Technology

Pages

Minggu, September 16, 2012

Jakarta Oh Jakarta: Menyoal Potensi, Kenyataan, dan Mimpi



Oleh: Iqbal Kharisyie*
Esai ini diikutsertakan dalam lomba Esai Gebyar Cinta Untuk Jakarta


Empat ratus delapan puluh lima tahun yang lalu, tepat di tanggal 22 Juni, nama bandar Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta oleh seorang punggawa bernama Fatahillah. Pasukan Demak-Cirebon yang dipimpinnya berhasil juga mengusir bangsa Portugis dari tanah Jawa. Akan tetapi, pada tanggal 30 Mei 1619 Belanda memerangi Jayakarta dan menyebabkan Pangeran Jayakarta tergusur. Di bawah pimpinan J.P Coen Belanda mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia.

Kemudian pada tahun 1942 saat terjadinya Perang Dunia II, kekuasaan Belanda diambil alih oleh kekuatan invasi Jepang dan kembali mengganti namanya menjadi Jakarta, yang berlaku hingga sekarang. Di tahun 1966, Jakarta resmi sebagai Ibukota Republik Indonesia yang akhirnya berkembang menjadi sebuah kota metropolitan. Berbagai macam suku, ras, dan budaya ada dan ikut menyumbang pertumbuhan Jakarta menjadi satu-satunya kota yang memiliki potensi terbanyak dan tersibuk di Indonesia.

Sebagai ibukota Negara, Jakarta mempunyai peran serta fungsi yang khusus dan tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain. Peran serta fungsi itu diantaranya sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan internasional. Sehingga wajar saja jika Jakarta menjadi representasi Negara Indonesia. Kenyataan ini yang menurut saya sangat istimewa. Di kota yang menjadi pusat pemerintahan, Jakarta menjadi kota yang serba ada. Dari kenyataan ini, Jakarta menawarkan banyaknya peluang usaha (kecil, menengah, ataupun makro) dan banyaknya investor, tingkat pembangunan yang pesat, transportasi dan teknologi yang maju, tempat-tempat wisata, serta fasilitas-fasilitas masyarakat yang memadai. Namun, apakah dengan begitu Jakarta menjadi tempat yang “aman”?

Menurut catatan sensus terakhir (2011), jumlah penduduk asli Jakarta kurang-lebih 8,5 juta jiwa. Ini adalah jumlah penduduk di malam hari. Sedangkan, dari pagi hingga petang jumlah ini meningkat hingga angka 12 juta jiwa akibat “luapan” warga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang mencari rejeki di Jakarta. Kenyataan ini berdampak pada arus lalu lintas di Jakarta sehingga menimbulkan kemacetan yang luar biasa. Setiap hari rata-rata ada 600.000 unit mobil yang masuk Jakarta. Kondisi ini selain menimbulkan kemacetan yang luar biasa juga menghasilkan jumlah polusi begitu hebat, sehingga suasana di jalan raya menjadi sangat tidak nyaman. Tambahan pula, kemacetan ini adalah pemborosan yang besar bagi masyarakat. Di tengah lalu-lintas yang macet itu pengguna jalan raya terpaksa harus membuang lebih banyak waktu, tenaga, dan bahan bakar. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan timbul akibat tingginya angka pembelian kendaraan bermotor dan tentu saja ini harus dibatasi karena jika tidak kemacetan akan terus meningkat tersebab kondisi lahan Jakarta yang terbatas.

Alasan lain mengapa kemacetan ini menjadi problem yang belum tertuntaskan adalah belum adanya angkutan umum yang benar-benar layak dan aman. Saya sendiri pernah menjadi korban penodongan di dalam angkutan umum. Inilah yang sebenarnya menjadi dasar masalah hingga akhirnya membuat penduduk Jakarta lebih memilih untuk memiliki kendaraan pribadi tinimbang menggunakan jasa angkutan umum meski saat ini pemerintah kota Jakarta sudah menerapkan sistem transportasi menggunakan transjakarta. Sayangnya, transjakarta yang diharapkan mampu mengatasi kondisi ini ternyata hasilnya belum terlalu signifikan. Beberapa koridor busway ditambah tetapi kerusakan transjakarta karena pemeliharaan yang kurang sering terlihat di jalanan. Saya pribadi hanya bisa sabar menunggu realisasi dari proyek Mass Rapid Transportation (MRT) segera dimulai agar kemacetan di Ibukota ini berkurang, meski belum sepenuhnya akan teratasi.

Dari potensi lain yang dimiliki Jakarta, sebagai contoh daerah wisata, Jakarta mempunyai garapan yang bisa diunggulkan. Jakarta mempunyai lima museum yang tidak dipunyai oleh daerah lain juga, yakni Museum Nasional, Museum Wayang, Museum Tekstil, Museum Bahari, dan Museum Keramik. Juga, Jakarta mempunyai peninggalan-peninggalan kuno, semisal Kota Tua.
Dalam pada itu, kepulauan Seribu juga potensi besar sebagai kawasan wisata bahari. Hingga akhirnya pada masa kepemimpinan Gubernur Sutiyoso, status Kepulauan Seribu ditingkatkan menjadi kabupaten. Objek wisata ini perlu ditonjolkan karena beberapa peninggalan bangsa Portugis berada di sana.

Masih dalam bidang kepariwisataan, kondisi pelabuhan tanjung Priok sejak 50 tahunan yang lalu sampai sekarang sangat tidak terurus. Masih saat kepemimpinan Sutiyoso, ia pernah bermimpi jika saja dibangun gerbang laut di sebelah baratnya maka akan lebih representatif.

Beberapa potensi wisata lain masih ada, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Mini Indonesia Indah, Pantai Anyer, Dunia Fantasi, kebun binatang Ragunan, dan beberapa objek wisata lain masih tersedia di Jakarta namun pengelolaannya masih kurang maksimal. Alasan keamanan juga berkembang menjadi akar permasalahan di bidang pariwisata ini.

Dilihat dari dua sisi saja, potensi Jakarta sangat berlimpah. Namun pertanyaan saya ulang: apakah dengan potensi-potensi istimewa yang dimiliki, Jakarta menjadi  “aman”?

Di sisi lain, Jakarta sebagai pusat pemerintahan menjadi pertanyaan tersendiri, apakah masih layak ada pusat pemerintahan disana? Disaat mesin bisnis bernama Jakarta terus berkembang, apakah dekatnya pusat bisnis dan pusat pemerintahan berdampak baik atau justru buruk?

Saya berpikir bahwa rekonstruksi birokrasi menjadi keharusan dan tak boleh ditawar-tawar. Menjalankan kewajiban menjadi “pelayan masyarakat” bukan “pemungut” agar efektifitas dan efisiensi anggaran, penguatan kapasitas, serta penataan kelembagaan bisa dimulai. Partisipasi publik dan masyarakat menjadi dua hal vital dalam perkembangan kota Jakarta. Mereka tak bisa dianggap sebagai pelengkap saja melainkan harus menjadi mitra strategis sekaligus aktor yang bersinegri dengan pemerintah. Analisa untuk mengetahui social dan budaya warga Jakarta juga perlu dilakukan, menyusul peta ekonomi sebagai basis apa saja yang perlu dikembangkan. Tata ruang  mengikuti analisa tersebut bukan manusainya yang mengikuti tata ruang. Jakarta punya potensi, diwujudkan dengan mimpi menjadi lebih baik, dan direalisasikan dengan tindak nyata dari berbagai pihak.

***
Penulis bernama asli Muhammad Iqbal. Pria kelahiran 5 Juli dua puluh tiga tahun yang lalu ini pernah beberapa kali memenangi lomba kepenulisan dan beberapa artikel pernah dimuat di harian lokal. Tulisan-tulisan lainnya bisa dibaca di blog pribadinya; www.kharisious.blogspot.com

0 komentar: