Technology

Pages

Minggu, Januari 20, 2013

Karena Namaku Bokat

 (Cerpen ini pernah dimuat di Harian Lokal Sijory Mandiri, Batam)


My name is Bokat. Ya, Bokat. B-O-K-A-T. Titik. Tak ada nama depan atau nama belakang. Cukup Bokat. Nama yang cukup singkat, padat dan pastinya akan memunculkan tanda tanya besar dan beragam komentar ketika orang-orang berkenalan denganku. Tapi, jangan pernah menanyakan arti nama itu padaku. Sungguh, aku sendiri benar-benar tak tahu apa arti namaku. Yang aku tahu sebatas bahwa nama adalah doa, begitu kata teman es-em-a-ku dulu.

Pernah kutanyakan perihal mengapa kedua orang tuaku memilihkan nama Bokat untukku.

"Bapak sama Ibu tak tau artinya apa. Kata Bapak nama itu begitu saja terlintas dan menurutnya unik. Makanya kami setuju memberikan nama itu padamu," begitu jawaban ibuku. Jawaban yang benar-benar tak kuinginkan dan membuat aku begitu membenci bapakku setelah itu. Tega-teganya beliau memberikan nama itu hanya karena nama itu unik. Tak ada doa, tak ada pengharapan dan tak ada keinginan apapun kepadaku. Benar, nama adalah doa dan doa bapakku adalah aku jadi anak yang unik. Tak ada yang lain.

Selama beberapa hari kemudian aku membungkam mulutku untuk tidak berbicara dengan bapakku. Aku melakukan itu sebagai tindakan protes. Tapi, sikap bapak tetap biasa. Tak ada sinyal bahwa beliau akan mengganti namaku.

"Nak, bukan begini caranya," kata ibu yang sepertinya sudah tak tahan dengan tindakanku. "Ibu dan bapakmu tidak begitu saja memberikan nama itu padamu." Hm, naluri seorang ibu memang benar-benar tajam. Beliau tahu bahwa kediamanku beberapa hari ini adalah sebagai tindakan protesku mengapa namaku Bokat. "Ada banyak doa yang kami selipkan pada nama itu. Kami memang tidak tahu arti sebenarnya dari nama Bokat. Tapi, dengan tidak taunya kami, justru bapak dan ibumu bebas mengartikan doa kebaikan. Kami menganggap arti Bokat adalah anak yang baik, penurut, rajin dan segala arti nama yang baik adalah arti nama bokat. Jadi, jangan hukum bapakmu karena telah memberimu nama Bokat." itulah jawaban yang kuinginkan. Ya, ternyata benar-benar ada doa dari namaku.

"Hoi, kamu mau kerja apa mau ngelamun?" teguran dari Bosku menghentikan lamunanku. Aduh, pasti kena marah.

*iqbal_haris*

Kulemparkan begitu saja tubuhku di atas tempat tidur. Lelah yang kurasa, tempat tidur yang tak terlalu nyaman serta kejadian tadi siang di tempatku bekerja membuat kamar kos sempit ini menjadi terasa semakin sempit.

Kupandangi langit-langit kamar dan pandanganku akhirnya menerobos jauh ke waktu dimana aku memutuskan untuk merantau ke kota Batam ini.

"Ati-ati di negeri orang, Le. Jaga sikap dan jaga lidahmu. Kamu di sana kan tak ada saudara. Jangan tinggalin sholatmu dan jangan lupa selalu berdoa. Ibu dan bapak berharap kamu jadi orang yg berhasil."

Ternyata memang berat hidup di perantauan. Meskipun sudah bekerja, aku tetap kesulitan untuk mengatur gajiku. Bayar kontrakan, uang makan, transport ke tempat kerja, juga tentu saja aku harus mengirimkan uang untuk ibu bapakku di kampung. Kadang akupun harus berhutang untuk menambal kekurangan.

Dua hari yang lalu Pakde Mardi mengirim kabar bapak sakit-sakitan. Ibu memintaku agar bisa mengirimkan uang secepatnya karena simpanan ibu ditambah bantuan dari Pakde Mardi masih belum cukup. Aku bingung. Gaji bulan ini sepertinya tidak akan cukup buat biaya hidupku selama sebulan ke depan. Mana uang kontrakan bulan kemarin separuhnya belum dibayar.

Ya Allah, aku begitu hafal bahwa Engkau takkan memberikan ujian di luar batas kemampuan hambaMu. Tapi, saat ini hamba benar-benar tak kuat.

Tiba-tiba handphone di kantong celanaku bergetar. Sebuah sms kuterima dan membuat pikiranku semakin tak keruan.

Kat, uAng yG kaU
piNjam 3 buLan yg laLu
uDah ada? aKu butUh bgd nEch

Astaghfirullah, ternyata aku masih punya hutang sama teman sekerjaku dan aku janji bulan ini harus kukembalikan. Ya Allah, hamba benar-benar tak kuat.

*iqbal_haris*

Kuhitung ulang uang yg ada di tanganku. Penjaga konter hape di depanku cuma memperhatikanku sembari tersenyum memberikan keramahan. Akhirnya kuputuskan untuk menjual hapeku satu-satunya dan kuharap pengeluaran bulan ini bisa tercukupi.

"Makasih, mas. Pas," kataku kepada penjaga konter. Kumasukkan uang hasil penjualan hape ke dalam dompet.

Sedetik kemudian aku beranjak dan kuputuskan membawa kakiku langsung ke kantor pos. Aku harus mengirimkan uang ini untuk pengobatan bapak.

Sepanjang perjalanan pikiranku terus berputar memikirkan darimana aku bisa mengembalikan uang temanku. Aku tak boleh menyerah. Ya, aku tak boleh menyerah karena namaku Bokat. Bokat yang saat ini kuartikan aku harus bertahan dan tak boleh menyerah.

 *iqbal_haris*
 
Aku berjalan menelusuri sebuah gang kecil menuju kantor pos. Pikiranku masih tak keruan. Peluh menetes satu-satu membasahi keningku. Di depanku seorang ibu berjalan kepayahan menenteng barang belanjaannya. Kuperhatikan terus ibu itu tanpa terpikir olehku untuk membantunya. Padahal, aku tahu ibu itu membutuhkan seseorang untuk membantu membawa barang belanjaannya. Tangan kanan kirinya penuh membawa bungkusan plastic yang aku sendiri tak tahu apa isinya.

Terus kuperhatikan ibu paruh baya itu dan pandanganku akhirnya terpaku pada benda yg ia selipkan di ketiaknya. Tiba-tiba terbersit niat jahat untuk mengambil benda itu.

"Ambil saja dompet itu. Kamu bias gunakan untuk membayar hutang ke temenmu. Ayo! Tunggu apa lagi. Ambil! Liat gang ini sepi."

Kemudian pikiran baikku mencoba mengatakan sesuatu.

"Jangan! Pikirkan apa yg akan terjadi jika kamu tertangkap oleh masa."

"Alah, nggak mungkin. Nggak ada orang di gang ini."

"Jangan. Pikirkan resikonya."

Aku benar-benar tak sadar, sejurus kemudian dompet yang tadi terselip di ketiak ibu paruh baya itu sudah ada di tanganku. Ya, pikiran jahatku yang menang. Aku berlari mengerahkan seluruh tenagaku menjauh dari gang. Kulihat di belakangku ibu itu mengejarku sambil tetap membawa barang belanjaannya. Seorang pemuda yang sedang duduk di depan rumahnya ikut mengejarku ketika ibu itu meneriakkan kata maling. Kemudian dua, lima, dan terus bertambah orang-orang yang mengejarku.

Aku terus berlari dan berusaha menambah kecepatanku. Tak peduli keringat mengalir deras membasahi bajuku. Yang kuinginkan saat ini aku bisa lolos dari kejaran orang-orang yg siap menghajarku.

* iqbal_haris *

Bajuku benar-benar basah. Lariku semakin lama semakin melambat. Aku sudah berlari keluar gang. Dan orang-orang yang tak tahu apa yang telah kuperbuat cuma melihatku. Namun, ketika orang-orang yang sudah lebih dulu siap menghajarku keluar gang, orang-orang tak tahu itupun ikut-ikutan mengejarku.

Aku menambah kecepatanku berlari. Sia-sia. Tenagaku sudah hampir habis. Aku yang tak terbiasa olahraga berlari ngos-ngosan. Kulihat sekali lagi orang-orang di belakang. Sudah tak terhitung berapa banyak orang yg telah siap menghakimiku.

Aku terus berlari. Berlari dan berlari. Dadaku terasa sakit. Kemudian kulihat ada sebuah jalan kecil masuk ke arah kanan. Dan. . .

Sial. Benar-benar malang tak dapat di hindari. Sebuah motor dari jalan kecil menabrakku. Aku limbung dan tubuhku terpelanting.

* iqbal_haris *

Kutundukkan kepalaku. Aku tak berani menatap orang-orang yang mengelilingiku. Bibir bawah dan pelipis kananku berdarah akibat pukulan salah satu dari mereka. Memang malang nasibku. Gara-gara motor sialan itu akhirnya aku tak bias lolos.

"Kita bakar saja dia," kata pemuda yg pertama kali mengejarku.

"Iya. Kita bakar aja biar mampus," timpal seseorang yang lain.

Aku tetap tak berani mengangkat wajahku. Nyaliku menciut melihat orang-orang yang ada di kanan kiriku. "tolong ampuni saya. ini pertama kalinya..." belum selesai aku berkata untuk meminta ampun seseorang memukulku lagi.

"Enak aja minta ampun. Ayo, hajar dia." Seorang lelaki tua langsung mencengkram kerah bajuku, mengangkatku dan meninju perutku. Aku meringis menahan sakit.

"Ini lagi," belum hilang rasa sakit akibat pukulan yang pertama lelaki tua itu meninjuku. Lagi. Lebih kuat.

Aku memegangi perutku sambil terus menahan sakit yang semakin menjadi. Tiba-tiba airmataku tumpah. Aku malu sama diriku sendiri. Bayangan kedua orang tuaku ketika melepas kepergianku seperti pita kaset yang kuputar ulang. Begitu nyata.

* iqbal_haris *

Aku masih menunduk. Tak berani menatap orang-orang yang seperti pemburu menangkap buruannya. Siap menyantapku. Suara orang-orang yang ingin membakarku masih terdengar. Tak ada satupun yang membelaku. Setidaknya membawaku ke kantor polisi bagiku lebih baik daripada aku di bakar hidup-hidup. Ya Allah, maafkan aku. Tolong jangan ambil nyawaku dalam keadaan berdosa seperti ini. Aku menyesal.

Darah dari bibirku kembali menetes. Airmataku semakin deras menyesali apa yang telah kulakukan. Bayangan kedua orang tuaku tak mau hilang. Aku memeluk kedua lututku dan membenamkan wajahku.

Tiba-tiba sebuah tangan menarik rambutku lalu mencengkram kerah bajuku. Kuat.

"Jadi ini jagoannya, hah? Berani-beraninya kamu mencuri dompet ibuku." Aku memandang pemuda berkacamata yang menatapku bengis. Tanganku berusaha melepas cengkeraman tangannya yang begitu kuat. Perempuan paruh baya yang dompetnya telah kuambil berdiri di belakangnya. Wajahnya mengingatkanku akan ibuku.

"Radit, lepas! Jangan main hakim sendiri. Serahkan semua sama pihak yang berwajib."

"Nggak, Bu. Aku pengen tau seberapa hebat jagoan ini hingga berani jadi jambret." Cengkeraman Radit, pemuda berkacamata itu, semakin kuat. Aku hampir tak bisa bernafas. Satu tinjuan ia labuhkan di perutku. Tanganku berbagi tugas. Memegangi perutku yang sakit dan berusaha mengendurkan cengkeraman Radit. Terlalu kuat.

Aku terus berusaha menarik tangan Radit dengan kedua tanganku. Tak Berhasil. Sepertinya tenaganya lebih kuat dariku. Tentu saja. Tenagaku telah terkuras habis untuk berlari. Aku menyerah.

“Jadi, cuma segini aja, hah? Yah, liat bapak-bapak, ibu-ibu! Jagoan ini menangis. Rasakan ini.” Radit meninju pipiku. Lagi, lagi, dan lagi-lagi. Dua gigi bawahku patah. Pandanganku kabur dan darah menetes deras dari mulutku. Kurasakan cengkeraman tangan Radit mengendur. Tubuhku ambruk dan mataku benar-benar sudah tak bisa kubuka. Pandanganku semakin kabur dan kepalaku terasa berat dan aku sudah tak bisa merasakan apa-apa.

“Nak, tolong bantuin ibu membawa barang belanjaan ini. Bisa tak?” Aku terkejut. Aku mengusap mukaku. Tak ada darah ataupun bekas pukulan. Bahkan tubuhku masih kuat kalau harus berjalan atau berlari sejauh satu kilo. Aku kembali mengusap wajahku.

“Alhamdulillah, ternyata aku cuma berkhayal. Ya, aku takkan melakukan itu. Tak akan. Aku tak mau mengotori kepercayaan yang diberikan kedua orang tuaku. Aku tak mau memakan apa yang bukan milikku dan haram karena namaku Bokat. Nama yang penuh doa kebaikan.”

1 komentar:

Gia Ghaliyah mengatakan...

Kaaa keren banget.. Ini tingkat tinggi yaa daya khayalnya