YA, AKU INGIN SEKALI MENGGANTI NAMAKU. Setelah guru Ilmu Sosialku berceritera tentang salah satu pahlawan dari kota dimana aku lahir dan besar, aku ingin sekali mengganti namaku. Bukan menggantinya dengan nama Aisyah, Sinta, Daniella, Clara atau nama-nama modern lainnya—namaku juga sudah cukup modern sekaligus indah, yaitu Helwa Bunga Ramadhani. Ya, aku tak ingin mengganti namaku dengan nama-nama itu tapi aku ingin namaku Raden Intan. Pernah dengar? Nanti aku ceritakan perjuangan Raden Intan yang menjadi alasan mengapa aku ingin mengganti namaku dengan nama itu. Terlebih dahulu aku ingin memperkenalkan diriku.
 |
I Wanna Change My Name |
Namaku seperti yang telah kukatakan pada kalian, yang membaca ceritaku ini. Helwa Bunga Ramadhani. Bagaimana? Menurut kalian, perlukah aku mengganti namaku? Pasti perlu kalau kalian sudah mendengar ceritaku tentangnya. Namun, sekali lagi biar kuselesaikan dahulu ceritaku tentang siapa aku.Umurku 12 tahun. Saat ini aku duduk di kelas enam SD. Aku sekolah di sekolah yang tidak terlalu favorit tapi aku termasuk anak yang pintar. Aku pasti selalu dapat peringkat nomor wahid di kelasku. Kelas yang hanya dihuni oleh kurang dari dua puluh orang. Cita-citaku ingin jadi dokter. Itu waktu aku kelas satu dulu. Berubah lagi pas kelas tiga ingin jadi guru dan lagi-lagi berubah ingin jadi pahlawan beberapa hari terakhir. Tentu kalian sudah tahu mengapa cita-citaku berubah seperti aku juga ingin mengubah namaku. Sip, benar sekali. Raden Intan-lah penyebabnya. Oya, pahlawan yang kumaksudkan—cita-citaku—bukan pahlawan seperti pahlawan sebelum kemerdekaan. Mengusir penjajah keluar dari tanah air. Pahlawan zaman sekarang lebih susah tugasnya
Mengentaskan kemiskinan, memakmurkan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, menangkap koruptor, dan yang paling utama bukan orang yang tuli dan suka ingkar janji. Sebelum dipilih duduk di tempat yang nyaman berjanji untuk ini dan itu. Setelah dapat kedudukan yang enak lupa akan janji-janjinya. Bahkan mengatakan apakah Saya pernah berjanji seperti itu.
Okelah kalau begitu. Aku janji takkan seperti itu kalau aku jadi pahlawan.
I think enough perkenalan denganku. Sekarang bagaimana setelah tahu siapa aku? Apakah aku benar-benar pintar? Anak umur dua belas tahun sudah berpikiran untuk jadi pahlawan. Sepertinya tak salah kalau aku mengaku diriku pintar, bukan?
Alright, aku akan memenuhi janjiku bercerita sedikit yang kuketahui tentang Raden Intan. Tepatnya Raden Intan II.
Dialah putra dari Raden Imba II gelar Kesuma Ratu. Sedang Raden Imba sendiri adalah anak dari Raden Intan I. Perjuangan Raden Intan II dimulai beberapa tahun setelah wafatnya sang ayahanda. Raden Intan baru berusia 4 tahun ketika ayahandanya tewas. Raden Imba adalah korban pengkhianatan Raja Lingga yang bersekongkol dengan Belanda. Niat hati meminta bantuan, raja penjilat kompeni tersebut justru menyerahkan tokoh pujaan Lampung ke tangan Belanda. Raden Imba dibawa ke Batavia kemudian dibuang ke Pulau Timor hingga ajal.
Meski Belanda berhasil membunuh sang raja, semangat perlawanan rakyat Lampung terhadap penjajah seperti api dibelai angin. Semakin berkobar.
Pada tahun 1850, Raden Intan berusia 15 tahun. Ia pun berhak meneruskan tahta dari Raden Imba II. Kepemimpinan Raden Intan II persis seperti ayah dan kakeknya. Ia menggalang persahabatan dengan beberapa tokoh penting seperti Singa Branta, Wak Maas, dan Haji Wakhia, serta rakyat dari Marga Ratu dan Dataran. Tujuannya untuk meningkatkan kekuatan pasukan. Semua itu membuat Belanda berupaya membujuk dan berdiplomasi dengan Raden Intan II. Namun, Raden Intan menolak.
Maka, pada tahun 1851 Belanda mengirim pasukan yang berkekuatan 400 serdadu yang dipimpin oleh Kapten Tuch. Mereka menyerang Benteng Merambung tetapi sayangnya pihak Belanda mengalami kekalahan.
Pada tahun 1853, pemerintah Belanda kembali mengajukan perdamaian, meminta Raden Intan II menghentikan peperangan. Usulan perdamaian kali itu diterima oleh Raden Intan II dan diingkari Belanda 2 tahun kemudian. Usaha Belanda menguasai Lampung terus dilakukan dengan meminta bantuan bala tentara.
Pada tahun 1856, bala bantuan dari Batavia tersebut benar-benar datang. Untuk bala bantuan kali ini dibawah pimpinan Kolonel Walleson yang dibantu Mayor Nauta, Mayor Van Oostade, dan Mayor AWP Weitzel. Dari Pulau Sikepal pasukan Walleson kemudian bersiap untuk menyerang Benteng Bendulu, penyerangan tersebut dilakukan pada tanggal 16 Agustus 1856 yaitu melalui daerah Ujau dan Kenali. Benteng Bendulu dapat dikuasai keesokan harinya tanpa perlawanan. Kemudian pasukan Belanda bergerak menuju Benteng Hawi Perak, sekitar pukul 8 pagi tanggal 18 Agustus 1856. Namun berita yang beredar, Benteng Bendulu telah direbut kembali oleh pasukan Raden Intan II. Dengan begitu Walleson dan pasukannya segera kembali berbalik arah ke Benteng Bendulu. Benteng Bendulu berhasil direbut kembali oleh Walleson dan selanjutnya dijadikan sebagai pangkalan (markas) pasukan Belanda dalam penyerbuan ke benteng-benteng pertahanan Raden Intan yang lain.
Tanggal 27 Agustus 1856, Benteng Katimbang mulai diserang oleh Belanda, sekitar pukul 12 siang. Alasan diserangnya benteng ini, karena memiliki persediaan logistik yang cukup besar yang dipertahankan oleh Raden Intan II dan pasukannya. Tetapi karena demi segi persenjataan yang tidak seimbang itulah maka Benteng Katimbang berhasil direbut oleh Belanda pada pukul 05.00 subuh. Raden Intan II dan kawan-kawannya seperti Haji Makhia, Singa Branta, dan Wak Maas berhasil meloloskan diri.
Kesulitan menangkap Raden Intan membuat Belanda berinisiatif menggunakan orang Lampung sendiri. Pasukan Belanda berhasil membujuk Kepala Kampung Tataan Udik yaitu Raden Ngarupat. Ia melakukan perintah Belanda dalam melakukan tipu muslihatnya. Caranya Raden Ngarupat mengundang Raden Intan II untuk makan malam di rumahnya. Ketika Raden Intan sedang menghadapi hidangan, pasukan Belanda langsung menyergapnya. Raden Intan II yang ditemani saudara sepupunya langsung memberikan perlawanan. Namun sayang dengan kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya Raden Intan II gugur.
***
“Bunda, aku ingin mengganti namaku. Boleh nggak?” aku mengalihkan perhatian Bunda yang sedang asyik memeriksa nilai murid-muridnya, termasuk aku. Bunda memperhatikan sekilas kemudian tersenyum. Kembali beliau memfokuskan perhatiannya pada lembar jawaban ulangan kemarin. Aku menunggu beliau bicara. Sabar. Bunda akan merespon permintaanku beberapa detik lagi. Pasti. Aku tahu betul kebiasaannya.
“Siapa?” katanya singkat. “Raden Intan, Bun,” jawabku cepat. Beliau memandangku dengan pandangan penuh tanda tanya. Meletakkan kertas-kertas di tangannya dan perhatiannya kali ini seratus persen padaku. “Raden Intan? Apa nggak salah? Helwa mau pake nama laki-laki? Raden Intan kan seorang laki-laki?” mukaku memerah mendengar kata-katanya. Benar juga? Raden Intan kan seorang laki-laki. Masak aku mau pakai nama laki-laki sedangkan aku perempuan tulen. Ternyata kekagumanku pada kegagahan Raden Intan melepas kepintaran yang tadi kupamerkan. Ini teguran buat sifatku yang sedikit sombong. Bagaimana mau jadi pahlawan kalau sombong.
“Ehm, iya ya, Bun, kenapa Helwa kepikiran memilih nama Raden Intan, nama seorang pahlawan laki-laki.” Bunda mendekat dan mengangkat daguku. “Dengar putriku. Kenapa Helwa berpikir untuk mengganti nama? Kurang baguskah nama yang Bunda sama Abi kasih. Your name is Helwa Bunga Ramadhani and we call you Helwa. Sweet name.” Bunda mencium keningku. Lalu mengacak jilbabku. Beliau bicara menggunakan bahasa Inggris dan sebagai anak seorang guru bahasa Inggris aku sudah tentu tahu artinya.
“Tapi, kalau Helwa nggak merasa aneh memakai nama itu Bunda sama Abi pasti mengabulkannya.” Aku langsung menceritakan kepadanya alasanku. Beliau mendengarkan hikmat. “Bagaimana kalau Dewi Sartika? Dia pahlawan juga kok. Perempuan. Atau yang lainnya?” Bunda yang lebih semangat sekarang untuk mengganti nama setelah mendengar alasanku. Padahal, aku sudah tak mau mengganti namaku. Enough! Namaku saja sudah begitu indah. Skala keinginanku yang tadinya hampir sepuluh turun drastis jadi tiga bahkan satu gara-gara aku tersadar kalau Raden Intan seorang laki-laki..
Aku menggeleng berkali-kali akhirnya. Menolak tawaran Bunda.
“Bun, kenapa Bunda sama Abi selalu menuruti keinginan Helwa?” aku mengajukan pertanyaan yang telah lama ingin kutanyakan. Bunda tersenyum lagi. “Kata siapa selalu? Kalau keinginan Helwa baik dan punya alasan yang kuat buat apa kami menahannya. Yang penting Helwa harus bisa mempertanggungjawabkannya. Apapun nanti resikonya. Dan yang paling penting Helwa harus bisa membuktikan bahwa itu baik. Oya, apa Helwa tahu? Semua itu kami lakukan because we did love you, we do love you, and will always love you, my lovely daughter.” aku terharu mendengar jawaban Bunda. Ada sesuatu yang mengganjal di mataku dan memaksa untuk keluar. Kutahan sekuat aku bisa. Aku tak ingin menangis di depan Bunda. Nanti saja di kamar. “I love you too, my mom.” Bunda memelukku erat. Finally, airmataku jatuh juga. Membasahi jilbab Bunda yang terbuat dari katun. Eits! Kalian jangan ikut-ikutan menangis seperti aku. Cukup aku saja.
***
Pikiran untuk mengganti namaku ternyata tak mau hilang. Justru bak banjir yang semakin membandang. Aku begitu ingin namaku Raden Intan supaya semangat perjuangannya tertular padaku.
Tadi pagi aku memanfaatkan fasilitas internet yang disediakan di kamarku. Kedua orang tuaku memang benar-benar sayang dan mempercayaiku. Anak seumur aku diberi kepercayaan mempunyai private facility seperti ini. Hem, aku berjanji takkan menyalahgunakan kepercayaan mereka. Tersebab hal itu, aku selalu memanfaatkannya untuk browsing artikel-artikel yang menambah kepintaranku tentunya—lagi-lagi sifat sombongku kambuh. Sesekali membuka akun facebook-ku.
Dan pagi ini semangat menjadi seorang pahlawan untuk kota dan provinsiku membubung tinggi di angkasa hatiku. Kubuka beberapa situs yang berisi berita-berita terkini. Hatiku miris membaca berita yang di hampir semua situs itu korupsi yang dilakukan seorang perempuan dari Lampung menjadi headline-nya. Belum lagi ketika kubuka situs sebuah Koran Lampung, Lampung Post. Perasaan sedih semakin meresahkanku. Ada tujuh puluhan kasus korupsi. Ya Allah, sebegitu sakitkah nurani mereka?
Okey, sepertinya mulai saat ini aku harus mulai mempersiapkan diri menjadi pahlawan itu. Bila perlu, akan ku-design baju khusus untukku. Baju pahlawan seperti spiderman atau superman. I wanna change my name and to be the hero.
Namaku harus Raden Intan. Bukankah orang-orang bisa memanggilku Intan? Tak apa ada nama depan Raden yang sebenarnya tak pantas disandang oleh seorang perempuan. Dan lagi-lagi tak mengapa meski dulunya Raden Intan adalah nama seorang laki-laki. Toh, aku punya alasan yang sangat kuat mengapa kuganti namaku dengan nama Raden Intan. Pasti dan yakin kedua orang tuaku menyetujuinya. Tak peduli dengan orang lain yang akan menghujat semua itu. Tekadku sudah seperti bumi. Bulat dan besar. Takkan ada yang bisa mencegahku.
***
Bunda dan Abi sedang mengobrol di depan televisi ketika kudekati mereka. Samar-samar kudengar pembicaraan mereka. Semakin dekat pembicaraan itu semakin jelas memenuhi gendang telingaku.
Aku berhenti menajamkan telingaku. Kutunggu saja mereka menyelesaikan pembicaraan mereka. Aku tertarik.
“Bener-benar kasihan Abi melihatnya. Seorang makhluk Tuhan diperlakukan seperti itu. Dia hanya ingin mengobati anaknya. Tapi, karena masalah biaya akhirnya anak itu meregang nyawa dalam pelukan wanita kurus itu.”
“Abi sendiri bagaimana?”
“Sudah berusaha membantunya, Bunda. Berbicara pada pihak rumah sakit tapi mereka tetap menolaknya. Abi berusaha untuk tetap menerima mereka dan Abi yang akan menangani dan mengobati mereka tapi mereka menolak dengan alasan wanita itu tak mempunyai Surat Jamkesmas yang diperuntukkan orang-orang miskin, wanita dan anaknya itu gelandangan dan tidak mempunyai identitas, penyakit anaknya parah dan pihak rumah sakit tentu saja tak bisa seenaknya saja menggratiskan biaya pengobatan dan alasan-alasan lainnya. Abi pun merasa kurang cepat berpikir.
Beberapa jam anak dan ibu itu menanti belas kasihan rumah sakit, Abi belum kepikiran untuk membantu biaya pengobatan mereka. Semuanya terlambat. Setelah menandatangani administrasi bahwa Abi-lah yang akan membayar seluruh biayanya. Allah keburu mengambil nyawa anak itu. Masih di gendongan ibunya.”
“Sudahlah. Jangan sesali semuanya. Abi sudah berusaha membantunya kan? Ajal tak bisa dimundurkan Abi.”
“Entahlah. Perasaan bersalah tetap menghantui selama dalam perjalanan pulang.”
“Wanita itu sendiri?”
“Pingsan dan sampai saat ini masih di rumah sakit. Abi berharap Bunda besok mengunjunginya dan menghiburnya. Anaknya langsung dikuburkan siang tadi. Abi yakin wanita itu tak bisa menerima semua yang terjadi.”
“Insya Allah. Besok Bunda akan kesana setelah ngajar.”
“Helwa ikut,” kataku tiba-tiba, sedikit mengagetkan mereka. Ternyata Bunda dan Abi tak merasakan kehadiranku. Mereka menoleh dan baru kulihat wajah Abi dengan sejuta penyesalannya, sebagai seorang dokter Abi tak bisa menyelamatkan nyawa anak itu meski itu cuma sebatas usaha. Tuhan-lah yang punya kekuasaan itu.
Tapi, aku takut dengan kejadian ini. Abi orangnya tak mudah melupakan sesuatu. Apalagi kejadian seperti ini dimana ia seharusnya bisa berbuat lebih. Berbeda dengan Bundaku yang bukannya terlalu cuek. Bagi Bunda itulah pelajaran dan harus ada perbaikan setelah itu. Hah, aku yakin Bunda bisa menolong Abi dari perasaan bersalahnya. Mereka punya dua sisi berbeda yang saling melengkapi. Beruntung sekali nasibku punya orang tua seperti mereka ya?
“Helwa ikut ke rumah sakit besok. Siapa tahu Helwa juga bisa menghibur ibu itu. Helwa mau jadi angkat anaknya seandainya dia memintanya.” Aku beranjak dari tempatku berdiri menuju kamar. Niat awal kuurungkan. Ini bukan saat yang tepat membicarakan tentang namaku yang ingin berubah jadi Raden Intan. Tapi, cerita Abi menambah obsesiku. Ibarat air yang mendidih sampai meluap keluar.
***
“Bagaimana kondisinya sekarang, Bi?”
“Semua baik-baik saja. Dia baru saja diberi suntikan penenang. Sekarang dia tertidur.”
“Bunda tak tahu apa jadinya jika Bunda yang ada di posisinya.”
“Semua salah Abi.”
“Maaf. Bukan maksud Bunda mengingatkan perasaan bersalah Abi. Tak ada yang terlambat. Kita harus bisa mengembalikan semangat hidupnya.”
“Abi butuh Bunda untuk semua itu.”
Aku mendengar obrolan itu sambil memandang menembus kaca wanita kurus yang saat ini sedang tertidur. Pukul dua belas, sepulang sekolah, aku dan Bunda langsung ke rumah sakit tempat Abi bekerja. Sampai di rumah sakit wanita kurus itu masih tertidur akibat pengaruh obat bius kemarin dan ketika terbangun dia berteriak dan meminta dipertemukan dengan anaknya. Dia menjerit dan menyumpah rumah sakit ini akan segera hancur ketika mengetahui anaknya telah mati.
Karena kewalahan Abi membiusnya kembali. Ternyata takdir bisa mengubah segalanya. Wanita sekurus itu harus dipegangi beberapa orang karena tenaganya begitu kuat. Pukul lima sore aku dan Bunda memutuskan untuk pulang.
“Bawa sekalian seragam Helwa sama Bunda. Nanti malam jangan lupa bawain Abi ganti juga. Biar kita bertiga menjaganya di sini.”
Bunda mengangguk. Kami mengucap salam sebelum akhirnya beberapa menit kemudian kami telah sampai di rumah.
***
Sudah selama seminggu ini aku punya kegiatan baru. Sepulang sekolah aku pergi ke rumah sakit mengunjungi seorang wanita yang akhirnya kutahu namanya, Ibu Surti. Kadang bersama Bunda terkadang harus sendiri karena Bunda masih punya jadwal mengajar. Kadang cukup naik angkot, karena jarak rumah sakit tak terlalu jauh dengan rumahku, terkadang Abi yang jemput.
Semua kunikmati dan akhirnya selama seminggu itu pikiran wanna change my name hilang. Sebenarnya tak hilang begitu saja. Tapi, aku membungkusnya terlebih dulu untuk waktu yang belum kutahu kapan akan kubuka kembali. Now is not a right time.
Kondisi Ibu Surti pun semakin membaik. Meski kadang ketika teringat Ridho, anaknya, Ibu Surti masih suka menjerit. Hanya sekali waktu saja. Aku bersyukur. Setidaknya semua itu membuat perasaan bersalah Abi menguap sedikit demi sedikit.
Pukul empat atau lima sore aku dan Bunda, sesekali dengan Abi, pulang. Kembali lagi ke rumah sakit selepas maghrib. Begitu seterusnya sampai tak terasa sudah sebulan dan Ibu Surti diperbolehkan untuk pulang.
Kedua orang tuaku pun akhirnya memutuskan membawa Ibu Surti untuk tinggal dengan kami. Berulang kali Ibu Surti mengucap terima kasih sampai merangkul kedua kakiku Bunda.
Melihat kondisi yang mulai berpihak padaku. Aku mulai membuka kembali bungkusan yang beberapa pekan ini telah kusimpan. Namaku harus Raden Intan dan aku akan mengubah Lampung. Mengubahnya menjadi lebih makmur, lebih maju, penduduknya nyaman, dermawan, tidak ada lagi korupsi, menggratiskan biaya sekolah dan… ah, kok aku jadi seperti orang-orang yang berkampanye dan akhirnya lupa janji itu.
Pokoknya aku harus jadi pahlawan bagi Lampung. Pahlawan yang memperjuangkan nasib rakyat Lampung dengan nama baruku. Raden Intan. Ya, Raden Intan yang akhirnya ber-reinkarnasi menjadi seorang perempuan. Tak mengapa, kan? Atau kalian masih ragu dengan keinginan yang begitu besar ini. Oh, aku pikir kalian tak setuju. Terima kasih atas dukungannya kalau begitu.
***
“Nak, Ibu boleh bicara sesuatu.” Ibu Surti tiba-tiba masuk ke kamarku dan menggangguku yang sedang mengerjakan pe-er matematika.
“Boleh. Emang Ibu Surti mau bicara apa?” kupandang wajahnya yang menunduk dalam.
“Sebelumnya Ibu takut nanti Helwa marah.”
“Ngomong saja, Bu. Nggak usah takut sama Helwa. Helwa kan bukan monster seperti di film yang sering Helwa tonton. Helwa juga bukan Satpol PP yang sering Ibu ceritakan menangkap Ibu beberapa kali.” Aku usahakan tak menyebut nama Ridho. Ibu surti menarik napas.
“Bagaimana kalau Ibu memanggil Helwa dengan nama Ridho?” telingaku seperti mendengar bunyi begitu keras mendengar pertanyaan Ibu Surti. Seperti menulikan pendengaranku. Tak pernah kubayangkan semua akan jadi seperti ini. Kalau Ibu Surti memintaku menjadi anaknya aku dengan cepat akan mengiyakan permintaaannya. Karena selama ini aku juga sudah menganggap dia sebagai ibu keduaku. Tapi, ini lain. Dia minta memanggilku dengan nama Ridho, anaknya yang telah meninggal. Lagipula nama Ridho adalah nama laki-laki dan Ridho memang laki-laki. Ah, tidak mungkin. Namun, tiba-tiba ada yang mengingatkanku. Batinku sendiri.
Bukankah Raden Intan juga nama laki-laki dan ia juga laki-laki. Apa bedanya dengan Ridho. Jangan egois.
Aduh, tentu saja beda. Raden Intan seorang pahlawan yang kukagumi karena keberaniannya. Aku berharap keberanian itu menular padaku. Sedangkan Ridho dia hanya seorang gelandangan. Mana mungkin cita-cita menjadi seorang pahlawan bagiku bisa terwujud kalau aku menyandang nama Ridho yang seorang gelandangan. Bisa-bisa nanti aku malah jadi gelandangan. Ups! Maaf, aku menyinggung status Ibu Surti dan anaknya. Tolong kalian jangan ceritakan hal itu sama Ibu Surti ya. Please. Tadi tak sadar. Bagaimana nih?

“
Gimana, Nak? Maaf. Nggak papa kalo Helwa nggak mau. Lupakan saja kalau Ibu kurang sopan.” Ibu Surti menarik lamunan kembali ke alam sadarku.Sebuah permintaan yang sulit untuk kukabulkan. Tapi, aku tak tega menyakiti hati perempuan kurus di depanku. Tiba-tiba kepalaku pusing dan terasa berat. Semua ini benar-benar diluar dugaanku. Akhirnya aku cuma terdiam dan tak sadar Ibu Surti telah meninggalkanku sendiri dengan setetes airmatanya.