneng karo seng jenenge Pak Fairuzi Afik. Guru Bahasa Inggris yang paling bagus kupikir.”
“Abang besok sabtu mau ikut perkemahan. Sebenarnya anak kelas tiga sudah nggak diperbolehkan…”
“Beberapa bulan lagi Abang ujian. Di sekolah disuruh ikut bimbel. Untung nggak bayar.”
Setiap kali dia bercerita tentang kehidupan SMA ingin sekali aku menyumpal mulutnya. Lagi-lagi sisi hormat sebagai adik menahannya. Namun, menyesal ketika besoknya dia bercerita lagi. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya dia lulus dari SMA.
Tapi, sebelum pengumuman lulus ia lagi dan lagi kembali jadi director hidupku. Dan ini dia dialog penyutradaannya selanjutnya:
“Can, Abang baru dapat info dari teman Abang. Katanya di Bandar Lampung ada sekolah SMA yang udah kayak pondok. Ada pelajaran umum dan pelajaran agama. Diasramakan dan katanya dapat uang bulanan. Banyak beasiswa bagi kita keluarga pas-pasan. Awakmu sekolah nang kono wae.”
“Wah, tenanan kuwi, Ikram? Yowes, Can, kamu sekolah disitu saja.” Bapak tiba-tiba masuk ke ruang tamu dan menyahut omongan Bang Ikram. Seperti ada persekongkolan antara Bapak dan Bang Ikram. Kemudian tanpa menanyakan apakah aku mau atau tidak Bapak langsung memutuskan bahwa aku harus sekolah di tempat itu, Sekolah Islam di Bandar Lampung. Dua jam perjalanan dari kampungku.
Aku sudah bisa menebak mengapa aku dilempar ke sekolah yang kayak pondok itu. Pertimbangan utama Bapak pasti adalah pendidikan agama dan… Uang. Mungkin ia berpikir bahwa aku bisa berubah di tempat seperti itu. Menjadi lebih alim bahkan jadi ustadz. “Lihat saja nantinya bagaimana jadinya!” pikirku kala itu.
Saat tahun ajaran baru tahun berikutnya jadilah aku sekolah di tempat yang sama sekali asing bagiku. Lingkungannya sangat-sangat tak kuakrabi. Setiap hari olahraga pagiku Bahasa Arab, sarapan pagi, pelajaran di sekolah, makan siang, istirahat, sore hari, malam hari, bahkan tidurpun kepala ini dipenuhi huruf-huruf yang tak kuketahui sama sekali. Bukan karena aku tak bisa membaca Al-qur’an tapi di sekolah ini semuanya gundul, tak berharakat. Mau pintar darimana kalau aku tak paham maksud tulisan itu. Ushul fiqh, Bahasa Arab, Hadits, dan pelajaran-pelajaran lain yang semuanya bikin pusing. Aku memang tidak ada bakat untuk jadi ustadz dan mengapa aku bisa tersesat di tempat seperti ini. Gara-gara Bang Ikram. Aku geram dengan semua yang terjadi. Ulah Bang Ikram.
Mendekati ujian Mid-Semester--aku masih bisa merasakannya sampai sekarang, seperti baru terjadi kemarin--bagaimana pusingnya kepalaku harus menghafal berlembar-lembar catatan yang hampir semuanya tak kutahu maknanya, tak kutahu bacaannya dan tak kutahu bagaimana bisa dulu aku mengiyakan peran sebagai calon ustadz di film Bang Ikram ini. At last, otak ini hanya bertahan selama enam bulan belajar di sekolah yang membuatku gemblung. Aku putuskan kemudian untuk keluar dari sekolah itu dan mencari-cari alasan yang benar-benar bisa membuat Bapakku percaya bahwa aku murid yang bandel dan dikeluarkan dari tempat itu.
Oke, satu scene selesai berganti dengan scene yang lain. Lampu hijau dari Bapak membuat Bang Ikram lebih agresif mendikte dialog dan adegan selanjutnya. Aku layaknya satu aktor yang tak bisa complain dengan scenario yang dibuatnya.
Setelah keluar dari ‘sekolah favorit’ itu aku menjadi pengangguran lagi. Menjadi petani lagi dan kembali matahari semakin buas menjamahku. Hah, tubuh ini ternyata harus kupaksa ber-adaptasi kembali dengan terik matahari dan pekerjaan sawah. Enam bulan saja aku tak mengerjakan pekerjaan berat sebagai seorang anak petani aku tak sekuat sebelumnya. Beberapa jam saja berada di sawah benar-benar menyiksaku. Untungnya, beberapa bulan kemudian aku kembali masuk sekolah. Meneruskan jejak Bang Ikram, SMA Nusantara. Sedang Bang Ikram sudah semester tiga di sebuah Universitas Swasta di kotaku. Lagi-lagi ia yang jadi anak emas. Mengapa ia tak berhenti dulu, mencari penghasilan, dan membantu keuangan keluarga. Dan satu hal yang tak pernah kuharapkan ia membantuku dan membiayai sekolahku. Jangan sampai. Jangan sampai ia lebih menguasai hidupku.
Duduk di bangku SMA yang berada sedikit jauh dari rumah membuatku seperti burung yang lepas dari kandangnya. Kuputuskan untuk jadi anak kos.
Aku sungguh mengenal dunia yang baru. Pergaulanku meluas. Tidak saja dengan anak-anak yang punya nasib sama denganku tapi aku mengenal orang-orang yang lebih beruntung dariku. Orang-orang kaya.
Ya, di SMA Nusantara aku berani mengatakan bahwa sebagian besar penghuninya adalah orang-orang dengan penghasilan cukup. Ya, cukup untuk tiap saat dihabiskan, cukup kalau mau kemana saja, atau cukup kalau mau beli apa saja. Aku yang dulu hanya mengenal kehidupan sawah akhirnya menjelma menjadi pendendam. Aku ingin merasakan apa saja hal yang menurutku baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Merokok, punya tempat tongkrongan bareng teman sekelasku, punya band, dan hal-hal baru lainnya yang membuat aku merasa aku hidup. Aku telah lepas dari rantai yang mengikatku dulu namun ternyata itu Cuma terjadi beberapa bulan saja. Ternyata film baru aktor bernama Mufti Hasan dengan sutradara Ikram Rahardian kembali dimulai. Dengan judul baru.
Tempat kuliah Bang Ikram dengan kosku tak berjarak begitu jauh. Mengetahui tingkah lakuku yang tambah bandel—entah ia tahu darimana—Bang Ikram memilih untuk kos bersamaku. Tentu saja Bapaklah yang seolah-olah punya keputusan. Aku tahu bahwa sebenarnya Bang Ikramlah dalangnya.
Pada hari Sabtu terakhir di bulan Desember, ketika itu mendekati Ujian Semester di sekolahku, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Dan ini penyambutan yang kudapatkan:
Aku sedang menikmati makanku di ruang tengah dan Bapak seketika duduk di sampingku. Di ruangan yang terlihat sangat luas karena tak banyak furniture yang di pasang, aku justru merasa semua menghimpitku. Planning sebelum pulang bahwa sebisa mungkin tak ada dialog dengan Bapak buyar. Kulayangkan pandanganku menyapu ruangan dimana aku berada dengan orang yang sebenarnya kuhindari. Televisi ‘tabok’ (setiap baru mulai dihidupkan harus dipukul dulu agar gambar dan warnanya sedikit lebih jelas) di depanku sedang menayangkan sebuah iklan rokok, sebuah foto keluarga saat aku masih umur dibawah lima tahun; gambarku, Bang Ikram, Mbak Nining, Mas Rinto, Bapak, dan almarhumah Ibu. Kupandangi wajah Ibu. Lama. Kerinduan akan kasih sayangnya sangat terasa. Aku mau Ia ada di sampingku sekarang karena aku tak yakin bisa menahan emosiku.
“Can, mulai sesuk senen Bang Ikram kos bareng kowe yo. Biar bisa jaga dirimu. Tinggal dengan saudara sendiri kan lebih enak kalau ada apa-apa.”
“Tapi, Pak. Ehm, anu… kamar Can sempit lho. Kalau berdua sesak banget rasanya.”
“Kata Ikram kamarnya nggak sempit-sempit amat. Kalau nggak cari kosan yang bisa ditinggali berdua yang lebih luas.”
“Pak…”
“Udah, biar Bapak juga nggak terlalu khawatir denganmu.”
Shit! Waktu itu aku ingin membanting piring yang ada di depanku. Tapi, sampai saat inipun aku masih heran. Mengapa aku selalu saja tak bisa berkutik di depan mereka. Emosiku kalah. Aku hanya bisa melampiaskan kemarahanku kalau sendiri. Ya, racun mereka telah benar-benar masuk ke dalam diriku. Mereka membuat hidupku jadi kacau. I hate it. Really.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Nice story...
Posting Komentar