Technology

Pages

Minggu, Januari 20, 2013

Sepenggal Episode Aku dan Ibu


Aku terhenyak. Pikirku tak jua bisa mengalihkan apa yang saat ini membuatku ingin pergi jauh. Berlari jauh ke ujung dunia ini. Menjauh dari tempat yang saat ini kupijak. Kalau bisa aku ingin menenggelamkan tubuhku ke dalam bumi. Sejenak. Menghilangkan penat yang muncul sejak kedatangan perempuan itu. Ya, seminggu yang lalu. Seminggu yang terasa begitu lama karena aku benar-benar memikirkannya. Seminggu yang kujanjikan jawaban atas apa yang ia minta dariku. Seminggu yang membuatku seperti orang gila. Seminggu yang membuat seorang Firdaulana di cap orang yang temperamen di tempat kerjanya. Hah, seminggu.

* iqbal_haris *

Aku terus memperhatikannya. Menjelajah dari ujung kaki sampai bagian tubuhnya yang terbalut jilbab panjang berwarna coklat. Sudah lima belas menit. Namun,
perempuan di depanku tetap saja menundukkan wajahnya. Sedari tadi ia hanya diam tanpa mengatakan apapun. Hanya isakannya yang terdengar. Lirih.

Sejenak ia terlihat akan mengatakan sesuatu. Tapi, kembali tak kudengar suara dari mulutnya.

Di sela-sela keheningan itu tiba-tiba seorang perempuan paruh baya keluar dari kamar, Ibuku. Yang sejak kedatangan perempuan asing di depanku ini, meninggalkanku hanya berdua dengannya. "Katakanlah yang sebenarnya, Kak Nani. Dia berhak tau semuanya!" Ibuku menjajari perempuan itu dan membelai pundaknya.

Kupandangi kedua perempuan yang ada di depanku. Wajah ibuku tak jauh beda dengan perempuan di sebelahnya. Hanya saja perempuan yang bernama Nani lebih kurus dan wajahnya terlihat pucat.

"Bicaralah!" Ibuku menggenggam tangannya.

"Engkau adalah anakku. Anak kandungku. Engkau adalah anak yang lahir dari rahimku dan..." perempuan itu berhenti dan terisak di pelukan ibuku. Ibuku membelai jilbabnya. Sedang aku hanya bisa menatap keduanya tanpa bisa mengatakan apa-apa. Bibirku terkatup rapat. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan dan kukatakan. Terpaku pada sebuah kenyataan bahwa perempuan asing berjilbab coklat itu adalah ibuku. Ibu kandungku.

Aku berdiri. Menjauh dari tempat tidurku mendekat ke arah jendela. Sesaat aku ingin memecahkan kaca jendela itu sebagai pelampiasan. Untung pikir sehat ini masih menahannya.

Kupandangi halaman rumahku. Menerobos kaca jendelaku. Halaman rumah yang begitu sempit tapi terlihat menyejukkan mata hatiku. Ibuku, lebih tepatnya orang yang mengasuhku, yang selama ini kuanggap sebagai ibu dan selamanya dia adalah ibuku, menanam beberapa tanaman dalam pot yang sedikit banyak mengurangi kepenatan yang kurasa. Sesekali titik-titik embun masih menetes dari dedaunanan. Menimbulkan irama merdu menemani keheningan pagi ini.

Langit masih terlihat muram. Mendung menggayut manja membuat aktifitas pagi di jalan depan rumahku hari ini tak terlihat seperti biasanya.

Pikiranku kembali merasa sendu ketika kuingat hari ini adalah waktunya. Hari yang tak ingin kutemui sejak seminggu yang lalu. Perempuan itu hari ini akan datang. Meminta jawaban atas permohonan maaf yang ia utarakan, meminta kasih sayang yang sepenuhnya telah kuberikan untuk orang yang selama ini menjagaku, dan tentu saja meminta ruang di hatiku untuk memanggilnya ibu.

Aku belum tahu apa yang akan kulakukan. Aku belum tahu apa yang akan kusampaikan. Aku belum bisa menerima kenyataan ini. Aku belum bisa menerima kehadiran ibu kedua yang sangat asing bagiku. Meski ia adalah ibu kandungku.

Mengapa ia tiba-tiba hadir dan mengacaukan kehidupanku? Mengapa ia dulu meninggalkanku? Memberikanku kepada adiknya dan pergi entah kemana?

* iqbal_haris *

Kupandangi perempuan yang ada di depanku. Matanya sendu. Wajahnya yang terbungkus jilbab tak secerah biasa. Ia menunduk tanpa menatapku. Padahal, aku benar-benar ingin menatap matanya. Bagian dari wajahnya yang paling kusukai.

"Maafkanlah Kak Nani, Putraku. Ibu kandungmu. Tak seharusnya ia mendapat hukuman seperti ini." Ibuku menatapku. Mata bening yang sedari tadi ingin kulihat meneteskan air mata. "Ibumu melakukan ini semua ada alasannya."


"Apa, Bu?" tanyaku mengejar penjelasannya. "Apa saya salah jika aku tak menerimanya sebagai ibu? Kemana ia ketika aku ingin menyusu darinya? Kemana ia ketika aku ingin belajar berjalan? Ketika hari pertama aku sekolah? Ketika aku mulai merasakan jatuh cinta? Kemana perempuan itu?" Aku berjalan ke arah jendela. Memandang tanaman-tanaman yang kuharap bisa menyejukkan hatiku. Tak berhasil.

"Engkaulah yang mengajariku berjalan. Engkaulah yang mengantarku ketika hari pertama sekolah. Engkaulah yang pantas untuk kupanggil ibu. Dan di bawah telapak kakimulah surga untukku." Aku memandang ibuku yang duduk di atas tempat tidurku. Ia menatapku tapi tatapannya kosong. Pipinya semakin basah oleh air mata.
"Maafkan aku, Bu. Sepertinya waktu seminggu belum bisa menghapus kesalahannya meninggalkanku selama dua puluh satu tahun." Aku berjalan keluar kamarku.

"Tunggu, Nak! Ibu masih ingin bicara. Setelah ibu bicara, ibu tidak akan memaksa untuk memaafkan Kak Nani. Ibu serahkan semuanya kepadamu." Matanya yang masih berkaca-kaca menahan langkahku.


* iqbal_haris *

Kulirik jam yang tergantung di dinding ruang depan. 11.18. Sudah lebih satu jam aku menunggunya. Kedatangan seorang perempuan yang akan kupanggil ibu.

Entahlah, aku sendiri belum yakin dengan jawaban yang akan aku katakan padanya. Aku masih belum sepenuhnya bisa memaafkannya. Meski ibuku telah menceritakan alasan kepergian perempuan itu.

Setelah dua tahun pernikahan mereka, ayahku menjadikan ibuku sebagai tumbal atas hutang-hutangnya. Usaha kecil yang berusaha dirintisnya bangkrut. Ayah menjadi seperti monster bagi ibu. Masalah sepele selalu dibesar-besarkan. Ibuku akhirnya kabur saat dirinya berbadan dua. Awalnya ibu ketakutan berpikir anak yang dikandungnya adalah hasil hubungannya dengan rekan kerja suaminya. Tapi, ketika anak yang dikandungnya lahir, ibu yakin bahwa ia adalah anak suaminya. Menurut ibuku wajahku sangat mirip dengan wajah ayahku.

Merasa dirinya bukanlah perempuan yang baik karena dirinya telah jadi tumbal, ia menyerahkanku pada adiknya. Ibu yang selama ini menjaganya. Menjaga anak yang akhirnya di aqiqahi dengan nama Ahmad Firdaulana.

Ibuku muncul dari ruang belakang. Kutatap ia yang berjalan menyongsongku.

"Kau yakin dengan keputusanmu?" tanya ibuku. Pandangannya teduh menatapku. Mata beningnya memancarkan kehangatan. Mengalirkan kekuatan untukku. "Ibu tahu bahwa dirimu belum sepenuhnya bisa memaafkan ibumu. Tapi, dengan kau buka sedikit saja ruang keikhlasan di hatimu menerima alasannya menitipkanmu padaku adalah awal yang baik," lanjutnya masih menatapku.

"Sepertinya keputusanku salah, Bunda. Apa ini keseriusan memintaku untuk mengakuinya sebagai ibu? Sudah berapa jam aku menunggunya? Kemana perempuan itu jika ia benar-benar tulus meminta maaf kepadaku?" aku menatap mata beningnya. Mengharap ketenangan.


"Sabarlah. Berpikirlah tentang sebuah halangan yang membuatnya terlambat. Bunda tahu siapa Kak Nani dan begitu berharapnya dia kamu mau mengakuinya dan memaafkannya..."
"Dengan membuatk menunggu?" kejarku menaikkan suaraku.


"Maaf," kataku menunduk, menyadari tak sepantasnya aku menaikkan suaraku.

Tiba-tiba ibuku beranjak ke dalam kamarnya, meninggalkanku. Mungkin ia kecewa dengan nada suaraku yang tinggi. Hah, benar-benar perempuan itu telah merusak hidupku.

Kembali kul
irik jam yang tergantung di dinding. 12.06. Sepertinya perempuan itu cuma mempermainkanku. Sudah dua jam
aku menunggunya.

Selewat beberapa menit ibuku keluar dari dalam kamarnya. Menjajari dudukku dan menyodorkan sebuah amplop padaku. "Bacalah! Sepertinya ibumu takkan datang," katanya sambil menggenggamkan amplop yang dipegangnya. "Apa ini?" tanyaku.

 
"Seminggu yang lalu ketika ibumu datang, ia menitipkan surat ini pada Bunda. Katanya, kalau lebih dari jam dua belas ia belum datang surat inilah penggantinya." katanya menjelaskan. "Sial! ternyata perempuan sialan itu mempermainkanku." kataku mengumpat.

 
Sedetik kemudian sebuah tamparan keras mendarat di pipiku.

 
"Jangan pernah bicara seperti itu kepada orang yang di bawah telapak kakinya ada surga untukmu."

 
"Bunda, apa yang salah pada ucapanku? Jika memang dia mengharap aku mengakuinya sebagai ibu, mengapa cuma ini usahanya?"

 
"Bacalah surat itu dulu! Ibumu benar-benar tak yakin kamu mau memaafkannya hingga cuma ini yang bisa ia lakukan. Ia berjanji takkan lagi muncul di kehidupanmu kelak dan ia minta maaf jika ia tiba-tiba mengacaukan dan mengusik hidupmu seminggu ini." Airmatanya tumpah. Mata bening itu menangis. Dan aku tak kuasa untuk mengusap dan menghapusnya.

 
"Jika memang kamu tak bisa memaafkannya, permintaan terakhir ibumu cuma satu. Kamu mau membaca surat itu." Ibuku kembali beranjak membiarkanku terpaku sambil menggenggam sebuah amplop.


Teruntuk Putraku

Putraku, izinkanlah aku memanggil dirimu dengan sebutan itu, mungkin kesalahan ibumu ini begitu besar hingga seribu kali ibu mengucap maaf masih belum bisa menghapus kesalahan itu.
Putraku, tangis airmata ini tak pernah habis menyesali keputusan ibu dahulu. Ibu selalu berharap ibu adalah orang yang kuat. Yang tak terlalu memikirkan apa yang terjadi hari kemarin. Namun, ibu bukan orang seperti.
Berulang kali ibu berusaha menghapus kejadian saat ibu di paksa memenuhi nafsu manusia bejat itu. Tapi, ibu tetap tak bisa. Ibu bertahan sampai engkau lahir. Mengharap ada jejak ayahmu pada dirimu. Yang artinya bahwa engkau adalah hasil hubungan yang suci. Harapan itu ternyata tidak sia-sia. Ada sebentuk wajah yang begitu mirip dengan ayahmu.
Keputusan menitipkanmu pada adikku, ibu yang selama ini menjagamu, akhirnya ibu ambil karena ibu benar-benar tertekan. Ibu selalu dihantui perasaan malu dan merasa hina.
Putraku, ibu tidak benar-benar pergi. Ibu selalu mengawasimu. Ibu selalu menunggumu di luar sekolahmu, ibu selalu menitipkan hadiah di hari ulang tahunmu. Dan ibu tak pernah melupakan engkau dalam setiap doa ibu.
Percayalah, ibu melakukan ini karena ibu pikir inilah yang terbaik. Ibu selalu ingin membelaimu ketika kau tertidur, begitu ingin. Tapi, inilah konsekuensi yang harus terima.
Putraku, maafkanlah kesalahan ibumu. Ibu takkan mengganggu kehidupanmu lagi. Ibu akan pergi jauh. Mungkin ini yang engkau ingin. Sekali lagi ibu minta maaf.
Titip satu tetes airmata doa.

* end *

0 komentar: