Prolog
Bukankah
hujan menjanjikan pelangi di setiap akhir tetesannya? Aku selalu meyakini hal
itu. Akan ada kisah yang manis setelah narasi penuh duka, akan ada tawa setelah
tangis mendera, begitu juga kebahagiaan akan menggantikan kesedihan yang kita
rasa. Percayalah. Itu bukan sekadar teori belaka. Hari ini. Seperti yang
kurasa. Di hari terakhir keberadaanku di sekolah ini.
Aku
kembali mengecek lelembaran kertas di meja. Berkas-berkas yang harus
ditandatangani sudah rampung. Tinggal memasukkannya bersama berkas-berkas lain
dalam satu map. Dan ceritaku di sekolah ini juga selesai.
Ah,
menyesakkan sekali.
Melakukannya
sama seperti memasukkan kisah yang terjadi beberapa bulan ke belakang ke dalam
sebuah kotak berkunci. Hari-hari menjanjikan kebahagiaan saat aku menggambar
pelangi dan mewarnainya. Saat aku bersama mereka melewatkan hari. Saat aku menjadi
sosok yang mereka turuti. Saat sama-sama merajut mimpi untuk kemudian hari.
“………”
“Rizky Al-Muhammady”
“Panggilannnya Gaston, Sir.”
“Gaston? Terus Julia Perez-nya
siapa?”
“Adanya Juliet, Sir.”
“……”
“Sir, jadi present tense itu pake
verb 1, kan?
“Iya, Juned.”
“……”
“Insya Allah besok sabtu LDK Rohis.
Sekalian pemilihan ketua Rohis.”
“Ente calon juga, Rifky?”
“Sepertinya iya, Sir.”
“….”
“Sir, udah nggak ngajar lagi?”
“Iya, ini minggu terakhir. Tinggal
ngurus sedikit berkas aja. Tania, ini edisi Jumat atau memang Tania benar-benar
berjilbab?”
“Doakan saja, Sir.”
“Semoga istiqomah ya.”
“Amiin.” Jawab Tania.
“Sir, ngajar terus di sini aja,”
sela Gaston.
“Maunya sih gitu.”
“……………”
Dan
semua ini ternyata harus segera diakhiri.
***
Bal, kita
sekelompok.
Bareng Yesy sama
Shintia
Kita dapet di SMP 74 deket kampus B
Pengirim:
DB Sigit
+62896534xxxx
Alhamdulillah
Deket kalo gitu.
Terkirim.
Katanya senin
kita harus ke sekolah tempat kita PKM.
Jam
7 pagi ya. Ketemuan di sana aja.
Olrait. See ya.
Sempurna. Doaku diijabah. Dijawab.
Aku yang meminta semoga tempat PKM-ku dekat dengan kampus ternyata benar-benar
dikabulkan. Tidak perlu motor atau naik angkot. Toh, kampus B bisa dicapai
dengan berjalan kaki.
Awalnya.
Sesaat setelah menerima SMS dari Sigit itu, aku—dan mungkin—ketiga temanku
nggak berpikir bahwa Allah ternyata lebih tahu mana yang terbaik.
Ya, terbaik menurut kita bukan hal
yang mungkin bukan yang terbaik
menurutNya. Kenyataan pahit yang sebenarnya harus kami hadapi ada di hari kami
menunaikan janji.
“Lumayan banget. Nggak perlu
ngongkos,” kataku saat memasuki gerbang SMP 74.
“Yah, elu mah enak. Kalo gua ama
Sigit ya sama aja. Bekasi booo,” Yesy kecewa.
“Yang penting deket sama kampus. Kan
kita masih punya mata kuliah yang lain,” Shintia menimpali. “Eh, itu Pak
Lasito, dosen pembimbing kita,” lanjut Shintia yang melihat Pak Lasito turun
dari halte Transjakarta.
“Oke, udah komplit, kan? Ayok kita
masuk!” Perintah Pak Lasito begitu tiba di depan kami.
***
“Maaf, Pak. Bukan kami menolak. Tapi, guru PPL di sini
sudah terlalu banyak. Kemarin yang dari jurusan Matematika saja kami nggak
terima.”
“Intinya ditolak kan, Pak?” tanya Pak Lasito.
“Mungkin. Tapi, kami memang nggak bisa menerima guru PPL
banyak-banyak.” lanjut Wakil Kepala Sekolah 74 berperawakan gendut pendek.
“guru sekolah kami sudah cukup mumpuni
juga. Repot kalo harus ngurusin mahasiswa yang mau belajar ngajar.” Senyum
angkuh tersungging di wajahnya.
“Ok. Baiklah, Pak. Maaf jika kedatangan kami merepotkan,”
sampai saat ini Pak Lasito yang memegang kendali dibandingkan kami. Beliau yang
lebih banyak bicara. “Kami pamit kalo begitu.”
“Mari saya antar.” pinta sang bapak berumur kira-kira
lima puluhan tahun di depan kami. “Tidak usah, Pak. Kami masih cukup mumpuni untuk sekadar jalan kaki keluar
dari sekolah ini. Nggak mungkin tersesat. Selamat pagi.”
Kecewa. Pasti. Terutama aku. Yang
terlalu pede menganggap doaku dikabulkan. Kenyataan yang kami hadapi jelas
bahwa aku dan ketiga temanku benar-benar tersesat.
Belum tahu dimana tempat kami menerapkan kemampuan mengajar kami.
“Gini aja. Kalian mau nggak ngajar
di sekolah yang dulu bapak ajar.” Pak Lasito langsung membuka obrolan begitu
kami keluar dari gerbang 74. Kami berempat saling berpandangan.
“Dimana, Pak?” Yesy berinisiasi.
“Di daerah deket Pedongkelan. Agak
jauh sih emang kalo kalian jalan.”
“Pokoknya di komplek TNI AL. Daerah
Sunter.”
“Lha, bapak gimana? Katanya tadi
deket Pedongkelan?” sungut Sigit. Dia paling tidak suka dengan orang yang
plin-plan.
“Pokoknya di situ. Denger-denger
lagi butuh guru. Siapa tahu kalian dibayar juga.” Iming-iming dari Pak Lasito.
“Ya udah di sekolah mana, Pak?”
kejar Shintia, cewek berjilbab yang nggak suka bertele-tele.
“Jadi mau nih?” ulur Pak Lasito.
“Oke, oke, maaf,” kata Pak Lasito
yang melihat muka kami langsung bête, “Di SMA 72 Jakarta.”
Bersambung