"Dasar penjahat. Selama ini berpura-pura jadi orang baik. Taunya busuk. Penjahat berkedok malaikat." Mak Sarinah meninju Rahmat berkali-kali. Rambutnya acak-acakan. Tangis Mak Sarinah perih terdengar di telinganya. Merintih begitu pelan. "Tolong kembalikan Arif," kalimat terakhir Mak Sarinah disusul beberapa pukulan suaminya di wajah Rahmat. "Tolong kembalikan Arif!" Kemudian tubuh Mak Sarinah ambruk, pingsan. Rahmat yang masih belum tahu masalahnya hanya memegangi bibir kanannya yang berdarah.
"Tunggu, sebenarnya apa yang terjadi?" katanya lirih.
"Dasar tak tahu diri. Wes mateni anak'e wong esik takok ngopo." (Sudah bunuh anak orang masih tanya kenapa). Pakde Tukiman memandang Rahmat tajam. Matanya merah nyalang.
"Saya beneran nggak tau apa maksud kalian menuduhku pembunuh. Sopo seng mati?" (Siapa yang mati?). Tubuhku memilih untuk mundur. Merebahkannya di dinding kayu dapur ibu.
Kulihat ibu hanya diam dan duduk di samping pintu. Pandangannya tetap datar, menahan tangis. "Arif mati, Mat. Overdosis gara-gara narkoba. Kowe kan seng adol narkoba?" (Kamu kan yang jual narkoba?) Aku mengusap mukaku. Arif mati? Karena narkoba yang dibelinya dariku. Tidak! Aku bukan pembunuh. Aku nggak ngebunuh Arif. Tidak.
"Kenapa diam? Mikir? Ngopo mikire nggak wingi sakdurunge anakku mati, Mat." Pakde Rasiman mendekati Rahmat dan kembali meninjunya. "Pembunuh! Uripmu nggak bakalan tenang, Mat. Inget! Hidupmu nggak akan tenang. Cuihh!" Pakde Sariman pergi setelah meludahinya. Rahmat diam. Ibunya tak beda jauh. Ia tak memandang Rahmat sedikitpun. Mukanya seperti biasa. Datar. Meski Rahmat tahu bahwa ibunya pasti sedih dan kecewa anaknya jadi pembunuh.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar