Technology

Pages

Kamis, Oktober 21, 2010

Sepenggal Perjalanan (2 dari 4 bagian )

Oleh: Mufid Masngudi
(Penerima beasiswa pendidikan oleh Kedubes Mesir)

Kuwait 17 Agustus 2010/ 7 Ramadhan 1431

Pukul 06.00 pesawat tiba di Bandara Kuwait. Setelah keluar dari pesawat kami dijemput sebuah bus bandara menuju ruang tunggu. Selanjutnya kami melapor ke bagian pelayanan transit dan mendapat kartu makan sarapan pagi. Kami sempat kebingungan mencari tempat mengambil sarapan. Bandara yang begitu luas, dengan banyak ruangan. Bahkan kami harus tiga kali naik turun lift. Setelah beberapa kali bertanya  ke petugas, akhirnya tempat yang kami cari ketemu juga.

Saya memilih juz dan beberapa potong ess. Itulah pertama kali saya mengenal ess. Makanan khas orang mesir. Itu pun saya tahu setelah beberapa hari tinggal  Mesir. Terbuat dari gandum. Berbentuk bulat tipis sebesar lingkaran piring. Ada orang indonesia yang menamakannya martabak mesir. Tapi jangan membayangkan seperti martabak di indonesia. Manis dengan berbagai pilihan rasa. Ada juga yang menyebut roti empleng-empleng. Setelah dicicipi sama sekali tak berasa. Akhirnya saya hanya sarapan segelas juz.

Sesuai jadwal kami transit selama 6 jam. Kira-kira pukul 11 siang penerbangan baru akan dilanjutkan. Masih ada 5 jam ke depan. Kami mencari mushalla untuk beristirahat. Sebelum keluar kami sempat berbincang dengan sonaji dan ketiga kawannya. Mereka memilih untuk berlama-lama di ruang makan. Setelah lama mencari, ternyata hanya ada ruang kecil dan pengap di salah satu sudut bandara. Kami mengurungkan niat dan memilih duduk di ruang tunggu bandara. Tidak banyak yang bisa kami lakukan. Selain hanya berganti posisi duduk. Beberapa orang tampak khusuk membaca Al-Quran. Memanfaarkan momen ramadhan. Tak jauh dari tempat saya terlihat mahasiswa asal negeri jiran. saya sempat berkenalan dengan salah dari mereka . Namun tak banyak yang kami bicarakan karena terkendala bahasa yang kadang tidak nyambung.

Di tempat terpisah tampak pula rombongan ibu-ibu. Jumlahnya sekitar 30 orang. Mereka memilih lantai sebagai alas duduk, sambil sesekali merebahkan badan. Dari muka mereka jelas sekali bahwa mereka adalah orang Indonesia. Juga dari bahasa daerah  yang sayup terdengar. Mereka tak lain adalah rombongan TKW asal Indonesia yang akan dipekerjakan di beberapa negara timur tengah.

Saya langsung teringat bahwa hari ini adalah tanggal 17 Agustus. Saya membayangkan di Indonesia sedang ada perayaan besar kemerdekaan. Kemeriahan pernak-pernik kemerdakaan; bendera yang dipasang di rumah-rumah warga; gapura yang berdiri di setiap sudut gang. Belum lagi kemeriahan berbagai acara baik yang sarat dengan manfaat ataupun yang sekedar hura-hura. Semuanya untuk kemerdekaan. Tapi kemerdekaan yang mana? Sedang di sini ada puluhan bahkan mungkin jutaan Warga Indonesia sedang menggantungkan nasibnya ke negeri orang. Harusnya mereka juga punya hak merayakan ( baca: menikmati ) kemerdekaan.

Akhirnya empat jam yang membosankan terlewati. Kami bersiap melanjutkan perjalanan. Lagi-lagi mengantri bersama puluhan penumpang. Di depan kami ada pasangan muda dengan empat anaknya. Sang istri  tampak tergopoh sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Tiga anaknya yang lain mengikuti di belakangnya. Sementara sang suami mendorong troli dengan setumpuk barang. "Keluarga produktif, "Kataku.

Pukul 11.00 pesawat mengudara. Saya sudah tidak sabar lagi ingin segera sampai di Kairo. Tapi butuh 3 jam lagi untuk sampai ke sana. Saya berusaha menikmati detik-detik akhir perjalanan. Memanfaatkan fasilitas pesawat. Di depan setiap penumpang terpasang monitor kecil. Beberapa pilihan hiburan bisa  dimanfaaatkan. Chanel televisi, murattal, game, atau film.  Saya memilih mendengarkan bacaan murattal dari syekh Al-Ghomeidi, diselingi makan siang terakhir. Sampai tak terasa 3 jam perjalanan pun terlewati.

Bandara Cairo,

Alhamdulillah pukul 13.30 kami sampai di bandara Cairo. Hal pertama yang kami lakukan adalah menukar rupiah ke mata uang Mesir. Saya masih menyisakan sekitar 300 ribu rupiah. Tak jauh beda dengan teman yang lain. Hanya ustad gatot yang menyisakan rupiahnya mendekati satu juta. Tapi diluar dugaan ternyata sisa rupiah yang kami bawa tidak bisa ditukar alias tak laku. Money changer hanya menerima beberapa mata uang saja. Semua terbaca di dinding. Beruntung  karena ustad Hamzah membawa dolar dari Indonesia. Setelah mendapat beberapa ratus pond kami beristirahat sejenak sambil menunggu orang yang akan menjemput kami di bandara.

Sebuah pemandangan menakjubkan tak luput dari pengamatan saya. Seorang polisi bandara terlihat  khusuk membaca Al-Quran. Sambil tetap berdiri bersiaga. Sesekali  kakinya digerakan. Menghilangkan rasa pegal setelah berjam-jam berjaga. Tak jauh dari situ tampak juga seorang polisi yang sedang mendirikan sholat. Memanfaatkan sudut sempit bandara.  Sebuah potongan koran dipakai sebagai sajadah.

Dari Sonaji dan Lukman kami mendapati nomor telephon orang yang akan menjemput. Namun kami tidak bisa langung menghubungi. Nomor handphone kami tak berlaku lagi. Hanya ustad Gatot yang sempat mendaftarkan nomor simpatinya ke paket roaming. Itupun dengan pulsa yang terbatas. Kami mencoba menelpon melalui telephon umum yang ada di bandara. Tapi tak berhasil juga.

Akhirnya  kami bersepakat untuk keluar dari bandara tanpa menunggu orang yang akan menjemput. "Mungkin juga orang tersebut menunggu di luar, seorang diantara kami memberi masukan. Kami segera menyelesaikan formulir kedatangan. Setelah itu, saya memberanikan diri mengambil antrian pertama diantara teman-teman. Di luar dugaan petugas menahan passport saya dan meminta saya menunggu tanpa menjelaskan alasannya. Begitu pun dengan keempat teman saya juga mengalami hal serupa. Kemudian kami berlima diarahkan ke bagian imigrasi. Sebelum masuk saya sempat  menghubungi Sonaji yang masih mengantri bersama penumpang lainnya. Kami bersepakat bertemu di luar bandara.

Kami masuk ke sebuah ruangan berukuran 2x3 meter. Sangat kotor dan pengap. Cat dinding yang tak lagi berwarna. Ada empat bangku yang sudah termakan usia memenuhi ruangan. Sedang di atas kami sebuah kipas rusak dan berdebu tergantung. Bergoyang ke kanan dan ke kiri terkena hembusan angin dari sela-sela ventilasi. Beberapa botol minuman berserakan di lantai.  Beginikah cara mereka menyambut orang asing? " Pikirku. Saya tak kuasa membayangkan berbagai hal buruk yang bisa menimpa kami. Mulai dari kemungkinan dideportasi, atau mungkin kami akan mencicipi penjara bawah tanah mesir yang terkenal menakutkan.

Di dalam ruangan sudah ada seorang ibu dengan lima orang anaknya. "Keluarga produktif , " Gumamku.  Sepertinya warga asli mesir. Terlihat dari  bahasa " amiyah " yang dia  pakai. Sejenak saya terhibur dengan tingkah pola anak-anaknya. Sementara ustad Gatot dan ustad Hamzah masih berusaha menghubungi pihak KBRI. "Assalamulaikum, Pak Mukhlasan..." Konsentrasi saya buyar mendengar satu nama disebut. Ustad Hamzah berhasil menghubungi salah seorang staff KBRI. Sayang baru beberapa menit  komunikasi terputus.

Hari ini tanggal 17 Agustus. Pak mukhlasan tak bisa datang dengan alasan ada acara perayaan kemerdekaan di KBRI. Lagi-lagi soal kemerdekaan. Tapi Kemerdekaan yang mana ? Sementara di sini ada warganya yang sedang meminta kemerdekaan. Kami mengirim sebuah pesan singkat ke Pak Mukhlasan. Memanfaatkan sisa pulsa simpati yang ada.  Meminta tolong agar mengirim seseorang menjemput kami. Tapi tidak dipenuhi juga. Kami hanya diminta menunggu  sampai petugas imigrasi melepaskan kami. Karena menurut Pak Mukhlasan selama ada bukti visa beasiswa Al-Azhar tidak akan ada masalah.

Pukul 16.00 kami belum juga bisa keluar. Sedang ibu beserta empat anaknya sudah sejam yang lalu keluar. Beberapa orang yang sempat masuk ke ruangan ini juga langsung keluar hanya beberapa menit kemudian. Bahkan ada yang dibawa masuk sambil diborgol tangannya. Terakhir ada seorang warga Palestina dan Nigeria yang juga terkena cekal.  Saya sempat berbincang sebentar dengan warga palestina. Sedang warga Nigeria sempat meminjam charger nokia milik saya. Entah berapa kali kami menghadap ke petugas, menanyakan alasan kami dicekal. Tapi jawabanya tetap sama. Ishbir...

Ruangan kembali sepi. Hanya ada kami berlima. Saya sempat tertidur beberapa menit. Udara panas masuk melalui celah-celah dinding.  Membawa pesan ilahi melalui suara adzan yang sayup terdengar.  Kami meminta izin melaksanakan Sholat Ashar. Saya dan ustad Gatot melaksanakan sholat terlebih dahulu . Sedang yang lain menjaga tas berisi dokumen-dokumen penting. Selesai melaksanakan sholat kami berlima dipanggil menghadap. Setelah menunjukan bukti kelulusan dan formulir pengajuan visa, akhirnya kami dilepaskan.  Alhamdulillah, mungkin ini adalah jawaban dari doa yang kami panjatkan sepanjang sholat  tadi.

Kami segera keluar dari ruangan menyebalkan itu. Sejurus kemudian segera mengambil  langkah seribu menuju tempat pengambilan barang. Entah bagaimana nasib koper kami setelah ditinggal selama 3 jam. Kami  panik, melihat bandara begitu sepi. Tidak terlihat lagi antrian penumpang seperti saat kami baru tiba. Begitu juga di tempat pengambilan barang,  tak ada satu koper pun yang tersisa. Sepertinya orang-orang sedang bersiap untuk berbuka puasa. Kami bertanya ke salah seorang polisi bandara yang sedang bertugas. Polisi tersebut berbicara dengan bahasa " arab amiyah" sehingga sulit kami pahami. Polisi itu Lalu mengarahkan kami ke petugas yang lain. Dari petugas itu kami mendapatkan informasi kalau koper kami sudah ada yang mengambilkan. Petugas berusaha meyakinkan kami sambil memberikan isyarat  4 jari tangannya. Kami langsung paham. Benarkah sonaji dan ketiga kawannya? Kami belum sepenuhnya percaya. Tapi paling tidak sedikit melegakan kami.

Setelah itu kami nekat keluar dari bandara. Udara panas langsung menerpa wajah kami. Sambutan yang sungguh luar biasa.  Saya tak kuasa menahan jaket yang saya pakai sejak berangkat dari indonesia.  Satu-persatu wajah kami perhatikan. Berharap ada orang Indonesia yang bisa ditemui. Tapi, tak satupun orang indonesia yang terlihat.  Hanya wajah-wajah asing. Begitupun dengan sonaji dan keempat kawannya. Entah berada dimana mereka? Beberapa orang menawarkan jasa taksi. Kami berusaha tak peduli. Kami bingung bercampur takut. Tak tahu ke siapa kami bertanya?  Kami pun tak tahu mau kemana?. Kami duduk sejenak menenangkan pikiran.
Bersambung... 

2 komentar:

Full Islamic Learning mengatakan...

mana nie sambungannya? ditunggu lho

Iqbal Kharisyie mengatakan...

Itu mah cerita yang Masku tag lewat fb, akang tomy...