Technology

Pages

Sabtu, Juli 02, 2011

Monolog Jakarta; JAya KARena kiTA


 Esai terbaik dalam Gebyar Jakarta: Jakarta KITA (KIan ditaTA, KIan dicinTA)


"Semakin tinggi pohon, maka semakin besar angin yang menerpanya."
Peribahasa yang saya kutip di atas adalah peribahasa yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi Jakarta saat ini. Ya, tepat di tanggal 22 Juni Jakarta merayakan hari jadinya dan ternyata semakin bertambah tua umur Jakarta, semakin banyak masalah yang dihadapi. Dan tentu saja semakin susah untuk ditangani akibat terakumulasi. Di usianya yang ke-484 tahun, Jakarta masih belum bisa menuntaskan masalah-masalah “warisan” dari tahun-tahun sebelumnya. Justru malah ditambah dengan banyaknya masalah baru yang muncul. Permasalahan-permasalahan ini akhirnya menjadi identitas Jakarta yang amat kuat. Lalu akan seperti apa jika permasalahan di Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia ini tidak segera diselesaikan?

Baru-baru ini di sebuah situs berita online disebutkan bahwa pengguna jalan di Jakarta terbukti sebagai pengguna jalan paling tak bahagia di dunia. Pernyataan ini berdasarkan sebuah riset Journey Experience Index yang dilakukan perusahaan konsultan bisnis Frost & Sullivan. Jakarta berada di urutan ke-23 dari dua puluh tiga kota yang dilibatkan. Dalam riset ini diungkapkan bahwa Jakarta merupakan kota dengan indeks terendah dalam kepuasan pengguna jalan. Jakarta hanya bisa mencapai angka 30, 5 poin berada di bawah kota Seoul, Korea Selatan yang berada di angka 35,5 poin. Berada di urutan pertama adalah Kota Kopenhagen yang mecapai nilai kepuasaan sebesar 81,5 poin. Ini adalah nilai yang wajar untuk Kopenhagen karena lebih dari 25 persen penduduk Kopenhagen menggunakan sepeda atau berjalan kaki untuk menuju tempat aktifitas mereka (Republika.co.id). Sungguh kenyataan yang sangat menyedihkan. Masalah kemacetan adalah masalah yang sudah dialami kota Jakarta sejak bertahun-tahun lamanya. Namun, tak pernah bisa dituntaskan oleh pemerintah ibukota ini.

Kemudian permasalahan ruang terbuka hijau (RTH) yang baru mencapai angka 2,8 persen. Padahal, menurut ketentuan Menteri Dalam Negeri untuk memelihara paru-paru kota dan sebagai catchment area semestinya sebesar 40-60 persen. Masalah ini timbul tentu karena pembangunan Jakarta yang uncontrolled, tidak terkontrol. Jakarta hanya mempercantik diri dengan membangun gedung-gedung bertingkat dan pusat-pusat perbelanjaan tanpa mempertimbangkan kuota untuk ruang terbuka hijau yang masih jauh panggang dari api. Padahal, tentang tata ruang kota ini telah diatur oleh Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah bahwa arahan penataan ruang wilayah akan ditujukan untuk melaksanakan 3 (tiga) misi utama. Pertama, Membangun Jakarta berkelanjutan. Kedua, msengembangbiakan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan. Dan, ketiga, Mengembangkan Jakarta sebagai kota jasa skala nasional dan internasional. Inilah gambaran Jakarta sedang menuju bunuh diri ekologis.

Banyak wacana tentang Jakarta lebih baik yang tidak digarap secara optimal. Termasuk salah satunya rencana mengatasi kemacetan yaitu dengan option varian baru, Mass Rapid Transit (MRT) sampai saat ini menguap begitu saja. Busway yang telah berjalan pun masih belum maksimal. Itu baru dari sisi lalulintas dan tata ruang kota, Jakarta mempunyai permasalahan pelik lain, yakni banjir. Banjir Kanal Barat sudah dibangun untuk mengatasi ini, tetapi Jakarta masih membutuhkan Banjir Kanal Timur untuk menyerap banjir di kawasan timur Jakarta. Selesaikah daftar permasalahan yang dihadapi Jakarta? Tidak. Masalah kesehatan, kemiskinan, sampah, dan masalah-masalah lain berbaris rapi di belakang masalah-masalah yang telah saya sebut.

Sekarang siapa yang bisa disalahkan? Pemerintah kota-kah sebagai pemegang kebijakan? Bagi saya, pemerintah dalam hal ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Yah, meski sudah ada “ahli” yang “katanya” mau memperbaiki ini tetapi kitapun tak boleh tinggal diam kan?

Selama ini yang saya lihat pemerintah Jakarta hanya mengadakan pertunjukan “monolog” dalam penataan kota. Ketika pemerintah sedang berusaha untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, masyarakat Jakarta seakan hanya sebagai penonton dan pengkritik. Tidak ada kontribusi nyata yang diberikan. Ataupun hanya sebagian kecil dari kita yang berkontribusi. Saya masih sering melihat di banyak tempat mobil diparkir di pinggir-pinggir jalan besar, pengendara sepeda motor yang juga menerobos trotoar yang disediakan untuk pejalan kaki, sampah yang dibuang di sembarang tempat, dan banyak hal tak bertanggung jawab lain yang dilakukan oleh masyarakat Jakarta sendiri. Kemudian ketika hal-hal tersebut mendatangkan sebuah bencana misalkan banjir datang, yang dilakukan hanya menyalahkan pemerintah mengapa tidak membuat ini atau membuat itu tanpa melakukan instropeksi diri, apakah saya sudah ikut mengatasi masalah ini? Apakah saya sudah menata dan mencintai Jakarta?

Kalau kita memang ingin Jakarta berubah maka diri kitalah yang harus merubahnya. Jangan menunggu orang lain yang merubahnya dan kita hanya sebagai penonton dan penikmat namun tak ada kontribusi nyata dari kita. Mulailah dari hal yang terkecil. Jangan meragukan  nasihat ini. Bukankah kita sudah latah dengan sebuah kalimat, sedikit demi sedikit lama menjadi bukit? Atau kalimat ini juga hanya sebatas wacana belaka bagi kita. Jakarta adalah kota kita dan kita juga tentunya punya tanggung jawab untuk menjaganya. Di Jakarta inilah Tuhan menciptakan Indonesia. Karena, di kota inilah orang Indonesia dibentuk dan di sini juga Soekarno bersama Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, sejak zaman dahulu, Jakarta telah menjadi kota kosmopolitan dan ditinggali oleh beragam suku dari wilayah Nusantara yang kemudian membentuk identitas baru sebagai orang Indonesia. Jakarta akan jaya kalau kita mau membuatnya jaya. Karena Jakarta, Jaya KARena kiTA.

0 komentar: